*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini
Harimau.
Dalam hal ini harimau Jawa (Panthera tigris sondaica). Harimau Jawa
sudah sejak lama dilaporkan punah. Namun yang menyisakan pertanyaan, seperti
halnya di (pulau) Bali, apakah di hutan-hutan Jawa masih ada yang tersisa? Bagaimana
dengan harimau di wilayah Banyumas? Apakah pernah eksis dan sejak kapan punah? Yang
jelas harimau Indonesia hanya tersisa di pulau Sumatra (Panthera tigris
sumatrae). Harimau dalam hal ini harus dibedakan dengan macan (macan tutul,
macan hitam atau jaguar).
Warga Windunegara, Banyumas, Digemparkan oleh Kemunculan Macan. Purwokerto. Kampas. 5 Januari 2022. Seekor harimau diduga muncul perkebunan warga di Banyumas. Warga Grumbul Kepetek, desa Windunegara, kecamatan Wangon, kabupaten Banyumas digemparkan diduga macan. Salah seorang warga melihat macan berwarna cokelat kehitaman. ”Kemarin pukul 15.00 saat cari rumput, ada bayangan warnanya cokelat meloncat ke parit. Saya mendekat, lalu bunyi mengaum suara macan,” kata Tawin (41), warga desa. Sosok hewan besar itu ukurannya sebesar kambing. Tawin bersama kedua orangtuanya. ”Suaranya besar sekali, saya sangat ketakutan dan gemetar,” kata Jariyah (64) ibunda Tawin. Lokasi macan sekitar 1 Km dari permukiman, di lereng bukit sengon dan jati, di bawahnya tanaman singkong, kacang tanah, dan burus. Perangkat desa bersama TNI dan Polri mengecek. Sekitar 100 M di atas parit tempat Tawin melihat sosok macan itu, terdapat jejak yang diduga kaki macan diameter sekitar 10 cm. ”Kemarin ada beberapa jejak, sekarang tinggal satu, lainnya sudah tergerus hujan,” tutur Tawin. Sementara itu, Sugeng mengatakan, pada periode 2000-2002, warga di desanya juga pernah melihat sosok macan di kawasan perbukitan. Tahun 2020, ada warga mendengar auman macan dan ditemukan jejak kaki. Pemerhati konservasi Munawar Kholis, mengatakan, harimau Jawa sudah punah, yang tinggal macan tutul, memiliki dua jenis warna, kuning totol hitam dan hitam semua. Diperkirakan yang muncul di Wangon adalah macan tutul (htttp//:kompas.com).
Lantas bagaimana sejarah harimau Jawa di wilayah Banyumas tempo doeloe? Seperti disebut di atas, harimau Jawa dianggap telah punah. Namun tetap saja ada yang masih mempertanyakan apakah masih ada yang tersisa. Bagaimana dengan keberadaan harimau di wilayah Banyumas pada masa lalu. Juga pernah muncul isu apakah ada sisa badak di ketinggian gunung Slamet? Lalu bagaimana sejarah harimau Jawa di wilayah Banyumas tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1753
Harimau Jawa di Wilayah Banyumas Tempo Doeloe; Apakah Ada Sisa Badak di Ketinggian Gunung Slamet?
Keberadaan harimau (tijger) di wilayah Banjoemas dilaporkan kali pertama tahun 1860 (lihat Javasche courant, 04-01-1860). Disebutkan di sekitar desa Margahina, (district Rantja) di perbatasan Banjoemas seorang gadis berusia tujuh tahun bernama Karsih dibunuh oleh seekor harimau pada tanggal 14 Desember. Dua hari kemudian, dicabik-cabik oleh harimau seekor kerbau dari penduduk desa yang sama. Bupati Galoe pergi ke lokasi kecelakaan atas laporan kejadian tersebut dan berhasil menghabisi harimau tersebut dengan tembakan.
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 06-09-1881: ‘Penduduk
asli desa Tjiegientang, di distrik Sidoredjo, afdeeling Tjilatjap, baru-baru
ini waspada diri dengan mengamati berjam-jam di kejauhan seekor harimau raja
yang cantik, yang keluar dari hutan, berada di pematang di sebelah sawah dan
tetap tenang meski banyak yang melihat. Namun, keesokan harinya, kewaspadaan itu
berubah menjadi teror yang mengerikan. Sang raja hutan, mungkin didorong kesana
karena kelaparan, pergi berkunjung ke desa tersebut; penduduk, alih-alih
menerima tamu tak diundang dengan ramah, menutup semua pintu dan jendela, dan
dengan cemas tetap tinggal di tempat tinggal mereka, mengintip melalui teralis.
Harimau itu, tidak dapat menemukan mangsanya, dan hanya puas dengan merobek
bantal yang ditinggalkan di samping sebongkah beras oleh seorang wanita yang
melarikan diri saat melihat monster itu datang, dan kemudian berbalik ke hutan.
tetapi sehari kemudian sang raja hutan mengulangi kunjungan itu dan mengarahkan
langkahnya menuju sebuah rumah bambu yang di dalamnya terdapat tiga wanita dan seorang
pria. Untungnya, orang-orang ini masih punya waktu untuk menutup pintu dan
membarikade mereka di dalam sehingga tamu harus tinggal di luar. Beberapa kali
binatang buas yang berbahaya itu mengitari pondok mereka untuk melihat apakah
dia bisa menemukan celah yang bisa memberinya jalan masuk; tapi sia-sia.
Sementara itu, ketika malam tiba, dia membuat penghuninya dalam bahaya besar
dengan menggigit pintu rumah hingga berkeping-keping dan dengan demikian
membuat lubang untuk masuk ke dalamnya. Namun untungnya, ketakutan pria itu
tidak berlangsung lama. Dia menempatkan ketiga wanita itu, yang hampir tidak
bisa bergerak, di atas loteng bambu (stellade), lalu mengambil dan tombak di
tangannya menikam leher harimau itu, yang telah meningolkan kepalanya ke lubang
pintu. Monster itu mundur, dan terjatuh dan kemudian dibantai oleh beberapa
orang yang datang untuk menyelamatkan orang-orang itu dari bahaya’.
Dengan memperhatikan perilaku kucing besar tersebut diduga kuat harimau di dua tempat berbeda itu adalah memang harimau (bukan macan tutul atau macan hitam/black panther). Macan tidak seganas itu. Harimau mampu menyeret mangsanya sekelas kerbau secara bersama-sama (macan biasanya memburu hewan sekelas kambing atau domba agar bisa dibawa hingga ke atas pohon). Harimau dalam memburu mangsa biasanya tidak kehilangan akal untuk mengulangi tindakannya hingga mencapai maksudnya dalam mendapatkan sasaran terutama karena lapar.
Harimau di pulau Jawa tersebar luas mulai dari Banten hingga Banjoewangi.
Harimau ini antara lain harimau loreng (harimau sebenarnya) dan hariman/macan
tutul. Harimau pada awalnya keluar hutan memburu mangsa hingga ke
kampong-kampong, tetapi dalam perkembanganyya muncul pemburu harimau, berstatus
professional dan amatir. Profesional ini umumnya tantara atau pensiunan
militer, sedangkan yang amatiran adalah para swasta atau pejabat bahkan ada
setingkat residen. Harmau mahal harganya, jika mati masih berharga kulit dan
taringnya, jika hidup dapat diperdagangkan untuk mengisi kebun-kebun binatang
di luar negeri. Harimau bersifat paradoks, di satu sisi membuat penduduk
khawatir tetapi di sisi lain dapat dijadikan hiburan (termasuk para pemburu ke
hutan-hutan, meski itu sangat jauh). Ada juga harimau ini dijadikan korban
dalam pesta rampok (rampokpartij) dalam suatu acara perayaan atau bentuk
keramaian lainnya.
Pada tahun 1883 purti bupati Banjoemas menikah dengan putra bupati Bandjarnegara. Setelah pesta pertama di rumah kediaman bupati Banjoemas, diadakan juga pesata di rumah kediaman bupati Bandjarnegara. Yang menarik dalam rangkaian acara pesta di Bandjarnegara termasuk salah satu mata acara yang ditunggu-tunggu disebut rampokpartij dengan menghadirkan empat harimau toetoel (lihat De locomotief, 30-10-1883).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
13-05-1884: ‘Soerabaia 7 Mei 1884. Memalukan. Dari laporan pesta yang diadakan
di Probolinggo, terlihat seekor harimau yang tidak mau menyerang kerbau disiram
dengan minyak tanah kemudian dibakar. Apakah ini dilakukan di bawah pengawasan,
dengan persetujuan diam-diam dari seorang pejabat Eropa? Jika demikian,
sebaiknya dia diberi teguran keras oleh Pemerintah atas keburukan yang
dilakukan dengan persetujuannya. Jika fakta ini menjadi perhatian Gubernur
Jenderal, ekspresi ketidaksenangan seperti itu mungkin tidak akan hilang.
Karakter laki-laki van Rees (Resident Probolinggo) tidak bisa tidak menjadi
musuh alami penyiksaan hewan’.
Dalam pesta harimau yang diadakan di Bandjarnegara tidak terinformasikan bagaimana empat harimau toetoel itu diperlakukan. Yang jelas bahwa sebelum partai rampok disebutkan empat ekor harimau totol yang telah lama dipelihara dalam satu kandang di halaman kewedanan akan menjadi korban. Para penduduk yang dengan sabar menanti hari-hari meriah itu, namun tiba-tiba dikabarkan keempat macan itu nampaknya tak bisa bersabar. Situasi dan kondisi di ibu kota Bandjarnegara menjadi heboh, binatang buas yang berbahaya itu berhasil kabur dari kandang bawah tanah tempat mereka dikurung, lalu menyebabkan penduduk dan ribuan pengunjung di wilayah menjadi khawatir.
Lalu para pradjoerits dari barak bergegas menyelamatkan dengan menyiapkan
senapan Beaumont. Segera membunuh salah satu harimau di tempat 2 paal dari
kawedanan; satu lagi ditembak oleh mereka 200 kaki dari rumah wedono dan yang
ketiga ditempat di pekarangan rumah itu. Pada kesempatan itu beberapa peluru
menembus dinding bambu beberapa rumah penduduk, untungnya tidak mengenai siapa
pun. Harimau keempat sampai sekarang tidak berhasil dicari; mungkin penguasa
hutan itu sudah berada di hutan kembali ke habitanya.
Meski tidak terinformasikan bagaimana harimau tutul di Banjarnegara itu diperlakukan dalam pertunjukkan pestarampok, tetapi diduga, seperti di tempat lain, keempat harimau tutul itu dikeluarkan dalam satu arena dimana korban dihadirkan apakah berupa sapi atau kambing lalu para penonton melihat reaksi para harimau totol itu menyerang dan menangkap mangsa dan memakannya. Namun semua itu harus berakhir karena keempat harimau totol berhasil kabur meski tiga diantaranya dapat dilumpuhkan. Namun beberapa bulan kemudian pesta serupa di Probolinggo justru menjadi tragis. Sang harimau tidak bersedia menyerang mangsa kerbau (boleh jadi harimaunya takut), lalu kemudian yang menjadi mangsa adalah harimau itu sendiri, setelah disiram minyak lalu dibakar. Akibat dari itu para penyayang binatang memprotes kejadian yang dianggap memalukan di Probolinggo.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Apakah Ada Sisa Badak di Ketinggian Gunung Slamet? Apakah Masih Ada Harimau di Wilayah Banyumas?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar