*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Indonesia (baca: Nusantara) adalah
sejarah yang panjang dari zaman kuno. Peninggalan dari masa ke masa itu ada
yang sudah ditemukan dan dilestarikan seperti candi dan prasasti, namun diduga
masih banyak yang belum ditemukan. Penemuan baru akan terus berlangsung selama proses
pencarian terus dilakukan, apakah dengan segaja atau tidak sengaja. Belum lama
ini ada dua tempat ditemukan peninggalan zaman kuno di daerah aliran sungai Musi,
Palembang dan di daerah aliran sungai Pinangsori/Lumut, Tapanuli.
Pada bulan Oktober 2021 diberitakan ada penemuan perhiasan emas yang mana ada yang menduga peninggalan masa kerajaan Melayu kuno atau Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Perhiasan emas tersebut ditemukan warga di dasar sungai Musi Palembang (Pulau Kemaro). Selama lima tahun terakhir harta yang ditemukan itu nilainya mencapai miliaran rupiah. Salah satu harta karun tersebut berupa patung Buddha abad ke-8 yang dihiasi permata dan harganya ditaksir mencapai miliaran rupiah. Seorang arkeolog dari Inggris, Dr Sean Kingsley, mengatakan penemuan harta karun di sungai Musi Palembang selama lima tahun terakhir sangat luar biasa. Dia pun mengaitkan harta karun yang diduga peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya pada bulan Desember 2021 diberitakan penemuan harta karun di wilayah Tapanuli Tengah di (desa) Jago-Jago, Kecamatan Badiri (yang kemudian disebut situs Bongal). Penemuan warga tersebut antara lain pecahan gerabah, keramik, gelas-gelas, patung kayu, batu-batuan, koin-koin kuno yang diperkirakan berasal dari masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah pada abad ke-6. Untuk menemukan para warga menyelam di kanal dengan kedalaman satu hingga tiga meter bermodal sekop dan ember.
Lantas bagaimana sejarah temuan harta karun barang kuno jatuh di dasar laut? Seperti disebut di atas, dalam tahun-tahun terakhir ini ditemukan berbagai harta karun di dasar laut yang diduga berasal dari masa lampau. Dua tempat yang terkait barang-barang kuno berharga ditemukan di daerah aliran sungai Musi dan daerah aliran sungai Pinangsaori/Lumut (Tapanuli). Lalu bagaimana sejarah temuan harta karun barang kuno jatuh di dasar laut? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Temuan Harta Karun Barang Kuno Jatuh di Dasar Laut; Kapal Karam dan Harta Karun
Ada perbedaan sejarah di Teluk Tapanuli dengan sejarah di daerah aliran sungai Musi Palembang. Dalam konteks inilah kita membicaraka temuan barang kuno di pulau Kemoro, sungai Musi di Palembang dengan temuan barang kuno di Jago-Jago daerah aliran sungai Pinangsori, Tapanuli. Dua wilayah dimana ditemukan barang kuno yang terpendam di dasar tanah/eks perairan menjadi menarik perhatian, karena barang kuno yang ditemukan adalah mirip barang berharga di zaman kuno.
Sejauah ini data sejarah daerah aliran sungai Musi, khususunya di daerah
Palembang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan daerah aliran sungai Pinangsori.
Sungai Musi dalam hal ini adalah sungai besar, yang berhulu jauh di pedalaman
di lereng pegunungan Bukitbarisan. Prasasti Kedoekan Boekit yang ditemukan di
Palembang yang berasal dari abad ke-7 mengindikasikan wilayah Palembang sudah
dikenal sejak zaman kuno. Pasca (kerajaan) Sriwijaya, di Palembang terbentuk
kerajaan besar yakni kerajaan Palembang yang sudah dikenal sejak era Portugis.
Sementara itu sungai Pinangsori yang juga dikenal dengan nama sungai Lumut
hanyalah sungai kecil yang berhulu di lereng Bukitbarisan di sebelah barat
sungai Batangtoru. Kampong pertama di daerah aliran sungai Pinangsori adalah
Lumut, kemudia dikenal nama Pinangsori di hilir dan selanjutnya pada era Hindia
Belanda dibangun pelabuhan di muara sungai yang disebut Jago-Jago. Keberadaan
kampong Pinangsaori dan kampong Lumut kali pertama dilaporkan botanis Inggris Charles
Miller tahun 1772.
Sejarah daerah aliran sungai Pinangsori minim data sejarah, tetapi wilayah di sekitar memiliki sejarah yang cukup banyak hingga ke masa lampau di zaman kuno. Daerah aliran sungai Pinangsori berada diantara dua wilayah yang dikenal sejak zaman kuno yakni Baroes di sebelah utara dan Angkola/Mandailing di selatan. Pada awalnya pelabuhan Angkola berada di muara sungai Batangtoru tetapi kemudian bergeser ke muara sungai Pinangsori/Lumut, hingga pada akhirnya ke Jaga-Jaga (sebelum pelabuhan Sibolga berkembang).
Pada era Charles Miller, 1772 pelabuhan di Teluk Tapanuli berada di
kampong Tapian Naoeli, sedangkan pos perdagangan Inggris berada di pulau Pontjang
Ketjil. Pada saat ekspedisi Miller ke Angkola, Miller berganti perahu dengan
sampan di muara sungai lalu menyusuri sungai dimana kampong pertama ditemukan
Pinangsori. Miller mengakhiri pelayaran sungainya di kampong yang lebih besar
di Lumut. Dari Lumut dengan menyeberangi sungai Batangtori di atas jembatan
gantu menuju wilayah Angkiola. Jembatan gantung ini diduga mengindikasikan
Lumut adalah pelabuhan (terdekat) Angkola pada saat itu. Jauh di masa lampau di
zaman kuno pelabuhan diduga berada di muara sungai Batangtoru di kampong
Sangkunur (dilalui jalan daari Lumut, jembatan gantung, Sangkoenoer hingga
Angkola). Sangkoenoe adalah nama kuno, nama yang juga ditemukan di India.
Secara geomorfologis, Teluk Tapanuli pada masa ini adalah bentuk akhir dari suatu teluk besar di zaman kuno. Pada masa itu di teluk besar ini terdapat satu sungai besar yakni sungai Batangtoru (berhulu di Silindoeng) dan sungai-sungai kecil lainnya seperti sungai Lumut. Di sisi selatan muara sungai Batangtoru inilah kemudian terbentuk kampong tua Sangkoenoer yang menjadi pelabuhan Angkola. Sementara di arah selatan pelabuhan ini ditemukan danau pegununganyang berada tidak jauh dari belakang pantai (danau Siais). Daerah seputar danau Siais dan kampong Sangkoenoe di pantai di teluk (besar) Tapanoeli diduga adalah pusat peradaban awal di pantai barat Sumatra.
Dalam catatan geografis Ptolomeus abad ke-2 disebutkan bahwa sentra
produksi kamper berada di Sumatra bagian utara. Dalam peta Ptolomeus (peta
semenanjung Aurea Chersonesus) di sebelah pantai barat laut yang diduga pulau
Sumatra diidentifikasi nama tempat Tacola. Besar dugaan Tacola adalah nama
Angkola, dan kamper memang secara historis hanya diproduksi di Tanah Batak.
Dalam perkembangannya di daerah Tacola/Angkola ini terbentuk pelabuhan Sangkoenoer
yang diduga sebagai pelabuhan ekspor kamper. Pada abad ke-5 menurut catatan Eropa
disebut kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Baroes. Besar dugaan Baros
adalah pelabuhan baru dimana kapal-kapal manca negara melakukan transaksi (pelabuhan
internasional), sementara pelabuhan Sangkoenoer redup menjadi hanya pelabuhan
feeder (pelabuhan local). Dalam perkembanganya diduga pusat peradaban Angkola
telah bergeser dari danau Siais ke suatu danau besar di pedalaman (danau
Siabu). Di Danau besar Siabu ini dua sungai besar bermuara yakni sungai Batang
Angkola dan sungai Batang Gadis. Sungai Batang Angkola berhulu di danau Siais.
Danau Siabu ini sedniri pada saat itu adalah danau pegunungan yang berada dekat
di belakang pantai. Sebagai pusat peradaban di Angkola di danau Siabu diduga
menjadi sebab dibangunnya candi di sisi timur danau Siabu di lereng gunung
Malea (merujuka pada nama Himalaya).. Candi tua tersebut kini disebut candi
Simangambat (yang seumur dengan candi-candi di Jawa Tengah seperti candi Borobudur.
Dalam perkembangannya teluk besar Teluk Tapanuli semakin lama semakin menyempit karena terjadinya proses sedimentasi jangka panjang. Massa padat yang dibawa sungai Batangtoru (lumpur dan sampah vegetasi) menyebabkan terbentuk rawa besar di muara sungai yang kemudian lambat laut menjadi daratan. Sungai Batangtoru sendiri mencari jalan sendiri diantara rawa menuju laut. Kampong Sangkoenoer kemudian menjadi seakan jauh di pedalaman (hal itu juga seiring dengan pusat peradaban bergeser dari danai Siais ke danau Siabu di pedalaman).
Akibat proses sedimentasi jangka panjang dan pergeseran pusat peradaban, perdagangan
dari Angkola memindahkan pelabuhan dari Sangkoenoe ke Lumut di muara sungai
(dengan membangun jembatan gantung di atas sungai Batangtoru). Pada saat itu Lumut
berada di pantai di Teluk Tapanuli dimana sungai Lumut bermuara. Namuan proses
sedimentasi jangka panjang terus berlanmgsung sehingga muara sungai Lumut terus
bergeser ke arah pantai hingga pada suatu masa terbentuk kampong Pinangsori.
Dalam konteks inilah diduga kuat, sejak zaman kuno di wilayah perairan Teluk Tapanuli hilir mudik berbagai kapal mancanegara. Jauh sebelum terbentuk pelabuhan internasional di Baros di Teluk Tapanoeli pusat perdagangan berada di pelabuhan Sangkoenoer. Lalu bagaimana dengan penemuan barang kuno di Jaga-Jaga di daerah aliran sungai Pinangsori/sungai Lumut?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kapal Karam dan Harta Karun: Bagaimana Bisa Ditemukan di Daerah Aliran Sungai Musi dan Daerah Aliran Sungai Pinangsori/Lumut (Tapanuli)
Penemuan prasasti Kedoekan Boekit di Palembang yang diduga berasal dari abad ke-7 mengindikasikan bahwa daerah aliran sungai Musi di Palembang begitu penting. Dalam prasasti itu (termasuk keterangan di dalam prasasti Talang Tuwo dan prasasti TeLaga Baru) mengindikasikan Palembang saat itu dibentuk suatu otoritas kerajaan (Sriwijaya). Otoritas kerajaan baru ini menjadikan subjek penduduk di seluruh Sumatra bagian selatan (Palembang, Bangka, Jambi dan Lampung).
Pada masa itu di abad ke-7, muara sungai Musi masih berada di kota
Palembang yang sekarang. Tempat dimana prasasti Kedoekan Boekit (682 M)
ditemukan di suattu bukit, secara geomorfologis bukit tersebut diduga adalah
suatu pulau kecil di dalam suatu teluk besar yang tepat berada di depan muara
sungai Musi. Gambaran teluk besar ini seakan kita membandingkan gambaran teluk
besar di Tapanuli pada zaman itu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar