*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Orang
Sakai merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara
tradisional dan nomaden pada suatu kawasan di pulau Sumatra di barat Kabupaten
Bengkalis dan barat Kabupaten Siak. Di Kabupaten Bengkalis, mereka mendiami
kecamatan Bathin Solapan, Mandau, Pinggir dan Talang Muandau. Di Kabupaten
Siak, mereka mendiami kecamatan Kandis dan Minas. Orang Sakai dinamai Orang
Pebatin. Nama ini dikenal ketika Jepang menjajah Indonesia.
Asal Usul. Beberapa ahli berpendapat, orang Sakai ini merupakan percampuran antara orang Wedoid dengan orang Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14. sementara orang Sakai sendiri menganggap bahwa mereka datang dari negeri Pagaruyung. Dalam pembicaraan sehari-hari di kalangan sendiri, orang Sakai menggunakan bahasa Sakai. Namun, bila berhubungan dengan pendatang dari luar, mereka menggunakan bahasa Indonesia logat Minangkabau. Rata-rata orang Sakai dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Sebagian orang Sakai memeluk agama Islam, sebagian lainnya menganut kepercayaan animisme/dinamisme. Dalam sistem kepercayaan mereka yakin bahwa roh orang yang telah meninggal dunia hidup lagi di alam baka. Roh dan hantu dibedakan menjadi dua macam, yang baik dan yang jahat. Hantu baik disebut Hantu Kebu, yang dapat membantu menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, menjaga keselamatan penduduk; sedangkan hantu jahat disebut Hantu Keburu, yang sering mendatangkan penyakit dan mengganggu orang pada malam hari. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Sakai di pantai timur Sumatra di wilayah Riau? Seperti disebut di atas penutur bahasa Sakai ditemukan di di barat Kabupaten Bengkalis dan barat Kabupaten Siak. Bahasa orang Banoea di wilayah Semenanjung Malaya. Lalu bagaimana sejarah bahasa Sakai di pantai timur Sumatra di wilayah Riau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Sakai di Pantai Timur Sumatra di Wilayah Riau; Bahasa Orang Banoea di Wilayah Semenanjung Malaya
Di Jepang ada lima kerajaan yang mana para pedagang Belanda melakukan kontak perdagangan (lihat Nederlandsche staatscourant, 14-02-1855). Kelima kerajaan tersebut adalah Jedo, Miako, Ohosaka, Sakai dan Nagasaki. Kita tidak sedangkan membicarakan kerajaan Sakai di Jepang, tetapi kelompok populasi di pantai timur Sumatra yang disebut orang Sakai.
Seperti orang Siladang, orang Sakai juga tidak terinformasikan. Kelompok
populasi di pedalaman Sumatra yang sudah lama terinformasikan adalah orang Koeboe
(1823) dan orang Loeboe (1846). Dua kelompok populasi ini menurut pemerhati etnografi
diduga adalah asal usul orang Melayu.
Nama orang Sakai paling tidak telah diinformasikan tahun 1874 (lihat Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1876). Disebutkan orang Sakai yang dimaksud berada di wilayah Semenanjung Malaya. Nama orang Semang dan orang Jakoon juga disebutkan. Orang Semang berkulit gelap jauh berada di pedalaman. Orang Ulun berada di wilayah Djohor. Penyelidikan terhadap orang Semang dan orang Sakai yang pertama sejatinya telah dilakukak oleh Rischard Logan.
N. von Miklucho-Maclay, seorang sarjana Jerman adalah orang Eropa yang
mengunjungi pedalaman Semenanjung Malaya. Mengawali perjalanan dari muara sungai
Muar hingga melakukan perjalanan kaki ke pedalaman. Perjalanannya kemudian
mengikuti sungai besar ke pantai selatan hingga kota Djohor Bahroe (tempat
dimana Toemenggong berada). Dalam perjalanan N. von Miklucho-Maclay tengah
berselisih soal perbatasan antara Bendahara Pahang dan Toemenggong Djohor. Perjalan
berikutnya N. von Miklucho-Maclay dari pantai timur dimulau dari muara sungai
Klantan hingga ke pedalaman (dimana menemukan orang Semang dan orang Sakai di
sekitar gunung Tahan dan berakhir di muara sungai Patani). Laporan ini
dipubliksasikan N. von Miklucho-Maclay pada tahun 1876. Catatan: Pada tahun 1824
Inggris melakukan turkar guling dengan Belanda antara wilayah Malaka dan
wilayah Bengkoeloe. Sejak 1864, Penang, Malaka dan Singapoera disatukan Inggris
sebagai The Sraits Settlement. N. von Miklucho-Maclay yang dipertuan (Sultan)
Tringano, Radja Kalantan, dan yang dipertuan Kedah, wajib membayar upeti kepada
Raja Siam.
N. von Miklucho-Maclay adalah orang pertama yang dapat nmengidentifikasi orang Sakai berbeda dengan orang Melayu. Orang Sakai lebih dekat dengan orang Semang. Sebaliknya ada orang Sakai yang bercampur dengan orang Melayu sehingga ada anggapan orang Sakai mirip orang Melayu. N. von Miklucho-Maclay adalah orang pertama yang melakukan jauh hingga ke pedalaman sehingga bisa membedakan. N. von Miklucho-Maclay Ketika melewati wilayah Semaang tidak menemukan orang Semang, tetapi menemukan dua anak Semang yang ditangkap yang menjadi milik radja di Singoro. Orang Semang dan orang Sakai merupakan satu kelompok populasiu yang sama, menurut N. von Miklucho-Maclay orang Semang kurang lebih sama dengan orang Negritos di Filipina.
Orang-Sakai menurut N. von Miklucho-Maclay wajah bentuk meso dan
memperlihatkan
rambut ikal-ikal kecil yang sangat
halus. Jenggotnya juga sangat
keriting, meskipun ikal-ikal pada rambut. Selain individu-individu yang
berambut keriting rapat, yang merupakan inti utama Orang-Sakai dan Orang-Semang
yang tidak bercampur, terdapat cukup banyak hibrida dengan berbagai tingkatan;
yang rambutnya menunjukkan segala tingkatan mulai dari rambut Papua yang sangat
keriting hingga rambut ketat orang Melayu. Warna rambut. secara umum lebih
gelap dibandingkan dengan suku Melayu. Catatan: N. von Miklucho-Maclay telah
banyak melakukan studi di Papua Nugini. Sebagaimana diketahui pada masa ini
Papua Nuguni di wilayah yurisdiksi Jerman. Seperti dikatakan N. von Miklucho-Maclay
bahwa orang Inggris mendapat informasi dari orang Melayu, sementara dirinya
langsung melihat sendiri ke pedalaman.
Menurut N. von Miklucho-Maclay orang Semang tidak tercampur dan masih asli di pedalaman. Sementara N. von Miklucho-Maclay mencatat bahwa orang Melayu membedakan orang Sakai liar (di pedalaman) dan orang Sakai jinak di dataran rendah (sudah ada yang bercampur dengan orang Merlayu (anak perempyan orang-Sakai Jinak banyak sebagai istri orang Melayu). Orang Sakai Jinak berinteraksi dalam perdagangan dengan orang Melayu dan seluruhnya berbahasa Melayu (bahkan mulai melupakan bahasa asli mereka). Orang Sakai liar berbeda bahasa derngan orang Melayu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Orang Banoea di Wilayah Semenanjung Malaya: Bahasa Sakai Diantara Bahasa Orang Lubu dan Bahasa Orang Banoea
Nama orang Sakai di pantai timur Sumatra di daerah aliran sungai Siak bagian hulu paling tidak diinformasikan pada tahun 1885 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1885). Disebutkan Talang Gassip sekarang ditetapkan sebagai tempat tinggal mereka dan para pengikutnya, yang dikenal sebagai Orang Sakai.
Orang-orang
Sakai karena satu dan lain hal
telah mengalah kepada pangeran, sehingga mereka
terpaksa mengungsi ke seberang Sungai Siak. Tanah yang ditinggalkan oleh mereka
kemudian diberikan kepada Sukoe Gassip, yang diperintahkan oleh raja untuk
mendiami dan mengolah wilayah tersebut. Orang Sakai sebagian menetap di Mandau hulu dan Koenta
(Kota-Inten), dan sebagian lagi di Sungei Prawang. Meski kemudian diterima
kembali oleh raja, orang Sakai
tidak berani kembali dari tempat persembunyiannya dan semakin mundur ke
pedalaman, dimana mereka menjalani kehidupan mengembara di hutan hingga saat
ini. Namun, mereka yang pergi ke Sungei Prawang, cabang Sungai Siak, tetap
berada disana di bawah seorang kepala suku yang bergelar Batin Prawang. Sukkoe Gassip yang seperti kami sampaikan di atas
merupakan yang terpenting dan juga terbesar, semakin meluas, sehingga tak lama
kemudian banyak orang keluar dengan niat untuk menetap di Tapong. Namun, ketika
mereka melewati Senapalan, mereka dihentikan di sana oleh Batin, yang
menunjukkan kepada mereka sebidang tanah untuk ditinggali dan memberi mereka
sebuah kepala, yang disebutnya Batin Sigalas. Dari sukkoe Gassip muncullah
sukkoe Pandan, terdiri dari orang-orang yang datang dari luar (dari laoet),
yaitu orang asing.
Nama orang Sakai sudah lama diketahui. Namun perhatian terhadap orang Sakai sangat minim hingga seorang antropologis mengunjungi wilayah pemukimanan orang Sakai pada tahun 1928 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-02-1928). Amtropologini bermaksud untuk menyelidiki asal usul mereka.
Disebutkan Dr. Elshout, baru saja kembali dari perjalanan melewati
pedalaman Siak (Sunatra), di mana dilakukan studi antropologi terhadap suku
Sakaï yang berkeliaran di wilayah tersebut. Persoalan yang melatarbelakangi
perjalanan penelitian ini adalah pertanyaan tentang asal usul para penghuni
hutan tersebut, apakah mereka murni keturunan ras purba dari Malaka dan
Sumatera. Untuk itu, Dr Elshout melakukan perjalanan dari hulu Mandau (anak
sungai Siak) melewati hutan belantara menuju Rokan Kiri, langsung melewati
daerah tempat tinggal suku Sakai, didampingi seorang bupati dan seorang camat
untuk perjalanan ini. Menurut Dr. Elshout, ini adalah rute perjalanan yang
sangat melelahkan melalui wilayah yang tidak ramah, di mana orang biasanya
terpaksa mencari jalan melalui jalur gajah. Kesulitan terbesar akan datang
bersentuhan dengan penghuni hutan. Permukiman yang kami lewati sebagian besar
sepi. Permasalahannya adalah suku Sakai sering pergi ke hutan untuk berburu,
atau tinggal di lahan pertanian mereka, sementara para perempuan dan anak-anak Sakai
sangat pemalu. Masyarakat jarang datang bersentuhan dengan penduduk pesisir.
Dengan banyak usaha, dimungkinkan untuk meneliti antropologi Sakai sekitar 100
orang. Seluruh suku memiliki sekitar 2.000 jiwa. Kesan yang didapat setelah
dilakukan penelitian adalah tidak ada ras primal disini, melainkan ras campuran
(Siakker dari Djahore dan Minangkabeuers).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar