*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Sejarah kota Surakarta adalah sejarah yang
sangat Panjang. Penanda kota ini bermula di lingkungan dimana kraton Soerakarta
berada. Bagian dari lingkungan kraton yang menjadi penanda kota ini adalah
alun-alun. Hingga sekarang alun-alun (kota) Soerakarta ini masih eksis. Dalam
hal ini dapat diakatakan kota Surakarta masa kini bermula dari aloen-aloen
Soerakarta dan situsnya masih ada pada masa kini. Pada era Pemerintah Hindia
Belanda, di Sumatra, aloon-aloon kota disebut Esplanade. Dalam hal ini ada
baiknya juga memperhatikan kehadiran museum di kota-kota termasuk di
Soerakarta.
Radya Pustaka di Kota Solo, Museum Tertua Indonesia Kompas.com. 12/10/2020. Hari Museum Nasional jatuh setiap tanggal 12 Oktober. Memperingati hari nasional itu bisa dilakukan dengan mengunjungi Museum Radya Pustaka yang merupakan museum tertua di Indonesia. Museum Radya Pustaka dibangun oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada masa pemerintahan Raja Surakarta saat itu, Pakubuwono IX di Dalem Kepatihan pada tanggal 28 Oktober 1890. Pendiri museum pernah menjabat sebagai patih Pakubuwono IX dan raja selanjutnya, yakni Pakubuwono X. Lokasi museum dulunya tidak berada di samping Jalan Slamet Riyadi Kota Solo. Dari Dalem Kepatihan, Museum Radya Pustaka dipindah ke lokasi yang sekarang ini pada 1 Januari 1913. Lokasi museum berada di samping Taman Sriwedari. Gedung yang sekarang menjadi Museum Radya Pustaka dulunya merupakan kediaman seorang warga Belanda bernama Johannes Busselaar. Museum Radya Pustaka menyimpan sejarah kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Islam. Ada pula koleksi bersejarah, seperti arca, manuskrip, buku, pusaka, dan wayang kulit kuno. Terdapat patung seorang pujangga Keraton Surakarta pada abad ke-19 bernama Raden Ronggowarsito yang ada di halaman museum. Ia bisa jadi merupakan inisiator pengumpul artefak di museum karena predikatnya sebagai orang pintar atau pujangga di zamannya. Penetapan Hari Museum Nasional berawal acara Musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) di Yogyakarta pada 12-14 Oktober 2020 (https://travel.kompas.com/)
Lantas bagaimana sejarah alun-alun Surakarta, riwayat aloon-aloon tempo doeloe? Seperti disebut di atas kota Soerakarta adalah termasuk kota tua dimana sejak awal sudah ada alun-alun kota, alun-alun yang masih eksis hingga ini hari. Aloen-Aloen di kota-kota Sumatra disebut Esplanade. Lalu bagaimana sejarah alun-alun Surakarta, riwayat aloon-aloon tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Alun-Alun Surakarta, Riwayat Aloon-Aloon Tempoe Doeloe; Aloen-Aloen di Kota Kota Sumatra Disebut Esplanade
Lapangan terbuka, mungkin sudah dikenal sejak perkembangan peradaban kota. Orang-orang Inggris di Hindia Timur menyebut lapangan terbuk di tengah kota sebagai esplanade. Sementara orang-orang Belanda menyebut esplanade dengan plein. Orang-orang Inggris dan orang-orang Belanda menemukan padanan kata tersebut di lingkungan masyrakat Jawa sebagai alun-alun. Orang-orang Inggris menulisnya dengan aloon-aloon, sedangkan orang-orang Belanda menulisnya dengan aloen-aloen.
Alun-alun bukanlah alon-alon. Dua terminology yang berbeda dalam
masyarakat Jawa. Namun secara epistemology keduanya bisa jadi terkait di masa
lampau. Alon-alon diartikan pelan-pelan. Boleh jadi di masa lampau jika seseorang
dengan kendaraannya (kuda, kereta) jika mendekati lapangan terbuka di tengah
kota harus dengan gerak lambat atau gerak pelan (karena menjadi pusat
keramaian). Terminologi ‘alun-alun’ sendiri paling tidak ditemukan dalam teks
Negarakertagama (1365). Oleh karena itu keberadaan alun-alun di tengah masyarakat
Jawa sudah dikenal sejak lama. Nama alun-alun inilah yanhg kemudian disalin
orang Inggris dengan aloon-aloon dan orang Belanda dengan aloen-aloen. Di
Sumatra, alun-alun ini secara linguistic memiliki kemiripan di wilayah Angkola
Mandailing (kini Tapanuli Selatan) yakni balun-balun, yakni suatu tindakan
menggulung lalu menghampar suatu tikar besar (bide), atau sebaliknya. Hal itu
dilakukan agar ketika tikar sudah tergulung akan lebih rapih. Bide adalah suatu
tikar yang besar, sangat luas, bahkan ada yang mencapai seluas ruang tamu. Bide
ini adalah suatu tikat tradisi terbuat dari anyaman rotan dan kulit kayu yang
sangat efektif melapisi lantai agar tidak lembab dan berair. Di atas bide
inilah kemudian tikar-tikar kecil yang terbuat dari daun pandan digelar. Dalam
nyanyian lama orang Angkola Mandailing ada yang berjudul balun-balun bide,
suatu nyanyian yang diduga berasal dari zaman Hindoe Beodha, suatu nyanyian
yang bersifat ritus (persembahan). Terminologi alun-alun juga ditemukan dalam
teks Pararaton (teks yang ditulis diduga setelah era Majapahit).
Besar dugaan orang-orang Inggris yang pertama menggunakan (capture) terminology alun-alun ini sebagai padanan esplanade dengan menulis aloon-aloon. Sebagaimana diketahui Inggris pernah menduduki Jawa antara tahun 1811 hingga 1816. Selain alun-alun ditulis dengan aloon-aloon, orang-orang Belanda tidak menggunakan terminilogi ini bahkan sejak era VOC (hanya menulis plein). Lalu kemudian penulisan aloon-aloon ini saling dipertukarkan kemudian dengan penulisan aloen-aloen (teks Belanda).
Pada era Mataram, peta-peta yang dibuat oleh VOC antara tahun 1700 dan
1703 berdasarkan ekspedisi 1695 yang dipimpin oleh Jacob Couper, tidak
ditemukan nama alun-alun. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de Pagger en
Campement op Marbongh. Dalam peta-peta tersebut yang dicatat adalah nama Marbongh
penggunaan kata Pagger. Dalam hal ini ‘pagger’ untuk mengidentifikasi
area/lingkungan kraton yang dibatasi oleh pagar yang terbuat dari batu (beton).
Penggunaan kata pagger atau pagar pada semasa juga ditemukan di Sumatra seperti
Pagar Oejoeng (Pagaruyung) dan nama-nama tempat di Angkola Mandailing seperti
Pagar Oetan, Pagaran, Pagaran Djoeloe/Djae. Sementara itu di lingkungan kraton
Mataram dalam peta VOC tersebut adalah bagian dalam pager dimana terdapat titik
tengan kraton disebut Marbongh yang diduga penulisan dari Malioboro. Dalam hal
ini Marbongh atau Malioboro memiliki padanan dalam bahasa Sanskerta sebagai malyhabara.
Lantas apakah telah terjadi pergeseran Malyhabara ke Marbongh atau Malioboro?
Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda, khususnnya pada masa Gubernur Jenderal Daendels yang dimulai tahun 1811, pemerintah mulai membeli sejumlah lahan di berbagai tempat untuk dijadikan sebagai kota, seperti di Batavia, Buitenzoeg dan Tangerang. Lahan yang diberi pemerintah di Buitenzorg adalah villa Buitenzorg (kini istana Bogor) dimana kemudian kantor Residen dibangun depannya (masih eksis hingga ini). Di Batavia, lahan yang dibeli berada di sekitar Risjwijk dan Noordwijk yang kemudian disebut Weltevreden. Di area Weltevreden ini dibangun istana (kini istana Presiden), markas militer (Gedung Menteri Keuangan/Lapangan Banteng) dan rumah sakit (RSPAD). Di depan istana yang dibangun ini masih berupa rawa-rawa (tetapi kelak dijadikan sebagai halaman istana yang diberi nama Koningsplein, kini lapangan Monas). Dalam fase ini belum ada bagian kota yang sengaja dibentuk menjadi lapangan terbuka alias esplanade atau alun-alun.
Tidak lama kemudian terjadi pendudukan Inggris (sejak 1811). Luitenan
Gubernur Jenderal Raffles lebih memilih ibu kota di Buitenzorg dan Semarang. Di
Batavia dianggap tidak sehat, istina di Weltevreden belum selesai. Di Semarang
sudah tersedia Gedung bahkan sejak era VOC. Raffles menggunakan istana Buitenzorg
dan Gedung di Semarang sebagai kantor. Pada era Inggris ini kemudian bagian
belakang istana Buitenzorg dibangun kebun raya (kini kebun Raya Bogor) dan di
depannya yang juga di sisi sebalah selatan kantor residen dibangun lapangan
terbuka. Sejak inilah diduga nama lapangan terbuka di Buitenzorg dan Semarang
disebut aloon-aloon.
Pasca pendudukan Inggris (setelah 1816) Pemerintah Hindia Belanda kembali menata pemerintahan dan mulai membangun dan mengembangkan berbagai aspek termasuk menata dan membangun kota. Kota Weltevreden ditingkatkan dengan membangun lapangan yang luas menjadi bagian integral istana yang kemudian disebut Koningsplein (Lapangan Raja/kini Lapangan Monas). Kota-kota lama di berbagai tempat di Jawa mulai ditata pemerintah mengikuti selera tata kota Eropa yang berpusat di seputar benteng (fort), kantor residen dan kraton/rumah pemimpin local, yang dalam hal ini di Soerakarta dan Jogjakarta di depan kraton.
Sejak era baru ini, dimana telah dilakukan reorganisasi pemerintahan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1826, sejumlah kota tumbuh dan berkembang dengan pesat. Di Soerakarta, Residen HG Nahuijs telah menata kota sejak 1818. Lalu HG Nahuijs pada tahun 1822 dipindahkan menjadi pendahulu Residen di Jogjakarta. Namun belum semua berjalan dengan baik, lalu muncu penentangan terhadap otoritas pemerintah yang dilancarkan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkoebiemi (lalu pada tahun 1825 Perang Jawa dimulai). Oleh karena kota Soerakarta sebagai basis militer Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Jawa, kota terus berkembang, seiring dengan meningkatnya populasi orang Eropa/Belanda. Sementara di kota-kota lain terutama di pantai utara kota-kota dimana terdapat Residen berjalan normal, tata kota berlangsung dan kota tumbuh dengan pesat. Sejak inilah penggunaan nama aloon-aloon semakin kerap terdengar adanya di berbagai kota.
Di surat kabar nama aloon-aloon kali pertama diberitakan pada tahun 1832 (lihat Javasche courant, 22-11-1832). Disebutkan dijual sebuah rumah dari papan yang dilapisi ubin, dan pekarangan, berdiri dan terletak di sebelah barat benteng, dan bangunan tambahan semua dari batu bata ditutupi dengan ubin, berdiri di atas tanah timur aloon-aloon. Joana, 14 November 1832. Joana dalam hal ini adalah kota di pantai utara (dekat Kota Pati yang sekarang) yang menjadi salah satu ibu kota residen (Residentie Joana). Kota Joana adalah kota tua yang sudah terdeteksi sejak awal era VOC (bahka sejak era Portugis). Kota Joana ini dilalui jalan trans-Java yang dibangun pada era GG Daendels.
Nederlandsche staatscourant, 14-10-1837: ‘Di Tjanjor (bacaL Tjiandjoer)
berlangsung sebuah upacara yang tampaknya sangat mengesankan Residen dan
khususnya para pemimpin pribumi mereka. Bupati Sukapura yang baru saja wafat,
penggantinya, di alun-alun aloena, dilantik dengan khidmat oleh Gubernur
Jenderal’. Catatan: Residentie Preanger Regentschappen pada saat itu beribukuto
di Tjiandjoer, yang mana para bupati terdapat di Tjiandjoer, Bandoeng,
Soemedang, dan Limbangan dan Soekapoera. Wilayah Soekapoera pada masa kini
wilayah selatan atau Tasikmalaya yang sekarang. Ibu kota residen baru tahun 1870
direlokasi ke Bandoeng. Aloon-aloon dalam hal ini di Tjiandjoer adalah bagian
halaman depan rumah bupati Tjiandjoer. Dalam hal ini Tjiandjoer dikunjungi kali
pertama oleh GG, dan juga terindikasi penulisan aloen-aloen sebagai panggti
aloon-aloon.
Sementara itu di wilayah yurisdiksi Inggris di Penang dan Singapoera dalam peta-peta Inggris lapangan terbuka yang di Jawa disebut aloon-aloon atau aloen-aloen disebut esplanade. Orang Inggris menyebut sesuai bahasa Inggris, yang boleh jadi di wilayah Semenanjung Malaya nama alun-alun tidak dikenal.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Aloen-Aloen di Kota Kota Sumatra Disebut Esplanade: Esplanade di Kota Medan Kini Lapangan Merdeka
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar