*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Kota-kota di Indonesia masa kini, umumnya tumbuh
dan berkembang sejak masa lampau. Banyak kota-kota yang dimulai dari nol
seperti Batavia, Semarang, Soerabaja, Palembang, Padang, Bandoeng dan Medan. Namun
sedikit berbeda dengan kota Jogjakarta dan kota Soerakarta. Dalam hal ini kota
Soerakarta bermula dari keberadaan area kraton dan area benteng VOC. Pada era
Pemerintah Hindia Belanda dua area ini menjadi cikal bakal kota Soerakarta yang
sekarang. Dari sinilah tata kota Soerakarta dikembangkan yang pada gilirannya
terbetuk fasilitas-fasilitas umum.
Pola Struktur Kota Surakarta dalam Lingkup Pengaruh Pembangunan Masjid Agung pada Masa Kerajaan Mataram Islam. Junianto. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Abstrak. Kota Surakarta berawal terbentuk seiring dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam, yang mengalami perpindahan dari Kartasura. Struktur inti kota Surakarta, berupa Kraton, Alunalun dan Masjid. Struktur kota semacam ini, merupakan prototype kota kerajaan Mataram Islam. Keberadaan Masjid memiliki makna simbol bahwa raja selain menjadi pemimpin (pusat orientasi) budaya, juga pemimpin keagamaan. Bentuk masjid Agung Surakarta meniru bangunan masjid Demak, sebagai simbol kedudukan raja yang setara sebagai pusat orientasi keagamaan tersebut. Masjid Agung Surakarta dalam struktur kota, terkait secara diakronik dalam perkembangan unsur-unsur kota lain, mewarnai pola tata ruang kota. Terjadi poros Timur-Barat, membentang antara Kampung Arab, masjid Agung, hingga Laweyan, secara sinkronik cukup kuat mewarnai kultur ke-Islaman. Keberadaan masjid Agung Surakarta dalam struktur kota kerajaan Mataram Islam, dikaji dalam pendekatan diakronik-sinkronik terhadap unsur-unsur kota lainnya. Masing-masing unsur, signifikan mempengaruhi berdirinya fasilitas-fasilitas dan kawasan baru, sebagai unsur-unsur kota. Penggambaran masjid Agung dalam konteks struktur kota Surakarta, dilihat secara morfologis pembentukan, dalam interrelasi unsur-unsur kota lainnya. Telaah morfologis tersebut, dilakukan dengan pendekatan interpretasi artefak fisik (arsitektural), mengkaitkan latar sejarah pembentukan kota Surakarta beserta unsur-unsur kotanya. Sebagai temuan, masjid Agung Surakarta ternyata menjadi penyebab terjadinya poros Timur – Barat, yang seolah membelah kota Surakarta. Poros tersebut selanjutnya menjadi ciri yang berlatar keIslaman. Disisi lain, unsur-unsur kota yang berlatar budaya Jawa, tersusun dalam poros Utara-Selatan, mulai Pasar Gede, Kraton, hingga Pasar Gading (https://publikasiilmiah.ums.ac.id)
Lantas bagaimana sejarah tata kota Surakarta, pusat pemerintahan hingga layanan umum? Seperti disebut di atas, tata kota Soerakarta bermula dari area kraton dan area benteng pada era VOC dan berlanjut pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam penataan kota ini terbentuk berbagai fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, pasar, stasion dan bank. Lalu bagaimana sejarah tata kota Surakarta, pusat pemerintahan hingga layanan umum? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tata Kota Surakarta, Pusat Pemerintahan hingga Fasilitas Umum; Sekolah, Rumah Sakit, Pasar, Stasion dan Bank
Tata kota Soerakarta bermula di titik tertentu di sisi utara sungai Semanggi, yang kemudian dikenal sebagai area kraton Soerakarta (masih eksis hingga masa kini). Pada area kraton inilah kota Soerakarta tumbuh berkembang seperti yang tampak sekarang di googlemap. Kota berkembang di sisi utara sungai, sementara kawasan di sisi selatan sungai Semanggi tetap sepi sendiri (bahkan hingga kini). Mengapa?
Pada peta yang dibuat Herman de Wilde tahun 1705 (Peta 1705), kraton Kartasoera telah diidentifikasi, Di sebelah utara kraton dibangun benteng VOC. Posisi benteng ini sesuai dengan garis benteng utama VOC di Semarang (salah salah satu benteng penghubung berada di Salatiga). Dalam peta yang dibuat J van Braam dalam buku Francois Valentijn (1724), kraton Kartasoera (di Ningrat) berada di Kartasura yang sekarang, yang berada di jalan, ke utara ke Semarang, ke selatan dengan cabang dua: satu cabang ke bbarat daya ke Mataran dan satu cabang yang lain ke Jatinom (sisi utara sungai Bengawan; kini nama kecamatan di kabupaten Klaten). Sementara itu, area kini kota Surakarta masih kawasan kosong. Kota utama di sisi selatan sungai Semanggi diidentifikasi Grompol (kini Stasion Grompol, desa Kaliwuluh, kec. Kebakkramat, kab. Karanganyar).
Pada masa Pakoeboewono II terjadi kerusuhan di Jawab again tengah yang menyebabkan kraton Kartosura rusak. Dalam perkembangaannya antara pihak kraton dan pihak VOC pada tahun 1745 memindahkan ibu kota (kerajaan) dari Kartosuro ke suatu titik tertentu di arah timur dekat dengan sisi utara sungai Semanggi (tidak jauh dari kampong Sala dan kampong Semanggi).
Tampaknya yang memilih lokasi ini adalah pihak VOC. Hal ini karena Pemerintah VOC cukup berpengalaman dengan zeninya dalam membangun kota, lebih-lebih atas dasar pertimbangan pemerintah VOC sendiri. Posisi antara kraton dan benteng di area baru ini kurang lebih sama dengan yang di Kartasura. Pada area baru ini posisi benteng berada di lekukan sungai Pepe, yang mana sungai Pepe menjadi barrier di sisi belakang benteng (sungai sendiri juga menjadi semacam escape ke sungai Semanggi). Lalu antara area kraton dan area benteng dipisahkan ruang terbuka yang menjadi daerah masuk jalan yang ditarik lurus dari Kartosuro. Sejak inilah diduga nama sungai Semanggi menghilang dan hanya tersisa nama sungai Bengawan. Catatan: dari kampong Semanggi ke hilir disebut sungai Semanggi; dan dari kampong Semanggi ke hulu disebut sungai Bengawan.
Seperti ditunjukkan pada peta di atas, area kraton dirancang sedemikian rupa, sangat luas yang menghadap ke utara jalan dan benteng menghadap ke selatan jalan (di belakang benteng, sungai Pepe menjadi barrier/escape). Pada bagian depan area kraton, suatu lapangan luas (yang kelak menjadi aloen-aloen). Di belakang alun-alun bagian inti kraton (Siti Hinggil), sementara di sebelah barat alun-alun lokasi masjid (kini Masjid Agung Kraton Surakarta). Sedangkan benteng, seperti biasa, yang menjadi awal koloni, tembok benteng dibuat tinggi. Pada bagian dalam benteng terdapat sejumlah bangunan seperti rumah residen, komandan dan para perwira, barak, gudang peralatan/senjata, Gudang komoditi, dapur dan toilet. Benteng dilengkapi dengan empat bastion. Sehubungan dengan kehadiran para pedagang-pedagang VOC inilah kota Soerakarta mulai tumbuh di sekitar kraton dan benteng, yang perkembangannya mengarah ke arah sungai Bengawan.
Kampong Semanggi berada di tepi sungai besar sungai Semanggi/sungai Bengawan. Kampong Sala berada di daerah aliran sungai Pepe, tepat berada di arah tenggara benteng. Dalam perkembangannya di kampong Sala ini dibangun suatu loji (Gudang komoditi) yang letaknya di sisi selatan sungai Pepe. Dalam hal ini, transaksi perdagangan di daerah aliran sungai Semanggi/sungai Bengawan, untuk kepentingan VOC ditampung di loji tersebut. Dari arah loji ke jalan utama terbentuk jalan baru yang kelak disebut Bloemstraat. Area loji di Bloemstraat menjadi area perdagangan Eropa/Belanda. Sedangkan di sisi selatan, terusan Bloemstraat menjadi area perdagangan pribumi (seputar pasar Klieon yang sekarang). Dari area perdagangan pribumi ini terbentuk jalan bar uke arah jalan utama bertemu dengan jalan Bloemstraat, yang kelak disebut Krakeelstraat. Dengan demikian pada awal Pemerintah Hindia Belanda sudah terbentuk empat area yang membentuk kota Soerakarta, yakni area kraton, area benteng, area pedagangan Eropa/Belanda (loji) dan area perdagangan pribumi (Pasar Kliwon).
Dalam perkembangannya, pada awal Pemerintah Hindia Belanda, nama kampong Sala mulai popular dengan pelafalan Solo. Oleh karena loji dan area perdagangan Eropa/Belanda berada di kampong Sala, maka nama Solo sebagai awal asal usul nama kota Solo bermula dari area perdagangan Eropa/Belanda ini. Dalam hal ini nama Soerakarta mengacu pada kraton dan nama Sala/Solo mengacu pada area perdagangan Eropa/Belanda. Sejak ini pula, nama sungai Semanggi (Peta 1700) yang telah menghilang telah digantikan dengan nama baru sungai Solo (dari muara sungai Pepe ke hilir; sementara ke arah hulu tetap disebut sungai Bengawan). Seperti kita lihat nanti antara duan ama sungai inilah yang kemudian menjadi nama sungai dwi tunggal: sungai Bengawan Solo.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sekolah, Rumah Sakit, Pasar, Stasion dan Bank: Terbentuk Seiring Perkembangan Kota Soerakarta
Perang Jawa (1825-1830) telah banyak mempengaruhi berbagai aspek. Satu yang jelas benteng sejak era VOC tersebut semakin diperkuat dengan perubahaan arsitektur benteng. Benteng ini kemudian disebut benteng Vastenburg. Kraton juga dilakukan renovasi dengan arsitektur tersendiri. Situasi dan kondisi yang semakin kondusif (pasca perang), menjadi era baru dalam pertumbuhan dan perkembangan kota. Dengan semakin banyaknya populasi Eropa/Belanda, berbagai fasilitas dibangun terutama untuk kebutuhan pemerintah (Eropa/Belanda) seperti Instituut bahasa Jawa, rumah/kantor residen, sekolah dasar Eropa dan sebagainya termasuk sekolah guru untuk pribumi yang didirikan tahun 1851. Pasar Kliwon juga mendapat perhatian, paling tidak pembangunan jalan (yang bebas banjir dengan rainase).
Pada Peta 1861 Soerakarta/Solo sudah menggambarkan suatu struktur tata ruang sebuah kota (dengan jaringan jalan). Pusat keramaian berada di area perdagangan lama di Bloemstraat (sekitar eks loji) dan di Krakeelstraat di sekitar pasar Kliwon. Dengan kata lain, pada Peta 1861 pada garis dua jalan ini terbagai dua area dimana di utara area (pemukiman) Eropa/Belanda dan di selatan adalah area pribumi. Area kraton masih tampak seperti semua, suatu lanskap Kawasan kraton yang hijau. Sementara itu di sebelah utara area kraton di sekitar benteng/kantor residen, telah tumbuhan dan meluas pemukiman Eropa/Belanda sepanjang sisi selatan sungai Pepe (sementara di sisi utara/seberang sungai Pepe berada perkampongan Cina). Pada Peta 1861 juga tampak rencana pembangunan jalan-jalan baru (jembatan di atas sungai Bengawan Solo belum ada). Di arah utara yang terpisah dari kota/pemukiman padat terdapat sejumlah area kecil yang diduga menjadi rumah-rumah para pengusaha perkebunan (planter). Peta 1861
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar