*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada candi di Surakarta? Tentu saja bukan
yang dimaksud candi putih yang berlokasi di Vihara Dhamma Sundara jalan Ir. H. Juanda,
Pucangsawit, Jebres. Yang dimaksud candi di Surakarta adalah candi yang berada
di wilayah Residentie Soerakarta pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa
ini wilayah residentie telah menjadi kabupaten/kota diantaranya Kota
Surakarta/Solo dan kabupaten Karanganyar. Salah satu candi yang menjadi perhatian
adalah candi Sukuh di lereng gunung Lawu. Candi lainnya di sekitar adalah candi
Cetho yang berada pada ketinggian 1.400 M di lereng Gunung Lawu.
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi Hindu secara administrasi di wilayah desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit. Situs candi dilaporkan pertama kali pada masa pendudukan Inggris tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran dimulai tahun 1928. Lokasi candi di lereng kaki Gunung Lawu ketinggian 1.186 M dpl. Candi ini berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Karanganyar dan 36 Km dari Surakarta. Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan berbeda dengan candi-candi besar di Jawa Tengah seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur bangunan juga terkesan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Candi ini menarik perhatian arkeolog Belanda, WF Stutterheim tahun 1930. Pintu utama memasuki gapura terbesar terlihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti disebut di atas, di wilayah residentie Soerakarta tempo doeloe dikenal candi di lereng gunung Lawu di kampong Soekoe. Candi gunung ini menjadi menarik karena ada perbedaan candi antar wilayah antar waktu. Lalu bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Candi Sukuh di Gunung Lawu, Residentie Soerakarta (Karanganyar); Perbedaan Candi Antar Wilayah Antar Waktu
Keberadaan candi Sukuh kerap dihubungkan nama Resident Johnson dan Letnan Gubernur Jenderal Raffles. Namun di dalam buku Raffles berjudul The Histoty of Java (1818) tidak ada yang menyinggung nama candi Sukuh. Okelah, Raffles pernah menyebutnya berdasarkan laporan Residen Soerakara Johnson. Namun itu boleh jadi Jhonson mendapat pengetahuan dari penduduk bahwa di lereng gunung Lawu ada candi.
Untuk mencapai candi Sukuh, dari Soerakarta ke arah puncak gunung Lawu
sebenarnya jalan buntu. Berbeda dengan jalan dari Soerakarta ke Jogjakarta
dimana juga ditemukan banyak candi termasuk di Klaten dan Prambanan. Artinya
candi-candi ini mudah diakses. Namun untuk mengakses candi Sukuh tidak mudah.
Memang Raffles di dalam bukunya banyak menyebut candi, tetapi tidak untuk candi
Sukuh. Boleh jadi mereka berdua yang pertama melaporkan adanya candi tetapi
bukan yang pertama melihat dan melaporkannnya.
Lepas dari soal benar tidaknya Resident Jhonson pernah melihat candi Sukuh, tetapi yang pasti yang pernah ke candi Sukuh di lereng gunung Lawu adalah Residen HG Nahuijs tahun 1818. Ini dapat dibaca dalam tulisan Togtje naar den berg Lawoe in Augustus 1818 gedaan door de heeren van Phehn en Nahuis (lihat Indisch magazijn, 1845). Disebutkan Phehn dan Nahuis menceritakan candi di lereng gunung, tetapi tidak disebut candi Sukuh. Artinya candi belum diberi nama. HG Nahuijs saat itu adalah Resident Soerakarta (siapa {Phen akan disebutkan diartikel selanjutnya).
Nama Sukuh sendiri baru muncul pada tahun 1819 (lihat Opregte Haarlemsche
Courant, 05-02-1820). Disebutkan
Gubernur
Jenderal Hindia Belanda disebutkan bersama
istrinya pada tanggal 23 Agustus berangkat dari Soerakarta dan tiba pada hari yang sama di
Jogjakarta, dimana ia diterima oleh Soeltan dengan upacara biasa. Dari
Sourakarta Gubernur Jenderal
sekali
lagi melakukan perjalanan ke Carrang Padang, rumah wisata dari Pangeran Prang Wedono, untuk melihat peninggalan kuno Soekoe di Gunung Lawoe. Soekoe adalah nama kampong di lereng gunung Lawu dimana
terdapat candi. Besar dugaan dari sinilah muncul nama candi hingga kini disebut
candi Sukuh. Pada tahun 1819 HG Nahuijs tetap menjadi resident Soerakarta. Oleh
karena itu Nahuijs sudah tent uke Sukuh lagi untuk mendamping GG, tempat yang
telah sudah pernah dikunjunginya pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 1834 seorang pelancong asal Italia Graaf Carlo Vidua tidak hanya mengunjungi candi Soekoe, tetapi juga berusaha untuk melihat sendiri candi lain di lereng gunung yang lebih tinggi. Laporan perjalan Vidua ini dirilis dalam Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1843.
‘Pada tanggal 8 Desember saya berangkat dari Soerakarta melalui Carang Pandang, sebuah rumah pedesaan Pangeran Mangkkoe Negoro, dan mengunjungi beberapa tempat yang layak untuk dilihat. Atas bantuan pejabat, Bedel memohon kepada Pangeran Mangkoe Negoro agar salah satu putranya menerima saya di Karang Pandang, dan menemani saya mendaki Gunung Lawoe. Bedel juga memberi saya seorang penerjemah, Lord van der Goes yang juga menemani saya. Pada tanggal 9 saya naik, sebagian besar dengan berjalan kaki, dan ditemani dua pria yang baru saja disebutkan, van der Goes dan Pangeran, putra Mangkoe Negoro. Kami mencapai mahkota gunung Lawu dimana disini saya menemukan dua candi kuno. Belum ada orang Eropa yang jauh mendaki puncak gunung yang memang melengkung ini. Sore harinya kami kembali ke vandi Soekoe. Keesokan harinya saya menghabiskan waktu sepenuhnya di reruntuhan (candi) Soecoe: dan kemudian kembali ke Carang Pandang dan Solo. Catatan: seperti kita lihat nanti candi di atas candi Soekoe ini disebut candi Cetho.
Dalam perkembangan selanjutnya, candi Sukuh terus menarik perhatian, boleh jadi karena candi Soekoe yang berbeda dengan candi-candi lainnya. Pada tahun 1837 pengeran Prins Hendrik, ketika berkunjung ke Soerakarta menyempatkan diri untuk melihatnya (lihat Rotterdamsche couran, 31-10-1837). Dalam berita ini disebut candi di Soekoe. Pangeran Hendrik tampaknya hanya sampai di Soekoe, tidak ada indikasi naik lebih tinggi untuk melihat candi lainnya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perbedaan Candi Antar Wilayah Antar Waktu: Mengapa Candi Sukuh?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar