Sabtu, 09 September 2023

Sejarah Bahasa (10): Bahasa Osing, Warisan Bahasa Kawi? Bahasa Osing di Banyuwangi Ada Diantara Bahasa Jawa, Madura dan Bali


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Di pulau Jawa, sejatinya berawal dari banyak bahasa-bahasa asli. Lalu bagaimana antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda? Seperti halnya di pulau Jawa, di pulau Madura juga awalnya memiliki bahasa asli tersendiri. Lantas bagaimana hubungannya bahasa Madura dengan bahasa Jawa. Dalam konteks itulah posisi bahasa Osing di pulau Jawa. Bahasa Osing bukan bahasa Jawa, dan juga bukan bahasa Madura. Selain bahasa Osing juga ada bahasa Tengger. Last but not least: bagaimana dengan bahasa Banyumas/Tegal? Apakah bahasa Jawa telah menjadi lingua franca di daratan pulau Jawa, layaknya bahasa Melayu di lautan Nusantara?


Bahasa Osing (bahasa Banyuwangi) adalah ​sebuah varietas dari bahasa Jawa yang dituturkan oleh suku Osing di Banyuwangi. Secara linguistik, bahasa ini termasuk dari cabang Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Using mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain: adanya diftong [ai] untuk vokal [i]: semua leksikon berakhiran i pada Bahasa Osing selalu terlafal sebagai/ai/; diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran u hampir selalu dilafalkan sebagai /a/. Bahasa Using mempunyai kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya di wilayah Giri, Glagah dan Licin, di mana Bahasa Using di sana masih dianggap murni. Kosakata Bahasa Using merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuna, akan tetapi menurut penelitian oleh Prof. Dr. Suparman Heru Santosa: Bahasa Using sudah memisahkan diri dari Bahasa Jawa Pertengahan sejak tahun 1400 M hingga 1500 M, dengan demikian sebelum Kerajaan Blambangan berdiri pun Bahasa Using sudah berkembang dan digunakan di Banyuwangi. Sehingga ada beberapa kata pada Bahasa Using yang berasal dari Bahasa Jawa Kuna, serta adanya pengaruh Bahasa Bali sedikit signifikan terlihat dalam bahasa ini, seperti kosakata sing (tidak) dan bojog (monyet). (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Osing, sisa bahasa Kawi? Seperti disebut di atas, di pulau Jawa awalnya banyak bahasa-bahasa asli. Apakah bahasa Osing sisa bahasa asli? Bahasa Osing di Banyuwangi berada diantara bahasa Jawa, bahasa Madura dan bahasa Bali. Lalu bagaimana sejarah bahasa Osing, sisa bahasa Kawi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Osing, Sisa Bahasa Kawi? Bahasa Osing Banyuwangi Diantara Bahasa Jawa, Bahasa Madura, Bahasa Bali

Sudah lama diketahui ada bahasa yang berbeda dari bahasa Jawa di Banjoewangi. Para penutur bahasa tersebut disebut orang Jawa Osing, sebagai penduduk asli di wilayah Banjoewangi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 30-06-1905). Disebutkan di kota-kota seperti Banjoewangi dan Rogodjampi populasi penduduknya cukup beragam, namun semua petaninya adalah orang Jawa Osing.


Pada tahun 1918 diadakan Kongres Kebudayaan Jawa di Soerakarta (lihat Congres voor Javaansche cultuur-ontwikkeling, 1918). Salah satu aspek yang dibahas dalam kongres adalah bahasa. Satu topik pembahasan adalah soal perbedaan bahasa, dalam hal ini hanya mengutip bahasa di Jawa. Disimpulkan dalam kongres bahwa bahasa Sunda dari karakteristiknya lebih tua dari bahasa Jawa, dimana dalam bahasa Sunda masih diucapkan diftong ai serta au, yang belum luntur menjadi é dan ó. Untuk perbedaan variasi bahasa di Jawa salah satu kosa kata elementer yang digunakan adalah kata ‘tidak’ dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa, dialek Banten (ora) dan dialek Tjeribon (beli); Temboeng Pasisir. Bangkoelon (dialek Pégo), Djawa-tengah, Bangwétan (nda); Banjoewangi (osing); plus Madura (tade) dalam dialek Kambang enggoj. 

Mengapa penduduk asli di wilayah Banjoewangi disebut orang Jawa Osing? Mengapa tidak orang Osing saja? Orang Banjoewangi saja? Hal ini karena pada akhirnya orang Belanda tidak lagi menyebut orang Jawa Sunda, tetapi sudah menjadi orang Sunda saja.


Di wilayah Banjoewangi, sebelum terbentuk kampong/kota Banjoewangi, di masa sebelumnya sudah dikenal secara luas nama Blambangan. Nama Blambangan sendiri sudah disebut dalam teks Negarakertafama (1365). Wilayah ini pada era Portugis sudah dikenal oleh orang-orang Portugis dimana gunung tinggi di Blambangan mereka identifikasi sebagai gunung Pieters (kini gunung Raung). Pada awal kehadiran Belanda, ekspedisi pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman sudah mengunjungi pantai Blambangan (1596). Selama era VOC, hanya dikenal nama (ibu kota) Blambangan. Nama Banjoewangi baru muncul pada era Pemerintah Hindia Belanda, dimana pada akhir era VOC militer VOC mendirikan benteng di dekat kampong Banjoewangi. Area sekitar benteng inilah yang kemudian terbentuk kota Banjoewangi. 

Dalam hubungannnya dengan bahasa Jawa Osing, bahasa bahasa Jawa dapat dibedakan dengan bahasa Madura dan juga dengan bahasa Bali. Oleh karena itu tidak disebut orang Jawa Madura dan orang Jawa Bali. Perbedaan orang Jawa dengan orang Madura dan orang Bali sudah barang tentu karena perbedaan elemen budaya termasuk elemen bahasa. Lantas mengapa dengan orang Jawa Osing? Apakah penduduk asli di wilayah Banjoewangi adalah orang Jawa, karena adanya perbedaan (varian) bahasa, lalu disebut saja orang Jawa Osing?


Seperti disebut di atas, di dalam Kongres Kebudayaan Jawa yang diadakan tahun 1918 salah satu untuk memahami perbedaan bahasa digunakan kosa kata elementer ‘tidak’. Dalam bahasa penduduk asli di Banjoewangi, ‘tidak’ disebut ’osing’. Apakah dari perbedaan kata ‘tidak’ ini yang lalu kemudian penutur bahasa penduduk asli di wilayah Banjoewangi kemudian disebut orang Jawa Osing?

Sekali lagi, mengapa disebut orang Jawa Osing? Apakah penduduk asli di wilayah Banjoewangi adalah orang Jawa (karena berada di pulau Jawa) atau memang orang Jawa seperti di bagian pulau, namun karena adanya perbedaan (variasi) bahasa lalu disebut orang Jawa Osing? Seberapa dekat bahasa Jawa dengan bahasa orang Jawa Osing?


Persamaan (kekerabatan) bahasa Bali dan bahasa Osing adalah sebesar 25.5 persen (lihat Putri Angreni, 1915); antara bahasa Jawa dengan bahasa Madura sebesar 52.0 persen (lihat EPI Rachma); antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda sebesar 36.0 persen (lihat Shifa Nur Zakiyah, 2022); antara bahasa Jawa dengan bahasa Bali sebesar 24.0 persen (lihat M Islaqudin, 2019); antara bahasa Jawa dan bahasa Osing sebesar 75 persen (lihat Puspa Ruriana, 2018).

Pada masa ini bahasa Jawa dengan bahasa Osing memiliki persamaan sebesar 75 persen. Cukup tinggi, tetapi tidak dapat dikatakan sama. Oleh karena bahasa Bali hanya dipisahkan oleh selat dengan bahasa Osing perberdaannya cukup tinggi (persamaannya hanya 25.5). Satu hal yang penting dalam hal ini adalah bahwa bahasa Jawa dengan bahasa Bali persamaannya sebesar 24.0 persen (kurang lebih sama antara Bali dan Osing). Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah apakah persamaan bahasa Jawa dan bahasa Osing pada masa ini sebesar 75 persen sama besarnya jika dibandingkan dengan masa lalu? (Bandingkan dengan persamaan bahasa Jawa dan bahasa Sunda sebesar 36 persen).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Osing di Banyuwangi Diantara Bahasa Jawa, Bahasa Madura, Bahasa Bali: Bahasa Osing vs Bahasa Tengger

Apa yang membedakan penutur bahasa Jawa Osing atau bahasa Osing di wilayah Banjoewangi, kelompok populasi pendukung bahasa Osing ditemukan memiliki hukum adat sendiri. Suatu hukum adat yang juga ditemukan di wilayah penutur bahasa Madura di pulau Madura dan di wilayah penutur bahasa Bali di pulau Bali. Lantas dalam hal ini, mengapa tidak ada hukum adat di wilayah penutur bahasa Jawa dan di wilayah penutur bahasa Sunda?


Ada sejumlah pendapat tempo doeloe, bahwa tidak cukup hanya elemen bahasa untuk membedakan satu kelompok populasi dengan kelompok populasi lainnya. Juga ada elemen religi, elemen kebiasaan (adat istiada), dan elemen seni termasuk arsitektur. Elemen-elemen budaya lainnyanya (selain bahasa) inilah yang kemudian pengelompokkan bahasa Jawa Osing dipisahkan sebagai bahasa Osing saja. Artinya, bahasa Osing memiliki akar bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa, tetapi sepertt disebut di atas, bahasa Osing menyerap atau bercampur dengan (kosa kata) bahasa Jawa.

Para penutur bahasa Osing yang memiliki hukum adat sendiri. Jan Willem de Stoppelaar dalam desertasinya (1927) yang telah diterbitkan sebagai buku dengan judul Balambangansch Adatrecht menunjukkan sosial budaya dan hukum adat di wilayah Banyuwangi memang berbeda dengan di wilayah Jawa lainnya. Ini mengindikasikan bahwa kelompok populasi awal (asli) di wilayah Banjoewangi, yang disebut orang Blambangan memang masih eksis sedari doeloe.


Sejarah populasi di wilayah Banjoewangi adalah sejarah yang panjang. Seperti disebut di atas, nama Blambangan sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365). Namanya tetap eksis pada era Portigis. Ketika pengaruh Islam mulai memasuki wilayah Banjoewangi (era Mataram Islam), ada perlawanan dari para pemimpin Blambangan dengan meminta bantuan pelaut-pelaut Belanda. Bantuan ini baru direalisasikan pada era VOC dimana telah terjadi kerjasama yang kuat antara VOC dan para pemimpin Bali. Selama era VOC beberapa kali terjadi konflik politik di Jawa termasuk di wilayah Banjoewangi. Dalam konteks inilah yang berlaku sebaliknya, bantuan VOC terhadap Mataram telah membalikkan situasi dan kondisi di wilayah timur pulau Jawa, dimana wilayah timur Jawa dilepaskan dan diserahkan kepada VOC. Dalam konteks inilah pengaruh Islam semakin kuat dari wilayah pantai utara di Pasoeroean dan Besuki (yang notabene juga dipengaruhi oleh budaya dari Madura). Tentu saja selama era VOC, juga terjadi migrasi dari berbagai wilayah ke wilayah Banjoewangi termasuk dari Sulawesi (terutama Mandar), dan bahkan dari Sumatra dari wilayah Melayu (menjadi tempat pengasingan para pemimpin lokal). Para pedagang VOC, yang berbasis di Batavia, dalam hubungannya dengan perdagangan di wilayah (benteng) Banjoewangi, selain para pedagangan Cina dan Arab, para pedagang Jawa dari pantai utara juga mengambil peran. Praktis pada akhir era VOC, wilayah Banjoewangi (yang awalnya didominasi oleh kelompok populasi asli telah berubah drastic). Namun komposisi populasi yang beragam itu masih terbatas di kota-kota utama seperti pelabuhan Banjoewangi dan Moentjar dan kota pedalaman di Rogodjampi. Lalu kemudian pada era Pemerintah Hindia Belanda, dalam hubungannnya pembentukan cabang pemerintahan di wilayah Banhowewangi yang diintegrasikan dengan wilayah Besuki, maka pembukaan akses dari Probolinggo, Bondowoso hingga ke selatan (Loemadjang dan Djember) ke wilayah Banjoewangi melalui pegunungan dengan membangun jalan, berdampak pada migrasi besar-besaran dari arah barat ke wilayah Banjoewangi. Migran orang-orang Jawa dari barat yang awalnya hanya di kota-kota pantai (timur dan selatan), lambat laun juga arus migrasi ke wilayah pedalaman (di sekotor pertanian dan perkebunan) yang datang dari arah barat (Djember). Puncak migrasi orang Jawa dari barat sejak dibangunnya jalur kereta api dari Djember ke Banjoewangi melalui Krikilan, Sempu dan Rogodjampi.

Pada saat Jan Willem de Stoppelaar melakukan studi di wilayah Banjoewangi, sejatinya kelompok populasi dominan di wilayah Banjoewangi bukan lagi orang Osing, tetapi sudah lebih banyak para pendatang, termasuk para migran dari Jawa, bahkan dari Banyumas. Meski demikian, wilayah-wilayah komunitas orang Blambangan/orang Osing masih banyak ditemukan bahkan komunitas Osing yang paling murni (belum terpengaruh oleh budaya dari luar).


Wilayah budaya orang Osing/penutur bahasa Osing cepat berubah. Suatu perubahan yang dapat dikatak sangat cepat diantara wilayah-wilayah budaya di Hindia. Orang Osing/orang Blambangan tidak lagi menjadi dominan di wilayah sendiri, tetapi dari segi budaya/bahasa Osing masih memiliki otoritas sendiri di berbagai tempat di wilayah Banjoewangi. Dalam konteks inilah Jan Willem de Stoppelaar melakukan studi hukum adat tersebut.

Bagaimana bahasa Osing pada masa Jan Willem de Stoppelaar? Seberapa dekat dengan bahasa Bali, bahasa Madura dan bahasa Jawa? Bagaimana mendeskripsikan tersebut, tentu saja sulit dilakukan karena saat itu belum ada kamus bahasa Osing yang diterbitkan. Boleh jadi tingkat kekerabatan bahasa Osing dengan bahasa Jawa yang sekarang (75 persen) dapat berbeda jauh dengan tingkat kekerabatan bahasanya pada masa Jan Willem de Stoppelaar. Ada interval waktu satu abad, dan selama satu abad banyak yang terjadi di wilayah Banjoewangi, termasuk perihal bahasa-bahasa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar