*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Lain lubuk lain pula belalangnya. Suatu pepatah yang tidak sempurna. Pun halnya dengan Indonesia dan Malaysia. Wilayah kedua negara ini dulu berangkat dari nama Nusantara, Hindia Timur, Indien Archipel kemudian Melayunesia atau Indonesia. Diantara Belanda dan Inggris yang bersaing kemudian satu wilayah ini menjadi berbeda (politik, bahasa, budaya dan sebagainya). Perbedaan ini semakin kontras dari waktu ke waktu hingga ini hari. Dalam hal ini perbedaan politik termasuk soal kerajaan-kerajaan yang ada.
Lantas bagaimana sejarah monarki di Indonesia dan Malaysia? Seperti disebut di atas, sejak masa lampau di wilayah Indonesia dan Malaysia sekarang terdapat kerajaan-kerajaan. Namun pengaruh Belanda dan Inggris menyebabkan perbedaan yang dihadapi oleh kerajaan-kerajaan. Lalu bagaimana sejarah monarki di Indonesia dan Malaysia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Monarki di Indonesia dan di Malaysia: Kerajaan-Kerajaan di Nusantara hingga Era Hindia Belanda
Pada awalnya, di masa lampau, wujud dari monarki kurang lebih sama sebagai suatu pemerintahan tradisional dimana raja sebagai pemimpin di wilayah yurisdiksi kerajaan. Monarki kerajaan tempo doeloe di nusantara antara lain Kerajaan Sriwijaya, Madjapahit, Malaka, Aru, Pagaroejoeng, Atjeh. Bentuk monarki yang ada sejak dulu sebenarnya masih tampak pada masa ini, tetapi dalam konteks yang lebih luas bingkainya berbeda-beda. Hal itulah mengapa bentuk monarki yang masih tersisa di Nusantara (khususnya di Indonesia dan Malaysia).
Monarki (atau Kerajaan) berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun abad ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya memiliki sistem monarki konstitusional. Perbedaan di antara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. Namun dalam negara-negara federasi seperti Malaysia, penguasa monarki atau Yang dipertuan Agung hanya berkuasa selama 5 tahun dan akan digantikan dengan penguasa monarki dari negeri lain dalam persekutuan. Pada zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki konstitusional, yaitu penguasa monarki yang dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi. Monarki demokratis berbeda dengan konsep penguasa monarki yang sebenarnya. Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis. Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, penguasa monarki biasanya ketua agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang Dipertuan Agung merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania Raya dan negara di bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah Gubernur Agung Gereja Inggris. Meskipun demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat simbolis saja. Selain penguasa monarki, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah. Jabatan penguasa monarki dijabat secara turun temurun. Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku, sebuah kecamatan atau distrik, sampai sebuah pulau besar atau benua (kekaisaran). Kepala adat turun temurun pada desa adat di Maluku yang disebut negeri dipanggil dengan sebutan raja. Raja yang menguasai sebuah distrik di Timor disebut liurai. Sebuah kerajaan kecil (kerajaan distrik) tunduk kepada kerajaan yang lebih besar yang biasanya sebuah Kesultanan. Kerajaan kecil sebagai cabang dari sebuah kerajaan besar tidak berhak menyandang gelar Sultan (Yang Dipertuan Besar), tetapi hanya boleh menyandang gelar Pangeran, Pangeran Muda, Pangeran Adipati, atau Yang Dipertuan Muda walaupun dapat juga dipanggil dengan sebutan Raja. Sebagian wilayah kerajaan kecil (distrik) di Kalimantan diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada pihak-pihak yang berjasa kepada kolonial Belanda. Tidak semua bekas kerajaan dapat dipandang sebagai sebuah bekas negara (kerajaan). Kerajaan-kerajaan yang mempunyai perjanjian dengan pihak kolonial Belanda merupakan negara yang berdaulat di wilayahnya. Contoh monarki di Indonesia: Kesultanan Banten (Sultan Banten), Kasunanan Surakarta (Sunan Surakarta), Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Sultan Yogyakarta), Kadipaten Mangkunegaran (Pangeran Adipati Mangkunegara), Kadipaten Paku Alaman (Pangeran Adipati Paku Alam), Kesultanan Cirebon (Sultan Cirebon), Kesultanan Banjar (Sultan Banjar), Kerajaan Pagatan (Pangeran Muda Banjar), Kerajaan Kubu, Kesultanan Bulungan, Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Paser, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Sambas, Kesultanan Deli (Sultan Deli), Kesultanan Langkat (Sultan Langkat), Kesultanan Lingga, Kesultanan Pelalawan, Kesultanan Siak (Sultan Siak), Kesultanan Serdang (Sultan Serdang). Kepala negara mempunyai gelar berbeda di negara yang berbeda sesuai dengan bentuk negara tersebut: Raja, Ratu (Arab Saudi, Eswatini, Thailand, Britania Raya, Maroko, Spanyol), Emir (Kuwait, Qatar), Kaisar (Jepang), Pangeran (Monako), Haryapatih (Luksemburg), Sultan (Brunei, Oman), Yang di Pertuan-agong (Malaysia), Paus (Vatikan).(Wikipedia)
Pada era VOC di Hindia Timur, orang asing (dari Eropa) masih menemukan kerajaan-kerajaan besar, kepada pemerintahnya mereka berinteraksi dan menjalin kerjasama serta membuat perjanjian-perjanjian. Kerajaan-kerajaan ini sangat banyak, mulai dari yang skala besar (wilayah yurisdiksi yang luas dan penduduk banyak) dan skala kecil bahkan hingga hanya setingkat kampong. Semua itu hanya karena pemahaman umum bahwa pemerintahan hanya dalam wujud kerajaan. Ada yang bersifat monarki tunggal dan ada monarki federalis atau monarki oligarki.
Pada era VOC di Jawa terdapat kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Mataram dan Kerajaan Banten, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Demak dan sebagainya. Dio Bali juga terdapat kerajaan besar berserta federasinya. Di Sumatra juga terdapat kerajaan besar seperti Pagaroejoeng, Palembang dan Atjeh. Kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra jauh lebih banyak jika dibandingkan di Jawa dan Semenanjung Malaya. Di Sumatra kerajaan besar sudah banyak yang bubar seperti Kerajaan Aru Sumatra bagian utara dan Kerajaan Pagaroejoeng di Sumatra bagian tengah dan Kerajaan Palembang di Sumatra bagian selatan. Yang masih eksis adalah Kerajaan Atjeh. Demikian juga kerajaan besar di Semenanjung Kerajaan Djohor sudah lama mati suri.
Sertelah berakhirnya kerajaan-kerajaan besar di Sumatra dan Semenanjung Malaya, kerajaan-kerajaan kecil semakin eksis dan jumlahnya semakin banyak dari waktu ke waktu. Hal itu juga yang terjadi di Semenanjung Malaya. Tipologi kerajaan-kerajaan kecil yang eksis pada era Pemerintah Hindia Belanda kurang lebih sama di Semenanjung Malaya dengan di Sumatra bagian terngah dan Sumatra bagian utara (minus di wilayah Aceh). Pasca Traktat London 1824 (termasuk tukar gulang Bengkulu dan Malaka), Pemerintah Hindia Belanda (Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan lainnya) dan Hindia Inggris (Semenanjung Malaya) di masing-masing wilayahnya mulai membentuk cabang-cabang pemerintahan.
Di Sumatra, Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang-cabang pemerintahan dengan karakateristik wilayah masing-masing (dengan pertimbangan luas wilayah, jumlah populasi dan potensi sumber daya alam). Pada tingkat yang lebih rendah (cabang Pemerintahan Hindia Belanda) diangkat pemimpi lokal apakah berdasarkan monarki atau berdasarkan federasi yang kemudian disatukan dalam wilayah yang lebih besar yang dipimpin oleh pejabat Belanda. Di wilayah Minangkabau (baca: Sumatra Barat) terdapat kerajaan-kerajaan dan juga federasi-federasi yang disebut laras; demikian juga di wilayah Batak terdapat kerajaan-kerajaan dan juga federasi-federasi yang disebut koeria. Koeria dan Laras kurang lebih sama sebagai wilayah cabang pemerintahan lokal. Sementara itu di Semenanjung Malaya, Pemerintah Hindia Inggris juga membentuk cabang-cabang pemerintahan namun ada perbedaan dengan di Sumatra. Di Semenanjung Malaya terdapat koloni khusus seperti pulau Penang dan pulau Singapoera yang bebeda dengan wilayah-wilayah lainnya di daratan seperti Selangor, Negeri Sembilan dan Djohor. .
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan-Kerajaan di Nusantara hingga Era Hindia Belanda: Situasi Kerajaan-Kerajaan pada Masa Kini
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar