Senin, 17 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (33): Tata Kota Padang Sidempuan dan Sibolga di Tapanuli; Orang Cina di Angkola dan Charles Miller


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Ada pepatah lama: ‘ketika Medan masih sebuah kampong, Padang Sidempoean sudah menjadi kota’. Implikasinya, ketika kampong Medan mulai tumbuh menjadi kota, orang Padang Sidempoean banyak migrasi ke Medan. Yang menjadi kepala kampong pertama di kampong Kesawan adalah orang Padang Sidempoean. Kampong Kesawan dalam perkembangan kota, menjadi pusat kota Medan. Pada tahun 1880 Padang Sidempoean adalah kota terbesar kedua di Sumatra (setelah Padang—ibu kota provinsi). Padang Sidempoean menjadi ibu kota Residentie Tapanoeli (province Sumatra’s Wesykust) tahun 1885 tetapi direlokasi kembali ke Sibolga tahun 1905 (seiring pemisahan Residentie Tapanoeli dari province Sumatra’s Westkust).


Padang Sidempuan sebuah kota di provinsi Sumatra Utara, kota terbesar di wilayah Tapanuli, dikenal sebagai Kota Salak (lembah di lereng gunung Lubukraya, kawasan perkebunan salak. Nama kota berasal dari "Padang na dimpu", dalam Bahasa Batak Angkola; padang artinya hamparan atau kawasan luas, na artinya yang, dan dimpu artinya tinggi. Pada zaman dahulu daerah ini merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai wilayah, pedagang ikan dan garam dari Sibolga–Padangsidimpuan–Panyabungan, Padang Bolak. Seiring perkembangan zaman, tempat persinggahan ini semakin ramai dan kemudian menjadi kota. Kota ini dibangun pertama kali sebagai benteng pada tahun 1821 oleh pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Lelo. Benteng ini membentang dari Batang Ayumi sampai Aek Sibontar. Sisa-sisa benteng peninggalan Perang Paderi saat ini masih ditemukan, walau sudah tidak terawat dengan baik. Salah satu pengaruh pasukan Paderi ini pada kota bentukan mereka ialah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk kota ini, yaitu agama Islam. Pada zaman penjajahan Belanda, kota Padangsidimpuan dijadikan pusat pemerintahan oleh penjajah Belanda di daerah Tapanuli. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah tata kota di Padang Sidempuan dan Sibolga di Tapanuli? Seperti disebut di atas, kota Padang Sidempoean berada di pedalaman di Tapanuli pernah menjadi kota terbesar kedua di Sumatra yang mana saat itu menggantikan Sibolga sebagai ibu kota residentie Tapanoeli. Namun sebelum itu di masa lampau ada kisah Orang Cina di Angkola dan ekepedisi Charles Miller ke Angkola. Lalu bagaimana sejarah tata kota di Padang Sidempuan dan Sibolga di Tapanuli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota di Padang Sidempuan dan Sibolga di Tapanuli; Orang Cina di Angkola dan Ekspedisi Charles Miller ke Angkola

Banyak kota-kota di Indonesia terbentuk baru, bahkan baru terbentuk pada era Pemerintah Hindia Belanda. Contoh kota Bandoeng, kota Pekanbaru, kota Manado, kota Kendari, kota Palu dan kota Medan serta lainnya. Kota-kota tersebut tetap eksis dan menjadi kota besar yang kini menjadi ibu kota provinsi. Dalam hal ini kota Padang Sidempuan juga kota baru sejaman, tetapi tidak tidak sebesar kota yang disebut tadi.  Kota Padang Sidempuan berada jauh di pedalaman di Sumatra dan hanya ibu kota kabupaten yang statusnya kini menjadi Kota. Lantas apa yang menjadi keutamaan kota Padang Sidempoean dalam sejarah kota-kota di Indonesia?


Kota Padang Sidempoean pernah menjadi kota terbesar kedua di Sumatra. Yang pertama terbesar adalah kota Padang dan yang ketiga adalah kota Palembang. Saat kota Medan masih kampong pada tahun 1880, Padang Sidempoean sudah menjadi kota. Di kota ini pada tahun 1876 dibangun sekolah guru (kweekschool) yang dibuka pada tahun 1879. Pada tahun 1885 kota Padang Sidempoean dijadikan sebagai ibu kota residentie Tapanoeli untuk menggantikan kota Sibolga. Pada tahun 1905 ibu kota residentie Tapanoeli direlokasi kembali ke Sibolga, yang setelah itu diduga kota Padang Sidempoean relative perkembangannya stagnan (hingga meredup dan hilang dari keutamaan kota-kota baru—bahkan kurang dikenal hingga saat ini). Namun demikian, sisa peradaban lama di kota Padang Sidempoean yang stagnan, banyak orang-orang terpelajar merantau ke berbagai kota di Indonesia termasuk di Jawa, termasuk yang mewarnai kota Medan menjadi kota besar. Sebagai contoh Radjamin Nasoetion menjadi wali kota Soerabaja pertama dan Dr Abdoel Hakim menjadi wali kota Soerabaja pertama. Keduanya adalah alumni sekolah di kota Padang Sidempoean. Kedalam daftar panjang alumni Padang Sidempoean termasuk Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pendiri organisasi mahasiswa Hindia di Belanda, Indische Vereeniging tahun 1908 dan Mr Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, PhD yang menjadi Menteri Pendidikan RI kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara).  

Okelah, jika begitu adanya. Lalu bagaimana kota Padang Sidempoean terbentuk dan tumbuh menjadi kota besar di masa lampau? Fakta bahwa pada tahun 1840 kota Bandung yang sekarang sama-sama berupa satu titik kecil sebagai suatu tempat pertama orang Eropa/Belanda. Seperti kita lihat nanti, dapat dibandingkan dengan terbentuknya kota Medan apa yang terjadi di Bandung dan Padang Sidempoean tahun 1840 baru terjadi pada tahun 1875 di Medan (ada selisih waktu 35 tahun). Wilayah dimana kota-kota tersebut dibangun memiliki sejarah yang panjang dari masa lampau.


Dalam sejarah terbentuknya kota-kota baru di Indonesia semasa era Pemerintah Hindia Belanda, dimana kota-kota baru itu diinisiasi (didirikan), perlu dipahami latar belakang wilayahnya. Sebab dasar penetapan dimana kota baru dibentuk, Pemerintah Hindia Belanda sudah mempertimbangkan latar belakang sejarah wilayah (berdasarkan studi/kajian ilmiah oleh para ahli yang dikirim terlebih dahulu), dimana populasi cukup besar dan resources tersedia secara potensial. Ibarat kata, setiap pemerintah (rezim) di seluruh dunia dari waktu ke waktu tidak akan memulai membangun kota baru di tengah suatu gurun luas yang mana salah satu kedua sumber daya tersebut tidak ada. Di wilayah dimana kota dibentuk Bandung, Medan, Bandar Lampung, Pekanbaru, Padang Sidempoean dan lainnya secara historis memiliki dinamika yang kuat. Kota Padang Sidempoean dibentuk tahun 1840 tepat berada di jantung district Angkola (kini kabupaten Tapanuli Selatan) berada di antara kota-kota kuno, di barat kota pelabuhan Barus dan di timur kota pelabuhan Binanga. Pada era VOC, seperti kita lihat nanti, masih teridentifikasi penduduk Angkola berdagang ke kedua kota pelabuhan tersebut. Kota Barus sudah disebut dalam catatan geografis Ptolomeus dari abad ke-2 dan Minanga disebut pada prasasti Kedukan Bukit dari abad ke-7. Di selatan kota Padang Sidempoean terdapat candi kuno yang sejaman dengan candi Borobudur yang berasal dari abad ke-8. Kawasan antara Padang Sidempoean dan Minanga/Binanga terdapat banyak candi-candi yang berasal dari abad ke-11. Dalam prasasti Tanjore (1030) dicatat nama-nama mirip di Tapanuli Selatan yang sekarang seperti Panai (Pane?), Ilangasongan (Binanga Songgam?), Takkolam (Akkola/Angkola?) dan Madamaligan (Mandailing?). Dalam teks Negarakertagama (1365) nama-nama tempat yang dicatat diantara Barus dan Minanga tersebut adalah selain Barus, juga Panai, (Padang) Lawas dan Mandahiling. Dalam laporan Portugis (Mendes Pinto, 1537) secara luas dideskripsikan kerajaan Aroe Batak Kingdom (kerajaan Aroe). Oleh karena itu, secara historis wilayah Angkola sejak zaman kuno adalah wilayah peradaban tua yang kemudian di jantung wilayah Angkola, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota baru Padang Sidempoean. Idem dito dengan itu, di wilayah Bandung dan Medan didirikan kota baru adalah wilayah paradaban kuno.

Orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Angkola adalah seorang botanis Charles Miller tahun 1772 (lihat William Marsden, 1881) yang menjadi utusan perusahaan dagang India timur (Inggris) di Calcutta (semacam perusahaan VOC). Charles Miller memasuki Angkola melalui sungai Lumut dari pos perdagangan Inggris di pulau Pontjang (teluk Tapanoeli). Tujuan Miller adalah untuk observasi potensi pohon kulit manis dalam rangka kontrak perdagangan kulit manis dengan orang Angkola. Nama-nama tempat yang dikunjungi Miller adalah Sipisang, Hoeta Lamboeng, Hoeta Imbaru, Simasom, Hoeta Morang, Batang Onang dan Pangkal Dolok. Dua nama terakhir termasuk bagian dari wilayah percandian Padang Lawas. Seperti kita lihat nanti, tidak jauh dari Hoeta Imbaru didirikan kota Padang Sidempoean.


Informasi tentang keberadaan wilayah Angkola pertama kali dilaporkan seorang Cina yang dicatat dalam catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister). Dalam Daghregister 1 Maret 1703 orang Cina tersebut sudah berada di wilayah Angkola selama 10 tahun sebelum tiba di Batavia. Orang Cina tersebut awalnya datang dari Batavia melalui Singapoera dan pantai timur Sumatra untuk berdagang hingga mencapai wilayah Angkola. Pedagang Cina itu selama 10 tahun berdagang di Angkola dengan membeli barang di Malaka dan meneruskan produk perdagangannya ke Malaka. Pedagang Cina, bersama istri (orang Angkola) dan satu anak perempuan empat tahun tersebut pada tahun 1703 pindah ke Batavia melalui pelabuhan Barus yang ditempuh selama 11 hari perjalanan. Peta 1825

Hingga kunjungan Charles Miller ke Angkola tahun 1772, tidak ditemukan lagi informasi mengenai wilayah Angkola di pedalaman Sumatra hingga munculnya perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kaum Padri di Minangkabau. Menjelang berakhirnya Perang Padri (1838), Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan dengan nama Residentie Noordelike dengan ibu kota di Natal dan kemudian direlokasi ke Air Bangis. Salah satu afdeeling yang dibentuk di residentie baru ini adalah Afdeeling Angkola Mandailing tahun 1840. Afdeeling terbagi dua onderafdeeling: onder afdeeling Mandailing (ibu kota di Kotanopan) dan onderafdeeling Angkola (ibu kota di Pidjor Koling).


Sehubungan dengan pembentukan residentie baru (Residentie Tapanoeli dengan ibu kota di Sibolga), maka afdeeling Angkola Mandailing dipisahkan dari Residentie Airbangis dan dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Dalam hubungan ini, ibu kota Afdeeling Angkola Mandailing dibentuk di Panjaboengan (relokasi dari Kotanopan) dan ibu kota onderafdeeling Angkola direlokasi dari Pidjorkoling ke suatu tempat baru yang relative kosong yang kemudian disebut Padang Sidempoean (area diantara Pidjorkoling di timur dan Hoetaimbaru di barat. Pada tahun 1844 di Padang Sidempoean ini sudah dibangun kantor Controleur dan garnisun militer. Cikal bakal kota Padang Sidempoean ini dibangun antara tahun 1840-1844. Pada masa ini Hoeta Imbaru dan Pidjorkoling termasuk dalam wilayah Kota Padang Sidempoean.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Cina di Angkola dan Ekspedisi Charles Miller ke Angkola: Padang Sidempoean Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar