*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Peperangan, diantara perdamaian, perbudakan
dan bajak laut adalah praktek yang sudah ada sejak zaman kuno (bahkan hingga
ini hari). Hanya bentuknya yang agak berbeda. Perdagangan adalah sumber kemakmuran
untuk membangun dan mengembangkan kekuasaan yang lebih besar (imperium).
Demikian juga yang terjadi di wilayah nusantara. Salah satu yang diperdagangkan
dalam konteks ini adalah hasil penculikan penduduk dan tawanan perang. Dala
hubungan inilah praktek bajak laut menjadi sumber perdebatan akademik.
Budak dan praktek perbudakan adalah sistem berlaku umum sejak zaman kuno, di seluruh muka bumi. Adanya orang Afrika di (benua) Amerika tidak sepenuhnya soal migrasi dan penempatan pekerja dalam dunia perdagangan, pertambangan dan perrtanian, tetapi juga di dalamnya ada bagian dari praktek perbudakan yang dihubungkan dengan perdagangan (dalam hal ini termasuk perdagangan manusia). Tidak ada hukum internasional yang melarang praktek itu. Intensitas itu dengan jelas terjadi pada era Portugis di nusantara. Pada era VOC, kapal-kapal Belanda dari Belanda ke Hindia Timur dan sebaliknya, dipersenjatai dan pelayaran dilakukan dengan rombongan (konvoi). Kejadian pertempuran dengan para bajak laut terjadi lautan Hindia, pantai-pantai Afrika bahkan hingga sekitar Giblartar. Pemerintah VOC juga memanfaatkan hasil perdagangan budak dengan membeli di pasar gelap bahkan tidak hanya para pimpinan kerajaan-kerajaan dan juga para bajak laut. Praktek ini tetap massif pada era Pemerintah Hindia Belanda. Konvensi soal perdagangan manusia kemudian diratifikasi Kerajaan Belanda yang dengan sendirinya Pemerintah Hindia Belanda mengikuti dan mulai melakukan Tindakan secara bertahap (pembebasan budak) dan juga tidakan pencegahan praktek perdagangan budak yang di belakangnya juga berdiri para bajak laut, bahkan ada yang bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan.
Lantas bagaimana sejarah bajak laut di Bangka Belitung Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda? Sepereti disebut di atas, praktek bajak laut sudah ada sejak lama, bahkan di wilayah perairan pantai timur Sumatra. Orang-orang Eropa tidak membedakan praktek bajak laut sebagai criminal dengan bajak laut yang diorganisasikan (termasuk oleh negeri atau kerajaan-kerajaan). Dalam hubungan ini, ada hak tradisional di satu sisi sebagai hak ulayat laut dan upaya penghapusan perbudakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang notabene juga terkait dengan praktek bajak laut. Lalu bagaimana sejarah bajak laut di Bangka Belitung Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Bajak Laut dan Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda; Hak Ulayat Laut dan Penghapusan Perbudakan
Praktek bajak laut di Nusantara sudah lama ada. Sebelum kehadiran pelaut-pelaut Eropa ke Hindia Timur bajak laut ditemukan di pantai timur Sumatra (lihat Mendes Pinto, 1537). Bajak laut itu menurut Pinto adalah pasukan di sisi luar Kerajaan Aru yang disebut dipelihara oleh Raja Aru (sebagai pagar pertama kerajaan).
Pada
saat pelaut-pelaut Portugis membuka hubungan dagang di Canton tahun 1519,
mencoba membangun benteng pertahanan di suatu pulau kecil di muara sungai
Cantom. Alasan mereka kepada Kaisar Peking melalui cabang pemerintahannnya di
Canto, karena khawatir terhadap ancaman para bajak laut dari lautan. Namun pada
akhirnya Kaisar Tiongkok meminta mengusir pelaut-pelaut Portugis, bukan karena alasan,
bajk laut, tetapi begitu banyaknya laporan banyak perempuan muda yang diculik
di daratan (olej para penculik) yang diduga dijual kepada orang-orang Portugis
di balik benteng. Akhirnya, pelaut Portugis hengkang setelah diserang pasukan
Canton, dan lalu kemudian pedagang-pedagang Portugis membuka hubungan dagang
tahun 1524 dengan Broenai yang dipimpin oleh Jimenez. Satu laporan yang penting
yang perlu dikutip disini pada tahun 1550 pelaut-pelaut Portugis menemukan
jalan menemui celah (selat Sunda) dari pantai barat Sumatra ke pantai timur
Sumatra di Malaka, menyebabkan Radja Spanyol mengirim surat apresiasi kepada
raja Portugis (karena selama ini Kawasan selat Sunda dikuasasi oleh para pajak
laut yang selalu ditakuti oleh pelaut-pelaut Eropa)..
Meski praktek bajak laut sangat menyebar di seluruh dunia, namun berita terkait kejadian di Hindia Timur tidak ada lagi yang terinformasikan hingga kehadiran pelaut-pelaut Belanda (sejak 1597). Ekespedisi kedua Belanda (berangkat dari Texel 1599), yang dipimpin oleh Oliver Noort menyebutkan mendapat serangan dari bajak laut ketika kapalnya ingin menuju pelabuhan Broenai (Borneo Utara). Apakah cara yang dilakukan oleh Kerajaan Brunai sama dengan yang dilakukan oleh Kerajaan Aru? Menurut Mendes Pinto, sebagian tentara Kerajaan Aru didatangkan dari Jambi, Indragiri, Broenai dan Luzon. Dalam hal ini, bajak laut adalah suatu komplotan yang dipelihara oleh kerajaan-kerajaan, yang ke dalam menjadi pagar pertahanan pertama, dan keluar para bajak laut memungkinkan para pendatang dari berbagai wilayah (manca negara) menjadi psy-war.
Kejadian
perampokan di laut oleh para bajak laut dating dari sumber pelaut-pelaut
Belanda. Sejumlah kapal mereka yang dalam perjalanan ke Hindia Timut mendapat
serangan bajak laut di lautan Hindia, pantai-pantai Afrika dan bahkan di Kawasan
Gibraltar. Oleh karenanya sejak pedagang Belanda dengan bendera VOC, baik yang
datang maupun pulang, kapal-kapal VOC selalu berlayar beriringan (konvoi).
Pasca Kerajaan Mataram menyerang Batavia (1629), saat konvoi kapal VOC
berangkat dari Batavia menuju Belanda dipimpin oleh seorang admiral (jenderal Angkatan
laut). Harus diingat bahwa muatan kapal-kapal Belanda/VOC berisi barang
berharga yang menjadi sasaran bajak laut di perairan luas, yang hasil rampokannya
dapat diperdagangkan di Pelabuhan lain. Para bajak laut juga ada yang
terorganisir baik dengan persenjataan lengkap. Dalam hal ini, diduga kuat ada
pihak lain (kerajaan-kerajaan tertentu) yang mensponsori para bajak laut.
Masih pada era VOC, perairan selat Safe (antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa) sangat jarang dilewati pelaut Eropa, terutama Inggris yang sudah membuka koloni di Australia, karena sering menjadi sasaran para perompak. Oleh karenanya satu-satunya jalan aman adalah melalui selat Lombok (antara pulau Bali dan pulau Lombok). Kawasan perairan selat Safe kerap menjadi jalur perdagangan budak. Teluk Tomini juga satu Kawasan yang dihindari oleh pelaut-pelaut Eropa pada era VOC, meski pelayaran antara Jawa (Batavia) dengan Maluku (Amboina dan Ternate) sudah sangat intens. Hal itulah mengapa peta teluk Tomini baru tergambarkan dengan baik pada era Pemerintah Hindia Belanda (sejak Angkatan lautnya melakukan eksplorasi laut ke Kawasan dan juga dalam upaya untuk mengejar para bajak laut yang melakukan aksinya di wilayan utara Ternate dan selatan pulau Buru.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Hak Ulayat Laut dan Penghapusan Perbudakan: Upaya Pengentasan Praktek Bajak Laut di Hindia Belanda
Keberadaan bajak laut wilayah perairan kepulauan Bangka dan Belitung dilaporkan pada tahun 1821. Hal ini terkait dengan gangguan yang dihadapi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Palembang. Disebutkan angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda di sekitar selat Bangka harus menghadapi dua kekuatan, di utara perlawanan terhadap eksis yang terjadi di Palembang, dan di selatan perlawanan terhadap para bajak laut, yang berhasil di clearence di sekita pantai Toboali yang kemudan para bejak laut ke arah pulau Lepar. Menurut sumber Belanda, para bajak laut ini diduga dipelihara oleh salah satu pangeran Palembang.
Pada
saat situasi kerusuhan di Palembang yang berekses ke pulau Bangka, Pemerintah
Hindia Belanda mengangat pejabat Residen di Bangka yang berpangkat Letnan
Kolonel yang berkedukan di Muntok. Di satu sisi, Residen komandan ini berhasil
membebaskan kepulauan Bangka dan Belitung dari keberadaan para bajak laut, dan
di sisi lain, pada masa ini menjadi awal pembentukan cabang pemerintahan Hindia
Belanda di Bangka (pulus Belitung). Sejak ini pulau di wilayah perairan selat
Gaspar dan selat Karimata aman dari ancaman para bajak laut.
Pada tahun 1833 keberadaan bajak laut dilaporkan berada di hilir sungai Bartanghari (Jambi). Boleh jadi, para bajak laut yang awalnya beroperasi di seputar pulau Bangka telah bergeser ke arah utara di pnatai timur Sumatra (muara sungai Batanghari). Sultan Jambi kemudian, keberatan dan menutup akses perdagangannya dari dan ke luar, lalu meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang. Para bajak laut kemudian berhasil diusir. Konsekuensionya, Sultan Jambi membuat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda dimana pejabat Belanda ditempatkan di Moara Kompeh dengan hak pemungutan bea dan cukai atas kapal-kapal yang keluar masuk (inilah awal koloni Pemerintah Hindia Belanda kali pertama di wilayah yang selama ini independent di wilayah Kesultanan Jambi. Lalu kemana para bajak laut pindah, atau apakah para bajak laut menghilang?
Satu
peristiwa penting lainnya dalam hubungannya dengan navigasi pelayaran
perdagangan muncul dari pantai timur Botneo. Disebutkan satu kapal Inggris yang
berlayar dari arah utara melalui selat Sulawesi dihantam ombak dan terdapat di
pantai timur wilayah Brauw. Kapal ini disita, dipreteli. Kapten kapal dan beberapa
crew yang sempat ditawan dan dijadikan budak, berhasil melarikan diri dan melaporkan
kejadiannya di pantai barat Sulawei (Mamejoe). Pemerintah Inggris di Singapoera
(dan Laboean) serta Pemerintah Hindia Belanda d9 Batavia Tindakan local ini
terhadap korban kapal karam dan kapal terdampar adalah criminal (mungkin merujuk
pada hukum Eropa). Sementara menurut orang local hal itu adalah hak (teritori).
Perkara serupa di wilayah Bali yang disebut (hukum Tawan Karang, yang bahkan
menjadi pemicu terjadinya Perang Bali, 1846). Jika merujuk pada dua kasus ini (hukum
Tawan Karang) sejatinya adalah hak local, hak ulayat laut, yang boleh jadi
sudah berlaku lama sejak zaman kuno, sebagaimana sejumlah kerajaan di selat
Malaka terindikasi memelihara para bajak laut, namun pada era navigasi pelayaran
perdagangan Eropa di Hindia Timur/Hindia Belanda dianggap praktek melawan hukum.
Seiring dengan peningkatan kekuatan Angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda (semakin banyak jumlah kapal perang dan semakin dilengkapi persenjataan), Angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda menjadi semacam polisi laut, yang terus berpatroli di seluruh laut Hindia Belanda. Selain melakukan tugas ekspedisi pemetaan laut, tugas pengamanan wilayah Hindia Belanda dari invasi asing, juga kerap mendapat laporan gangguan dari penduduk adanya para bajak laut, yang lalu segera melakukan pengejaran dengan kapal-kapal perang tersebut.
Pada
tahun 1846 Pemerintah Inggris di Penang dan Singapora, mengirim nota ke
Pemerintah Hindia Belanda, bahwa telah terjadi perambokan dan penculikan di
wilayah Kedah, yang mana para korban dibawa dimana kemudian para perompak
diketahui memasuki perairan Hindia Belanda kea rah pantai timur Sumatra.
Residen Riau yang berkedudukan di Tandjoeng Pinang (Bintan) segera memimpin
pengejaran dengan mengerahkan tiga kapal perang. Menurut laporan navigasi, kapal-kapal
bajak laut tersebut diduga telah memasuki daerah aliran sungai Batang Toengkal.
Residen Riau yang tengah menurunkan jangkar di muara sungai Batang Tungkal
mengirim surat pemberitahuan kepada pejabat pemerintah di Moeara Kompeh
setingkat Controleur (sebagai Tindakan koordinasi antar daerah/wilayah
pemerintahan dan permintaan bantuan). Sebelum keberangkatan Conrtroleur menemui
Residen dengan muara sungai Toengkal melakukan koordinasi dengan Sultan Jambi
(dan juga mengkonfirmasi apakah terlibat dalam kasus perdagangan orang tersebut).
Sultan sebaliknya mendukung dan bersama Controleur berangkat ke muara sungai Toengkal.
Oleh karena tiga kapal dengan tonase tinggi tidak bisa memasuki Kawasan sungai
ke pedalaman lalu dengan sekoci dan perahu-perahu bantuan Controleur dan Sultan
pasukan dikerahkan ke pedalaman, Akhirnya para pajak ;laut ditemukan berdiam di
suatu kampong dimana penduduk ketakutan dengan para pajak laut. Pasukan akhirnya
hanya menemukan dua para pajak laut yang sakit sedangkan selebihnya telah
melarikan diri melalui darat, Di kampong ini berhasil ditemukan orang-orang
yang diculik sebanyak 27 orang, laki perempuan dan anak-anak (lalu kemudian
para korban setelah difasilitasi oleh Contreleur setelah sehat, dikirim Kembali
ke kampong halaman mereka di Semenanjung Malaya.
Dalam laporan angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda tahun 1852 disebutkan sejumlah perairan yang mendapat gangguan di laut dari para bajak laut. Salah satu kawasan yang disebut dimana kapal angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda mengejar para bajak laut berada di perairan (kepulauan) Lingga. Apakah kini para bajak laut tetap eksis dan kini beroperasi di kawasan perairan Lingga (di utara Bangka dan Belitung)? Bagaimana cara mengentaskan para bajak laut, praktek yang telah berlangsung sejak zaman kuno di berbagai wilayah?
Sejauh
masih ada laporan adanya gangguan para bajak laut di kawasan tertentu, selama
itu pula sebenarnya perdagangan manusia masih ada, yakni dengan penculikan penduduk
di wilayah yang lemah dan menjualnya di wilayah lain. Dalam hal ini perdagangan
manusia melalui kontribusi para bajak laut adalah satu hal, sementara
keberadaan para budak diantara orang-orang kaya pribumi termasuk keluarga kerajaan,
hubungan antara dua hal jelas saling terkait. Dengan kata lain, sejauh kepemilikan
budak dianggap sebagai suatu asset (termasuk kerajaan-kerajaan) dan tetap
dibutuhkan sebagai tenaga kerja para pemilik lahan, rantai bajak laut tidak akan
putus di perairan dari satu wilayah dengan wilayah yang lain. Seperti disebut
di atas di kawasan yang berdekatan, dimana bajak laut awalnya diketahui di
Bangka, bergeser ke hilir sungai Batanghari, dan kemudian diketahui pernah
melarikan diri dari daerah operasinya di pantai barat Semenanjung Malaya ke daerah
aliran sungai Batang Tungkal dan kemudian yang terakhir dilaporkan di perairan
Lingga.
Pada tahun 1860an awal. atas desakan para organisasi zending mendesak Pemerintah Hindia Belanda untuk meratifikasi hukum internasional tentang perbudakan. Pemerintah Hindia Belanda awalnya keberatan kemudian meratifikasinya dengan menerbitkan ordonansi pembebasan para budak. Kebijakan baru dianggap pemerintah berat, karena akan menyebabkan pengeluaran pemerintah membengkak untuk pembebasan (membayar para pemilik budak). Namun tentunya pemerintah dapat melihat sisi baiknya, karena akan dapat memotong rantai bajak laut di lautan yang dapat membuat navigasi pelayaran perdagangan di laut menjadi lebih aman.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar