*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Ada dua aksara yang mewakili dua bentuk aksara
nusantara, yakni aksara Jawa dan aksara Batak. Bentuk aksara Jawa terdapat di
daerah Sunda, Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Bentuk aksara Batak terdapat di Kerinci.
Rejang, Lampung dan di wilayah Sulawesi dan pulau-pulau di Filipina. Diantara
dua bentuk aksara tradisi nusantara ini kemudian diintroduksi dua aksara baru
yang dapat berdampingan aksara tradisi nusantara yakni aksara Jawi (Arab
gundul) dan aksara Larin (Eropa).
Aksara Jawa dan Sejarahnya dalam Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta. Aksara Jawa atau yang juga dikenal dengan huruf hanacaraka adalah merupakan salah satu aksara tradisional di Indonesia yang berkembang di daerah Jawa. Aksara yang banyak digunakan pada jaman-jaman kerajaan ini, dulunya diciptakan oleh Aji Saka dari kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka mengabadikan kisah Dora dan Sembada dalam ukiran aksara kuno yang sekarang dikenal aksara Jawa. Selain memiliki sejarah, makna filosofi yang terkandung dalam aksara berjumlah dua puluh huruf utama. Hanacaraka memiliki filosofi bagaimana manusia memiliki Tuhan. Hanacaraka merupakan warisan budaya yang sangat besar, memiliki makna mendalam, dan harus dilestarikan generasi di masa depan m. Selain masih aktif diajarkan di sekolah-sekolah, dan dipublikasikan sebagai muatan lokal. Ternyata ada juga beberapa daerah yang secara nyata mengaplikasikan hanacaraka, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah Kota Solo, dimana pada sekitar tahun 2007 dan 2008, Pemerintah Kota Surakarta mewajibkan setiap papan nama di perkantoran Pemkot Surakarta harus ditulis dengan aksara jawa. Kebijakan untuk melestarikan aksara kuno ini semakin tampak jelas setelah Walikota Solo saat itu yaitu Joko Widodo secara simbolis meresmikan beberapa penambahan aksara jawa di beberapa tempat publik Kota Solo seperti Bank Indonesia, Solo Grand Mall, SMP 27, dan Balai Kota Surakarta (https://surakarta.go.id)
Lantas bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti disebut di atas, aksara Jawa adalah salah satu diantara aksara nusantara, seperti halnya aksara Batak masih tetap dilestarikan. Introduksi aksara baru (aksara Latin) tampaknya tidak menghilangkan aksara Batak dan aksara Jawa. Lalu bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Aksara Jawa dan Pengembanganya di Soerakarta; Aksara Latin Diantara Aksara Batak dan Aksara Jawa
Dalam daftar prasasti Indonesia di laman Wikipedia terdapat prasasti-prasasti berbahasa Jawa, baik Jawa Kuno (Kawi) maupun Jawa Baru. Aksara tertua Prasasti Plumpungan di Kota Salatiga bertahun 750 M ditulis dalam bahasa Sanskerta, menggunakan aksara Jawa Kuna. Di dalam daftar ini ada Prasasti Pakubuwana X, Kota Surakarta, tahun 1938. Tapi pengambilan sampel prasasti ini terlalu naif karena terlalu muda (dianggap satu kurun dengan sekarang). Untuk penggantinya Prasasti Ngadoman di Getasan, kabupaten Semarang (dekat Salatiga). Prasasti bertarih 1450 disebut penting karena kemungkinan besar merupakan perantara antara aksara Kawi dengan aksara Buda (sejenis aksara arkais bentuknya masih memiliki kedekatan dengan aksara Kawi, dianggap berasal dari zaman pra-Islam biasa ditemukan di daerah pegunungan).
Prasasti Sitopayan I adalah salah satu prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan bahasa Batak; dan sebagian besar menggunakan aksara Kawi serta beberapa kata memakai aksara Batak Kuno. Prasasti in ditemukan di Biaro (candi) Si Topayan, di Desa Sitopayan, Portibi, kabupaten Padang Lawas Utara, di Sumatra Utara. Diperkirakan prasasti dibuat pada abad ke-13 M. Penggunaan dua bahasa, yaitu bahasa Melayu Kuno dan bahasa Batak, menimbulkan dugaan bahwa masyarakat yang membuatnya adalah penutur dua bahasa (bilingual). Prasasti Lobu Dolok I adalah salah satu dari tiga prasasti yang dipahatkan pada batu pembatas makam, yang ditemukan di desa Aek Tolang, kabupaten Padang Lawas Utara. Prasasti ini tidak bertarih ini terdiri dari dua baris, yang ditulis dengan aksara dan bahasa Batak. Gambar: daftar aksara Nusantara pada masa kini
Prasasti-prasasti zaman kuno, yang disebut menggunakan aksara Pallawa, aksara Jawa Kuno (Kawi), aksara Batak Kuno atau yang lainnya yang berasal dari zaman kuno sulit dijadikan rujukan untuk membandingkan dengan aksara yang ada pada masa kini (aksara Jawa dan aksara Batak). Hal itu karena fisiknya sulit dibaca dan banyak yang rusak; dan tidak terinformasikan bentuk teksnya dalam cetakan media modern seperti kertas. Sementara itu pada era Portugis tidak ada sumber yang mengidentifikasi aksara. Pada era Belanda terutama pada akhir era VOC mulai terinformasikan tentang aksara, khususnya aksara Jawa.
Dalam catatan Kasteel Batavia (Daghregister) terdapat informasi minim antara lain, surat dalam bahasa Jawa dan terjemahan dalam bahasa Belanda dari Soesoehoenan Pacoeboeana di Souracarta diterima di Batavia (lihat Daghregister, 02-06-1747). Tulisan terjemahan dalam bahasa Jawa dari Soesoehoenan di Soeracarta (lihat Daghregister, 20-09-1791). Dalam item daghregister ini hanya disebut dalam bahasa Jawa, tetapi diduga menggunakan aksara Jawa. Gambar: Aksara era Valetijn vs aksara masa kini.
Francois Valentijn dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1726 menyebutkan bahasa Jawa dan aksara Jawa. Francois Valentijn menyalin abjad aksara Jawa dan juga beberapa teks bahasa Jawa dengan menggunakan aksara Jawa. Daftar abjad aksara Jawa yang disalin Valentijn secara umum mirip dengan masa ini tetapi terdapat sejumlah perbedaan. Sayang sekali bagaimana penggunakan abjad itu setelah era Francois Valentijn tidak/belum terinformasikan.
Pada tahun-tahun terakhir era VOC, terutama sejarah lembaga ilmu pengetahuan di Batavia Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dibuka tahun 1778. Mr Radermacher dkk masih terfokus kepada topik-topik sejarah, geografi dan hal yang berkaitan dengan kepurbakalaan. Meski sudah ada topik bahasa yang dikaitkan dengan kamus bahasa Jawa (dalam aksara Latin), dalam karya-karya mereka belum/tidak terinformasikan soal aksara asli, dalam hal ini aksara Jawa. Bagaimana tampilan aksara Jawa, baru meuncul pada era Pemerintah Hindia Belanda, setelah satu abad sejak Francois Valentijn. Kutipan puisi aksara Jawa (Bataviasche courant. 19-10-1825)
Tunggu deskripsi lengkapnya
Aksara Latin Diantara Aksara Batak dan Aksara Jawa: Bagaimana Bisa Aksara Tradisi Bertahan?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar