Sabtu, 08 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (15): Tata Kota Surakarta Tempo Doeloe; Kota Pedalaman, Tetapi Berkembang Pesat Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Terbentuknya kota Surakarta yang sekarang, dimulai sejak kehadiran Belanda/VOC. Itu terjadi setelah terjadi perselisihan internal di (wilayah) Mataram (wilayah pedalaman Jawa). Kota berawal di suatu tempat lebih dekat ke lereng gunung Merapi, tetapi direlokasi ke tempat yang lebih dekat dengan sungai Bengawan Solo. Pada masa perpindahan inilah Belanda/VOC hadir dan kota tumbuh dan berkembang.


Pola Struktur Kota Surakarta dalam Lingkup Pengaruh Pembangunan Masjid Agung pada Masa Kerajaan Mataram Islam. Junianto. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Kota Surakarta terbentuk seiring berdirinya kerajaan Mataram Islam, pindah dari Kartasura. Struktur inti kota Surakarta, Kraton, Alunalun dan Masjid. Bentuk masjid Agung Surakarta meniru bangunan masjid Demak. Masjid Agung Surakarta dalam struktur kota, terkait secara diakronik dalam perkembangan unsur-unsur kota lain, mewarnai pola tata ruang kota. Poros Timur-Barat, membentang antara Kampung Arab, masjid Agung, hingga Laweyan. Keberadaan masjid Agung Surakarta dikaji dalam pendekatan diakronik-sinkronik terhadap unsur-unsur kota lainnya. Masing-masing unsur, signifikan mempengaruhi berdirinya fasilitas-fasilitas dan kawasan baru, sebagai unsur-unsur kota. Penggambaran masjid Agung dalam konteks struktur kota Surakarta, dilihat secara morfologis pembentukan, dalam interrelasi unsur-unsur kota lainnya. Telaah morfologis tersebut, dilakukan dengan pendekatan interpretasi artefak fisik (arsitektural), mengkaitkan latar sejarah pembentukan kota Surakarta beserta unsur-unsur kotanya. Sebagai temuan, masjid Agung Surakarta ternyata menjadi penyebab terjadinya poros Timur – Barat, yang seolah membelah kota Surakarta. Poros tersebut selanjutnya menjadi ciri yang berlatar keIslaman. Disisi lain, unsur-unsur kota yang berlatar budaya Jawa, tersusun dalam poros Utara-Selatan, mulai Pasar Gede, Kraton, hingga Pasar Gading (https://publikasiilmiah.ums.ac.id/)

Lantas bagaimana tata kota di Soerakarta tempo doeloe? Seperti disebut di atas, kota Surakarta termasuk kota lama yang berada di pedalaman, meski demikian Surakarta berkembang pesat masa ke masa. Lalu bagaimana tata kota di Soerakarta tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota di Soerakarta Tempo Doeloe; Kota di Pedalaman, Tetapi Berkembang Pesat Masa ke Masa

Kapan nama Surakarta dicatat? Jangan buru-buru dan ada baiknya kita perhatikan nama Kartasura yang jauh lebih awal daripada nama Surakarta. Nama Kartasura sendiri baru belakangan dicatat dalam narasi sejarah. Nama Kartasura kali pertama teridentifikasi dalam sketsa tahun 1686 dan diidentifikasi dalam Peta 1695. Dalam catatan Kasteel Batavia tidak pernah nama Carta Soera teridentifikasi. Nama yang sudah dicatat adalah Wana Carta (lihat Daghregister, 27-09-1680). Disebutkan keberangkatan Sousouhounang dan Comandan Couper dari Samarangh ke Wanacarta.


Wilayah pedalaman Jawa berhasil ditaklukkan VOC/Belanda pada tanggal 16 Desember 1681. Sebagai konsekuensi penaklukkan ini wilayah pantai utara Jawa, wilayah pantai timur Jawa dan wilayah Jawa bagian barat diserahkan kepada VOC. Lalu benteng Missier dibangun di sungai Tegal. Nama Carta Soera di Ningrat baru diidentifikasi kemudian (lihat Daghregister, 17-04-1682). Disebutkan beberapa rumah di Carta Soera dibakar. Lalu kemudian Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal berangkat ke Carta Soura dan Japara. Beberapa waktu kemudian Komandan Coeper ke Carta Soera (lihat Daghregister, 12-08-1682). Kedatangan 4 utusan (semacam duta besar) dari Carta Souradiningrat ke Cheribon (lihat Daghregister, 16-03-1683). Di benteng VOC Carta Soera ditempatkan Letnan Aarnout Grevinck yang kemudian dikunjungi oleh Capiteyn Hendrick van den Eeden di Japara. Letnan Aarnout Grevinck pada tahun 1685 sudah berpangkat kapten. Situasi kondisi di Carta Soera memanas kembali dengan kehadiran Soerapaty dengan pasukan Bali. Untuk mengatasi itu, dikirim komisaris François Tack. Dalam perkembangannya diketahui Tach terbunuh (lihat Daghregister, 18-02-1686). Untuk mengatasi situasi dikirim komandan Joan Albert Sloot. Kondisi Carta Soera dapat diperhatikan pada sketsa 1686. Lalu setelah situasi dan kondisi terkendali di Carta Soera dan Mataram menyerahkan Jawa bagian barat, pada tahun 1687 VOC melakukan ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong di bawah pimpinan Sersan Scipio dan kemudian membangun benteng (fort) Padjadjaran (kini tetap berada di istana Bogor yang sekarang). Perselisihan VOC dan (kerajaan) Mataram bermula pada tahun 1628 dimana Mataram menyerang Batavia.

Peta tehun 1695 dibuat pada era VOC oleh landmeter/kaartenmaker Isaac de Graaff dalam suatu ekspedisi ke pedalaman (selatan) Jawa dari benteng (fort) Missier (di Tegal). Ekspedisi ini dipimpin oleh Majoor Jacob Couper. Di dalam peta, diantaranya diidentifikasi nama (tempat) Mataram dan (nama tempat) Carta Soura. Nama lengkap Carta Soura adalah Carta Soura di Ningrat.


Eksistensi kota ini dimulai saat Sinuhun Paku Buwana II, raja Kasultanan Mataram Islam, memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, sebuah desa yang tidak jauh dari tepi Bengawan Solo, karena istana Kartasura hancur akibat serbuan pemberontak. Sunan Pakubuwana II membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Kyai Sala, sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda) untuk membangun istana Mataram yang baru. Secara resmi, istana Mataram Islam yang baru dinamakan Karaton Surakarta Hadiningrat dan mulai ditempati tanggal 20 Februari 1745. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Sinuhun Paku Buwana III, Belanda, dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755 membagi wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga yang diadakan pada 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran Surakarta (Pura Mangkunegaran Surakarta). Sebagai penguasa Mangkunegaran, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. (Wikipedia)

Dalam Peta 1695 tetangga (kampong) Carta Soura di sisi selatan sungai (Bengawan Solo) diidentifikasi nama kampong Soedimara. Nama Carta Soura ini masih eksis hingga masa ini (di kabupaten Sukoharjo). Akan tetapi nama Soedimara kini tidak ditemukan di kabupaten Sukoharjo maupun Kota Surakarta. Dalam perkembangannya setelah selesainya benteng Semarang, administrasi perdagangan yang selama ini berada di Jepara dipindahkan ke (benteng) Semarang. Berbagai kerjasama dan konflik permusuhan yang timbul setelah ekspedisi dari benteng Missier dilanjutkan dengan ekspedisi dari (benteng) Semarang ke Cartosoera.


Ekspedisi ke Cartosoera ini dimulai tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute Semarang, Oengaran, Toentang, Salatiga, Cartosoera. Govert Knol pada periode 1706-1708 adalah Komandan Samarang yang bekerja untuk VOC. Penunjukan Knol sebagai Komandan Semarang setelah terjadi penyerahan Semarang. Tugas utama Govert Knol dari benteng Semarang adalah untuk menaklukkan Soerabaja ke pedalaman dengan memulai ekspedisi dari Soerabaja pada tahun 1706. Pada rute ekspedisi ini kemudian sejumlah benteng dibangun sebagaimana dapat diperhatikan Peta 1719. Pada Peta 1724 nama Carta Soura ditulis sebagai Karta Soera.

Dalam radar geopolitik VOC, Cartasoera kemudian diperhatikan tidak hanya pada garis (navigasi pelayaran sungai Bengawan Solo) ke pantai timur Jawa (di Bojonegero) tetapi juga garis perjalanan darat ke pantai utara (benteng Semarang) melalui Salatiga.  Situasi dan kondisi inilah yang kemudian menjadi prakondisi era baru Cartasoura (wilayah Mataram yang jauh di selatan mulai dianggap tidak penting lagi oleh VOC)..


Kenapa Nama Surakarta dan Kartasura Mirip? Begini Sejarahnya. Soloraya 11 April 2022. Solopos.com. Surakarta dan Kartasura nama dua daerah mirip, tetapi beda wilayah. Dari kebahasaan, keduanya terdiri kata sura dan karta. Sura dalam bahasa Jawa Kuno diartikan keberanian, sementara karta dari bahasa Sanskerta (krta) berarti pekerjaan telah dicapai. Surakarta merupakan nama resmi dari Kota Solo. Munculnya istilah Solo tidak bisa dilepaskan dari berdirinya kota. Kartasura kini sebuah kecamatan di Sukoharjo. Kartasura menjadi titik temu arus lalu lintas dari tiga kota besar yakni Solo, Jogja dan Semarang. Surakarta dan Kartasura sama-sama pernah menjadi ibu kota Kesultanan Mataram pada 1680-1755. Keraton Kartasura didirikan Amangkurat II tahun 1680 karena Keraton Plered (kini di wilayah Bantul) diduduki adiknya Pangeran Puger ketika terjadi pemberontakan Trunajaya. Lalu masa Pakubuwono II, Raja Mataram IX (1726-1742) terjadi Geger Pecinan di Batavia. PB II bekerja sama dengan Cina melawan VOC. Pertempuran gabungan antara Jawa, Tionghoa, Melayu dan Arab yang dipimpin Said Ali melawan VOC juga pecah di Semarang. Kubu VOC menang telak. Ancaman tersebut membuat PB II berubah haluan, berbalik menyerukan agar membantu VOC dengan membunuh orang Tionghoa pada awal 1742, namun para bupati tidak ada yang mengikuti perintah PB II. Setelah PB II kembali menguasai Keraton Kartasura yang hancur, membangun kembali kerajaan memilih di desa Sala. Asal-usul Kota Solo atau Surakarta bermula dari sini. Pada 1745, bangunan kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut ke desa Sala di tepi sungai Bengawan Solo. Pada 17 Februari 1745, keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti Keraton Kartasura (Keraton Surakarta). Kini, setiap 17 Februari diperingati sebagai Hari Jadi Kota Solo/Surakarta (https://www.solopos.com/)

Nama Surakarta (soura-carta) adalah kebalikan nama Kartasura (carta-soura), ibarat nama Surabaya (sora-baja) sebagai kebalikan Arosbaja (aros-baja). Kebetulan kedua nama tempat (Surakarta dan Surabaya) berada di daerah pengaliran sungai yang sama: Bengawan Solo. Surakarta di hulu (di pedalaman, antara gunung Merapi dan gunung Lawu) dan Surabaya di hilir (di depan muara sungai bengawan Solo, di suatu pulau diantara daratan pulau Jawa dan pulau Madura).


Nama-nama tersebut diduga kuat sebagai nama-nama yang berasal dari zaman kuno pada era Hindoe-Boedha. Sebagai penanda navigasi awal kita dapat perhatikan nama kota Arosbaja di pantai barat laut (pulau) Madura. Kelak, di kota pelabuhan Arosbaja ini terjadi pertempuran antara (pasukan) kerajaan Madura (Arosbaja) dengan para pelaut-pelaut Belanda dalam ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1596). Dalam konteks masa lalu (zaman kuno) inilah nama Arosbaja dapat dihubungkan dengan nama pulau Sorabaja di suatu pulau yang dekat dengan muara sungai Bengawan Solo (suatu lalu lintas perdagangan yang ramai). Sementara itu, di bagian hulu daerah aliran sungai bengawan Solo di pedalaman di wilayah Surakarta terdapat dua gunung penting yakni gunung Merapi dan gunung Lawoe (yang dihubungkan dengan kepercayaan pada era Hindoe Boedha tersebut). Pasangan nama gunung ini (Merapi-Lawu), mirip di berbagai wilayah seperti di wilayah Angkola Mandailing (Tapanoeli) yakni gunung Loeboe Raja (raja kini menjadi raya) dan gunung Sorik Marapi (kini sorik, sebelumnya sri). Jadi dalam hal ini Merapai=Marapi dan Lubuk/Luwuk-=Lawu). Untuk sekadar menambahkan di diantara du gunung ini di dua wilayah terdapat candi tua Hindoe, yakni candi Simangambat (dekat Saru-matinggi) dan candi Prambanan (dekat Karto-suro). Dalam hal ini di dua wilayah pegunungan di Surakarta (Jawa) dan di wilayah Angkola Mandailing (Tapanoeli) sudah terbentuk pusat peradaban tua yang maju. Boleh jadi di dua wilayah inilah terbentuk dua kerajaan kuno yakni Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) dan Kerajaan Mataram (ma-tarum di Surakarta) plus Kerajaan Tarum/Taruma (t-aru-m; t-aru-ma).

Lantas bagaimana asal usul nama Kartosura atau Surakarta? Hal itu secara toponimi mirip dengan nama Sorabaja dan Arosbaja dimana dalam hal ini ‘sora’ dan ‘aros’ adalah ‘sungai’. Sebagaimana ‘karta’, terminologi ‘baja’ adalah suatu pusat pemerintahan atau suatu kota. Oleh karenanya nama ‘kartosura’ dapat diartikan ‘kota sungai’ dan arosbaja juga adalah kota sungai.


Perhatikan kata dasar ‘aro’ ‘aru’ atau ‘ara’ adalah air/sungai yang mengalami perubahan lapal menjadi saro, saru atau sura (saru-matinggi, saru-langun, b-aru-mun, ambu-aru, batang-ari/Batanghari, batang-arau, t-arum/t-aruma, sura-karta dan sura-baya yang semuanya merujuk pada air/sungai). Ini mengindikasikan sejarah awal (peradaban) merujuk pada sejarah navigasi pelayaran (perdagangan). sungai Barumun, sungai Batanghari, sungai Tjitarum dan sungai Kartasura/Surabaja adalah sungai besar di Sumatra dan di Jawa.

Dalam hal ini, nama (tempat) Kartasura/Surakarta dan Arosbaya/Sorabaya terhubung sejak zaman kuno dalam sejarah navigasi pelayaran perdagangan yang menjadi prakondisi terbentuk peradaban baru (pemerintahan dan ilmu pengetahuan). Sebelum ada nama Solo di Soerakarta, nama yang ada adalah nama Sala, Salatiga dan Sala yang lainnya. Nama (kampong) Sala inilah yang kemudian bergeser namanya menjadi Solo. Nun jauh di sana nama Solor sudah diketahui pada awal era Portugis. Apakah ada hubungan nama Solor dengan Solo? Tampaknya tidak. Solo merujuk pada nama Sala. Akan tetapi nama Sala juga merujuk pada nama yang berasal dari zaman kuno yakni Selo. Arti ‘selo’ pada zama era Hindoe Portugis adalah ‘sungai’. Bahasa sejaman ‘sungai’= ‘selo’ ditemukan di wilayah Minangkabau. Di Tanah Batak ‘sungai’ tidak dieja dengan ‘selo’ tetapi ‘silo’.   


Sebelum nama Sala bergeser pelafalannya menjadi Solo, nama sungai besar yang melalui (kampong) Sala disebut sungai Bengawan. Nama Bengawan sendiri adalah nama kampong kuno di wilayaah Kadoewang (lereng gunung Lawoe). Pada masa itu tentu saja belum dikenal nama sungai Solo, nama yang dikenal adalah sungai Bengawan. Baru pada perkembangan lebih lanjut, ketika nama Solo telah menggantikan nama Sala, nama sungai Bengawan disebut sungai Solo di hilir Wonogiri, sementara nama sungai Bengawan tetap berlaku di wilayah hulu dari Wonogiri hingga ke pegunungan. Sungai-sungai di nusantara, terutama sungai-sungai besar yang dapat dinavigasi seperti di pulau Sumatra, pulau Kalimantan dan pulau Jawa., sudah memiliki nama sejak zaman kuno (era Hindoe Boedha). Sebagai missal sungai Tjisadane di hilir disebut sungai Tangerang, sungai Tjiliwong di hilir disebut sungai Jakarta, sungai Tjilengsi disebut sungai Bekasi, sungai Tjitaroem disebut sungai Karawang. Sungai Kadiri di zaman kuno, dalam perkembangannya di hilir menjadi dua cabang disebut sungai Surabaya dan sungai Brantas. Hal serupa inilah yang terjadi dengan sungai Bengawan, dimana di wilayah Surakarta (Sala atau Solo) ke arah hilir disebut sungai Solo. Lantas mengapa kini disebut sungai Bengawan Solo?

Lantas mengapa kini nama sungai di wilayah Surakarta tidak disebut sungai Bengawan atau sungai Solo tetapi disebut sungai Bengawan Solo? Satu pertanyaan lainnya adalah apakah lokasi Kartasoera sama dengan Soerakarta? Jika tidak sama, lalu kapan kota Soerakarta terbentuk, kota yang tetap eksisi hingga masa ini sebagai kota Surakarta atau Solo.


Berdasarkan Peta 1705 yang dibuat oleh Majoor Herman de Wilde, diidentifikasi keberadaan benteng (fort) VOC tepat berada di sebelah utara kraton Soerakarta yang dibatasi oleh jalan utama. Jalan ini sudah diidentifikasi pada Peta 1696.  Kraton Soerakarta ini adalah kraton baru yang sebelumnya berada di Kartasoera. Sehubungan dengan relokasi itu, benteng VOC juga dibangun. Area kraton/benteng ini dibangun tidak jauh dari kampong Semanggi (kampong yang berada di sisi utara sungai Bengawan, yang menjadi pelabuhan dan juga tempat penyeberangan sungai ke sisi selatan sungai. Bagaimana posisi GPS kraton/benteng ditetapkan tidak diketahui, tetapi secara teknis posisi benteng di sebelah utara diduga karena pertimbangan VOC sendiri karena memiliki jalur escape ke utara di benteng utama di Semarang dengan benteng pembantu di Salatiga. Sementara pada saat itu, lalu lintas perdagangan kerajaan masih melalui sungai (Bengawan) ke Tuban/Gresik. Dalam Peta 1705 jalan terhubung ke utara di Semarang dari Soerakarta ke Kartasoera terus ke Salatiga hingga (benteng) Oengaran dan (kota pelabuhan) Semarang. Tidak tampak dalam peta, jalur jalan dari Kartasoera ke Jogjakarta. Di tenggara kraton, jalan hanya sampai ke sisi utara sungai Bengawan (saat itu belum disebut nama sungai/rivier Solo).

Jika membandingkan Peta 1705 dengan informasi yang dikuti di atas bahwa kota Soerakarta didirikan tahun 1745 apakah bersesuain? Disebutkan setelah geger Cina lalu PB II kembali menguasai Keraton Kartasura yang hancur. Lalu kraton baru akan dibangun dengan memilih di desa Sala. Pada 1745, bangunan kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut ke desa Sala di tepi sungai Bengawan Solo. Pada 17 Februari 1745, kraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti Kraton Kartasura (Kraton Surakarta). Yang jelas pada Peta 1724 kota Kartasoera masih berada di tempat yang sama seperti pada Peta 1705. Lantas kapan nama Soerakarta muncul? Awal nama Soerakarta dapat menjadi proksi untuk menentukan kapan kraton relokasi dari Kartosoero ke Soerakarta (kampong Sala?).


Dari sumber-simber yang dapat ditelusuri nama Soerakarta sudah diketahui pada tahun 1751 (lihat Naamboekje van de wel ed. heeren der hoge Indische regeringe [...] op Batavia [...]. Veranderd tot ultimo february 1750 (1751). Disebutkan Balthazar Toutlemonder adalah resident pertama di Soeracarta tahun 1747. Nama Soeracarta ini sesuai dengan nama yang dicatat dalam Daghregiter 2-06-1747. Disebutkan surat dalam bahasa Jawa dan juga terjemahannya dalam bahasa Belanda dari Soesoehoenang Pacoeboeana di Souracarta.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota di Pedalaman, Tetapi Berkembang Pesat Masa ke Masa: Tidak Hanya Surakarta, Juga Jogjakarta

Nama Soeracarta sudah jelas. Sudah diketahui tahun 1747 (paling tidak). Lantas bagaimana dengan nama Solo terinformasikan? Tampaknya belum ada yang menginformasikan. Nama Solo sejauh ini selalu diasumsikan bahwa nama Solo merujuk pada nama kampong kuno di sungai Bengawan yakni kampong Sala. Namun yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah sejak kapan nama Sala bergeser menjadi nama Solo. Nama Solo, paling tidak sudah disebut pada tahun 1793 (lihat Rotterdamse courant, 09-07-1793). Disebutkan, Souracarta, 10 April 1892, satu corps kavalery dan infantery bergerak dari Solo ke Djokja Carta.


Pertanyaan berikutnya sejak kapan nama sungai Bengawan di wilayah Suarakarta disebut sungai Solo. Pertanyaan lebih lanjut adalah sejak kapan nama sungai Bengawan dan sungai Solo menjadi sungai Bengawan Solo. Seperti kita lihat nanti, nama sungai Bengawan Solo merujuk pada nama sungai Bengawan dan sungai Solo. Hal serupa juga mengapa kini sungai sungai Tjiliwong dan sungai Jakarta tidak disebut sungai Tjiliwong Jakarta, tetapi kembali merujuk pada nama asal sungai Tjiliwoeng? Nama Solo dari nama (kampong) Sala serta nama sungai Bengawan (hulu) dan nama sungai Sala/Solo (hilir) menjadi nama tunggal: sungai Bengawan Solo, diduga terjadi pada periode yang sama, paling tidak sejak akhir abad ke-18. Dalam hal ini secara khusus perubahan pelafalan Sala menjadi Solo sisuga kuat dipengaruhi oleh lidah orang-orang Eropa/Belanda yang sudah cukup banyak di wilayah Soerakarta.

Kota Soerakarta (Sala/Solo) yang diduga telah eksis sejak 1747, pada awal era Pemerintah Hindia Belanda dijadikan sebagai ibu kota residentie (tempat kedudukan residen). Sempat disela pendudukan Inggris (1811-1816) pada tahun 1816 kembali residen ditempatkan di Soerakarta. Akan tetapi tidak lama kemudian terjadi perang. Dalam Perang Jawa (1825-1830) peran benteng Soerakarta sangat penting (benteng yang diduga telah dibangun sejak 1747). Di benteng ini menjadi pusat perbekalan yang utama yang didatangkan dari Batavia melalui pelabuhan Semarang. Benteng dan rumah Resident Soerakarta menjadi pusat administrasi Pemerintah Hindia Belanda yang dibantu dengan rumah Residen Jogjakarta (HG Nahuijst yang juga mantan dan residen pertama Soerakarta).


Komandan perang Pemerintah Hindia Belanda selama Perang Jawa adalah Kolonel Cochius, dimana markasnya berada di belakang rumah/kantor residen Jogjakarta. Benteng Jogjakarta yang sekarang (Fort Vredeburg) baru dibangun setelah usai perang. Benteng lama (sebelum perang) berada di sekitar Tugu. Markas Cochius dibangun selama perang, yang nota bene juga untuk mengamankan property Pemerintah Hindia Belanda dimana HG Nahuijs berkantor. Setelah perang, benteng baru dibangun tepat berada di seberang jalan kantor Residen Jogjakarta (kini benteng Vredeburg).

Dalam perkembangannya benteng Soerakarta tetap dipertahankan. Meski orang-orang Eropa/Belanda sudah cukup banyak dan menyebar di wilayah kota Soerakarta, benteng Soerakarta dipertahankan dan terus ditingkatkan karena fungsinya sebagai pertahanan (khususnya bagi orang Eropa/Belanda). Pada tahun 1860 benteng Soerakarta adalah salah satu benteng yang setara dengan benteng di Jogjakarta dan juga di Bojolali, Klaten dan Oengaran (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-12-1860). Benteng utama Pemerintah Hindia Belanda di Jawa bagian tengah telah dipindahkan dari Semarang ke Ambarawal (Fort Willem I).


Benteng-benteng sejak era VOC sudah banyak yang dilikuidasi tetapi banyak pula benteng baru yang dibangun di wilayah baru. Benteng-benteng lama sejak era VOC antara lain benteng Amsterdam di Makassar, benteng Antjol, benteng Nordwijk (dengan nama baru Fort Prins Frederik, benteng Semarang (nama baru Prins van Orange), benteng Banjoewangi (Fort Utrecht) dan benteng Soemenep. Pada masa ini ada terdapat beberapa jenis benteng, yakni fort, redoute dan blokhuis. Perbedaan lebih pada skala dan jenis bangunan serta fungsi-fungsi di dalamnya. Di Magelang jenisnya adalah redouter. Sementara di Kediri dan Madioen jenis blokhuis. Di samping itu, selain jenis benteng, juga untuk fungsi pertahanan dibangun beberapa jenis fungsi pertahanan seperti betterij, depensief militair establishman dan depensief kampement (semacam markas/garnisun). Status fungsi pertahanan kelas satu hanya dua buah yakni Fort Willem I (Ambarawa) dan Fort Soerabaja. Benteng Soerakarta adalah fungsi pertahanan kelas-4. Di luar Jawa hanya satu status yakni fungsi pertahan kelas ketiga.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar