Senin, 09 Agustus 2021

Sejarah Makassar (20): La Galigo, Aksara Lontara dan Luwu; Mitologi Penciptaan dan Asal Usul Penduduk di Sulawesi Selatan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Mitologi adakalanya dipertentangkan dengan sejarah. Sebab menurut para ahli tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data. Suatu fakta yang benar-benar ada (terjadi) dan dapat dibuktikan berupa data (fisik atau teks). Unsur-unsur ini kurang dimiliki mitologi yang awalnya diceritakan secara turun temurun dengan lisan. Seiring dengan keberadaan aksara, mitologi ini mulai ditulis yang dalam hal ini La Galigo yang ditulis dalam aksara Lontara yang mengisahkan tentang penciptaan.

La Galigo sering disebut kitab kuno berbentuk puisi yang berisi mitos penciptaan dari peradaban Bugis, nahkan bagi sebagian masyarakat Bugis yang masih menganut agama tradisi Tolotang yang adakalnya La Galigo dianggap sebagai kitab suci. Naskah yang awalnya berupa tuturan lisan yang dilakukan penulisan pada paruh pertama abad 19 dengan aksara Lontara. Isinya antara lain bercerita tentang mitos penciptaan dunia dan penciptaan manusia atau asal-usul manusia pertama yang mendiami dunia. La Galigo sendiri menurut para ahli berasal dari abad ke-14. Dalam hal ini La Galigo bukanlah teks sejarah karena aspek mitologis dalam narasi terasa sangat kuat, tetapi teks ini diakui oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana sejarawan melihat masa lalu peradaban Bugis. Tokoh utama La Galigo ialah Sawérigading, cucu Batara Guru. Cerita dimulai dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Alkisah, manusia pertama ini turun di daerah Luwu di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan oleh anaknya, La Tiuleng, dan bergelar Batara Lattu'. La Galigo aksara Lontara ini diperkirakan terdiri dari 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi.

Lantas bagaimana sejarah La Galigo dan aksara Lontara? Seperti disebut di atas La Galigo dianggap sebagai mitologi, tetapi La Galigo yang ditulis dalam aksara Lontara adalah sejarah (yang dalam hal ini sejarah penulisan La Galigo itu sendiri—bukan isinya). Bagaimana itu terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

La Galigo Aksara Lontara dan Sejarah Awal Sulawesi Selatan

La Galigo ditulis dalam aksara Lontara. Sementara catatan tentang Kerajaan Gowa ditulis dalam Lontara Bilang-Bilang (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1878). La Galigo sendiri paling tidak diketahui telah diterjemahkan belum lama (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-08-1905). Kapan La Galigo ditulis dalam aksara Lontara tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas bahwa catatan (sejarah) Gowa ditulis dengan Lontara Baling-Baling pada era Kerajaan Gowa.

Aksara Bilang-Bilang bukanlah aksara Lontara. Aksara Lontara sendiri sudah terbentuk lama. Aksara Bilang-Bilang mengadaptasi bilangan Arab dengan membuat aksara baru yang disebut aksara Bilang-Bilang (Lontara Bilang-Bilang). Aksara Lontara diduga berasal dari zaman lampau yang mirip dengan aksara-aksara di wilayah utara seperti Minahasa dan Filipina. Masuknya pengaruh Islam di Makassar pada era Kerajaan Gowa diduga menjadi awal munculnya Lontara Bilang-Bilang. Dalam hal ini Lontara Bilang-Bilang adalah sandi aksara Lontara yang digunakan dalam sastra di Makassar untuk penulisan genre tertentu disertai dengan waktu kejadian. Aksara Lontara dan Lontara Bilang-Bilang sama-sama diakrtik. Lontara Bilang-Bilang ini mirip abjad Arab yang pernah digunakan di Asia Selatan abad 19 M di wilayah Pakistan dan Afghanistan.

Banyak penulis tempo doeloe yang menyatakan bahwa kerajaan pertama di Sulawesi (selatan) adalah Kerajaan Luwu (Loeboe, Lubuk, Luwuk). Nama Luwu sendiri paling tidak sudah diidentifikasi dalam teks Negarakertagama 1365. Dalam teks ini juga sudah diidentifikasi nama-nama Makassar, Boeton, Bontaeng dan Selajar. Tentu saja pada masa itu kerajaan Gowa(-Tallo) belum terbentuk yang berpusat di Makassar. Dalam hal ini di dalam La Galigo diceritakan kisah penciptaan.

Kapan (kota, kerajaan) Luwu terbentuk tidak diketahui secara pasti. Keterangan yang diduga berhubungan dengan munculnya peradaban baru (di Sulawesi) adalah prasasti Seko (Toraja) dan prasasti Watu Rerumeran di Minahasa. Prasasti-prasasti tersebut berada di pedalaman di dekat gunung-gunung dan danau-danau pedalaman. Prasasti Seko tidak jauh dari pegunungan Latimojong, gunung Balease, gunung Gandangdewata, gunung Pompangeo, gunung Bulu Kandela, gunung Buyu Lumut, gunung Tumpu dan gunung Torompupu serta danau-danau Poso, Matano dan Towuti. Sementara prasasti Watu Rerumeran di gunung Empung, gunung Lokon serta danau Tondano. Prasasti-prasasti ini mengindikasikan federasi dari beberapa kerajaan awal di dua wilayah budaya awal. Federasi kerajaan-kerajaan ini sebagaimana di Seko direpresentasikan sebagai daliang. Dua prasasti ini juga mengindikasikan adanya konsep religi (pemujaan terhadap leluhur) dan keutamaan kesuburan (lingga dan yoni). Satu-satunya sumber tertua yang terdekat (ruang dan waktu) dengan dua prasasti Sulawesi ini adalah prasasti di teluk Manila pulau Luzon (prasasti Laguna bertarih 900 M). Dalam prasasti Laguna disebutkan raja yang termasyhur yang berada di Binwangan yang menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di teluk Manila. Nama yang mirip dengan Binwangan ini juga pada masa kini ditemukan di Toraja dan Minahasa serta teluk Manila yakni Minanga. Nama yang mirip Binwangan atau Minanga juga ditemukan di pulau Seram (Binaiya). Nama yang mirip yang usianya lebih tua ditemukan pada prasasti Kedukan Bukit (682 M).

Kerajaan Luwu yang berawal dari munculnya peradaban baru di Sulawesi diduga kuat adalah era yang membedakan era pra-Bugis (Luwu) dan era Bugis (Makassar). Pada era Luwu sudah terbentuk kebudayaan baru seperti religi (pemujaan terhadap leluhur), bahasa, aksara, seni (bangunan dan sebagainya) dan sistem pemerintahan tradisi yang berbentuk federasi (daliang). Munculnya religi inilah kisah penciptaan di dalam La Galigo yang mana dunia terbadi tiga: atas, tengah dan bawah.

Jika memperharikan arah rute navigasi pelayaran dari utara, Kerajaan Luwu diduga berada di pantai timur )sisi timur danau Towuti) kemudian bergeser ke sisi barat danau di teluk Bone. Demikian juga halnya dengan Toraja awalnya di pantai barat bergeser ke pedalaman yang menjadi kawasan yang berdekatan dengan Luwu (Luwu-Toraja). Hal ini juga di wilayah utara Minahasa awalnya di pantai utara kemudian bergeser ke pedalaman dan pantai selatan. Pada saat Luwu di pantai timur, Toraja di pantai barat dan Minahasa di pantai utara, juga bersamaan terbentuk peradaban baru di wilayah Maluku (Gigolo di utara dan Seram di selatan). Terbentuknya Ternate dan Amboina diduga kuat sejaman dengan Manado, Bugis, Bouton dan Makassar.

Dalam teks La Galigo diceritakan awal dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Manusia pertama ini turun di daerah Luwu yang mana Batara Guru sebagai raja digantikan oleh anaknya, La Tiuleng bergelar Batara Lattu'. La Tiuleng atau Batara Lattu’ punya anak kembar, yakni Sawérigading dan Wé Tenriabéng yang keduanya dibesarkan terpisah yang kemudian mereka baru bertemu lagi saat menginjak usia dewasa. Sawérigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya. Sawérigading pun berniat menikahi Wé Tenriabéng. Namun itu dihambat untuk menghindari kawin semarga.

Kisah ini bermula ketika Raja Di Langit, La Patiganna [Batoegana] mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa [Sriwijaya] dan Peretiwi [Portibi] dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' Langi' [Ompu Toga Langit] menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' Langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng [Sialang], Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu' [Loeboe Raja atau Lubuk Raya].

Kisah itu lebih lanjut diceritakanlah bahwa kasih yang tak sampai ini kemudian menyebabkan Sawérigading pergi merantau ke Tiongkok. Sawérigading bertemu putri yang berwajah sama persis dengan saudari kembarnya, bernama Wé Cudaiq, anak seorang raja. Lahirlah anak laki-laki sebagai buah cinta dan perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah kemudian diberi nama ‘La Galigo’. Sawérigading dengan Wé Cudaiq kembali ke Luwuk, namun kapal yang dinahkodainya karam. Mereka berdua lantas menjadi penguasa ‘dunia bawah’. Sedangkan saudari kembarnya Wé Tenriabéng naik ke alam dewa atau ‘dunia atas’. Tak berselang lama setelah itu, semua manusia pertama itu dipanggil kembali pulang ke alam Dewata dan meninggalkan La Galigo dan saudara lainnya di ‘dunia tengah’ dan menjadi penguasa di Luwuk.

Kisah penciptaan dalam La Galigo mirip dengan kisah penciptaan yang terdapat di Tanah Batak tentang dunia ginjang, dunia tonga dan dunia toru. Meski pembagian dunia ini bersifat umum (era Hindoe Boedha), namun ada beberapa nama yang mirip yakni gunung Loeboe Raja dan gunung Malea di Angkola Mandailing. Hal mirip lainnya adalah Raja Di Langit (Raja Langit); La Patiganna (Batoegana); Senrijawa (Sriwijaya); Peretiwi [Portibi]; La Toge' Langi' [Ompu Toga Langit], Raja Alekawa; We Nyili'timo'; Guru ri Selleng [Sialang], Ussu' (Pusuk); Luwu' [Loeboe Raja]; La Tiuleng (Tulang atau Tolang); Batara Lattu' (Raja Lottung)l; Sawérigading (Oedjoenggading); Wé Tenriabéng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Sulawesi Selatan pada Era Kerajaan Gowa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar