*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Dalam beberapa minggu terakhir isu dan debat dimana-mana tentang bahasa resmi di ASEAN mendapatkan gambaran beragam, khususya di Indonesia dan Malaysia. Panel Indonesia jelas mengakui bahasa Indonesia berkembang dari bahasa Melayu dan bahwa bahasa Indonesia berkembang dan dikembangkan secara sadar. Beberapa waktu lalu pernah muncul isu dimana Malaysia mengklaim batik, rendang, tortor dan sebagainya. Dalam hubungan isu bahasa ASEAN, seakan Malaysia mengklaim bahasa Melayu itu menjadi hak waris sejarahnya. Sebaliknya panel Indonesia tegas menyatakan bahasa Melayu berasal dari bahasa Melayu tetapi tidak mengindikasikan bahwa bahasa Melayu yang dijadikan bahasa Indonesia berasal dari Malaysia. Jadi, sejatinya, dimana sesungguhnya bahasa Melayu itu berkembang?
Lantas bagaimana sejarah Indonesiaasi di Wilayah Asia Tenggara? Seperti disebut di atas, satu isu penting dalam hal ini adalah polemik antara Indonesia dan Malaysia tentang bahasa. Sejatinya, di Malaysia bahasa Melayu adalah salah satu hal, orang (bangsa) Melayu adalah hal lain lagi. Di Indonesia, bahasa Indonesia adalah satu hal, bahasa daerah adalah hal lain lagi. Bagaiman dengan (seku) bangsa Melayu di Indonesia? Seperti halnya di Malaysia, di Indonesia bahasa Melayu adalah satu hal, dan (seuku-suku) bangsa Melayu hal lain lagi. Lalu bagaimana sejarah Indonesiaasi di Wilayah Asia Tenggara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Indonesiasi di Wilayah Asia Tenggara: Lingua Franca Antar Generasi
Bahasa Indonesia adalah transformasi bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Demikian juga di masa lampau, Bahasa Melayu di Nusantara adalah transformasi bahasa Sanskerta menjadi bahasa Melayu. Lalu, secara futuristik, BAHASA adalah transformasi Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional (BAHASA). Bagaimana itu bisa terjadi? Semua era berkembang sesuai jaman. Mari kita periksa bahasa Melayu sendiri, bermula dari bahasa Sanskerta yang ditemukan dalam prasasti beraksara Pallawa.
Bukti tertua yang bisa dibuktikan di Nusantara teredapat di Jawa. Di Sangiran terdapat fosil manusia tertua di bumi. Piramida tertua Gunung Padang di Cianjur. Ini mengindikasikan bahwa sudah ada peradaban di Jawa jauh di masa lampau. Namun bahasa apa yang digunakan penduduk (masyarakatnya) dalam peradaban itu belum diketahui secara jelas. Satu-satunya bukti perekaman bahasa tertua di Nusantara terdapat dalam prasasti-prasasti. Paling tidak ada dua bahasa yang digunakan: bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu. Prasasti tertua ditemukan di Vo Cahn (Vietnam) pada abad ke-3’ prasasti Mulawarman (Kutai) abad ke-4 dan prasasti Kebon Kopi (Jawa Barat) pada abad ke-4. Bahasa yang digunakan ketiga prasasti tersebut adalah bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa (India).
Prasasti beraksara Pallawa dengan bahasa Melayu ditemukan di Vietnam (prasasti Dong Yen Chau) akhir abad ke-4 dan di Sumatra (prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuwo dan prasasti Kota Kapur) akhir abad ke-7 serta di Jawa (prasasti Sojomerto) awal abad ke-7. Dalam prasasti-prasasti berbahasa Melayu ini tercampur dengan bahasa Sanskerta. Akan tetapi boleh jadi yang diidentifikasi sebagai bahasa Melayu sebenarnya adalah bahasa Sanskerta. Hingga sejauh ini tidak/belum ditemukan prasasti dari jaman lampau di wilayah Semenanjung (Malaysia).
Bukti-bukti adanya peradaban yang lebih tua dari prasasti-prasasti ditemukan dalam teks Eropa dan Tiongkok. Dalam teks Eropa yang dicatat Prolomeus (abad ke-2) adalah komoditi kamper (kapur Barus) bersumber dari (pulau) Sumatra bagian utara; nama tempat bernama Kotta di Kota Kambajo yang sekarang dan peta Taprobana (peta pulau Borneo/Kalimantan). Pada era yang sama ditemukan bukti tertulis dari Dinasti Han bahwa seorang Raja yang berasal dari Tanah Selatan (diduga dari Sumatra atau Jawa) menghadap Kaisar untuk membuka pos perdagangan di Vietnam yang sekarang. Peta Taprobana ini tampaknya relevan dengan ditemukannya prasasti Mulawarman di Kutai (abad ke-4). Sedangkan pusat kamper di Sumatra bagian utara relevan dengan bukti tertulis dari Eropa yang berasal dari abad ke-5 yang menyebutkan bahwa kamper di datangkan dari pelabuhan yang disebut Barus (di Tapanuli).
Prasasti-prasasti yang diidentifikasi sebagai prasasti berbahasa Melayu yang ditemukan di tiga tempat (Vietnam, Sumatra dan Jawa) mengindikasikasikan adanya relasi perdagangan antara wilayah/pulau di Nusantara. Garis navigasi pelayaran perdagangan kuno itu antara Eropa di barat dan Tiongkok di timur melalui Nusantara (Vietnam, Sumatra dan Jawa). Prasasti-prasasti berbahasa Melayu tersebut (Sumatra dan Jawa) tampaknya berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M) disebutkan (raja) Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga dengan dua puluh ribu tentara dengan perbekalan dan tiba di Upang di negeri yang disebut Sriwijaya. Pada prasasti Talang Tuwo (684 M) disebut raja Sriwijaya yakni Dapunta Hyang Sri Nagajaya. Pada prasasti Kota Kapur (686 M) disebutkan bala tentara Sriwijaya telah berangkat menyerang kerajaan di Jawa yang tidak mau bekerjasama (diduga dalam hal navigasi pelayaran perdagangan). Pada prasasti Sojomerto disebutkan telah eksis (dinasti) Dapunta Seilendra. Tiga raja yang disebut sama-sama bergelar Dapunta, tetapi di Sumatra gelarnya Dapuntra Hyang. Dimana itu Minanga? Sejumlah ahli mengidentifikasi berada di Binanga (Padang Lawas, Tapanuli). Dalam penggunaan bahasa pada prasasti Kedukan Bukit terkesan ada unsur linguistik bahasa Batak (Tapanuli, di Sumatra bagian utara) seperti awalan mar (ber) dan sistem bilangan sapulu dua (12).
Seperti disebut di atas, tidak ditemukan prasasti di Semenanjung (Malaysia), sementara penggunaaa bahasa Sanskerta masih eksis hingga ratusan tahun berikutnya. Ini dapat dibaca pada prasasti-prasasi di Sumatra maupun di Jawa pada abad ke-14. Sementara prasasti-prasasti berbahasa Melayu pada era yang sama juga ditemukan di Sumatra (Sumatra Barat dan Tapanuli), Jawa dan tempat lainnya. Sedangkan prasasti-prasasti berbahasa Jawa di Jawa sudah ditemukan pada abad ke-8 dan berbahasa Batak (abad ke-13).
Bahasa Melayu diduga kuat terbentuk dari bahasa Sanskerta itu sendiri. Dalam hal ini bahasa Sanskerta yang digunakan telah berbeda (jauh) dengan bahasa Sanskerta di India. Menghilangnya pengaruh India (pengguna bahasa Sanskerta), oleh penduduk Nusantara yang ada di Sumatra, Jawa, Semenanjung, Borneo dan Vietnam serta wilayah lainnya bahasa Sanskerta Nusantara (varian dari bahasa Sanskerta di India) kemudian bahasa itu disebut kemudian sebagai bahasa Melayu. Lalu kapan bahasa lingua franca Nusantara itu disebut bahasa Melayu?
Nama Melayu (Malayu) masih tergolong baru. Diduga asal usul kata Melayu merujuk pada kata Malaya. Nama Malaya dicatat dalam prasasti Padang Roco di Dharmasraya (1286). Nama Melayu juga ditemukan pada teks Negarakertagama (1365) sebagai Pamalayu. Nama Malayu atau Melayu ini secara tekstual ditemukan di pantai timur Sumatra. Nama Melayu/Malayu diduga kuat merujuk pada nama Malaya dan nama Malaya ini sendiri merujuk pada nama (gunung) di India (Hi)Malaya. Nama gunung Himalaya atau Malaya (juga) ditemukan di Sumatra Utara dan Semenanjung. Di Sumatra nama gunung Malaya terdapat di Padang Lawas/Mandailing (Tapanuli( dengan nama Malea dan di Semenanjung dengan nama Malaya. Dalam hal ini nama-nama gunung itu terjadi pada era Hindu/Budha. Pada prasasti Tanjore di India (1030) dicatat ekspedisi Cola (1025) ke sejumlah wilayah termasuk pantai timur Sumatra dan Semenanjung (selat Malaka). Dalam prasasti ini di daerah selat Malaka yang sekarang wilayah yang ditaklukkan antara lain Kadaram. Nama Kadaram menurut sejumlah ahli diketahui sebagai nama lama dari Kedah di Semenanjung. Hanya satu kota ini dalam ekspedisi Cola di wilayah Semenanjung. Kota-kota lainnya berada di pantai timur Sumatra yaitu Sriwijaya, Pannai, Malaivur, Ilangasogam, Mappappalam, Mevilimbangam, Valaippanduru, Takkolam, pulau Madamalingam, Ilamuri-Desam dan Nakkavaram. Nama Sriwijaya diduga di muara sungai Musi, Panai di muara sungai Batang Pane, Ilangasogam diduga di muara sungau Barumun. Panai dan Soenggam kini berada di wilayah Padang Lawas Tapanuli. Nama-nama lainnya sulit diidentifikasi dimana kecuali nama kota Ilamuri-Desam yang diduga kota Lamuri di ujung utara Sumatra di Atjeh. Ada satu pulau disebut yakni pulau Madamalingam yang diduga sebagai Pulau Sambilan (di muara sungai Wampu). Last but not least” kota Malaivur. Oleh karena hanya ada satu kota di Semenanjung dan selebihnya berada di pantai timur/utara Sumatra, maka dimana kota Malaivur diduga berada di muara sungai Batanghari. Kota Malaivur ini diduga cikal bakal (kerajaan) Mauli.
Nama tempat Melayu di pantai timur Sumatra juga relevan dengan ditemukan dimana bukti-bukti penggunaan bahasa yang diidentifikasi bahasa Melayu yang terdapat dalam sejumlah prasasti seperti Kedukan Bukit (682 M), Talang Tuwo (684 M), Kota Kapur (686 M), Sojomerto di Jawa (awal abad ke-8), Padang Roco (sungai Batanghari) dan prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Padang Lawas pada abad ke-14.
Dengan demikian, nama Melayu diduga kuat bermula di pantai timur Sumatra, wilayah dimana kemudian bahasa Melayu berkembang (suksesi bahasa Sanskerta). Lantas bagaimana dengan perkembangan kota-kota di Semenanjung. Bukti-bukti yang ada di wilayah pantai barat Semenanjung hanya Kadaram yang kemudian dikenal sebagai Quedah atau Kedah. Dalam perkembangannya muncul dua nama kota di pantai barat Semenanjung yakni Malaka dan Muar.
Nama kota Malaka diduga diduga muncul pada era Portugis. Penulis-penulsi Portugis seperti Tome Pires, Barbosa dan Mendes Pinto. Nama Malaka ini diduga disalin pelaut-pelaut Portugis dair orang-orang Moor yang mana pelaut-pelaut Portugis mencatat Malaka sebagai Malacca. Sebelumnya orang-orang Moor mencatat nama kota Malaya menjadi Malaka. Nama kota Malaya yang kemudian menjadi nama Malaka atau Malacca sendiri merujuk pada nama gunung Malaya dari mana sungai Malaya berasal dan di muara sungai terbentuk kota perdagangan baru yang kemudian menyangingi kota Kedah/Quedah. Kota Malaya ini diduga adalah pos perdagangan orang-orang India, sementara orang-orang Moor membuka pos perdagangan baru di selatan kota Malaya di muara sungai yang disebut Muar (merujuk pada nama Moor, Moar dan kemudian Muar). Nama Malaya sendiri oleh orang-orang India menyebut demikian merujuk pada nama gunung Himalaya. Nama gunung Malaya ini di wilayah Padang Lawas/Mandailing disebut Malea. Pasangan nama gunung Melea ini adalah nama gunung Raja di Padang Lawas/Angkola yang di wilayah Semenanjung juga ditemukan pasangan gunung Malaya dengan gunung Raja (sejajar dengan pulau Penang). Masih pada era Portugis, nama koat Malaya telah begeser menjadi Malaka (Moor) atau Malacca (Portugis) tetapi nama Malaya (nama gunung, sungai dan kota) dijadikan nama wilayah (Semenajung Malaya).
Nama (bahasa) Melayu diduga bukan berasal dari (kota, gunung, sungai) Malaya di Semenanjung, tetapi lebih merujuk pada nama kota/wilayah lama di pantai Sumatra yakni Malaivur (kerajaan Mauli) yang kemudian dipertegas dengan nama eskpedisi Pamalayu (Majapahit).
Pada era Portugis nama-nama kota yang dicatat di wilayah Semenanjung Malaya adalah kota Kedah, kota Malaka dan kota Muar (di pantai barat) dan Pahang (di pantai timur). Nama Terengganu baru muncul kemudian. Nama-nama kota di Semenanjung lebih bersifat kota-kota pantai (kota-kota pelabuhan). Berbeda dengan di Sumatra dan Jawa, kota-kota di Semenanjung hanya terdapat di pantai saja. Tidak ada identifikasi sudah ada kota di pedalaman yang sudah eksis. Munculnya kota-kota di pedalaman di Semenanjung baru berkembang, seperti diuraikan nanti, pada era Inggris ketika ditemukan pertambangan timah.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sebelum berkembang secara menyeluruh di wilayah Semenanjung Malaya, penggunaan nama (bahasa) Melayu sudah berkembang sejak lama. Besar dugaan penggunaan nama Melayu tersebut digunakan untuk mengidentifikasi nama bahasa yang menjadi lingua franca (suksesi bahasa Sanskerta). Suatu bahasa yang semakin masif digunakan di wilayah seputar selat Malaka di pantai timur Sumatra, pantai barat Semenanjung dan pulau-pulau di utara laut Jawa (kepulauanh Riau).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Indonesiasi di Wilayah Asia Tenggara: Bahasa Melayu adalah Satu Hal, Orang (bangsa) Melayu adalah Hal Lain Lagi
Adalah sarjana-sarjana Inggris yang memperkernalkan nama bahasa Melayu ke dunia internasional khususnya dalam bidang akademik. Namun hal itu belum lama dilakukan, yakni setelah orang-orang Inggris mengokupasi wilayah Semenanjung Malaya (perjanjian Traktat London 1824). Sedangkan penulisan kamus bahasa Melayu sendiri tidak dimulai oleh orang-orang Inggris dan juga bukan oleh orang-orang Portugis. Penulisan kamus bahasa Melayu justru baru dimulai pada era Belanda (VOC).
Pada saat ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur (1595-1597) pelaut-pelaut Belanda tidak memiliki sama sekali pengetahuan bahasa Melayu. Pelaut-pelaut Portugis dan Moor sebelumnya sudah banyak yang menggunakan bahasa Melayu. Tentu saja orang-orang Belanda mengetahui bahasa apa yang digunakan di Hindia Timur. Oleh karena itu ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman ini menyertakan seorang ahli bahasa yakni Frederik de Houtman (adik dari Cornelis sendiri). Ekspedisi Belanda ini sebelum berlayar lebih jauh mengarungi samudra (India) terlebih dahulu singgah selama enam bulan di (pulau) Madagaskar. Di pulau inilah Frederik de Houtman menyusun kamus bahasa Melayu untuk keperluan mereka. Mengapa ada orang yang menggunakan bahasa Melayu di Madagaskan? Mereka ini adalah orang-orang Nusantara yang bekerja sejak lama dengan pedagang-pedagang Moor dan Portugis dan banyak diantaranya yang menetap di Madagaskar yang turun temurun menjadi bagian dari penduduk Madagaskan. Frederik de Houtman dalam kerjanya juga menulis padanan bahasa Melayu dengan bahasa Madagaskar. Kamus bahasa Melayu inilah yang dibawa ekspedisi Cornelis de Houtman ini ke Hindia Timur hingga tiba di Banten pada bulan Juni 1596. Pada eskpedisi kedua Cornelis de Houtman tahun 1599 tidak menuju Banten tetapi menuju Atjeh. Di kota pelabuhan paling ujung utara Sumatra ini terjadi kerusuhan sehinggan Cornelis de Houtman terbunuh, sementara Frederik de Houtman dipenjara. Selama dua setengah tahun di penjara Atjeh, Frederik de Houtman menyelesaikan kamus bahasa Melayunya yang kemudian di terbitkan di Amsterdam pada tahun 1603. Kamus Frederik de Houtman inilah yang menjadi pegangan pelaut-pelaut Belanda untuk waktu yang lama (selama era VOC). Boleh jadi inilah kamus bahasa Melayu pertama.
Seiring dengan penulisan kamus bahasa Melayu dan pengembangannya, pelaut-pelaut Belanda dan Portugis mulai bersaing. Dengan sangat cepat kekuatan Portugis dan pengaruh Portugis di Hindia Timur (Nusantara) dihilangkan oleh Belanda. Pengarus Portugis yang hampir satu abad, hanya dalam tempo empat dasawarsa terbilang lenyap dari Nusantara. Hal ini dengan hilangnya kekuatan terakhir Portugis di Malaka dimana pada tahun 1641 Belanda/VOC mengusir Portugis dan pada tahun 1642 di Kamboja. Praktis pengaruh Portugis hanya tersisa di tempat terpencil di Macao dan (pulau) Timor (bagian timur di Dilli). Wilayah Nusantara (Hindia Timur) secara kekuasaan hanya di bawah Belanda dan Portugis, dimana pulau-pulau di utara Borno dan Sulawesi dikuasai oleh Spanyol (kepulauan Filipina). Sejak inilah pengaruh Belanda sangat digdaya di wilayah sisa Nusantara (minus Filipina).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar