*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Pada masa ini penduduk (kepulauan) Belitung
lebih dari 300 ribu jiwa. Apakah itu terbilang besar untuk seluas pulau Belitung
dan pulau-pulau di sekitar? Tampaknya tidak, relatif penduduk di wilayah seluas
yang sama di daratan (Sumatra dan Jawa). Namun dengan kondisi geografis pulau
Belitung jumlah tersebut terbilang besar. Apakah dalam hal ini keberadaan
pertambangan timah di masa lampau turut berpengaruh besar? Tampaknya, iya
dengan kehadiran migran asal Tiongkok (yang kemudian menetap).
Penduduk adalah bagian terpenting dari sejarah, namun kurang mendapat perhatian dalam narasi sejarah, termasuk dalam narasi sejarah (kepulauan) Belitung. Tentu saja masalah ini terdapat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Sumatra dan Jawa. Pada masa lampau, seperti biasa besarnya populasi dipengaruhi oleh lahir, mati dan migrasi, namun net pertumbuhan penduduk secara alamiah (lahir-mati) relative rendah. Artinya tingkat kelahiran tinggi, juga tingkat kematian anak (infant/child mortality rate) juga tinggi. Faktor kesehatan yang rendah dan peperangan juga menekan angka pertumbuhan penduduk. Pengaruh migrasi menjadi salah satu factor penting dalam mempengaruhi di wilayah tujuan. Pulau Belitung dalam hal ini menjadi salah satu tujuan migran dalam kaitannya dengan perkembangan usaha pertambangan timah di pulau Belitung. Dalam konteks inilah pengaruh migran asal Tiongkok menjadi sangat khas di pulau Belitung dalam soal perubahan jumlah penduduk dan komposisi penduduk.
Lantas bagaimana sejarah perkembangan penduduk di Pulau Belitung dari masa ke masa? Seperti disebut di atas, perubahan jumlah penduduk dan komposisi penduduk pada masa lampau dan masa kini ada perbedaan untuk wilayah yang berbeda (di Indonesia). Di pulau Belitung, pengaruh migran asal Tiongkok diduga sangat signifikan. Lalu bagaimana sejarah perkembangan penduduk di Pulau Belitung dari masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Perkembangan Penduduk di Pulau Belitung Masa ke Masa; Pengaruh Signifikan Migran Asal Tiongkok
Untuk memahami perkmbangan penduduk di pulau Belitung, haruslah memulainya dengan memperhatikan hasil Sensus Penduduk tahun 1930. Dari sini dapat ditelusuri perkembangan penduduk di pulau Belitung ke masa lampau, dan juga untuk melihat perkembangan lebih lanjut penduduk Belitung hingga ke masa kini. Sensus Penduduk 1930 jauh lebih baik jika dibandingkan Sensus Penduduk 1920. Sensus Penduduk 1930 mendata penduduk di seluruh Hindia Belanda.
Sebagai
pembanding hasil Sensus Penduduk 1930 menunjukkan untuk pulau Bangka total
populasi 205.333 jiwa, yang mana sebanyak 107.482 pribumi, 990 orang Eropa dan
berasimilasi (Indo) dan sebanyak 96.425 orang Cina dan 536 orang Timur Asing
lainnya. Kepadatan penduduk pada tahun 1930 adalah 17,4 per Km2. Angka-angka di
atas menunjukkan pentingnya populasi Cina, yang hampir setengah dari jumlah keseluruhan.
Fenomena ini disebabkan oleh kenyataan bahwa selama bertahun-tahun banyak tenaga
kerja Cina yang bekerja di perusahaan pertambangan timah di Bangka namun tidak kembali
ke Cina setelah kontrak berakhir, tetapi lebih memilih menetap di Bangka.
Penduduk di (kepulauan) Belitung sebanyak 73.459 jiwa dimana penduduk pribumi sebanyak 44.378 jiwa dan orang Cina sebanyak 28.287 jiwa. Jika dibandingkan di (kepulauan) Bangka, dimana penduduk pribumi dan orang Cina hamper berimbang, di kepulauan Belitung tampak penduduk pribumi lebih banyak relatif dibandingkan orang Cina.
Secara
keseluruhan di residentie Bangka en Onderh (pulau Bangka dan pulau Belitung)
sex ratio penduduk pribumi 103 (100 perempuan berbanding 103 laki-laki).
Sementara diantara orang Cina sex ratio sebesar 250 (100 perempuan berbanding 250
laki-laki). Untuk pribumi perbandingannya dapat dikatakan normal, tetapi
diantara orang Cina tidak sebanding. Lalu apa yang mungkin terjadi? Laki-laki
orang Cina akan bersaing dengan laki-laki pribumi untuk mendapatkan perempuan
pribumi. Hal itulah diduga yang menyebabkan banyak orang Cina di Bangka dan
Belitung yang menikah dengan orang pribumi.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pengaruh Signifikan Migran Asal Tiongkok di Belitung: Era Zaman Kuno hingga Masa Kini
Pada saat permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di (pulau) Belitung, pada tahun 1856 jumlah penduduk di (kepulauan) Belitung diperkirakan 11.935 jiwa yang terdiri dari orang Belitung sebanyak 8.401 jiwa, orang Melayu sebanyak 793 jiwa, orang Sikka (orang Laut) sebanyak 2.047 dan orang Cina sebanyak 694 jiwa.
Pada
saat permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di (pulau) Bangka pada tahun
1822, tidak diketahui seberapa banyak jumlah penduduk di pulau Belitung. Yang jelas belum ada orang Cina (masih
terbatas di pulau Bangka dan jumlahnya sedikit). Berdasarkan laporan tahun
1822, diidentifikasi keberadaan penduduk yang terdiri dari orang Belitung dan orang
Laut. Di daerah aliran sungai Tjeroepoet di bagian hulu berada orang Belitung
dan di bagian hilir sungai (muara sungai) dimana kini kota Tanjoeng Pandan
berada, dihuni oleh orang Laut. Seiring dengan kehadiran orang Eropa/Belanda di
muara sungai (dengan dibentuknya benteng), orang Laut telah bergser ke pantai
utara di Seidjoek. Orang-orang Melayu sendiri disebut tidak banyak, tetapi para
pedagang Melayu (dari Lingga) sudah beraktivitas di sekililing pulau.
Populasi orang Belitung pada tahun 1822 berada di pedalaman (lebih dominan di pulau Belitung bagian selatan). Orang Belitung di pedalaman terhubung dengan pantai di pantai barat (daerah aliran sungai Tjeroepoet) dan di pantai timur di teluk Balok. Orang Laut tidak ditemukan di teluk Balok. Para pendatang di teluk Balok berasal dari Lingga dan Karimata (Melayu) serta berasal dari Jawa (pantai utara Jawa). Orang Belitung juga terhubung dengan pantai di teluk (daerah aliran sungai) Lenggang serta di teluk (daerah aliran sungai) Manggar.
Penduduk
asli (pulau) Belitung adalah orang Belitung, Orang Melayu dan orang Cina adalah
pendatang di pulau. Orang Laut juga dapat dikatakan sebagai penduduk asli pulau
Belitung. Namun karena mereka kerap berpindah, namun keberadaannya tetap di
sekitar perairan pulau Belitung seakan mereka sebagai pendatang. Namun diantara
orang Belitung dan orang Laut, diduga orang Belitung adalah penduduk yang
pertama di pulau.
Siapa orang Belitung? Yang jelas mereka dibedakan dengan orang Melayu dan orang Laut. Dalam sejarah populasi, terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi populasi di suatu pulau kecil yang terbuka dari berbagai arah seperti Belitung. Berbeda dengan pulayu kecil, di pulau besar di daratan luas seperti di Sumatra, Jawa dan Kalimantan bagian pedalaman, kelompok populasi cenderung besar dan mewarisi bahasa secara jelas, seperti orang Batak di Sumatra, orang Jawa di Jawa dan orang Dayak di Kalimantan. Bahasa-bahasa dari populasu besar di pedalaman tesebut dapat dibedakan secara tegas dengan bahasa Melayu (lingua franca).
Orang
Laut terdapat di sejumlah wilayah di Hindia Belanda, di kepulauan Riau, wilayah
perairan Semenanjung Malaya, pantai timur Sumatra, bagian utara Borneo dan
bahkan hingga Sulawesi. Bahasa orang Laut umumnya mirip dengan bahasa Melayu.
Orang Laut berbahasa (mirip) Melayu dan mobile (nomaden di laut) adalah piawai
di laut dan kerap dianggap sebagai navigator terbaik pada awal navigasi
pelayaran Eropa/Portugis. Sebagai navigator, orang Laut juga menjadi pedagang
perantara antara satu pihak dengan pihak lain.
Orang Belitung dibedakan dengan orang Melayu di pulau Belitung. Pertanyaannya: mengapa bahasa orang Belitung mirip bahasa Melayu? Jika orang Melayu di pulau Belitung adalah pendatang, dan orang Belitung (di pedalaman) dan orang Laut (di pesisir/laut) adalah penduduk asli, lantas mengapa kedua kelompok populasi memiliki bahasa mirip bahasa Melayu? Lalu, apakah populasi asli di pulau Belitung (orang Belitung dan orang Laut) awalnya memiliki bahasa sendiri? Bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu?
Golongan
populasi di Semenanjung Malaya adalah orang Semang (yang dianggap penduduk asli
dan berada di pedalaman), populasi orang Banua dan orang Sakai yang berada di
belakang pantai (tidak di pedalaman dan tidak di laut) dan orang Laut. Bahasa
orang Banoea juga mirip bahasa Melayu (tetapi berbeda dengan bahasa Semang).
Orang Banoe juga dianggap orang asli di Semenanjung Malaya, hal yang kurang
lebih sama dengan orang Sakai dan orang Koeboe di pantai timur Sumatra (yang
juga berbahasa mirip bahasa Melayu).
Dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa, pada abad ke-7 besar dugaan belum terbentuk bahasa Melayu. Salah satu hal yang dapat diidentifikasi terdapat pada prasasti-prasasti yang ditemukan di pantai timur Sumatra dan pantai barat pulau Bangka. Bahasa yang digunakan dalam prasasti tersebut adalah percampuran bahasa Sanskerta dan bahasa daerah. Bahasa Melayu sendiri diduga telah berkembang pada abad ke-13. Hal itu dapat dikaitkan munculnya nama Melayu, dalam pamalayu pada era (kerajaan) Singhasari dan (kerajaan) Majapahit.
Perkembangan
bahasa Melayu diduga berawal di pantai timur Sumatra. Hal itu karena
pusat-pusat peradaban awal ditemukan di pantai timur Sumatra sepertu sejumlah
prasasti di Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung serta candi-candi yang
ditemukan di Jambi, Kampar (Riau daratan) dan Padang Lawas (Tapanuli).
Eskpedisi yang dilakukan dari Jawa pada era Singhasari dan Majapahit juga
arahnya ke pantai timur Sumatra. Bahasa Melayu sebagai lingua franca juga telah
meluas di seluruh nusantara pada abad ke-14, seperti nama-nama tempat pusat
perdagangan yang disebut dalam Negarakertagama (1365 M). Pada fase ini
penggunaan bahasa Melayu secara keseluruhan ditemukan dalam prasasti Trenggano
(1386 M). Namun demikian, dalam prasasti-prasasti lain juga ditemukan bahasa
Batak, bahasa Jawa dan masih berlakunya bahasa Sanskerta. Dalam konteks inilah
diduga bagaimana penyebaran bahasa Melayu terjadi di pulau-pulau kecil seperti
Bangka, Lingga dan Belitung? Dalam teks Negarakertagama pusat peradaban dan
pusat perdagangan diantaranya berada di Palembang, Jambi, Kampar dan (pulau) Batam
(Riau) dan Tandjoeng Poera (pantai barat Kalimantan). Dalam teks ini tidak ada
nama tempat yang disebutkan di antara tempat-tempat tersebut baik di Lingga,
Bangka maupun Belitung serta Karimata. Boleh jadi wilayah-wilayah pulau kecil
ini merupakan wilayah perkembangan baru dimana muncul pertumbuhan populasi. Dengan
kata lain, bahasa-bahasa asli di Bangka dan Belitung serta Karimata (serta
Lingga dan Singkep) dipengaruhi oleh perkembangan bahasa Melayu yang terjadi.
Bahasa orang Bangka dan orang Belitung lambat laut menjadi mirip bahasa Melayu.
Artinya, bahasa asli di Bangka dan di Belitung menjadi punah. Lantas apakah masih
ada sisa bahasa asli orang Bangka dan orang Belitung dalam bahasa Melayu Bangka
dan bahasa Melayu Belitung pada masa ini? Tentu sangat menarik diperhatikan
secara linguistic. Dalam hal ini populasi orang Bangka dan orang Belitung sudah
ada di dua pulau sejak zaman kuno, peradaban barulah yang mengubah bahasa di
pulau-pulau bertransformasi (bergeser) menjadi bahasa mirip bahasa Melayu. Hal
serupa itu yang terjadi di pedalaman Sumatra, seperti bahasa Minangkabau dan bahasa
Kerintji. Bahasa Jawa di pulau Jawa dan bahasa Batak di Sumatra termasuk bahasa
yang tidak terlalu terpengaruh bahasa Melayu
Pada era Portugis nama-nama pulau Bangka dan pulau Belitung baru mulai terinformasikan dalam peta-peta navigasi pelataran Portugis, Sebagaimana diketahui Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Dalam waktu yang singkat pelaut-pelaut Portugis sudah mencapai wilayah-wilayah utama Hindia Timur (Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku, termasuk pembukaan pos perdagangan Portugis di pantai timur Tiongkok di Canton pada tahun 1516 (dan berakhir 1519). Pada tahun 1524 pedagang-pedagang Portugis mulai membuka hubungan dagang dengan Broenai di pantai utara Kalimantan.
Selain
kerajaan Demak di Jawa (dan juga kerajaan Pakwan Padjadjaran di wilayah bagian
barat Jawa), pada era awal Portugis ini kerajaan besar di bagian utara
khatulistiwa adalah Kerajaan Aroe Batak Kingdom. Dalam laporan Mendes Pinto
(1537) menyebutkan kerajaan Aroe di masa lalu sering menyerang kerajaan Malaka
di pantai barat Semenanjung dan orang di Malaka selalu takut kepada pasukan
kerajaan Aroe. Menurut Mendes Pinto, kekuatan kerajaan Aroe sebanyak 15.000
pasukan dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Jambi, Indragiri,
Minangkabau, Borneo dan Luzon (Filipina). Pada masa ini kekuatan dominan di
selatan khatulistiwa adalah kerajaan Demak (yang tengah mengancam kerajaan
Pakwan Padjadjaran). Ruang gerak kerajaan Demak ini diduga kuat hingga ke Palembang
di Sumatra dan Tandjoeng Poera di pantai barat Kalimantan. Dua kerajaan inilah
(Aroe dan Demak) sebagai dua matahari di Nusantara (Hindia Timur) yang satu di
utara khatulistiwa hingga Amboina di timur dan Atjeh di utara dan satu di
selatan khatulistiwa hingga Palembang di barat dan Bima di timur. Kerajaan Aroe
dalam hal ini suksesi Kerajaan Panai (di Padang Lawas dimana ditemukan banyak candi)
dan Kerajaan Demak adalah sukses Kerajaan Majapahit. Pada saat kunjungan Mendes
Pinto ke kerajaan Aroe, disebutkan kerajaan Aroe tengah berseleisih dengan
kerajaan Atjeh yang baru berkembang yang didukung militer Turki. Dalam hubungan
ini, Bangka dan Belitung diduga terhubung dengan Jawa (kerajaan Majapahit/Demak),
sementara Jambi dan Indragiri (termasuk Lingga) terhubung dengan kerajaan Aroe.
Seperti disebut di atas, pulau Bangka menjadi salah satu vassal kerajaan Sriwijaya (prasasti Kota Kapoer 686 M). Dalam hal ini Bangka dan Belitung diduga satu kesatuan pemerintahan. Setelah berakhirnya Sriwijaya (lihat prasasti Tanjoer 1030 M) suksesi kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Panai di Padang Lawas. Pada abad ke-13 terjadi hubungan intens antara kerajaan Singhasasri di Jawa dan kerajaan Panai di Sumatra. Hal itulah diduga mengapa ada satu candi di Singasari yang mirip dengan candi-candi di Padang Lawas (Panai). Dalam fase ini kerajaan Palembang di serang kerajaan Singasari (sejak ini diduga wilayah kekuasaan dua kerajaan kuat seakan berbagi yakni Panai di utara khatulistiwa (Jambi ke utara) dan Singasari di selatan khatulistiwa (Jambi ke selatan). Dalam perkembangannya kerajaan Majapahit (suksesi kerajaan Singasari) muncul gerakan dari Majapahit yang ingin menyatukan nusantara (antara selatan dan utara khatulistiwa) pada abad ke-14. Dalam konteks ini juga Bangka dan Belitung tetap terhubung ke Jawa (Singasari dan Majapahit dan kemudian Demak). Sementara Aroe (suksesi Panai) mencakup wilayah di atas khaturlistiwa mulai dari Jambi.
Pada
era kerajaan-kerajaan besar nusantara ini, bahasa Melayu yang tumbiuh sejak era
kerajaan Sriwijaya, kemudian bahasa Melayu berkembang pada era Kerajaan Panai
dan Kerajaan Singasari/Majapahit dan kemudian semakin berkembang pada era
kerajaan Malaka, kerajaan Aroe dan kerajaan Demak. Pada era inilah muncul
kehadiran kekuatan navigasi pelayaran Eropa yakni Portugis, yang mana paelat-pelaut
Portugis menaklukkan kerajaan Malaka (pada gilirannya kerajaan Atjeh
menaklukkan kerajaan Aroe). Dalam hal ini, pelaut-pelaut Portugis yang bebasis
di Malaka telah menjadikan Bangka dan Belitung sebagai bagian navigasi
pelayaran Portugis dimana dalam peta-peta mereka sudah diidentifikasi nama
pulau Bangka dan pulau Belitung.
Dengan memperhatikan sejarah lama, sejak zaman kuno (Sriwijaya), Bangka dan Belitung sudah terbuka. Dengan kata lain kedua pulau ini memiliki populasi sendiri. Namun keberadaan dua pulau ini baru terinformasikan pada era Portugis (dalam teks Negarakertagama hanya nama Palembang yang teridentifikasi). Sebagaimana banyak penulis menarasikan pulau Bangka dan pulau Belitung kemudian jatuh ke tangan kerajaan Palembang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar