*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Seberapa
dekat bahasa Banjar dengan bahasa Melayu? Pertanyaan
yang sama untuk bahasa Minangkabau di Sumatra, bahasa Betawi di Jawa dan bahasa
Iban di Borneo Utara. Jika bahasa Banjar terbentuk di pantai selatan pulau
Kalimantan, seberapa tua bahasa Banjar. Dengan memisahkan bahasa-bahasa Dayak,
bagaimana hubungan bahasa Banjar dengan bahasa tetangga terdekat bahasa Kutai
dan bahasa Berau?
Bahasa Banjar adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh etnis Banjar yang merupakan etnis pribumi yang berasal dari daerah Banjar di Kalimantan Selatan. Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa bahasa Banjar termasuk kelompok bahasa Melayu, Borneo Timur. Kelompok Borneo Timur pula menurunkan dua kelompok, yaitu Borneo Utara dan Borneo Tenggara. Borneo Tenggara menurunkan satu cabang yang akhirnya menurunkan bahasa Berau dan bahasa Kutai, satu cabang lagi disebut sebagai kelompok Borneo Selatan yang menurunkan bahasa Banjar dan Bukit. Beberapa dialek Melayu di Borneo tersebut ada yang hanya menurunkan 3 vokal saja, yaitu: /i/; /u/; /a/. Collin (1991) menemukan gejala penyatuan vokal e dan a menjadi /a/ di Berau dan juga dialek lain di timur pulau Borneo, yakni dalam dialek Banjar dan Kutai (Kota Bangun). Walaupun bahasa Banjar dianggap sebagai bahasa Melayu, tetapi faktanya tidak ada kekerabatan dengan bahasa Melayu lainnya. Di tanah asalnya di Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi menjadi dua dialek besar, yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Masyarakat Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar yang ditulis dengan aksara Arab. Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Banjar di Kalimantan Selatan? Seperti disebut di atas, bahasa Banjar diduga mirip bahasa Melayu seperti halnya bahasa Minangkabau di Sumatra, bahasa Betawi di Jawa dan bahasa Iban di Borneo Utara. Lalu bagaimana sejarah bahasa Banjar di Kalimantan Selatan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan; Bahasa Minangkabau di Sumatra, Betawi di Jawa, Iban di Borneo Utara
Bahasa apa yang digunakan di wilayah Martapoera dan Bandjarmasing tidak terinformasikan sejak awal. Yang jelas nama Bandjarmasing dari waktu ke waktu menjadi sangat penting. Lantas bagaimana hubungan nama Bandjarmasin dengan nama Bandjar sendiri sebagai nama bahasa dan nama etnik?
Nama Bandjarmasin sudah dikenal, namun tidak setua Kota Waringin. Dalam teks
Negarakertagama (1365) nama-nama yang disebut antara laian Barito, Kandangan,
Sampit dan Kota Waeingin. Nama Bandjarmasin baru muncul dalam peta-peta VOC.
Sebelumnya pada era Porrugis sudah dipetakan nama Martapoera. Van Warwijk adalah
pimpinan ekspedisi Belanda yang pertama kali mendarat tanggal 10 Februari 1604
di pantai selatan Kalimantan, dan dari sana, pada tanggal 25 Februari 1604, ia
mengirimkan kapal Zon ke Ternate, dengan perintah: mengunjungi
Bengermarssin" {Bandjarmasin) untuk mengambil beras (lihat Tijdschrift
voor Neerland's Indie, 1861). Sejak era VOC, nama Banjarmasin menjadi sangat
penting (sejak didirikannya benteng VOC). Namun bagaimana gambaran situasi dan
kondisi di wilayah Kalimantan Selatan (dan Timur) secara lebih lengkap baru
terinformasikan pada tahun 1856. Jacobus Gerhardus Arnoldus Gallois, Residen Zuid en Oosterafdeeling
van Borneo, menulisnya yang dipublikasikan pada Bijdragen
tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856.
Pada tahun 1856 Jacobus Gerhardus Arnoldus Gallois menyumbangkan satu naskah tulisan tangan kepada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Naskah ini dicatat sebagai tulisan tangan (HS) berbahasa Melayu dengan surat Hollandsche letters berjudul Hikajat Radja, radja Bandjar dan radja Kotaringin (geschenk van den Heer Gallois). Hikajat tersebut menjadi penting daari segi bahasa karena disebut ditulis tangan dalam bahasa Melayu.
Namun perlu diperhatikan hikayat yang ditulis tangan tersebut tidak
terinformasikan siapa yang menulisnya, kapan teks aslinya ditulis dan ditulis
dalam medium apa dan dalam aksara apa. Secara teknis berapa banyak isi teksnya
juga tidak terinformasikan. Hikayat tersebut tentu saja memiliki banyak informasi,
terutama yang terkait dengan radja-raja Bandjar dan Kotawaringin. Namun yang
perlu dicermati apakah yang dimaksud bahasa Melayu, mengindikasikan bahasa
Melayu atau bahasa Bandjar.
Teks Hikajat Bandjar dan Kotawaringin menjadi sangat penting. Penting dalam hubungannya dengan sejarah Bandjar. Kontribusinya dalam hal linguistic tidak terinformasikan. Artikel yang dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1861 juga ada mengutip Hikayat Bandjar dan Kotawaringin.
Teks Hikajat Bandjar dan Kotawaringin semakin kerap dikutip yang dimuat
di berbagai majalah/jurnal. Seorang mahasiswa di Leiden yang mengambil doctor dalam
bidang sastra membuat judul Hikajat Bandjar. Mahasiswa tersebut JJ Ras (lihat Trouw,
10-07-1968). Apakah JJ Ras berhasil?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Minangkabau di Sumatra, Betawi di Jawa, Iban di Borneo Utara: Bahasa Kutai dan Bahasa Berau di Kalimantan Timur
Mengapa tidak ada penyelidikan bahasa Bandjar pada fase permulaan. Bahasa-bahasa yang sudah diselidiki antara lain bahasa Melayu, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Soenda, bahasa Bugis, bahasa Lampong dan bahasa Bali. Tentu saja penyelidikan terawal tersebut dihubungkan dengan kebutuhan pemerintah dan misi zending.
Seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa Bandjar juga tidak menjadi
prioritas dalam penyelidikan bahasa-bahasa di Hindia. Mengapa? Apakah karena
baik bahasa Minanngkabau dan bahasa Bandjar dihubungkan dengan bahasa Melayu?
Dengan kata lain untuk kebutuhan bahasa Minangakabau dan bahasa Bandjar sudah
cukup digunakan kamus bahasa Melayu? Nomenklatur masih disebut Mianangkabaoe Maleier
dan Bandjar Maleier. Bahasa Bandjar sebagai sebuah bahasa yang diidentifikasi
di wilayah Bandjarmasin paling tidak sudah teriunformasikan pada tahun 1847
(lihat CM Schwaner, Reis naar, en aanteekeningen betreffende de steenkolen van
Batoe Belian, 1847).
Bahasa Melayu adalah bahasa tertua di Hindia (baca: nusantara) yang sudah dikenal dan diidentifikasikasi. Tidak ditemukan dalam catatan/laporan Portugis penyebutan nama bahasa Melayu, tetapi nama bahasa Melayu sudah disebut pada awal kehadiran pelaut Belanda di Hindia. Laliu apa nama bahasa lingua franca pada era Portugis, bahasa yang kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu? Sebagaimana diketahui, kehadiran pelaut Portugis di nusantara bermula di Malaka (Semenanjung Malaya) dimana mereka mendudukinya sejak tahun 1511 (dan terus menjadi pos perdagangan utama Portugis hingga kehadiran pelaut-pelaut Belanda).
Pelayaran Conelis de Houtman yang dimulai 1595 adalah awal orang-orang
Belanda mencapai wilayah nusantara. Bagaimana mereka berkomunikasi dengan
penduduk asli tentu menjadi hal yang penting. Dalam pelayaran ini termasuk ahli
bahasa. Tentu saja Conelis de Houtman telah mengetahui bahasa pengantar (lingua
franca) di Nusantara (Oost Indie) adalah bahasa Melayu. Berangkat dari Amsterdam April 1595. Pada
bulan Februari 1596 di Madagaskar, Juni di Sumatra dan Agustus di Banten,
November di Sunda Calapa, Januari 1597 di Madura, Februari di Bali, seterusnya
ke St. Helena dan pelayaran berakhir Agustus 1597. Perjalanan pelayaran hari
demi hari yang dipimpin C de Houtman dapat dibaca pada Journael vande reyse der
Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende
vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt
aengeteeckent, 1598. Pelayaran ini dimulai pada tanggal 2 April 1595 sebanyak 249
orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta termasuk peta pulau
Madagaskar, Sumatra dan. Peta-peta yang dilampirkan dalam jurnal ini berbahasa
Portugis. Ini mengindikasikan bahwa C de Houtman merujuk pada peta-peta buatan
Portugis. Satu hal, di dalam jurnal ini juga dilampirkan kamus (kecil) bahasa
Portugis-Melayu. Ini mengindikasikan bahwa dari Amsterdam, C de Houtman hanya
mengandalkan kamus buatan Portugis ini (kamus yang diduga Bernama kamus bahasa Melayu).
Bukti tertulis pertama yang menyatakan bahasa Melayu adalah laporan Cornelis de Houtman (1595-1597). Lalu bagaimana dengan nama bahasa-bahasa lainnya di nusantara? Dalam teks Negarakertagama (1365) tidak ada kalimat yang menyatakan nama bahasa. Dalam hal ini teks Negarakertagama ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno (yang kemudian disebut Kawi). Artinya, bahasa Jawa (modern/masa kini) sendiri belum ada.
Dalam teks bahasa Sumatra kuno (1386) yang ditemukan di wilayah Kerintji
juga tidak ada kalimat yang menyatakan nama bahasa. Teks ini ditulis dalam
aksara dan bahasa Sumatra kuno. Demikian juga dalam teks sejaman yang ditemukan
di Trenggano tidak ada kalimat yang menyatakan nama bahasa. Bahasa dalam teks
Trenggano yang ditulis dalam akasara Jawi sudah lebih mirip bahasa Melayu jika
dibandingkan dengan teks Kerintji. Dalam laporan-laporan Portugis (Pires, Pinto
dan Barbosa) juga tidak ada nama yang mengindikasikan bahasa Melayu.
Jika nama bahasa Melayu sudah dicatat dalam laporan Cornelis de Houtman (1595-1597), bisa diasumsikan nama bahasa Melayu sudah eksis pada era Portugis. Pada masa Portugis ini diduga bahasa Melayu secara perlahan menjadi bahasa lingua franca di nusantara, bahasa yang penting, terdokemntasikan dan tersebar ke berbagai wilayah secara terhubung antara satu wilayah dengan wilayah perdagangan yang lain (bahkan hingga jauh ke pantai timur Tiongkok di Canton (Makao) dan pulau Taiwan dan Hainan).
Namun perlu disadari bahwa sebelum kehadiran Portugis di Hindia, sudah
ada pelaut-pelaut dari Eropa yang sudah lalu lalang di nusantara sekian abad,
sebagai suksesi pelaut-pelaut India/Arab. Pelaut-pelaut dari dari Eropa ini
adalah pedagang-pedagang Moor beragama Islam. Orang-orang Moor terusir dari
Eropa (seperti Andalusia, kini wilayah Spanyol) dalam perang agama yang
kemudian mereka terkonsentrasi di wilayah Afrika Utara (Moroko, Mauritania, Tunisia)
dan sebagain menyebar ke pantai selatan Afrika, India hingga ke nusantara. Kelompok
populasi Moor ini diduga sudah eksis di nusantara pada er Majapahit, Hal ini
karena sebab utusan Moor Ibnoe Batutah tahun 1345 berkunjunung ke selat Malaka
dan pantai timur Tiongkok. Pelaut-pelaut Moor diduga telah mendominasi
pelayaran menggantikan India/Arab karena keunggulan navigasi teknologi Eropa. Dalam
hal ini pelaut/pedagang Moor yang menghubungkan nusantara dan Eropa sejatinya
pendahulu pelaut-pelaut Portugis/Spanyol. Besar dugaan pedagang-pedagang Moor
yang telah berbahasa nusantara (Melayu) ini yang menyebabkan penyebaran bahasa
Melayu hingga ke Madagaskar dan pantai selatan Afrika. Seperti disebut di atas,
Frederik de Houtman ahli bahasa ekspedisi pertama Belanda dipimpin Cornelis de Houtman
Menyusun kamus pertama di Madagaskar (sebelum menuju Hindia Timur).
Dalam konteks inilah diduga penyebaran bahasa Melayu di berbagai wilayah nusantara hingga Maluku termasuk di pantai selatan Kalimantan. Bahasa Melayu ini diduga yang bercampur dengan bahasa-bahasa setempat (bahasa asli/local) yang membentuk bahasa-bahasa baru mirip bahasa Melayu seperti bahasa Minangkabau, bahasa Atjeh, bahasa Betawi bahasa Ambon dan bahasa Bandjar. Percampuran bahasa asli bahasa Dayak dan bahasa Melayu yang mebentuk bahasa Bandjar, sebagai suatu bahasa baru yang berbeda dengan bahasa Dayak (Doesoen) dan bahasa Melayu (yang berpusat di pantai timur Sumatra selat Malaka, Laut Cina Selatan/Laut Jawa).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar