*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Gaduh penggantian nama jalan
sebanyak 22 buah dan nama gedung di (provinsi) Jakarta. Mengapa gaduh? Semua
telah berbicara, tidak hanya Gubernur DKI Jakarta, warga, para ahli sejarah,
politisi dan juga Ketua DPRD DKI Jakarta. Dalam hal ini tidak ada penggantian
nama taman. Bagi warga penggantian nama jalan merasa dirugikan. Bagi ahli
sejarah dan politis terkesan ada pro kontra, terlalu mendadak dan tidak adanya
relevansi. Yang jelas menurut sejarah penamaan jalan dan taman sejak era
Pemerintah Hindia Belanda penggantian nama itu bukan siapa yang menjadi
pahlawan tetapi siapa yang berkuasa.
Pada masa ini era Republik Indonesia yang berkuasa di (wilayah) DKI Jakarta adalah pemerintah esksekutif (dipimpin oleh Gubernur) dan pemerintah legislatif (dipimpin ketua DPRD). Sayangnya dua pihak yang berkuasa (yang memiliki kuasa) di DKI Jakarta tiba-tiba Gubernur melaksanakan penggaatian plang nama jalan dengan nama-nama baru, tetapi Ketua DPRD merasa tidak pernah dilibatkan, Lho, koq! Sejarah awal pembentukan nama jalan dan taman di berbagai kota pada era Pemerintah Hindia Belanda, termasuk Batavia (kini Jakarta) dilakukan berdasarkan hukum formal berdasarkan keputusan bersama antara dewan kota (gemeenteraad) dengan Residen/Asisten Residen atau Wali Kota (Burgemeester). Pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia (1950) penggantian nama kota Batavia menjadi Djakarta dan Buitenzoeg menjadi Bogor) diputuskan pemerintah pusat (Presiden/Menteri) dan untuk nama jalan dan taman diputuskan oleh Walikota dan dewan. Yang jelas sejauh itu ada mekanismenya. Apakah masa in pemberian nama baru atau penggantian nama jalan tidak ada mekanismernya lagi? Siapa yang berkuasa atas siapa yang berkuasa?
Lantas bagaimana sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak? Seperti disebut di atas, yang berhak memberi nama baru dan penggantian nama jalan dan taman adalah yang berkuasa. Bukan siapa pahlawan tetapi siapa yang berkuasa. Lalu bagaimana sejarah sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Penggantian Nama Jalan Taman Gedung, Siapa Berhak? Bukan Siapa Pahlawan Tapi Siapa Berkuasa
Apa arti sebnah nama? William Shakespeare tidak menganggap penting. Namun nama di Indonesia begitu penting. Nama jalan di Jakarta dari dulu memang selalu dianggap penting, bahkan sejak era Hindia Belanada. Hal itu karena Batavia/Jakarta adalah ibu kota negara. Hal itulah mengapa penamaan jalan di Batavia/Jakarta sangat politis. Meski demikian penamaan jalan atau penggantian nama jalan ditetapkan secara cermat.
Pada tahun 1997 seorang teman bercerita tentang
pengalaman seorang yang baru pulang dari Jakarta. Orang yang diceritakan kawan
saya, naik bis dari kota ke Blok-M. Saat bis di sekitar jalan Hayam Wuruk ada penumpang
yang teriak ‘Hayam Wuruk ad turun?!. Lalu beberapa penumpang turun. Setelah itu
ada peumpang yang teriak lagi: ‘Thamrin ada turun?!. lalu ada sejumlah
penumpang turun. Kemudian ada yang teriak lagi ‘Sudirman ada turun?!’, beberapa
penumpang turun. Orang sekampung dari teman saya itu mulai paham bahwa jika
ingin turun harus menyebut nama pahlawan dari daerah masing-masing, seperti
penumpang dari Jawa Timur, penumpang dari Betawi dan penumpang dari Jawa Tengah.
Saat mana bus melewati CSW, orang kampung teman saya itu mulai siap-siap turun
yang saat bersamaan ada yang teriak lagi ‘Sisingamangaradja ada turun?!’
Sejumlah penunmpang turun, orang kampung teman saya itu berpikir bahwa
penunmpang yang baru saja turun pastilah orang Batak. Sudah mendekati Blok M,
orang kampung teman saya itu dengan mantap teriak ‘Haji Samin ada turun?!’, Namun
apa yang terjadi bis terus melaju tanpa henti hingga sampai di Blok M. Lalu
siapa sebenarnya Haji Samin yang diteriaki orang kampung teman saya saat mau
turun bis? Haji Samin adalah seorang tokoh penting di kampung mereka. Sang
penumpang dalam hal ini salah paham apa arti sebuah nama: yakni nama jalan.
Nama jalan adalah satu hal, kode untuk turun tidak ada asosiasi dengan nama pahlawan
adalah hal lain lagi.
Ketika terjadi pendudukan Jepang (1942-1945), nama jalan Van Heutz-boulevard diganti menjadi Djalan Imamura; Oranje-boulevard berubah nama menjadi Djalan Raya Showa; Nassau-boulevard menjadi Djalan Raya Meiji dan Rijswijk straat menjadi Djalan Istana (lihat De bevrijding: weekblad, 26-05-1945). Namun tidak lama kemudian ketika Belanda (NICA) kembali nama-nama Belanda itu dipulihkan, tetapi terminologi straat diubah menjadi jalan dan boelevarad menjadi jalan raya. Pada saat pengakuan kedaulatan Indoenesia tahun 1950 segera nama nama-nama berbau Belanda dan Cina diganti. Pada bulan Oktober 1950 pemerintah kota Djakarta mengumumkan perubahan 30 buah nama jalan termasuk di dalamnya nama Oranje Boulevard diganti sepenuhnya menjadi Djalan Diponegoro, Nassau Boulevard menjadi Djalan Imam Bondjol dan Van Heutzboulevard menjadi Djalan Teuku Umar (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1950).
Dalam hal ini pemberian nama jalan dan penggatian nama jalan jelas sangat bersifat politis. Dengan kata lain siapa yang berkuasa merekalah yang kuasa untuk mengganti nama jalan. Dalam sejarahnya, nama-nama jalan pada era Hindia Belanda seperti Oranje Boulevard, Nassau Boulevard dan Van Heutzboulevard ditetapkan oleh dewan kota (Gemeenteraad) Batavia. Hal itu karena belum lama Pemerintah Hindia Belanda menaklukkan sepenuhnya Atjeh (1905) dan seiring dengan pembangunan perumahan mewah di Menteng. Van Heutzh sendiri adalah pahlawan Belanda di Atjeh yang diusulkan nama jalan tetapi tidak ada tempat lagi, tetapi pembangunan perumahan baru usulan nama yang lama baru dapat direalisasikan. Dalam hal ini nama lama tidak mudah digantikan oleh nama baru, siapapun dia, tetapi harus menunggu jalan baru. Ingat nama jalan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion di Bandoeng adalah nama jalan baru dan nama jalan layang MBZ Sheikh MOHAMED BIN ZAYED di Jakarta-Bekasi.
Beberapa waktu yang lalu, juga dibahasa artikel dalam blog ini, ketika nama Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diusulkan menjadi nama menggantikan nama jalan Warung Buncit ditolak warga, termasuk para pegiat sejarah dan warga Betawi di Jakarta. Alasannya karena nama Warung Buncit adalah warisan sejarah dan memori kolektif penduduk Betawi. Gubernur DKI Jakarta segera paham, sehingga usulan itu ditunda dan akan dipelajari lagi. Kini, Gubernur menggantikan 22 nama jalan di Jakarta termasuk penggantian nama jalan Warung Buncit. Namun bukan namanya Jalan Jenderal Abdoel Haris Nasoetioan yang sudah diusulkan dan ditetapkan lebih dulu empat tahun lalu?
Untuk menentukan siapa yang menjadi Pahlawan
Nasional masih dibutuhkan para ahli sejarah. Namun untuk penetapan nama jalan
tidak lagi dibutuhkan ahli sejarah. Pandangan ahli sejarah menolak nama jalan
Warung Buncit diganti nama Jenderal Abdoel Haris Nasoetion karena alasan memori
kolektif penduduk mungkin ada benarnya, tetapi kini nama jalan Warung Buncit benar-benar
telah diganti, ini jelas mengindikasikan argumentasi memori kolektif penduduk
telah dilanggar. Penamaan nama jalan dan penggantian nama jalan sangat
ditentukan yang berkuasa, karena yang berkuasalah yang berhak melakukannya.
Secara historis, diantara 22 nama jalan yang diganti di DKI Jakarta, selain nama jalan Warung Buncit, nama jalan yang sudah ada sejak lampau adalah jalan Bambu Apus. Jalan Bekasi Timur, Jalan Pondok Gede, Jalan Senen, Jalan Kebon Kacang dan lainnya.
Jalan Senen sudah ada pada Peta 1930, jalan Kebon
Kacang, sudah ada dalam Peta 1931. Jalan Bekasi Timur sudah dipetakan pada Peta
1937. Jalan yang berada di Bamboe Apoes dan Pondok Gede sudah ada pada Peta
1901.
Nama-nama jalan yang telah diganti namanya, nama yang sudah lama eksis akan hilang pada navigasi (sejarah) jalan darat di Jakarta. Namun seperti disebut di atas, tidak ada hubungan nama jalan dengan nama yang bersejarah dan nama pahlawan. Nama jalan sesuai masa tergantung kepada yang berkuasa yang memiliki kuasa untuk menggantinya. Pandangan ahli sejarah diperlukan lagi dalam soal panggantian nama jalan. Sebab bila disertakan ahli sejarah dalam penentuan pengganti nama jalan bisa kredebilitasnya berkurang. Sebab penamaan dan penggantian nama jalan cenderung bersifat politis.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Penggantian Nama Jalan Taman Gedung: Mengapa Kini Kerap Pro Kontra?
Tidak demikian dengan penamaan nama tempat geografis, seperti pulau, gunung, sungai dan kota/kampong, pemberian nama jalan cenderung bersifat politis. Namun harus diingat bahwa pemberian nama jalan pada awalnya sesuai nama geografis, karena jalan yang ada atau jalan yang baru dibangun berada di atau melalui kampong tertentu atau jalan menuju tempat tertentu, seperti disebut di atas yakni Senen, Kebon Kacang, Bambu Apus dan Pondok Gede. Bekasi Timur. Bagaimana nama-nama tempat itu terbentuk dan bagaimana nama-nama jalan itu dikenal tempo dulu muncul dari hukum bilangan (publik) bukan bersifat politis tetapi bersifat sosio budaya (kearifan lokal). Sedangkan masa selanjutnya penggantian nama yang sudah ada lebih bersifat politis (suka-suka yang berkuasa).
Pada masa lampau nama-nama geografis di wilayah
DKI Jakarta yang sekarang bermula pada era Hindoe semasa kerajaan Pakwan
Padjadjaran (Soenda) seperti nama sungai Tjiliwong, Tjisoenter, Tjiangke, Tjipinang,
Tjilintjing dan lainnya. Sehubungan dengan terbentuknya populasi baru di
muara-muara sungai (mix population) nama-nama sungai atau nama cabang baru
sungai muncul dengan nama kali seperti kali Kroekoet dan nama-nama tempat
seperti Tangerang, Zunda Calapa (sebagai nama-nama Sunda di arah pedalaman
seperi Babakan, Jakarta, Bantargebang dan sebagainya. Sejak kehadiran orang
Eropa, Belanda membentuk kota baru Batavia di hilir dari kota Jakarta. Pada era
Belanda (VOC) ini muncul nama-nama kampong sesuai asal dari pemukimnya seperti
kampong Bandan (asal pulau Banda), kampong Tambora (asal Sumbawa), kampong
Bali, kampong Makasssar, kampong Jawa, kampong Sukabumi, kampong Ambon, kampong
Melayu dan lainnya. Masih pada era VOC terbentuk nama-nama land dari para
planter Eropa yang kemudian terbentuk nama-nama area seperti Sukabumi, Senen,
Tanah Abang, Kemajoran dan sebagainya. Yang jelas tidak ada kampong Betawi,
kmpong Batak dan kampong Minangkabau. Nama Batavia kemudian menjadi nama
wilayah (sementara nama Jakarta tetap eksis
tetapi hanya sebatas nama kampong awal di dekat Batavia). Populasi di wilayah
Batavia awal ini yang berbahasa Melayu dengan dialek sendiri yang merupakan mix
population dikenal sebagai warga Betawi (kini lebih dikenal sebagai etnik
Betawi). Hingga kini nama-nama geografis ini masih eksis di Jakarta/Batavia,
yang mana dalam pembentukan nama-nama jalan pada era Pemerintah Hindia Belanda
merujuk pada nama-nama geografis sebelum secara politis oleh pemerintah kota
(gemeente) Batavia mengganti nama jalan.
Pada masa lampau pemberian nama jalan biasa-biasa saja, karena terbentuk karena hukum bilangan besar (publik). Semua orang menerima apa adanya. Pemberian nama jalan baru dan penggantian nama jalan mulai gaduh pada era pemerintahan kota (gemeente). Sebagaimana pembentukan gemeente kali pertama dilakukan pada tahun 1903 yang mana terbentuknya Gemeente Batavia, seiring dengan dibentuknya dewan kota (Gemeenteraad) yang terdiri dari tokoh-tokoh penting dari pejabat pemerintaha, pengusaha Cina, Arab dan pribumi yang juga menjadi pemimpin komunitasnya. Pada tahun 1918 penentuan anggota dewan tidak lagi mewakili komunitas, tetapi mulai mengakomodir penetapan berdasarkan suatu mekanisme pemilihan (semacam pilkada masa ini). Dalam hubungan ini Dewan Kota (Gemeenteraad) dan Burgemeester (Walikota) secara bersama-sama membuat keputusan termasuk keputusan nama jalan, nama taman dan lainnya.
Oleh karena komposisi anggota dewan kota lebih
banyak orang Eropa/Belanda, dalam berbagai keputusan cenderung berbau Belanda
termasuk soal pemberian nama jalan dan penggantian nama jalan. Nama-nama jalan
lama banyak yang diubah dengan memberinya nama baru yang berbagai Belanda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar