*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Beberapa kota pedalaman di Indonesia memiliki
persamaan seperti Bandung dan Surakarta. Sepintas mirip kota-kota di pantai.
Yang membedakan kedua kota wilayah Bandoeng berada di ketinggian (dingin) dan
wilayah Surakarta di kerendahan (hangat). Sungai yang mengalir di tengah kota
Bandoeng, sungai Citarum mengalir ke pantai utara Jawa; sungai yang mengalir di
tengah kota Soerakarta, sungai Solo mengalir ke pantai timur Jawa.
Surakarta terletak di dataran rendah di ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m dpl, Surakarta 65 km timur laut Yogyakarta, 100 km tenggara Semarang dan 260 km barat daya Surabaya, dikelilingi gunung Merbabu (tinggi 3145 m) dan Merapi (tinggi 2930 m) di bagian barat, dan gunung Lawu (tinggi 3265 m) di bagian timur. Tanah di sekitar kota subur karena dikelilingi oleh Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa, serta dilewati oleh Kali Anyar, Kali Pepe, dan Kali Jenes. Mata air bersumber dari lereng gunung Merapi. Ketinggian rata-rata mata air adalah 800-1.200 m dpl. Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Merapi dan Lawu. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah subur. Dermaga sungai Bengawan Solo di Mojo/Silir. Wilayah kota berbatasan di utara dan timur kabupaten Karanganyar, di selatan kabupaten Sukoharjo; di barat Colomadu, Karanganyar dan kabupaten Boyolali (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah geomorfologi kota Surakarta, suatu danau besar zaman kuno? Seperti disebut di atas, wilayah Surakarta berada di dataran rendah yang datar diantara gunung Merapi dan gunung Lawu dimana sungai besar mengalir. Bagaimana kisah sungai bengawan Solo? Yang jelas air mangalir sampai jauh. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi kota Surakarta, suatu danau besar zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Geomorfologi Kota Surakarta, Suatu Danau Besar Zaman Kuno? Bengawan Solo, Air Mangalir Sampai Jauh
Tunggu deskripsi Sungai (Bengawan) Solo, airnya mengalir sampai jauh. Begitu jauhnya menjadi semacam kiasan untuk menyatakan sungainya terpanjang di (pulau) Jawa. Namun sungai Bengawan Solo pada zaman kuno tidak sejauh yang sekarang. Konon, muara sungai Bengawan Solo masih di Bojonegoro atau di Cepu. Boleh jadi di Ngawi. Mengapa?
Manusia tertua di Jawa ditemukan di Trinil, Ngawi dengan penemuan fosil yang disebut Pithecanthropus erectus. Oleh karena itu peradaban awal (mirip) manusia yang ditemukan tidak terlalu jauh di pantai. Manusia tertua lainnya, masih di Jawa, fosil yang ditemukan sebelah utara Kota Solo (Sangiran).
Kita tidak sedang membicarakan manusia purba, tetapi tentang wilayah Surakarta sejak zaman purba hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini sungai Bengawan Solo bermula di wilayah Surakarta dimana hulunya berada di lereng gunung Lawu dan lereng gunung Merapi. Dua sumber air yang bertemu di wilayah Surakarta yang ke arah hilir membentu sungai (bengawan) Solo. Diantara dua cabang sungai Bengawan Solo inilah Kota Surakarta yang sekarang (secara geomorfologi di suatu tanjong).
Sungai (bengawan) Solo yang sekarang sebenarnya tidak alamiah lagi. Sudah dirusak pada era Pemerintah Hindia Belanda. Begian hulu sungai bengawan Solo di Surakarta telah dibangun kanal sehingga ada beberapa ruas sungai di wilayah Surakarta menjadi sungai mati. Kanal-kanal ini dibangun untuk mengendalikan banjir, drainase dan pembentukan kanal-kanal cabang untuk kebutuhan perkebunan tebu. Sementara itu pada tahun 1881 muara sungai bengawan Solo di Sidajoe dirusak dengan membangun kanal, membelokkan arah sungai bengawan Solo ke Selat Madura menjadi kea rah Laut Jawa. Pembangunan kanal hilir (muara) sungai bengawan Solo ini selain untuk mengendalikan banjir dan drainasi (pembentukan lahan pertanian baru) juga untuk meminimalkan dampaknya bagi navigasi pelayaran di selat Madura (sedimentasi dan penyempitan selat). Dengan pembangunan kanal di muara ini sungai bengawan Solo menjadi semakin panjang lagi. Oleh karena itu secara alamiah, sungai bengawan Solo mengalir sampai jauh tidak sepenuhnya benar.
Gunung Merapi jelas gunung berapi aktif, gunung Lawu juga adalah gunung api yang aktif di masa lampau. Letusan dua gunung ini di masa lampau telah memberi pengaruh pada permukaan tanah (topografi) di wilayah Surakarta. Dua cabang sungai yang bertemu di wilayah Surakarta menjadi sebab kawasa Surakarta di masa lampau kerap banjir (tergenang).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bengawan Solo, Air Mangalir Sampai Jauh: Gunung Merapi dan Gunung Lawu
Sungai (bengawan) Solo dari masa ke masa semakin memanjang ke arah timur adalah satu hal. Suatu hal yang disebabkan karena ada kejadian-kejadian besar di bagian hulu sungai di wilayah pedalaman. Hal lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana situasi dan kondisi di wilayah pedalaman sendiri di sekitar pertemuan dua sungai besar (di wulayah Surakarta) yang berhulu di gunung Merapi dan gunung Lawu.
Secara geomorfologis diduga kuat sangat signifikan karena dampak yang
ditimbulkan oleh gunung Merapi dan gunung Lawu. Awalnya dampak letusan gunung Merapi
mengarah ke wilayah Surakarta. Ini dapat diperhatikan dari bentuk lereng-lereng
gunung Merapi yang membentuk celah-celah besar di sebelah timur (Boyolali/Sukoharjo/Surakarta).
Kurang lebih serupa dari dampak gunung Lawu yang mana arah dampak letusan
mengarah ke utara (wilayah Surakarta). Hal itu boleh jadi wilayah Surakarta pada
awalnya tidak aman (gunung api) dan tidak nyaman (banjir) sehingga tidak
menjadi wilayah hunian popopulasi pendduduk. Ini juga dapat diperhatikan dalam
sebaran candi-candi tua di seputran gunung Merapi berada di barat (Borobudur
dan lainnya di wilayah Magelang) dan di tenggara (Prambanan dan lainnya di
wilayah Klaten). Adanya candi di wilayah Surakarta diduga terbilang baru (setelah
aman; arah letusan gunung Merapi ke barat dan gunung Lawu menjadi tertidur) seperti
candi Sukuh di Karanganyar.
Wilayah Surakarta diduga kuat suatu wilayah yang telah berkembang di masa lampau, tetapi kemudian ditingggalkan (karena sebab alam dan kondisi alam yang tidak kondusif), tetapi dalam perkembangan berikutnya sebagai wilayah perluasan (kerajaan Mataram) mulai berkembang. Perkemmbangan yang nyata diduga baru dimulai pada era VOC/Belanda..
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar