*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pasoendan adalah salah satu organisasi kebangsaan Indonesia (baca: Hindia Belanda) yang kurang lebih dibentuk sejaman dengan Boedi Oetomo, Sumatranen Bond, Sarikat Ambon, Bataksche Bond dan Kaoem Betawi. Organisasi-organisasi inilah yang kemudian menjadi anggota dari federasi organisasi kebangaan Indonesia (PPPKI) pada tahun 1927. Satu hal yang menjadi pertanyaan sejak kapan (organisasi) Pasoendan terbentuk?
Lantas bagaimana sejarah organisasi Pasoendan? Seperti disebut di atas, Pasoendan adalah salah satu organisasi kebangsaan yang terbentuk pada era Hindia Belanda. Namun kapan sebenarnya Pasoendan terbentuk? Lantas bagaimana sejarah Pasoendan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Pagoejoeban Pasoendan; Organisasi Kebangsaan Era Hindia Belanda
Berdasarkan informasi di dalam laman Wikipedia, disebut Pagoejoeban Pasoendan didirikan pada hari Minggu tanggal 20 Juli 1913 dimana Ardiwinata sebagai penasihat dan Dajat Hidajat sebagai ketua. Pagoejeoeban Pasoendan kemudian diakui statutanya berdasarkan surat keputusan (beslit) Nomor 46 tanggal 9 Desember 1914, Namun berdasarkan surat kabar De Indier 3 Juli 1917di Bandoeng baru akan didirikan. Apa perbedaannya di Batavia dan Bandoeng?
Apakah orang-orang Soenda telah keluar dari Boedi Oetomo dan akan membentuk paguyuban sendiri? Yang jelas pada bulan Mei 1917 di Jogja dibentuk Komite Nasional dalam merespon pembentukan dewan pusat (Volksraad) (lihat De Indier, 26-05-1917). Dalam rapat di kepatihan Pakoealam hadir sejumlah organisasi seperti Solosche Prinsenbond, Jogjasche Prinsenbond, persatuan guru (PGHB) Central SI dan pengurus Boedi Oetomo. Rapat dipimpin oleh Ketua Majelis Pusat Budi Utomo, PRMT Woerijaningrat. Pada intinya perwakilan SI menganggap komite ini hanya bersifat Jawa dan tidak sesuai namanya sebagai komite nasional. Central SI tidak setuju dengan ini, karena kata "nasional" menunjukkan promosi kepentingan semua pribumi di seluruh Hindia. Rapat, tampaknya deadlock, karena tidak ada keputusan yang diambil. Disebutkan sikap akan diambil setelah Kongres Boedi Oetomo yang akan diadakan di Batavia bulan Juli. Disebutkan, akhirnya, pengurus harian diperintahkan untuk menulis surat kepada pengurus Pagoejoeban Pasoendan Bandoeng untuk bergabung menjadi panitia.
Nun jauh disana di Belanda diadakan Kongres Hindia. Suatu kongres yang dihadiri sejumlah organisasi mahasiswa asal Hindia atau para peminat Hindia baik Belanda/Indo, Cina maupun pribumi. Orang pribumi diwakili pengurus Indische Vereeniging, orang Cina diwakili pengurus Chung Hwa Hui. Ketua panitia kongres adalah HJ van Mook. Perwakilan pribumi yang berbicara dalam kongres antara lain Sorip Tagor Harahap, Dahlan Abdoellah dan Loekman Djajadingrat. Dalam kongres ini perwakilan pribumi meminta agar Hindia diganti Indonesia dan orang Hindia disebut Indonesier. Lalu apa respon orang-orang Belanda/Indo? Yang jelas pada kongres tahun berikutnya (1918) nama kongres disebut Kongres Indonesia. Yang turut hadir dan berbicara dalam kongres ini dari pihak Indonesia (pribumi) antara lain Goenawan Mengoenkoesomo, Sorip Tagor Harahap dan Dahlan Abdoellah. Sejak inilah nama Indonesia muncul sebagai identitas nasional (pribumi).
Tampaknya Pagoejoeban Pasoendan sudah terbentuk di Bandoeng. Akan tetapi tidak disertakan dalam rapat pembentukan Komite Nasional di Jogjakarta. Komite Nasional baru akan meminta Pagoejoeban Pasoendan untuk ikut bergabung dalam panitian nasional tersebut. Catatan: Dalam statuta organisasi kebangsaan Boedi Oetomo hanya untuk Jawa dan Madoera, tetapi mengapa orang Soenda tidak terwakili lagi? Lalu bagaimana dengan Sumatra, Sulawesi, Ambon dan lainnya?
Nasional(isme) ala Jogjakarta yang ditentang Central SI, tampaknya juga ditolak oleh Pagoejoeban Pasoendan sebagaimana De Indier, 07-01-1918 menurunkan artikel yang mengutip artikel seorang pribumi. Di dalam artikel tersebut orang Sunda tidak dapat mengatakan bahwa dia adalah Orang Jawa. Asosiasi Boedi Oetomo telah menemukan sedikit atau tidak ada penerimaan dengan orang Soenda. Ketika Cabang Boedi Oetomo didirikan, muncul perbedaan pendapat antara orang Jawa di satu sisi dan orang Sunda di sisi lain. Cabang Boedi Oetomo di Bandoeng terpaksa membelah diri menjadi dua sub-bagian, sehingga menimbulkan kemerosotan dari keduanya, Penyebabnya tentu tidak hanya terletak pada perbedaan cara hidup kedua kelompok penduduk, tetapi juga dan mungkin sebagian besar dalam bahasa lisan. Ketangguhan itulah yang membuat selalu ada perbedaan antara Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dalam pertemuan yang menggunakan bahasa Jawa, orang Sunda tidak akan betah, seperti halnya orang Jawa yang menemukan dirinya dalam pertemuan yang hanya menggunakan bahasa Sunda. Jika Anda bertanya kepada seorang penduduk Preanger orang desa seperti apa dia, dia akan menjawab bahwa dia adalah orang asli Jawa Barat, tetapi dia bukan orang Jawa. Dia orang Sunda. Bahasa ibunya adalah bahasa Sunda. Nasionalisme, yang di satu sisi membuat suatu bangsa kuat secara batiniah, di sisi lain memperkenalkan pembedaan yang tajam kasus khusus di Jawa antara orang Jawa, Sunda, dan Madura. Empat tahun yang lalu sebuah perkumpulan "Pasoendan" didirikan di Tanah Sunda yang tujuannya adalah untuk memelihara dan, jika mungkin, mengembangkan bahasa Sunda. Timur dan Barat menjadi lebih tajam akibat gerakan itu, tetapi persatuan ini dapat menembus masyarakat Sunda lebih dalam daripada Boedi Oetomo yang hanya mencapai kaum terpelajar (saja). tapi dia berusaha untuk membangkitkan orang Sunda dan menanamkan ide-ide modern, sehingga di masa depan dapat dibicarakan kolaborasi antara orang Sunda dan Jawa. Orang Sunda pasti akan lebih merasakan Hindia lebih baik dari Nasionalisme Jawa. Nasionalisme dalam arti sempit membawa kesulitan di Hindia Belanda. Catatan: dalam artikel ini disebutkan pagutuban Pasoendan telah didirikan empat tahun lalu (1913?). Ini dengan sendirinya telah mengkonfirtmasi pertanyaan di atas.
Wilayah Nusantara sejak dibentuk menjadi satu pemerintahan di bawah kerajaan Belanda (sejak 1800, setelah dibubarkan VOC tahun 1799), dijadikan sebagai semacam provinsi (jauh) dari Kerajaan Belanda (di Eropa). Sebagai provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur. Namun karena wilayah Hindia Belanda yang luas diangkat sejumlah gubernur. Sebagai pemimpin diantara gubernur disebut Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Gubernur diangkat di Ambon (Maluku dan Papua) dan di Makassar (Sulawesi plus sebagian Nusantara). Pada tahun 1838 dibentuk province Sumatra’s Westkust dengan mengangkat seorang gubernur di Padang. Province Sumatra’s Wsetkust ini terdiri dari tiga residentie: Residentie Padangsche Benelanden, Residentie Bovenlanden dan Residentie Tapanoeli. Provinsi Sumatra’s Westkust dilikuidasi pada tahun 1905. Sebaliknya pada tahun 1915 dibentuk provinsi baru dipantai timur Sumatra (Province Sumatra’s Oostkus) dengan ibu kota di Medan, Pada tahun 1918 mulai muncul gagasan desentralisasi dengan membangi pulau Jawa ke dalam tiga provinsi. Selama ini di (pulau) Jawa hanya terdiri dari residentie-residentie. Gagasan pembentukan provinsi di (pulau) Jawa dibagi menjadi tiga provinsi: barat, tengah dan timur (termasuk Madura). Ada gagasan provinsi di barat pulau Jawa (West Java) sebagai Province Soendaland. Selain tiga provinsi itu dipisahkan secara tersendiri bagian Jawa Tengah sebagai Province Vortstenlanden (Soeracarta dan Jogjakarta). Sebagaimana nanti, pada tahun 1921 terbentuk Province West Java, namanya tidak Sondaland, ibu kotanya tidak di Bandoeng tetapi di Batavia. .
Semakin menguatnya Pagoejoeban Pasoendan juga seiring dengan semakin intensnya para pribumi mempopulerkan mengidentifikasi diri atau kelompok dengan menggunakan nama Indonesia. Seperti disebut di atas, usulan penggunaan nama Indonesia bermula dalam Kongres Hindia di Belanda tahun 1917. Bukti semakin menguatnya Pagoejoeban Pasoendan, dalam berbagai isu perwakilan Pasoendan terwakili, seperti kongres pertama bahasa, tanah dan etnologi (Eerste Congres van Taal-, Landen Volkenkunde) (lihat De Preanger-bode, 06-07-1918) dan pembentukan konsentrasi demokrasi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1918).
De locomotief, 05-02-1919: ‘Sebuah media baru. Sebuah iklan di dalam [surat kabar] Kaoem Moeda yang mengumumkan terbitnya majalah mingguan Sinar Pasoendan pada tanggal 15 Februari sebagai organ daari Pagoejoeban Pasoandan dengan redaktur RS Soerjaamidjaja dan R Sastraatmadja. Majalah ini akan diterbitkan dalam bahasa Melayu.
Pengukuhan Pagoejoeban Pasoendan sejak 1917, baru mendapat pengesahan dari pemerintah setelah dilakukan perbaikan statuta (lihat De locomotief, 15-08-1919). Disebutkan Pagoejoeban 'Pasoendan' di Batavia telah mendapat persetujuan untuk perubahan anggaran dasar, yang tujuannya sekarang adalah sebagai berikut: moral dan sosial perkembangan umat, dengan mempengaruhi pengasuhan dan pendidikan, serta dengan mencoba memuliakan konsep-konsep populer dan dengan demikian meningkatkan kapasitas untuk bekerja dan pada gilirannya kondisi kehidupan.
Tunggu deskripsi lengkapnyaapnya
Pagoejoeban Pasoendan: Federasi Organisasi Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar