Minggu, 05 September 2021

Sejarah Makassar (64): Sejarah Orang Bajo; Nomaden Tidak Hanya Pegunungan, Orang Bajo Orang Laut Tradisi Nomaden di Laut

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Siapa Orang Bajo? Hingga sekarang masih banyak peneliti sejarah yang masih bingung soal asal usul Orang Bajo. Mengapa bisa? Yang jelas keberadaan Orang Bajo kali pertama diindentifikasi seorang pelaut Eropa (Belanda) Vosmaer pada tahun 1831. JN Vosmaer memperkenalkan Orang Badjo ke dunia internasional setelah mengidentifikasinya di perairan sekitar teluk Kendari. Para peneliti tersentak. Nama Orang Badjo menghiasi jurnal-jurnal ilmiah. Bagaimana bisa? Orang Badjo hidup dan memiliki kehidupan di laut. Para antropolog saaat itu yang menyebar di seluruh penjuru bumi tidak menyangka ada penduduk nomaden di lautan. Mereka hanya berpikir nomaden hanya terjadi di gurun pasir, padang stepa dan wilayah pedalaman diantara hutan belantara.

Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Orang Bajo? Nah, itu dia. Seperti disebut di atas Orang Badjo diidentifikasi kali pertama oleh JN Vosmaer di perairan teluk Kendari 1831. Sejarah Orang Bajo bahkan hingga ini hari masih diperbicangkan. Mengaapa? Sejarah Orang Bajo dianggap masih misteri. Apa, iya? Bukankah kehidupan di atas laut lebih mudah dikenal dan diidentifikasi sejak zaman kuno? Nah, itu dia. Lalu bagaimana sejarah Orang Bajo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Badjo: Mengapa Mereka Menjadi Orang Laut?

Siapa Orang Badjo? Untuk memahaminya, mulai dari dimana kini berada. Berdasarkan pemetaan yang ada selama dua abad terakhir, Orang Badjo terdapat di berbagai wilayah yakni Semenanjung dan Riau, Borneo Utara, pulau-pulau di Filipina (termasuk kepulauan Sulu), Kalimantan (timur), Sulawesi (terutama pantai timur) dan Nusa Tenggara (pulau Manggarai, kini pulau Flores), Mengapa mereka bertahan di tempat-tempat itu? Secara teoritis, seperti penduduk di daratan, Orangt Badjo lebih mengenal tempat mereka berada (habitat ikan, arus air, salinasi air dan angin (cuaca). Lantas, apa pentingnya memperhatikan lingkungan tempat tinggal mereka yang tetap ini? Itulah akhir perjalanan mereka sejak zaman kuno, penduduk yang sangat piawai dalam navigasi pelayaran. Umat manusia seharusnya sangat bersyukur karena keberadaan Orang (bangsa) Bajo. Merekalah pembuka ruang navigasi pelayaran di perairan Nusantara dari Selat Malaka hingga Selat Torres.

Konon, para pemimpin (kerajaan) Gowa tidak senang kepada Orang Bajo karena mereka sangat setia kepada tuannya, yang menjadi musuh Gowa dalam navigasi pelayaran. Keutamaan Orang Bajo adalah pencari jejak yang handal di lautan, penduduk lautan yang sangat setia kepada tuannya. Lantas siapa tuannya? Itu salah satu yang akan dibuktikan (selain darimana asal usul mereka). Dalam navigasi pelayaran kuno, kepiawaian mereka diandalkan para pelaut/pedagang sebagai pemandu, pekerja dan memiliki kemampuan fisik untuk bertahan di dalam air jika diperlukan untuk mengukur kedalaman laut dan kerusakan pada bagian bawah kapal. Kemampuan mereka membaca tanda-tanda cuaca telah banyak menyelamatkan armada pelayaran perdagangan dari ancaman badai (berhasil evakuasi dan menyingkir ke teluk yang lebih aman).

Orang Bajo terbilang penduduk asli Nusantara (baca: Indonesia). Orang Bajo dapat dikatakan sisa penduduk asli Indonesia (pada masa ini) yang menguasai navigasi pelayaran (di laut) di zaman kuno setelah kehadiran pelaut-pelaut asing yang berasal dari India yang berbahasa Sanskerta dan beraksara Pallawa (sejak era awal Hindoe Boedha). Pedagang-pedagang India datang dengan teknologi kapal yang lebih baik daripada penduduk asli. Meski demikian, penduduk asli Nusantara sudah melakukan pelayaran antar pulau dengan perahu-perahu yang relatif sederhana jika dibandingkan kapal-kapal layar pedagang-pedagang asal India (catatan: saat itu penduduk Tiongkok relatif belum mengenal atau menguasai navigasi pelayaran zaman kuno).

Berdasarkan catatan Ptolomeus pada abad ke-2, disebut sentra produksi kamper berada di bagian utara Sumatra. Dalam catatan Ptolomeus juga diidentifikasi suatu nama kota (pelabuhan) bernama Kattigara (kini Kamboja). Ptolomeus juga menyalin peta lama yang dengan judul Taprobana. Dalam artikel yang ada pada blog ini telah berhasil dibuktikan pulau Taprobana yang dibuat Ptolomeus  itu adalah pulau Kalimantan. Hanya tiga wilayah itu yang dikenal dan dicatat sejak zaman kuno (sejak era Ptolomeus). Sementara itu, beradasarkan catatan Tiongkok dinasti Han bahwa pada tahun 132 (abad ke-2) disebut Radja Yeh-tiao telah mengirim utusan dan diterima Kaisar Tiongkok. Para peneliti Belanda Yeh-tiao ini adalah (pulau) Sumatra. Dalam hal ini, diduga kuat terdapat kerajaan besar di Sumatra (bagian) utara telah melakukan perdagangan kamper hingga pantai timur Tiongkok (melalui Kattigara dan pulau Taprobana).

Orang Bajo sekarang, bahasa yang digunakan mirip dengan bahasa Melayu. Sebagaimana diketahui lingua franca tempo doeloe adalah bahasa Melayu (suksesi lingua franca bahasa Sanskerta). Oleh karena persebaran Orang Bajo sangat luas di nusantara, maka bahasa Bajo menyerap sejumlah kosa kata dari bahasa asli lainnya di sekitar mereka tinggal. Dalam hal ini, meski bahasa Bajo, orang Bajo belum tentu memiliki asal-usul yang sama. Itu ibarat penutur bahasa Melayu berasal dari berbagai asal usul. Jadi dalam hal ini, bahasa Bajo menjadi penanda etnik (suku) Bajo tetapi secara historis berasal dari berbagai wilayah di nusantara. Penduduk berbahasa Melayu unumnya bemukim di wilayah pantai (di berbagai pulau), hal itu kurang lebih sama dengan penduduk berbahasa Bajo bermukim di perairan sekitar pantai (dan sebagian sudah berdiam di wilayah daratan pantai), Sebagaimana pengguna bahasa Melayu banyak berasal dari wilayah tempatan, hal serupa ini juga bagi penduduk berbahasa Bajo. Penduduk Bajo di perairan pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi (teluk Kendari) belum tentu memiliki asal usul yang sama dengan penduduk Bajo di perairan Johor dan Sabah.

Tentu saja yang disebut Orang Bajo pada masa ini yang terdapat di berbaagai wilayah, juga memiliki bahasa yang berbeda-beda. Oleh karena itu identifikasi Orang Bajo dalam hal ini tidak selalu diakaitkan dengan penggunaan bahasa, melainkan karakteristik mereka yang berbeda dengan karakteristik penduduk di sekitar mereka. Berbeda dengan penutur bahasa Melayu, semua penduduk berbahasa Melayu (atau mirip bahasa Melayu) disebut Orang (suku) Melayu. Untuk membedakan diantara penduduk (berbahasa atau mirip bahasa) Melayu itu ditambahkan keterangan tempat (tinggal) wilayah seperti Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Minangkabau, Melayu Ambon, Melayu Malaysia dan sebagainya. Faktanya mereka ini memiliki asal usul yang berbeda. Seperti halnya Melayu bersifat kata generik, demikian juga dengan Bajo.  

Orang Bajo pada dasarnya memiliki tingkat peradaban yang sama dengan penduduk (etnik) lainnya di nusantara sebagai penduduk asli, tetapi kini mereka menjadi penduduk yang tertinggal karena rekan-rekan mereka etnik lainnya mengikuti atau dipengaruhi perkembangan jaman seiring dengan perubahan politik yang ada pada masa lampau (sejak VOC). Mereka tertinggal, karena memisahkan diri secara politik, budaya dengan rekan-rekan mereka di daratan. Hal serupa ini juga terdapat penduduk yang tertinggal di daratan, terutama di wilayah pedalaman, seperti Orang Sakai, Orang Kubu, Orang Wana dan sebagainya. Penduduk-penduduk yang tertinggal ini sudah mulai banyak yang mengejar ketertinggalan mereka dan berinteraksi dengan penduduk (etnik) tetangga. Hal ini juga terjadi pada penduduk Bajo sendiri, ada yang sudah mampu mengejar ketertinggalan dan bahkan tidak sedikit yang sudah memiliki pencapaian yang sama dengan etnik lainnya. Meski demikian, seperti halnya penduduk daratan masih banyak yang terpencil di pedalaman, penduduk Bajo juga masih ada yang terpencil di tengah lautan (termasuk di sekitar perairan Kendari).

Di wilayah provinsi Kalimantan Timur, Orang Bajo yang diidentifikasi terdapat di Kepulauan Maratua. Namanya mirip nama saya, bukan? Apakah itu ada artinya. Yang jelas pemilik Matua atau Maratua ditemukan cukup banyak di wilayah Angkola Mandailing (kini Tapanuli Bagian Selatan). Nama Matua dan Maratua sangat jarang jika tidak ingin dikatakan tidak ada, di tempat lain. Berdasarkan Wikipedia, Pulau Maratua adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan negara Malaysia. Pulau Maratua ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur. Pulau memanjang dan lengkung tajam ini berada di sebelah selatan dari Kota Tarakan. Di pulau ini terdapat Danau Haji Buang dan Danau Tanah Bamban. Pulau Maratua memiliki keelokan alam dan bawah laut yang luar biasa. Tak heran jika banyak penyelam mengatakannya sebagai surganya para penyelam.

Seperti disebut di atas, identifikasi Orang Bajo tersebar di nusantara. Tidak hanya di Indonesia, juga di Malaysia dan Filipina. Orang Bajo di Filipina diantaranya ditemukan di (kepulauan) Sulu (timur laut Sabah). Salah satu diantara dialek bahasa di Sulu adalah bahasa Sama Pengutaran di pulau Pengutaran Island (lihat Peta). Sepertihalnya nama (pulau) Maratua di provinsi Kalimantan Timur, nama pulau Pengutaran di wilayah (provinsi) Sulu, Filipina mirip nama kampong di Angkola Mandailing di wilayah Padang Bolak yang bernama Pamuntaran. Mengapa bisa mirip nama Maratua dan Pangutaran dengan Matua dan Pamuntaran. Apakah ini serba kebetulan?

Dalam bahasa Sama di Pamutaran Island (provinsi Sulu) terdapat sejumlah kosa kata yang mirip dengan bahasa Angkola Mandailing. Kosa kata yang mirip tersebut antara lain atay (ate-hati), baha (bahat=membengkak), bahangi (borngin=malam), bo (ba atau baba=mulut), dilla (dila=lidah), ina (ina=ibu), inum (inum=minum), mangan (mangan=makan), mma (ama=ayah), say (ise=siapa), dan sebagainya. Kosa kata bahasa Angkola Mandialing mirip bahasa Bajo antara lain bettah (butuha-perut), della (dila=lidah), sai (ise=siapa), dan sebagianya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Bajo di Perairan Semenanjung Tenggara Sulawesi

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar