*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Provinsi Bangka dan Belitung pada masa ini,
tidak lagi soal timah, tetapi juga sudah bisa membicarakan soal pertanian tanaman
pangan. Pada masa lampau, diantara pertambangan timah, penduduk pada era Hindia
Belanda juga mengusahakan perkebunan lada. Oleh karena di Bangka Belitung
kurang dikenal sagu, kebutuhan pangan, terutama beras, sangat tergantung dari
impor dari Jawa. Saat permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di (ulau) Bangka
dan (pulau) Belitung soal pertanian kurang terinformasikan. Hanya soal timah.
Apakah penduduk di Bangka dan Belitung ada yang mengusahakan pertanian (tanaman)
pangan?
Sejauh ini tidak ditemukan narasi sejarah tentang pertanian (tanaman) pangan di (provinsi) Bangka dan Belitung. Apakah tidak ada sejarahnya? Yang jelas (perkebunan) lada yang memiliki sejarahnya sendiri. Seperti dinarasikan Jelajah. Kompas (.com), kebun lada pertama di Bangka diusahakan oleh orang-orang Cina yang ditanam berdekatan dengan kawasan pertambangan timah. Mereka sehari-hari bekerja di tambang timah dan pada waktu senggang menanam dan merawat tanaman ladanya. Inilah awal sejarah lada di Bangka. Pada awal abad ke-20, petani pribumi Melayu mulai tertarik menanam lada. Hal itu tak bisa lepas dari mudahnya mengurus tanaman lada dan cocok diintegrasikan dengan tanaman ladang serta komoditas itu lebih mudah dijual dengan harga tinggi. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan kepada warga pribumi untuk menanam lada sehingga lada menjadi tanaman yang disukai pribumi. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda hanya mengenakan syarat agar lokasi kebun harus paling sedikit berjarak 1,5 kilometer dari tambang timah dan pekebun lada tidak dikenai pajak penanaman lada. Pajak hanya dipungut oleh penguasa lokal 1 persen dari penjualan. Kemudian, lada disebarluaskan ke Pulau Belitung dan Manggar yang tercatat sebagai daerah pertama yang menanam lada. Tahun 1920-an, perkebunan lada di Bangka dan Belitung mencapai masa keemasannya. Tahun 1926, misalnya, jumlah tanaman lada mencapai 7 juta pohon. Setahun kemudian bertambah menjadi 9 juta pohon dan berkembang hampir tiga kali lipat menjadi 20 juta pohon pada 1931. Alhasil, ekspor lada dari Banga Belitung pada tahun 1931 pun tercatat lebih dari 12.000 ton, sementara ekspor lada Hindia Belanda kala itu 14.000 ton. Dunia lada telah bersaing dengan dunia timah. Bagaimana dengan tanaman pangan khususnya padi? Konon, karena beras, penduduk Bangka dan Belitung dipimpin orang berasal dari Jawa.
Lantas bagaimana sejarah pertanian di Bangka dan Belitung dan impor beras dari Jawa? Seperti disebut di atas, dari masa ke masa pulau Bangka dan pulau Belitung lebih dikenal dengan (pertambangan) timah. Namun dalam perkembangannay pertanian lada mulai mendapat perhatian, tanpa tetap meninggalkan pertambangan timah. Namun bagaimana dengan tanaman pangan? Lalu bagaimana sejarah pertanian di Bangka dan Belitung dan impor beras dari Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pertanian di Bangka Belitung dan Impor Beras dari Jawa; Pertanian Lada versus Pertambangan Timah
Sejarah pertanian terkait dengan sejarah populasi (penduduk). Tidak ada angka yang pasti berapa jumlah penduduk di kepulauan Bangka dan kepulauan Belitung hingga Sensus Penduduk tahun 1930. Meski demikian, berdasarkan pengakuan penduduk di masa lampau, umumnya penduduk Bangka Belitung berasal dari pantai timur Sumatra. Kehadiran tenaga kerja yang didatangkan dari Tiongkok telah memperkaya keragaman populasi dan secara signifikan bertambah.
Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk 1930 menunjukkan untuk residentie Bangka en Onderh. total
populasi sebanyak 205.333 jiwa, yang mana terdiri dari 107.482 orang pribumi,
990 warga Eropa dan orang Cina berasimilasi 96.425 orang serta 536 orang Timur
Asing lainnya. Kepadatan penduduk pada tahun 1930 adalah 17,4 per Km2.
Angka-angka di atas menunjukkan pentingnya populasi Cina, yang membentuk populasi
hampir setengah dari jumlah keseluruhan. Fenomena ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa selama bertahun-tahun banyak tenaga kerja asal Tiongkok yang bekerja di
perusahaan pertambangan timah di Bangka dan Belitung belum kembali ke Cina
setelah kontrak berakhir, tetapi menetap di Bangka dan Belitung sendiri, umumnya
dalam kegiatan perdagangan.
Tipologi wilayah (pulau) Bangka dan (pulau) Belitung kurang lebih sama. Secara geologis, Bangka Belirung sebagian besar terdiri dari batuan sedimen tua, terutama batuan pasir, lempung dan kuarsa. Sedimen ini di beberapa tempat diselingi oleh batuan beku, yaitu kompleks granit, yang bersama-sama menempati sekitar seperempat pulau dan muncul sebagai pegunungan rendah dengan lereng bukitnya. Dari batuan yang lebih muda, terutama yang penting adalah area lembah yang berbutir halus di permukaan dan sering kali mencakup lapisan pasir yang lebih kasar, yang mengandung banyak bijih timah. Lapisan-lapisan ini telah membuat Bangka Belitung memiliki potensi besar sebagai sentra produksi timah, dan tanah di dalamnya biasanya tidak tersedia untuk tujuan pertanian. Selanjutnya di rawa-rawa di pesisir pantai terjadi pembentukan gambut rendah, terutama di sekitar muara sungai-sungai kecil.
Sebagian
besar kebun lada di Bangka Belitung berada pada kawasan tanah yang termasuk
dalam tanah laterit dan tanah pasir kuarsa. Sementara itu tanah kaolinit putih,
yang berasal dari alluvium yang sudah buruk, semakin terkuras oleh ersosi dengan
air gambut, menghasilkan lempung basah atau lempung dengan nilai budidaya yang
sangat kecil. Tanah lempung hitam kaya akan bahan organik; dengan drainase dan eradifikasi
yang baik, bisa diubah menjadi area budidaya tanaman pangan yang layak. Sedangkan
di dataran rendah tanah gambut: karena lokasinya di bawah permukaan air yang
tinggi, tanah ini memiliki substrat tanah liat yang buruk dan kaku mungkin
tidak penting untuk tujuan budidaya. Pemetaan fisika dan kimia tanah di Bangka
da Belitung baru dilakukan pada tahun 1934.
Jauh sebelum dibukanya pertambangan dan kehadiran pekerja yang didatangkan dari Tiongkok, penduduk hidup dari pertanian dan perikanan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pertanian Lada versus Pertambangan Timah: Pertanian Tanaman Pangan Subsisten versus Impor Beras dari Jawa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar