*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pahlawan Indonesia KH Zainal Mustofa lahir di Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat dan meninggal di Ancol, Jakarta. Nama KH Zainal Mustofa mungkin belum dikenal luas di daerah lain tetapi sangat dikenal di Jawa Barat khusus di Tasikmalaya. Namun demikian, sejarah KH Zainal Mustofa sangat heboh pada era pendudukan militer Jepang. Perlawanan Tasikmalaya yang dipimpin oleh KH Zainal Mustofa tidak kalah hebatnya dengan perlawanan Madiun yang dipimpin oleh Soeprijadi (kandidat Panglima Tentara Indonesia Pertama).
Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional KH Zainal Mustofa? Seperti disebut di atas, KH Zainal Mustofa melakukan perlawanan pada era pendudukan militer Jepang. Pada era belanda/NICA, perlawanan KH Zainal Mustofa diperbandingkan dengan perlawanan Soperijadi dkk di Madiun. Lalu bagaimana sejarah KH Zainal Mustofa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Nasional KH Zainal Mustofa di Singaparna: Era Pendudukan Militer Jepang
Singaparna bukan kota pulau Singapura, Tasikmalaya bukan pula tasik di Malaya (semenanjung). Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda Singaparna dan Tasikmalaya adalah dua diantara distrik-distrik yang ada di Afdeeling Soemedang. Meski Singaparna sebagai kota utama, namun ibu kota pemerintah tidak di Singaparna tetapi di Tasikmalaya. Ibu kota Residentie Prengaer di Tjiandjoer, sementara satu Asisten Residen ditempatkan di Sumedang dimana dua diantaranya ditempatkan Controleur di Tasikmalaya dan di Bandjar. Kota Bandoeng yang sekarang belum ada.
Para pemimpin Islam (imam) sudah sejak lama dikenal di Singaparna. Hingga tahun 1856 kota Singaparna masih merupakan kota utama dimana terdapat gudang logistik yang besar yang menjadi pusat distribusi baik ke Garoet maupun ke Bandjar (Tjiamis). Di kota ini terdapat pasar besar. Setelah kota Bandoeng terbentuk (1846) pada tahun 1860an jalur utama ke Singaparna sudah lebih intens dari arah Bandoeng melalui Garut (tidak lagi Cirebon via Sumedang). Boleh jadi itu setelah kunjungan pertama GG pada tahun 1861 yang datang dari Tjiandjoer melalui Garut ke Singaparna terus ke Bandjar (lihat Rotterdamsche courant, 01-10-1860). Kantor Residen sendiri masih di Tjiandjoer (baru dipindahkan ke Bandoeng pada tahun 1970). Demikianlah situasi dan kondisi di wilayah Galuh dari masa ke masa, dimana kota Singaparna tetap sebagai tempat strategis.
Tunggu deskripsi lengkapnya
KH Zainal Mustofa: Lahir di Tasikmalaya dan Meninggal di Jakarta
Hingga berakhirnya kolonial Belanda (Pemerintah Hindia Belanda), kota Singaparna tetap terbilang penting. Tidak hanya orang Cina yang sudah bermukim di kota ini, bahkan seorang Padang Sidempoean bernama Rahman Poeloengan tinggal di Singaparna (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1940). Juga organisasi Nahdlatoel Oelama sudah sejak lama ada di kota ini hingga terjadi penangkapan anggota NU di Siangaparna bulan September 1941.
Pada bulan September 1941 sudah memasuki fase Perang Pasifik (masih sampai di sekitar pantai Timur Tiongkok). Pada pertengahan bulan Desember 1941 pasukan militer Jepang sudah menjatuhkan bom di kota Tarempa (Natuna). Protes para pemimpin Islam di Singaprna pada bulan September adalah bagian gerakan kemerdekaan Indonesia yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun hingga pembentukan Majelis Rakyat Indonesia pada tanggal 14 September 1941.
Tampaknya pejabat Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat arogon ketika situasi politik dunia yang sudah diambang perang. Masih sempat-sempatnya mematai warga. Pada tangga 11 Januari 1942 Hindia Belanda (baca: Indonesia) sudah masuk zona perang sete;lah bom militer Jepang dijatuhkan di Tarakan, Kakas dan Soeong. Akhirnya serangan Jepang semakin masif hingga Pemerintah Hindia Belanda menyerang di Klaijati, Subang pada tanggal 8 Maret 1942.
Selama pendudukan militer Jepang, tidak banyak hal yang terinformasikan. Ketika kemerdekaaan Indonesia diproklamsikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda/NICA kembali (ingin menjajah lagi). Sebuah tulisan yang dimuat pada majalah Perdjoeangan Rakjat berisi sebagai berikut: ‘Belanda di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada bulan Maret 1942, dan pada hari itu kami orang Indonesia diserahkan ke Jepang sama sekali tidak berdaya tanpa senjata, seperti halnya kepada Jepang yang biadab. militerisme disajikan sebagai semacam kelezatan. Selama periode itu kami dan juga warga Belanda secara bersama-sama oleh tentara Jepang. diinjak-injak, Belanda umumnya lebih suka membantu Jepang, sedangkan Indonesia berulang kali bangkit melawan Jepang, seperti di Blitar, Indramajoe, Singaparna dan di Sumatera, Kalimantan Barat dan di tempat lain; pemberontakan ini berlanjut sampai akhirnya kami memproklamirkan kemerdekaan kami tanpa menghindar dari pengorbanan diri. Mengingat hal ini, kami bertanya-tanya bagaimana sangat antusias bahwa orang Belanda masih terus menginginkan republik kami sebagai produksi seperti halnya Jepang (lihat Overijsselsch dagblad, 02-01-1947).
Dalam tulisan pada majalah Perdjoeangan Rakjat (1946) disebut telah terjadi perlawanan penduduk terhadap (militer) Jepang di Singaparna.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar