*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Bagaimana sejarah jalan tempo doeloe di
Surakarta? Tidak terinformasikan. Boleh jadi tidak ada yang teratarik, karena
lebih menarik sejarah jaringan jalan modern di dalam kota Surakarta. Okelah
kita bagi dua. Untuk sejarah jaringan jalan modern di dalam kota akan dibuat
artikel tersendiri. Jalan di Surakarta pada awalnya berkiblat ke timur melalui
sungai Solo, tetapi pada er VOC orientasi secara perlahan bergeser ke utara di
Semarang.
Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota Solo Awal Abad XX. Apriliandi Damar dan Sayid Basunindyo. 2014. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta (tugas; abstrak). Artikel membahas secara spesifik mengenai perkembangan dari jalan rayayang ada di kota Surakarta pada awal abad XX. Jalan raya merupakan salah satu factor yang vital dalam perkembangan suatu kota, baik dalam kegiatan ekonomi, transportasi, bahkan hingga kepentingan militer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana jalan raya yang terbentuk dan kemudian membentuk suatu kawasan yang baru yang terletak di pinggir jalan raya yang ada di Surakarta. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian mengenai jalan raya yang ada diSurakarta pada awal abad XX adalah pengumpulandata-data yang berupa arsip sezaman, surat kabar sezaman, artikel, foto, gambar, atau buku- buku referensi. Surakarta yang pada awal abad XX telah menjadi salah satu kawasan perkotaanyang ramai, hal ini karena Surakarta terdapat dua poros kerajaan besar yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Membahas mengenai jalan raya di Surakarta tidak terlepas dari Jalan Slamet Riyadi atau dulu sering disebut dengan Poerwasariweg yang merupakan jalan utama kota Surakarta dan jalan raya lama atau jalan yang digunakan dalam rute paliyan nigari boyong kedhaton dari Kartasura ke Surakarta yang disebut sebagai salah satu jalan tertua yang ada di daerah Vorstenlanden (https://www.academia.edu/)
Lantas bagaimana sejarah jalan di Surakarta tempo
doeloe? Seperti disebut di atas, kita tidak berbicara jaringan jalan di dalam
kota, tetapi awal jalan yang membentuk jaringan jalan kota itu sendiri. Dalam
hal ini dimulai dari lalu lintas (perahu) sungai ke Surabaya hingga bergeser
menjadi lalu lintas (jalan) darat ke Semarang. Lalu bagaimana sejarah jalan di
Surakarta tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Jalan di Surakarta Tempo Doeloe, Lintas Sungai ke Surabaya Jadi Jalan Darat ke Semarang; Jaringan Jalan Kota
Catatan keberadaan jalan di Surakarta sudah tergambar sejak era VOC. Ini bermula dari identifikasi jalan ekspedisi pertama VOC ke pedalaman Jawa yang digambarkan dalam Peta 1696. Dalam peta ini digambarkan jalan melewati (kampong) Kartosoera dari barat (kini Boyolali) ke timur (Karanganyar). Dalam peta yang dibuat oleh ahli geografi Belanda Francois Valentijn (Peta 1724) diidentifikasi jalan dari Semarang ke Kartosoera melalui Salatiga, lalu dari Kartosura ke Mataram (kini Jogjakarta). Ini mengindikasikan bahwa kampong/kota Kartosoera menjadi simpang tiga (ke timur, ke selatan dan ke utara).
Dalam ekspedisi tahun 1695 yang dipimpin oleh Majoor Jacob Couper peta dibuat oleh oleh landmeter/kaartenmaker Isaac de Graaff tampaknya bersesuaian dengan arah jalan raya sekarang dari Boyolali ke Kartosuro (dan Surakarta) ke Karanganyar menyeberang sungai Bengawan Solo. Satu dasawarsa kemudian dilakukan ekspedisi ke Cartosoera dimulai tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute dari arah Semarang. Tidak ada peta yang dibuat, tetapi gambaran rute dari Semarang ini diduga mirip dengan yang digambarkan oleh Frnacois Valentijn (Peta 1724) dari Semarang ke (benteng) Cartosura melalui Amba. Untuk menuju Amba (kini Amba-rawa) dari Semarang melalui Oengaran (dari utara) dan dari timur sepanjang Kali Tuntang/sungai Demak. Selanjutnya, bagaimana gambaran jalan dari dan ke Kartosura tidak terinformasikan hingga dibangun jalan trans-Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811). Pada era pendudukan Inggris yang sungkat (1811-1816) praktis tidak terinformasikan pembangunan jalan raya.
Pada 1817 gambaran rute jalan di pedalaman Jawa secara eksplisit sudah diidentifikasi. Gambaran yang dipahami pada era VOC masih kurang lebih sama dengan jalan dari dan ke Kartosura. Dalam peta Pemerintah Hindia Belanda (1817) ini Kartosoero dibedakan dengan Soerakarta. Kampong/kota Soerakarta diidentifikasi disisi utara sungai Bengawan Solo. Ini mengindikasikan kraton baru yang dulunya di Kartasura telah direlokasi ke Soerakarta. Identifikasi jalan dalam peta ini dari Semarang (yang menjadi ibu kota Inggris selama pendudukan) di persimpangan jalan trans-Java ke Soerakarta melalui Oengaran, Salatiga, Bojolali, Kartosueo terus ke Soerakarta.
Sementara itu dari Kartosoero ke Jogjakarta melalui Klaten. Dalam peta ini
juga digambarkan rintisan jalan (pengembangan jalan raya) dari Jogjakarta ke Magelang
terus ke Oengaran (nama Ambarawa belum diidentifikasi) dan ada jalan arteri
dari seberang sungai di Soerakarta kea rah timur melalui Magetan hingga Madioen.
Secara teoritis, jalan-jalan yang diidentifikasi dan ditingkat sejak era VOC adalah
jalan-jalan tradisi yang telah terbentuk sejak zaman kuno. Orang Belanda sejak
era VOC hingga awal Pemerintah Hindia Belanda sejatinya hanya mennggunakan
jalan yang ada untuk dikembangkan. Sebab biaya peningkatan kualitas jalan sudah
biaya besar apalagi biaya pembuatan jalan baru.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Jaringan Jalan Kota: Bagaimana Tumbuh dan Berkembang?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar