*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Gunung Mekongga di provinsi Sulawesi Tenggara sudah barang tentu sudah dikenal. Gunung Mekongga adalah gunung tertinggi di semenanjung tenggara (pulau) Sulawesi. Tentu saja sudah ada yang menulisnya. Namun bagaimana sejarah gunung Mekongga kurang terinformasikan, Lantas apakah ada sejarah gunung Mekongga? Setiap gunung tinggi umumnya memiliki sejarahnya. Hal itu karena sudah dikenal sejak masa lampau bahkan sejak zaman kuno. Gunung Mekongga tidak jauh dari arah utara teluk Mekongga (Kolaka), di sisi timur teluk Luwu (Bone). Gunung tinggi biasanya terkait dengan sejarah navigasi pelayaran zaman kuno dan penduduk yang bermukim di sekitar.
Lantas bagaimana sejarah gunung Mekongga? Seperti disebut di atas nama sejarah gunung Mekongga kurang terinformasikan, padahal gunung Mekongga adalah gunung terkenal yang menjadi gunung tertinggi di semenanjung tenggara Sulawesi di sekitar teluk Bone. Lalu bagaimana seharah gunung Mekongga. Yang jelas namanya tidak ada kaitaaannya dengan sungai Mekong. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Mekongga: Teluk Luwu dan Teluk Mekongga
Sarasin bersaudara dua ahli geologi, adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi teluk Mekongga pada tahun 1898. Dalam kunjungan ini Frits dan Paul Sarasin telah melaporkan keberadaan gunung Mekongga. Dalam laporan mereka yang dimuat dalam surat kabar Makassar courant, menyebut bahwa wilayah semenanjung tenggara Sulawesi bagian utara tidak pernah dikenal (dalam literatur Eropa). Untuk memulai mengunjungi teluk Bone hingga teluk Mekongga tidak mudah.
Meski wilayah selatan dan utara Sulawesi sudah dikenal orang Eropa sejak er Portugis, wilayah Sulawesi Tengah dan wilayah semenanjung tenggara Sulawesi dapat dikatakan belum pernah dikunjungi orang Eropa/Belanda. Fritz dan Paul Sarasin di pantai barat semenanjung tenggara Sulawesi adalah orang Eropa pertama dan di wilayah tengah di sekitar teluk Tomini oleh misionaris ALB C Kruijt (dari Gorontalo) yang kemudian disusul oleh N Adriani (ahli bahasa). Semua itu karena diduga pengaruh Gubernur Celebes en Onderh. yang oernah menjadi asisten Residen di Gorontalo Baron van Hoevell (yang memulai karir dari bawah sebagai Controleur di Silindoeng (Tanah Batak) pada awal perlawanan Sisingamangaradja). Sarasin bersaudara datang murni untuk kunjungan ekspedisi ilmiah. Namun demikian untuk pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi di teluk Kendari sudah ada sejak 1831 oleh NJ Vosmaer. Selain wilayah Boeton (Baoe-Baoe), teluk Kendari adalah dua tempat yang sudah sejak lama dikunjungi orang Eropa. Boeton sendiri bahkan sudah sejak era Portugis. Namun untuk wilayah lainnya dari semenanjung tenggara Sulawesi baru dimulai oleh Sarasin bersaudara.
Sarasin bersaudara di fasilitasi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Makassar. Dalam ekspedisi ke teluk Mekongga ini. Sarasin bersaudara yang didampingi sebanyak 125 orang mendarat di (kampong) Kolaka. Sampai titik ini Sarasin bersaudara ditemani oleh Residen WH Brugman.
Fritz Sarasin mencatat nama Mekongga dengan Mingkoka. Nama Mingkoka ini nama generik untuk seluruh wilayah termasuk teluk dan nama gunung. Nama Kolaka sendiri hanya dicatat sebagai nama kampong tempat dimana pemimpin lokal berada. Hal itulah mengapa nama Mingkoka dan Kolaka saling dipertukarkan. Dalam laporan awal Sarasin ini dimana terdapat gunung Mekongga menyatakan bahwa semenanjung ini (semenanjung tenggara Sulawesi) saling silang di barat dan timur oleh sistem pegunungan yang membentang kira-kira dari utara ke selatan yang mana di sebelah selatan barisan itu menjorok ke laut, tetapi di sebelah utara menanjak ke pegunungan yang tinggi (puncak tertinggi Mekongga), di sebelah barat pegunungan Soessoea (Lasusua?) dan di sebelah timur pegunungan Voboengkoe (Tobungku?).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pegunungan Mekongga: Puncak Tertinggi Gunung Mekongga 2.620 M
Dalam Wikipedia disebutkan hikayat nama Mekongga berasal dari cerita rakyat setempat yang berkisah tentang pertempuran seorang kesatria dan seekor burung elang. Menurut hikayat, suatu masa puncak gunung ini dihuni oleh Kongga, yaitu seekor burung raksasa. Para penduduk sering resah karena sang burung sering membuat onar dan mengganggu kehidupan rakyat. Kemudian tampillah seorang bangsawan gagah berani yang berhasil menewaskan burung raksasa. Sebagai hadiahnya, raja setempat menikahkan putrinya dengan si bangsawan. Untuk mengenang jasa besar itu, kawasan tersebut diberi nama Mekongga. Okelah itu satu hal, suatu hikayat. Sarasin bersaudara, peneliti Eropa pertama ke wilayah Mekongga hanya mencatat nama Mekongga dengan Mingkoka. Apakah kedua pencatatan nama itu memiliki perbedaan yang berarti?
Pegunungan Mekongga berada diantara kabupaten Kolaka (kecamatan Wolo dan kecamatan Uluiwoi) dan kabupaten Kolaka Utara (kecamatan Ranteangin dan kecamatan Wawo). Gunung Mekongga pada masa ini diakses dari desa Rantebaru, kecamatan Ranteangin, kabupaten Kolaka Utara. Kecamatan ini berjarak 41 Km dari ibu kota kabupaten di La[susua]. Kini kecamatan Ranteangin terdiri dari 6 desa dan 1 kelurahan yaitu Landolia, Lawekara, Maroko, Pohu, Ranteangin, Torotua dan (keluarahan) Rantebaru. Dari desa-desa ini yang terbilang terpencil adalah desa Maroko, Landolia dan Torotua.
Secara umum penduduk Kolaka di pantai barat berbahasa Tolaki dialek Mekonga (dan di pantai timur berbahasa Tolaki dialek Laiwui). Kedua dialek ini memiliki kekerabatan dan berbeda dengan bahasa Bugis dan bahasa Culambacu. Bahasa Tolaki merujuk pada orang Tolaki, suatu etnik pemberani (Lalaki, Lelaki atau Laki). Nama Tolaki diduga kuat diberikan oleh orang luar. Orang Eropa/Belanda pertama mendaftar bahasa Tolaki dialek Laiwui di semenanjung tenggara Sulawesi adalah F Treffers (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1914), sedangkan bahasa Tolaki dialek Mekongga adalah H van der Klift dengan judul. Mededeelingen over de taal van Mekongga.
Beberapa bahasa elementer bahasa Tolaki dialek Keongga adalah ama (ayah), ina (ibu), ate (hati), balu (jual), basa (baca), mongga (makan), pinggan (piring), tongaoleo (siang), owingi (malam), tamalaki (berani), sikola (sekolah), pue (nenek), ulu (kepala), owuu (rambut), saluaro (celana), timboka (tempat cuci tangan), walu (janda), napo (lembah), mate (mati), inipi (mimpi), inum (minum), hopulo oaso (sebelas), buta (kampong halaman) dan lainnya,
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar