*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Tata
kota masa kini tentu saja berbeda dengan tata kota Banyuwangi tempo doeloe.
Hanya membedakannya adalah tempo doeloe kota tumbuh berkembangan sesuai
kebutuhannya. Sedangkan penataan kota pada masa kini mengikuti tren kota modern
yang mempertimbangkan banyak hal, termasuk soal kebutuhan zonasi dan proyeksi
perkembangan kota ke masa depan.
Penataan Ruang dan Wilayah Banyuwangi Dipuji Pakar Perkotaan. detikNews. Rabu, 19 Jul 2017. Penataan ruang dan wilayah yang dilakukan kabupaten Banyuwangi diapresiasi pakar perkotaan, Yayat Supriyatna. Dosen Planologi Universitas Trisakti Jakarta menilai, Banyuwangi cukup mampu mengendalikan struktur ruang kotanya dengan baik. "Kita lihat tidak saling tumpang-tindih. Saya dengar juga tidak boleh ada mall di dalam kota, itu bagus untuk memecah konsentrasi ruang sekaligus bagian dari pemerataan". Secara teroris, kata Yayat, pemimpin Banyuwangi banyak memahami tentang konsep tata ruang, tapi secara praktik, Yayat mengaku banyak belajar dari Banyuwangi. "Karena mempraktikkan teori di daerah itu lebih sulit. Banyuwangi relatif berhasil mempraktikkannya". Banyuwangi berhasil meraih juara penataan ruang terbaik se-Indonesia 2014 lalu. Yayat juga mengapresiasi penataan ruang di kawasan bandara di mana Pemkab Banyuwangi tidak memberikan izin mendirikan banguna di sekitar bandara. Sehingga lansekap persawahan di sekitar bandara tetap terjaga. "Itu bagian dari positioning. Karena untuk diferensiasi dengan bandara di kota lain, sehingga orang turun dari pesawat sudah langsung terasa keunikan Banyuwangi. Apalagi terminal bandaranya unik". Sementara itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, pihaknya akan terus melakukan pengendalian tata ruang. (https://news.detik.com/)
Lantas bagaimana sejarah tata kota, bermula di Fort Utrecht Banjoewangi ke Soekardja? Seperti disebut di atas, tata kota pada masa ini mengikuti kebutuhan zonasi dan arah perkembangan kota, sedangkan pada masa lampau mengikuti alamiah pertumbuhan kota. Perencanaan kota Banyuwangi tempo doeloe antara benteng dengan kampongc Soekaradja dan antara kampong Saba dan kampong Soekawidi. Lalu bagaimana sejarah tata kota, bermula di Fort Utrecht Banjoewangi ke Soekardja? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tata Kota Bermula di Fort Utrecht Banjoewangi ke Soekardja; Antara Kampong Saba dan Kampong Soekawidi
Asal-usul terbentuknya kota, yang mendahului tata kota Banjoewangi merupakan hal penting dalam sejarah tata kota. Ini dimulai ketika ibu kota Pemerintah VOC dipindahkan dari Oeloepampang (Balambangan) ke Banjoewangi tahun 1790. Dalam hal ini di wilayah Banyuwangi yang sekarang, saat iti terdiri dua district: Balambangan dan Banjoewangi. Ibu kota Pemerintah VOC ini berada di muara sungai Banjoewangi dimana benteng dibangun. Sementara bupati Balambangan bernama Raden Wira Goena berada di district Balambangan (Rogodjampi).
Pada masa perpindahan itu disebutkan, sebuah rumah blok batu sederhana dibangun (kampong) Banjoewangi. Kapten insinyur J. Schmaltz
merancang sebuah benteng besar pada tahun 1801 tetapi tidak pernah dibangun.
Pada tahun 1811, Banjoewangi akan dijadikan ujung jalan trans-Java semasa Gubernur Jenderal Daendels dan oleh karena itu rumah
blok batu itu diperkuat.
Selama pendudukan Inggris (1811-1816) rumah blok batu itu
dijadikan sebagai
benteng kecil dengan 150 tentara. Setelah permulihan Pemerintah Hindia Belanda benteng tersebut tetap digunakan. Pada tahun 1840-an, benteng tersebut menjadi
tempat tinggal seorang perwira, barak untuk orang Eropa dan barak untuk tentara
pribumi, dua gudang, gudang mesiu, rumah jaga, dan kantor. Fungsi benteng menjadi garnisun yang terdiri
dari seorang letnan 1, seorang letnan 2 dan 44 infanteri pribumi dan enam orang Eropa dan 14
artileri pribumi. Ada juga 31 wanita dan 21 anak yang tinggal di barak. Benteng garnisun itu dipersenjatai dengan tiga meriam dua belas pon dan enam meriam enam pon. Benteng itu digunakan
sebagai penjara dan sekolah tak lama kemudian.
Dalam struktur pemerintahan tahun 1827 resident di Banjoewangi adalah Mr GJ van de Graaff dan bupati Banjoewangi adalah Raden Soero Adi Negoro. Rumah residen tidak dibangun dekat benteng, akan tetapi lokasinya di pilih di kampong Soekaradja yang areanya lebih tinggi (bebas banjir) dengan membangun jalan dari benteng ke rumah residen di Soekaradja. Kantor residen sendiri tetap berada di dekat benteng. Pada masa ini juga dilakukan pembangunan jalan poros Banjoewangi (di belakang pantai) antara kampong Soekawidi di utara dan kampong Saba di selatan (yang kemudian diteruskan ke Rogodjampi).
Pada perpotongan jalan utama tersebut kemudian dibangun rumah bupati yang baru, dimana rumah bupati selama ini berada di Rogodjampi. Rumah bupati ini dilengkapi dengan membangun aloen-aloen. Dalam hal ini alun-alun berada di sudut persimpangan, sedangkan rumah bupati berada di sisi utara (sejajar jalan ke arah Soekawidi). Dalam hal ini benteng adalah penanda navigasi kota (origin) sejak era VOC, tetapi kemudian alun-alun menjadi titik awal tata kota Banjoewangi (posisinya yang strategis di persimpangan jalan). Dalam perkembangannya dibangun jalan alternatif dari benteng/pelabuhan (kantor residen) ke rumah residen di arah selatan.
Tiga titik GPS pengembangan kota berada di (kampong) Soekawidi di utara dengan ketinggian 18 M (dpl); kampong Saba di selatan (20 M, dpl); dan kampong Soekaradja dengan ketinggian 15 M. dpl. Apa artinya, area diantara tiga titik pengembangan kota ini adalah kawasan rendah. Area benteng (fort) tepat di sisi utara sungai Banjoewangi sendiri dapat dikatakan rawan banjir dengan ketinggian 5 M dpl. Dari benteng semakin mendaki ke arah kampong Soekawidi. Demikian juga dari benteng ke arah kampong Saba semakin mendaki.
Secara historis, seperti disebut di atas, situs pertama dibangun di kota
Banyuwangi adalah benteng, tepat berada di sisi utara muara sungai Banjoewangi.
Lalu kemudian dibangun kantor/rumah residen di dekat benteng dan kemudian rumah
bupati di arah hulu sungai (alun-alun kota yang sekarang). Sebagai kampong kacil
(kampong Banjoewangi), dengan kehadiran benteng pada tahun 1790, terbentuk
pelabuhan perdagangan yang baru (menggantikan pelabuhan di teluk Pampang). Para
pedagang yang datang adalah pedagang-pedagang Cina, Arab dan Moor. Orang
Eropa/Belanda juga lambat laun semakin banyak, dengan mengambil pemukiman di
sekitar benteng. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Banjoewangi
bermukim dekat benteng, tetapi sebagaiman disebut di atas, lokasi rumah residen
direlokasi ke area yang lebih sehat, bebas banjir di kampong Soekaradja (hanya
tinggal kantor saja di dekat benteng).
Kantor Residen dibangun di luar benteng, yakni dengan membangun lapangan (plein) antara benteng dengan kantor/rumah residen. Di depan kantor residen menghadap ke lapangan dibangun jalan kota (kini jalan Diponegoro) yang menghubungkan jalan di sisi utara benteng (jalan Banterang) dan jalan di sisi selatan benteng (jalan Dr Soetomo) menuju pelabuhan. Sementara koridor pemisah antara lapangan (residen) dan benteng (Fort Utrech) kini dikenal jalan RA Kartini. Dari area inilah (kawasan pemukiman orang Eropa/Belanda), cikal bakal kota Banjoewangi tumbuh dan berkembang ke tiga titik horizon di Soekawidi (utara) Saba (selatan) dan Soekaradja (barat).
Pada permulaan pemulihan Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan
Inggris) tahun 1819 sekolah didirikan untuk anak-anak Eropa/Belanda. Lokasi
yang dipilih adalah di luar sisi hook jalan Resident dan jalan sisi utara
benteng (kelak jalan di depan sekolah ini diintegrasikan dengan pembangunan
alun-alun kota (yang mana rumah bupati dibangun di sisi utara alun-alun).
Sedangkan sisi selatan alun-alun dibangun jalan menuju jalan Residen (kini
jalan Veteran) tepat berada di antara dua bangunan lama yakni kantor garam di
sisi utara dan kantor pakhuis (koffiepakhuis) di selatan. Satu bangunan tua
lainnya adalah penjara yang letaknya antara kantor garam dan alun-alun. Pasar
sendiri eksis di sisi barat kantor garam dan kantor pakhuis (kini Pasar
Banyuwangi).
Seperti biasanya, di kota-kota lain, pemukiman orang Eropa/Belanda menjadi origin (tentu saja ada relokasi terhadap pemukiman penduduk lainnya) dan area rumah bupati. Salah satu elemen penting rumah bupati di Jawa, termasuk di Banjowangi adalah masjid yang didirikan. Masjid didirikan di sisi barat alun-alun. Kawasan masjid ini kemudian terbentuk pemukiman orang beragama Islam (Kauman). Sementara untuk pendatang lainnya orang Melayu membentuk pemukiman sendiri di belakang jalan utama dan di sisi timur rumah bupati, dan area di sekitar pantainya terbentuk perkampongan orang Mandar.
Lantas apakah ada perkampongan Madoera? Tampaknya tidak ada, sebab seperti orang Jawa juga tersebar merata di wilayah kota. Bagaimana dengan orang Cina dan orang Arab? Orang Cina membentuk pemukiman di sisi selatan benteng/sungai Banjoewangi dekat muara. Dalam hal ini seakan orang Cina memiliki pelabuhan sendiri. Sementara orang Arab yang sebagian berada di kampong Kauman kemudian membentuk perkampongan sendiri di arah utara kota (sebelah utara kampong Melayu dan kampong MandaeI). Perkampongan Mandar dan perkampongan Arab juga seakan memiliki pelabuhan sendiri. Last but not least: apakah ada orang Bali? Tentu saja ada, Orang Bali dari Djembranan membangun perkampong di selatan pusat kota (berdekatan dengan pekampongan orang Cina). Lalu apakah ada kampong Batak? Mungkin bisa saja dilacak di kampong Saba (sisi barat sungai Saba) zaman kuno pada era (kerajaan) Balambangan (hipotesis).
Dengan adanya jalur kereta api Djember-Banjoewangi (sejak 1897) perkembangan kota Banjoewangi mengalami lompatan. Jalur kereta dari arah Rogodjampi melalui kampong Samba, kampong Djembarana dan perkampongan Cina terus ke pelabuhan. Stasion diletakkan diantara kampong Djembrana dan perkampong Cina. Ada dua hal sebab terjadi perkembangan kota dengan adanya kereta api: para pengusaha/investor Eropa/Belanda makin banyak di kota Banyuwangi yang membuka perkebunan di luar kota; dan arus migrasi yang semakin intens dari Jawa (Loemadjang/Djember).
Setelah adanya sekolah Eropa/Belanda, dalam perkembangannya dibangun sekolah pemerintah untuk pribumi. Sekolah ini lokasinya di sisi utara alun-alun sebelah barat rumah bupati. Selanjutnya, bangunan societeit dibangun dekat perkantoran pemerintah, sedangkan bangunan societeit pribumi di sebelah timur rumah bupati di utara alun-alun. Tapekong bagi kaum Cina dibangun di perkampongan Cina. Tentu saja ada bangunan baru yakni dan hotel dan rumah pegadaian di selatan benteng ke arah pelabuhan. Sekolah Eropa/Belanda tampaknya telah direlokasi ke pangkal jalan (sisi utara benteng) yang sebelumnya berada dekat alun-alun. Kantor pos dan telegraf tetap berada di dekat kantor Residen.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Antara Kampong Saba dan Kampong Soekawidi: Pengembangan Kota di Belakang Pantai
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar