Sabtu, 07 Januari 2023

Sejarah Surakarta (22): Arsitektur dan Pola Bangunan di Surakarta; Candi Zaman Kuno hingga Bentuk Bangunan Modern Masa Ini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Seperti halnya candi-candi, bangunan-bangunan yang terbentuk kemudian di Soerakarta, termasuk peninggalan bangunan kolonial dapat dikatakan warisan sejarah. Disebut demikian karena masih eksis apakah dalam bentuk asli atau bentuk lain yang telah bertransformasi dalam wujud relief, bentuk, pola atau ciri tradisi lainnya. Bangunan ini mulai dari kraton hingga rumah tinggal biasa penduduk. Dalam bangunan-bangunan inilah kita dapat melihat bentuk-bentuk arsitektur tradisi dan arsitektur modern.


Arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta. Sebagai kota, berusia hampir 250 tahun, memiliki banyak kawasan situs bangunan tua. Selain bangunan tua, ada juga yang terkumpul di berbagai lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosial beragam. Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo, salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton berdekatan dengan Bengawan Solo selalu terancam banjir, kemudian dibangun tanggul yang hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Tahun 1997 terdapat 70 objek di Solo yang masuk kategori cagar budaya: Kelompok kawasan sebanyak 4 objek: Keraton Kasunanan, Keraton Mangkunegaran, Kampung Baluwarti, Kampung Laweyan. Kelompok bangunan rumah tradisional sebanyak 8 objek: Dalem Brotodiningratan, Dalem Purwodiningratan, Dalem Sasono Mulyo, Dalem Suryohamijayan, Dalem Wuryaningratan, Dalem Mloyosuman, Dalem Ngabean, Dalem Kadipaten. Kelompok bangunan umum kolonial sebanyak 19 objek antara lain Pasar Gede, Bank Indonesia, Museum Radya Pustaka, Stasiun Balapan, Stasiun Purwosari, Stasiun Jebres, Benteng Vastenburg, Loji Gandrung, Rumah Sakit Kadipolo. Kelompok bangunan peribadatan sebanyak 7 objek, antara lain Masjid Agung Surakarta, Masjid Al Wustho, Langgar Laweyan, Gereja St. Antonius Purbayan, Vihara Avalokiteswara, Vihara Po An Kiong. Kelompok gapura, tugu, monumen dan perabot jalan sebanyak 24 objek, antara lain: Gapura Batas Kota Surakarta (Kleco, Jurug, Grogol), Gapura Keraton Surakarta (Klewer, Gladang, Batangan, Gading), Tugu Lilin, Tugu Cembengan, Tugu Talirogo/Kalirogo, Tugu Jam Pasar Gede, Tugu Tiang Lampu Gladag. Kelompok ruang terbuka/taman sebanyak 8 objek, antara lain Makam Ki Ageng Henis, Taman Sriwedari, Patilasan Panembahan Senopati, Taman Balekambang, Taman Jurug, Taman Banjarsari (Wikipedai)

Lantas bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan di Surakarta? Seperti disebut di atas, wujud arsitektur dapat diperhatikan pada bangunan-bangunan lama, yang menjadi perantara antara wujud arsitektur zaman kuno dengan arsitektur zaman modern. Daftar bangunan-bangunan, termasuk taman cukup banyak di Surakarta. Lalu bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan di Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Arsitektur dan Bangunan di Surakarta; Candi Zaman Kuno hingga Bangunan Modern Masa Kini 

Tunggu deskripsi Arsitektur dan bangunan di Surakarta pada dasarnya termasuk yang mewakili (pulau) Jawa, arsitektur dan bangunan di Surakarta dapat diperhatikan dengan kraton Soerakarta dan arsitektur dan bangunan yang berlaku umum diadopsi oleh penduduk. Hal serupa ini analog dengan di berbagai wilayah dimana terdapat kraton/rumah besar para raja-raja. Rumah raja/kraton menjadi representatif arsitektur dan bangunan secara historis menginformasikan dimensi waktu.


Rumah raja/kraton dibangun secara cermat. Rumah raja/kraton melibatkan raja sendiri, paling tidak orang atau ahli yang mewakili raja seperti apa dan bentuk bagaimana bangunan dibuat. Oleh karena lingkungan raja (kraton) adalah inti dari wilayah dimana raja berkuasa maka pola bangunan yang dibuat harus disertakan dengan mengadopsi elemen komunitas populasi penduduk tersebut sebagai ciri khas. Oleh karena bangunan dibuat untuk raja, bangunan dibuat sebaik mungkin, semewah mungkin, dan paling mahal diantara bangunan penduduk. Hal itulah mengapa bangunan rumah raja/kraton berkualitas dan menjadi tahan lama yang terus lestari hingga jauh di masa datang. Gambar: Pola atap pintu gerbang kraton Surakarta.

Rumah raja/kraton/istana dapat dijadikan data sejarah dalam memahami pola bangunan dan arsitektur yang mewakili komunitas populasi penduduknya. Antar kraton sejaman dapat diperbandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaan ciri pola bangunan dan arsitektur. Data historis masa lampau sesungguhnya juga terdapat pada bentuk dan gaya arsitektur yang terdapat dalam bangunan candi-candi. Dalam hal ini secara historis apakah ada pola-pola yang sama antar masa yang berbeda sebagai wujud dari kesinambungan pola bangunan khusunya.


Pola bangunan dan arsitektur bangunan khususnya rumah penduduk dapat terwwakili dalam rumah raja/istana/kraton. Demikian sebaliknya. Oleh karena rumah raja/istana diarsiteki oleh seorang ahli, bisa kemungkinan arsitek tersebut didatangkan dari luar yang membawa teknologi konstruksi dan ragam arsitektur. Hal itu banyak ditemukan dalam ragam arsitektur dan pola bangunan masjid di berbagai wilayah di Asia dan di Indonesia. Namun tentu saja jika tidak sepenuhnya, ada juga di dalam bangunan menyertakan ciri arsitektur setempat. Kegiatan arsitektur cenderung bersifat campuran karena sifatnya karya seni (art). Sementara itu bangunan dan arsitektur yang berlaku umum di dalam komunitas penduduk, sangat tergantung pembuaatannya oleh para ahli setempat, yang cenderung menerapkan pola bangunan dan gaya arsitektur yang diwariskan sejak lama (habit), karena keahlian yang dimiliki (dan terbatas) juga termasuk teknologi bersifat diwariskan. Unsur tradisi dalam pola bangunan dan arsitektur penduduk dalam hal ini adalah wujud pelestarian dan kelestarian budaya (warisan leluhur yang haru dihormati pula). Pola bangunan dan artistektur yang umum diantara bangunan penduduk dapat dikatakan sebagai representasi pewarisan (seperti halnya bahasa, religi, adat, teknologi dan seni). Gambar: Pola atap rumah pada relief candi Borobudur.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi Zaman Kuno hingga Bangunan Modern Masa Kini: Manarik Benang Lurus di Dalam Hamparan Tepung

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar