*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Singkil
tidak hanya dekat dengan batas Sumatra Utara (Batak), secara geografis Singkil
lebih dekat dengan Barus (Tapanoeli) dari Kota Atjeh (kini Banda Aceh). Pada
era Pemerintah Hindia Belanda wilayah Singkil dimasukkan ke wilayah administratif
Resedientie Tapanoeli. Bahkan sejak era VOC, Singkil masuk dalam wilayah
perdagangan pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Namun mengapa kemudian
wilayah Singkil dimasukkan ke wilayah administratif (residentie/province)
Atjeh? Itu satu hal.
Secara sosial budaya, penduduk wilayah Singkil
lebih dekat dengan penduduk pengguna bahasa Pakpak dari pengguna bahasa
lainnya. Pengguna bahasa Pakpak kini berada di kabupaten Dairi dan kabupaten Pakpak
Bharat. Secara historis Singkil dimasukkan ke dalam perdagangan pantai barat
Sumatra karena keberadaan kota pelabuhan kuno di Baroes dan Tapanoeli di era
kehadiran Eropa. Atas dasar inilah sejak era VOC menjalin hubungan dagang
dengan Singkil yang kemudian dilanjutkan dengan kesediaan bergabung dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Sejauh ini tidak tentangan dari wilayah independen
(kesultanan) Atjeh. Ini mengindikasikan bahwa wilayah Singkil secara
tradisional berada di wilayah pantai barat Sumatra.
Lantas
bagaimana sejarah Singkil sendiri? Tentu saja sudah ditulis. Namun sejauh data dan
fakta baru ditemukan, penulisan narasi sejarah tidak pernah berhenti. Sebab
sejarah adalah sejarah, suiatu narasi fakta dan data. Sejarah melihat dari
ujung ke pangkal, tetapi dalam berpiir sejarah haruslah dimulai dari pangkal
hingga ke ujung. Pangkalnya dimana Singkuang, Baroes atau Atjeh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Nama Singkil
Di
zaman kuno, pada posisi GPS kota Singkil yang sekarang berada di tengah lautan.
Dengan kata lain sebagian kabupaten Singkil yang sekarang berada di teluk
Singkil. Dua sungai yang bermuara ke teluk Singkil ini adalah sungai yang
kemudian disebut Simpang Kiri (yang kini masuk wilayah Aceh) dan sungai Simpang
Kanan (yang masuk wilayah Sumatra Utara). Oleh karena terjadi proses
sedimentasi jangka panjang di teluk Singkil maka dua sungai yang bermuara ke
teluk membentuk jalan air menuju laut. Arus utama inilah yang kemudian disebut
sungai Singkil. Proses sedimentasi terjadi akibat adanya aktivitas penduduk
asli yang intens di pedalaman (Pakpak, Gayo, Karo dan Alas).
Secara teoritis awalnya penduduk asli sebagian
berada di pantai untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan para pedagang
dari berbagai penjuru di lautan, tetapi seiring dengan penduduk pendatang yang
berdiam (membentuk koloni) di pantai, penduduk asli (penduduk awal) terdesak
semakin ke pedalaman. Hal itulah yang terjadi hampir di semua tempat di wilayah
nusantara, termasuk di wilayah Singkil. Oleh karena posisi GPS Singkil adalah
daratan yang terbentuk baru (akibat proses sedimentasi), maka nama (tempat)
Singkil haruslah dipandang sebagai suatu yang baru: nama baru, penduduk baru
dan situasi dan kondisi baru. Penduduk asli di pantai (zaman dulu) seakan
terkesan berada di pedalaman (padahal sejatinya tempo doeloe berada di pantai).
Pada nama tempat yang baru ini (Singkil) menjadi area melting pot (penduduk
pendatang dari lautan dan penduduk asli dari pedalaman). Oleh karena itulah
budaya dan bahasa Singkil menyerinkan perpaduan tersebut.
Nama
Singkil sendiri sudah lama adanya. Dalam peta-peta Portugis nama Singkil belum
ada, tetapi di tempat dimana nama Singkil muncul kemudian diidentifikasi
sebagai Baixos de Tristan de Tayda. Paling tidak nama Singkil sudah
didentifikasi pada Peta 1657.
Pada peta Portugis abad keenam belas, terminologi
‘baixos’ menunjuk pada perairan dangkal pantai yang dangkal serta gumuk pasir
atau beting. Akibat aktivitas penduduk di pedalaman atau aktvitas gunung api
menyebabkan lumpur dan sampah terbawa arus ke laut yang menyebabkan
pendangkalan. Dalam peta Portugis ini juga sudah diidentifikasi nama Bata
(Batak). Gumuk pasir ini kemudian terdorong kembali ke pantai (muara sungai)
yang menyebabkan proses sedimentasi lebih lanjut sehingga muara sungai lambat
laut menyempit.
Terbentuknya
daratan di muara sungai menjadi sebab munculnya pos perdagangan yang dibentuk
oleh pendatang untuk bertransaksi dagang dengan penduduk pedalaman. Nama tempat
yang menjadi pos perdagangan diduga kuat bernama Singkil. Nama Singkil inilah
yang kemudian dijadikan sebagai nama navigasi dalam pelayaran maupun
perdagangan. Seperti disebut di atas nama Singkil sudah diidentifikasi pada
Peta 1657. Satu-satunya nama kota (pelabuhan) di sekitar pada peta Portugis ini
adalah Baroes. Pada Peta 1665 perairan di sepanjang pantai sudah diidentifikasi
kedalaman laut hingga ke teluk Singkil.
Pada era VOC pantai barat Sumatra sudah
dipetakan dengan presisi yang lebih tinggi dari selatan hingga ke utara di
sekitar Singkil. Dikatakan memiliki presisi yang lebih tinggi sudah ditandai
dengan kedalaman laut di sekitar pantai hingga ke teluk Singkil lebih luas. Peta
ini dibuat oleh Isaac de Graaff pada tahun 1695 (ada perbaikan peta jika dibandingkan
Peta 1665). Di dalam peta diidentifikasi pos perdagangan VOC di Baroes. Pos
perdagangan Baroes ini yang terjauh dari selatan dari empat pos perdagangan VOC
(Baroes, Pariaman, Padang dan Silida). VOC sendiri melakukan ekspansi ke Baroes
dan Singkel tahun 1668. Lalu post VOC di Baros ditarik. Di Singkel tahun 1672
VOC membuka pos perdagangan. VOC kembali memmbuka pos perdagangan di Baroes.
Sebagaimana diketahui, VOC mengusir Atjeh dari Pantai Barat Sumatra pada tahun
1666. Wilayah kekuasaan Atjeh telah berkurang drastis. Sebelumnya Pantai Timur
Sumatra telah dikuasai oleh Belanda yang berpusat di Malaka (sejak 1641).
Praktis sumber-sumber perdagangan Atjeh satu per satu berpindah ke VOC dan
volume perdagangan Atjeh merosot tajam. Kekuasaan Kesultanan Atjeh mulai
melemah karena sumber perdagangannya hanya menyisakan (hingga di ) Deli. Pada
saat situasi inilah Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat
persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan
lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Namun tentu saja terjadi dari
resistensi baik dari VOC maupun para pemimmpin lokal di pantai barat Sumatra.
Sejak ini perseteruan antara Inggris dan VOC di pantai barat Sumatra dimulai. Pada
tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda, lalu
Inggris kalah dan menyingkir ke Bengkulu pada tahun 1686. Pada tahun 1693
Belanda membuat kontrak dengan Raja Baros, untuk berbagai kebutuhan pokok.
Sejak inilah nama Baroes menjadi penting (sebagaimana diidentifikasi Isaac de Graaff
pada tahun 1695. Dalam Peta 1695 di Singkil diidentifikasi
Pada
Peta 1705 Singkil berada di suatu teluk. Pada Peta 1733 terdapat dua sungai di
eks area teluk. Pada Peta 1753 hilir sungai Singkil diidentifikasi sangat
lebar. Ini mengindikasikan bahwa wujud teluk sebelumnya telah berubah menjadi
muara sungai yang besar.
Dalam buku Francois Valentijn, seorang ahli
geografi Belanda di era VOC menulis buku geografi yang diterbitkan pada tahun
1726. Dalam buku ini pada peta Sumatra Francois Valentijn mengidentifikasi nama
suatu kerajaan (Singkel). Dalam peta ini kota (pelabuhan) dimana terdapat
kraton berada di muara (sungai) Singkil sisi selatan. Itu berarti berada di
bagian daratan yang terbentuk baru. Dalam peta ini juga area gumuk pasir masih
diidentifikasi, tetapi areanya semakin sempit ke arah daratan.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Singkil: Antara Tapanoeli dan
Atjeh
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar