*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Sejarah perkeretaapian sudah lama di Indonesia sejak era Pemertah Hindia Belanda; Banyak jalur yang masih aktif hingga kini, tetapi juga banyak jalur yang telah ditutup (tidak aktif). Tentu saja pada masa ini ada penambahan jalur baru. Pembangunan jalur kereta api tempo doeloe pada era Pemerintah Hindia Belanda mengikuti arus barang. Pada masa kini perkembangan moda transportasi jalan raya menyebabkan jalur tertentu ditutup. Kini, program pengembangan jalur kereta api lebih mempertimbangkan arus orang. Apakah dimungkinkan lagi jalur yang ditutup dapat diaktifkan kembali?
Lantas bagaimana sejarah moda transportasi kereta api di Indonesia? Seperti disebut di atas, pembangunan jalur kereta api pada era Pemerintah Hindia Belanda mengikuti arus barang, tetapi kini pengembangan jalur kereta api lebih mempertimbangkan arus orang. Lalu bagaimana sejarah moda transportasi kereta api di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia–Moda Transportasi Kereta Api: Dulu Mengikuti Arus Barang, Kini Arus Orang
Gagasan pembangunan kereta api sudah muncul pada awal tahun 1840an. Ide ini muncul setelah dianggap di pedalaman Jawa kondusif paling tidak dari aspek keamanan (pasca Perang Jawa). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koloni tanggal 28 Mei 1842 dua perwira teknik ditunjuk untuk melakukan persiapan pembangunan jalur kereta api Semarang-Kedoe dan wilayah-wilayah terkemuka (lihat Journal de La Haye, 23-08-1843).
Rencana pembangunan kereta api ini disambut positif para pengusaha di Semarang. Hal ini akan membuat produk dari dan ke Vortenlanden (Soeracarta dan Jogjakarta) akan lancar, lebih murah ongkos angkut dan produk tidak banyak rusak. Produk-produkn tesebut seperti kapas, bawang, jagung dan sebagainya (Bataviaasch handelsblad, 10-12-1859) Produk dari ke Soeracarta selama ini ada dua jalur: sungai dari Soeracarta melalui rivier Solo ke Gresik, yang hanya bisa dilayari lima bulan dalam setahun; darat melalui pegunungan. Pembangunan kereta api melalui sisi timur dari Semarang ke Soeracarta sangat dimungkinkan karena lebih rendah.
Ternyata realisasi pembangunan jalur kereta api sebagai yang pertama tidak mudah. Banyak aspek yang dipertimbangkan seperti hasil studi kelayakan teknis, kemauan atau minat para investor dan prospek pendapatan dari unit usaha pengelola kereta api.
Gagasan pembangunan kereta api juga muncul di Batavia dan sekitarnya ketika realisasi pembangunan kereta api mengalami hambatan di Semarang dan sekitarnya. Di ’sGravenhage (kini Den Haag) telah ada rencana konsesi pada tahun 1864 untuk mengeksploitasi jalur kereta api di (pulau) Jawa. Yang mendapat hak konsesi ini adalah JE Banck Cs. Rencana ini sudah dituangkan dalam proposal dan sudah dipetakan. Dalam peta tersebut, jalur kereta api yang akan dibangun termasuk ruas Batavia dan ruas Semarang. Pada ruas Batawia-Buitenzorg, Stieltjies Cs akan membuka jalur Batavia-Buitenzorg melalui Tjilengsi (tidak melalui Bekasi seperti Banck Cs). Ruas Semarang-Djogjakarta awalnya melalui Goeboek, Poerwadadi, Grasak dan Soekawati terus ke Soerakarta (lihat Peta Proyeksi Pembangunan Kereta Api Jawa, 1864).
Pembangunan jalur kereta api pertama lalu dimulai pada ruas Semarang-Tanggoeng (Kedoe) sepanjang 27 Km yang mulai beroperasi pada tanggal 10 Agustus 1867 dengan membangun stasion di Tambaksari. Meski jalur awal ini pendek dan hanya sepanjang 27 Km tetapi telah menyatukan arus komoditi dari timur dan selatan Semarang menuju Pelabuhan Semarang. Adanya stasion Tanggung telah menggeser jalur komoditi dari selatan (Djogjakarta dan Soerakarta) yang selama ini melalui jalur pegunungan yang berat (Salatiga dan Ambarawa) langsung dari Soerakarta menuju Tanggung yang lebih landai.
Namun dalam perkembangannya pembangunan jalur kereta api ruas Batavia-Buitenzorg tidak segera dimulai. Sementara jalur kereta api di wilayah Semarang berlangsung sesuai rencana dan sudah mulai beroperasi pada tahun 1867. Apa yang menyebabkan kelambatan untuk pengoperasian kereta api jalur Batavia-Buitenzorg diduga karena alasan-alasan teknis (berdasarkan studi kelayakan lebih lanjut). Tampaknya jalur kereta api ruas Batavia-Buitenzorg tidak efisien melalui Bekasi dan juga tidak efisien melalui sisi timur sungai Tjiliwong. Pembangunan yang efisien adalah melalui sisi barat sungai Tjiliwong (sebagaimana yang kita lihat sekarang): Batavia-Depok-Buitenzorg.
Setelah pembangunan jalur kereta api Semarang-Tanggung, akhirnya realisasi pembangunan kereta api ruas Batavia-Buitenzorg direalisasikan pada tahun 1869. Pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg ini ditandai dengan pencangkulan pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 25 October 1869. Pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg dibuat dua tahap. Tahap pertama Batavia (kini Jakarta Kota) ke Meester Cornelis (Djatinegara) yang dimulai tahun 1869 (dua tahun setelah Semarang-Tanggoeng).
Intensitas pembangunan jalur kereta api trans-Tjiliwong Batavia-Buitenzorg mendorong pembangunan kereta api di Semarang semakin diperluas. Pembangunan jalur kereta api ruas Batavia-Buitenzorg via Depok akhirnya selesai dan mulai beroperasi tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873). Lalu kemudian menyusul selesainya pembangunan ruas Tanggoeng-Kedoengdjati-Ambarawa yang diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873. Pembangunan perluasan rel kereta api ke Kedoengdjati dan Ambarawa dimulai tahun 1872 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 06-11-1872).
Moda transposrtasi massal kereta api Semarang-Soerakarta semakin mendekat dan terhubung dengan selesainya ruas Tanggoeng-Kedoengdjati-(Ambarawa). Namun dalam perkembangannya tidak mudah, selain medannya yang semakin sulit (di ketinggian), juga muncul persoalan baru di Semarang.
Banjir Kanal Barat di Semarang tidak mampu lagi mengatasi permasalahan banjir di Semarang, lalu muncul gagasan pembangunan Banjir Kanal Timur. Problema anggaran pembangunan yang terbatas dengan banyaknya prioritas pembangunan menyebabkan perluasan jalur kereta api ke selatan Semarang (Vorstenlanden) agak terhambat (tertunda). Realisasi pembangunan jalur kereta api dari Kedongdjati ke Ambarawa dari pada ke Soerakarta karena terjadi booming kopi yang pusat transaksinya di Ambarawa. Ekonomi kopilah yang membelokkan pengembangan jalur kereta api ke Ambarawa. Sebagaimana diketahui, perdagangan (pembelian) kopi oleh pemerintah hasil produksi swasta termasuk perkebunan kopi di Banaran. Memang terdapat garnisun militer yang besar di Ambarawa, namun realisasi pembangunan kereta api ke Ambarawa lebih pada pertimbangan ekonomi (memiliki daya dukung finansial untuk pembangunan kereta api).
Dari dua jalur kereta api terawal di Indonesia pada era Pemerintah Hiudi Belanda (Semarang-Ambarawa dan Batavia-Meester Cornelis) pada dasarnya terbentuk karena tarikan ekonomi (perdagangan). Pengaruh perdagangan (komoditi dan barang industri) menjadi salah satu faktor penting dalam piliha-pilihan rute (jalur) dalam pembangunan kereta api.
Sudah barang tentu pengoperasian kereta api pada awal pembangunan perkeretapian di Indonesia mengutamakan faktor manusia, tetapi itu tidak cukup. Faktor ekonomi (perdagangan) juga menjadi faktor penentu. Selain itu ada faktor lainnya yakni pertimbangan pergerakan militer dan pengaturan tata kota. Untuk jalur Semarang-Tanggung-Ambarawa arus orang dan arus perdagangan menjadi pertimbangan utama ditambah dengan pertimbangan pergerakan militer dimana benteng Willem I di Ambarawa adalah markas militer terbesar Pemerintah Hindia Belanda di Jawa bagian tengah. Sementara untuk jalur Batavia-Meester Cornelis
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pengembangan Kereta Api Masa Kini: Apakah Jalur Ditutup Dapat Dibuka Kembali?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar