*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Stasion
kereta api Solo Balapan sangat dikenal di Surakarta. Bagaimana sejarahnya sudah
ditulis, suatu stasion yang terbilang tua. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah
bagaimana sejarah awal pembangunan kereta api di Surakarta. Dengan demikian
dimungkinkan untuk memahami lebih lanjut bagaimana awal stasion Solo Balapang
dibangun pada masa lampau era Pemerintah Hindia Belanda.
Stasiun Solo Balapan (SLO), lebih dikenal dengan Stasiun Balapan, adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang terletak di perbatasan antara Kelurahan Kestalan dan Gilingan, Banjarsari, Surakarta; pada ketinggian +93 meter. Nama "Balapan" diambil dari nama kampung yang terletak di sebelah utara kawasan stasiun. Stasiun ini merupakan persimpangan antara jalur lintas tengah dan lintas selatan Pulau Jawa. Sementara dari arah timur yang menuju ke jalur lintas utara via Semarang Tawang maupun sebaliknya dilayani di Stasiun Solo Jebres, sedangkan KA kelas ekonomi jalur lintas selatan dan timur via Lempuyangan dilayani di Stasiun Purwosari. Stasiun Solo Balapan termasuk salah satu stasiun besar berusia tua di Indonesia (setelah Samarang NIS), dibangun oleh perusahaan kereta api pertama Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan Mangkunegara IV. Stasiun ini dibangun di lahan pacuan kuda milik Mangkunegaran. Peletakan batu pertama berlangsung pada tahun 1864, dimeriahkan dengan upacara yang dihadiri Mangkunegara IV dan mengundang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Baron van de Beele. Stasiun ini dibuka pada tanggal 10 Februari 1870 bersamaan dengan pembukan jalur ruas Kedungjati–Gundih–Solo, sebelumnya jalur Gundih–Solo direncanakan dibuka pada 1 September 1869. Jalur berikutnya, yakni jalur ruas Ceper–Solo, dibuka pada 27 Maret 1871. Pembangunan seluruh jalur kereta api rencana NIS, Samarang–Vorstenlanden dan Kedungjati–Ambarawa selesai dan diresmikan pada 21 Mei 1873 (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kereta api di Surakarta (Semarang-Jogjakarta)? Seperti disebut di atas, sejarah kereta api sudah ada yang menulis. Dalam hal ini kita berbicara dalam perspektif era baru di wilayah Surakarta pada masa Pemerintah Hindia Belanda, suatu perkembangan baru dari kereta kuda menjadi kereta besi. Lalu bagaimana sejarah kereta api di Surakarta (Semarang-Jogjakarta)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kereta Api di Surakarta (Semarang-Jogjakarta), Era Baru Wilayah Surakarta; Pedati, Kereta Kuda dan Kereta Api
Rencana untuk membangun rel kereta api Semarang-Djocjocarta via Soerakarta mengemuka kembali tahun 1862 (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-08-1862). Pada tahun 1863 rencana itu sudah menjadi RUU dan masih dalam proses di Tweede Kamer (DPR). Secara spesifik disebutkan konsesi pembangunan dan pengoperasian jaringan kereta api dari Samarang melalui Soeracarta ke Djokjocarta (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 31-03-1863). Dalam hubungannya dengan RUU tersebut sidang TK tanggal 24 Juni muncul nama Ambarawa dimana terdapat benteng Willem I (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 25-06-1863). Disebutkan ada permintaan ditambahkan jalur ke benteng Willem I di Ambarawa, dimana disebutkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak terlalu masalah karena ruasnya hanya sekitar 20 pal.
Gagasan pembangunan kereta api sendiri sudah muncul pada awal tahun 1840an. Ide ini muncul setelah dianggap di pedalaman Jawa kondusif paling tidak dari aspek keamanan (pasca Perang Jawa). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 209 tanggal 28 Mei 1842 dimungkinkan swasta mengajukan proposal. Lalu dua perwira teknik ditunjuk untuk melakukan persiapan studi kelayakan pembangunan jalur kereta api Semarang-Kedoe- Vorstenlanden (lihat Journal de La Haye, 23-08-1843). Pada tahun 1845 proposal ini ditolak pemerintah. Hal ini karena sulit memenuhi 8.000 tenaga kerja untuk 20 tahun. Perencanaan baru muncul kemudian pada tahun 1860an.
Setelah RUU final dan menjadi UU, hak konsesi mulai dilaksanakan dengan berbagai persiapan termasuk studi kelayakan. Realisasi tahap pertama dilakukan untuk ruas Semarang-Tanggung (Kedoe) sepanjang 27 Km dengan stasion di Tambaksari. Tahap kedua ruas Tanggung-Kedong Jatie (lihat Algemeen Handelsblad, 10-08-1867). Disebutkan ruas Semarang dan Tanggoeng sudah memasuki perhitungan tarif kereta. Untuk ruas Tanggoeng-Kedongjati baru dilakukan percobaan pertama.
Ruas rel kereta api Semarang-Kedong Jatie ini adalah ruas rel pertama yang dibangun di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Jalur kedua yang dibanguan ruas Batavia ke Meester Cornelis (kini Jatinegara) pada tahun 1869. Ruas konsesi Batavia-Buitenzorg diskusinya bersamaan dengan ruas Semarang-Jogjakarta tahun 1840an. Ruas Batavia-Buitenzorg awalnya melalui Bekasi, tetapi kemudian bergeser menjadi via Depok. Seperti halnya tahap pertama Semarang-Kedong Djati, di Batavia tahap pertama dari Batavia ke Meester Cornelis.
Setelah kereta api Semarang-Kedoeng Djati beroperasi tahun 1869, pada tahun 1870 muncul desakan agar kereta ap dari Tanggoeng dilanjutkan ke Solo dan Djogjakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-03-1870). Desakan tersebut terkait untuk mendukung arus garam yang tidak efisien lagi dari Soerabaja ke Solo melalui transportasi sungai (angkutan balik dengan komodi kopi). Desakan ini tampaknya direspon dan ruas Kedong Jati ke Solo. Realisasi jalur Kedong Jatie-Soeracarta sudah selesai dan pengoperasiannya dimulai pada bulan Januari 1871 (lihat De locomotief, 25-02-1871). Tidak lama kemudian, sebelum jalur diteruskan ke Jogjakarta, muncul isu di dalam sidang Tweede Kamer soal pembangunan jalur kereta api ruas Surakarta ke (pelabuhan) sungai Solo (lihat De locomotief, 11-08-1871).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pedati, Kereta Kuda dan Kereta Api: Permasalahan Transportasi pada Jalur Ekonomi Memicu Segera Pembangunan Jalur Kereta Api
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar