Sabtu, 07 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (64): Bahasa Siladang di Pedalaman Sumatra di Wilayah Mandailing, Tapanuli; Bahasa Lubu dan Bahasa Sakai


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Siladang adalah bahasa yang digunakan oleh suku Siladang, yang persebaran penuturnya terdapat di Kabupaten Mandailing Natal dan berada dalam wilayah penuturnya bahasa Mandailing. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Sebelumnya kelompok populasi Siladang tertinggal. Semasa era Pemerintah Hindia Belanda kelompok populasi yang tertinggal lainnya yang berdekatan dengan Siladang adalah orang Lubu dan orang Sakai.

 

Mengenal Siladang, Penduduk Ibu Kota Madina yang Punya Bahasa Sendiri. Nizar Aldi. DetikSumut, Medan 4 Feb 2023: Masyarakat Siladang merupakan kelompok penduduk yang berada di Panyabungan, Ibu Kota Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Uniknya, masyarakat Siladang memiliki bahasa sendiri yang berbeda dari bahasa etnis Mandailing. Masyarakat Siladang mendiami wilayah yang saat ini bernama Desa Aek Banir dan Sipapaga. Keduanya desa ini hanya berjarak belasan kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Madina. Belasan tahun yang lalu, masyarakat Siladang merupakan kelompok masyarakat yang tertinggal. Masyarakat Siladang memiliki bahasa sendiri dalam berinteraksi sehari-hari. Mereka memiliki bahasa yang berbeda dari etnis Mandailing yang menghegemoni wilayah sekitar desa tersebut. Lantas bagaimana kisah masyarakat Siladang tersebut? (https://www.detik.com/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Siladang di pedalaman Sumatra di wilayah Mandailing, Tapanuli? Seperti disebut di atas bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Batak dan bahasa Minangkabau. Bagaimana dengan bahasa Lubu dan bahasa Sakai? Lalu bagaimana sejarah bahasa Siladang di pedalaman Sumatra di wilayah Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Siladang di Pedalaman Sumatra di Wilayah Mandailing, Tapanuli; Bahasa Lubu dan Bahasa Sakai

Bahasa Siladang dituturkan kelompok populasi Siladang di wilayah Afdeeling Angkola Mandailing Residentie Tapanoeli. Lantas sejak kapan nama Siladang diinformasikan? Di dalam laporan akhir jabatan Asisten Residen Angkola Mandailing tahun 1846 hanya mencatat tentang keberadaan kelompok penduduk (orang) Loeboe. Para pemerhati kepurbakalaan (termasuk antropologi dan etnologi) nama Loeboe terus dibicarakan yang dikaitkan nama-nama Koeboe dan Orang Banoea. Nama Siladang tidak pernah terinformasikan.


Pasca Perang Padri, cabang pemerintahan Afdeeling Angkola Mandailing dibentuk pada tahun 1840. Afdeeling terdiri onderafd. Mandailing ibu kota di Panjaboengan dan onderafd. Angkola ibu kota di Padang Sidempoean. Sebagai Asisten Residen diangkat TJ Willer yang berkedudukan di Panjaboengan dan sebagai Controleur di Padang Sidempoean diangkat W Gobin. Pada tahun 1840 seorang ahli geologi dan botani FW Jung Huhn ditugaskan di Angkola Mandailing dan Padang Lawas. Saat penugasan inilah Jung Huhn menemukan candi-candi di wilayah Padang Lawas. TJ Willer mengakhiri jabatannya tahun 1846.

Dalam perkembangannya ada pemerhati yang berpendapat bahwa orang Loeboe memiliki memiripan dengan orang Banoea di semenanjung Malaya di wilayah Djohor (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ, 1850). Disebutkan keduanya berbicara bahasa Melayu dengan bentuk yang sangat kasar. Para pemerhati disebutkan sudah lama meragukan asal usulorang Melayu dari Minangkabau. Sebaliknya penemuan orang Koeboe (1823) dan orang Loeboe (1846) memunculkan spkulasi tentang asal usul orang Minangkabau. Penyelidikan lebih lanjut akan mengungkap sisa-sisa suku Melayu asli di Sumatera, yang dari situ dimungkinkan mengetahui asal usul serta masyarakat Menangkabau.


Disebutkan lebih lanjut pengenalan yang akurat terhadap orang Loebu mungkin akan memungkinkan kita menjawab pertanyaan apakah mereka, atau oreang Benoea di semenanjung, merupakan induknya. Namun, karena kita berharap dapat menghubungkan orang Benoea dengan populasi lain yang lebih utara di benua ini, kita harus memperhitungkan kemungkinan besar bahwa orang Loeboe berasal dari mereka. Tapi siapakah orang Loeboe ini?  Para pemerhati hampir tidak ragu mengaitkan nama mereka semata-mata karena kesalahan ketik atau percetakan. Pasti yang dimaksud TJ Willer adalah orang Koeboe, seperti penghuni pedalaman Palembang.

Lantas bagaimana kaitan orang Loeboe di wilayah Angkola Mandailing dengan orang Siladang? Apakah keduanya merupakan kelompok populasi yang sama atau berbeda. Namun sayang, perhatian terhadap penemuan orang Loeboe cepat menghilang dan kurang terinformasikan.  Hanaya catatan TJ Willer saja yang diulang-ulang. Orang Siladang benar-benar tidak tinformasikan, tersembunyi rapat jauh di tengah hutan wilayah Mandailing.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Lubu dan Bahasa Sakai: Seberapa Dekat Bahasa Lubu dengan Bahasa Siladang?

Nama Siladang tidak pernah terinformasikan. Hanya nama orang Loeboe yang sudah dikenal lama di wialay Mandailing. Setelah laporan TJ Willer, yang pertama menulis tentang orang Loeboe adalah CA van Ophuijsen (seorang guru di sekolah guru Padang Sidempoean 1881-1890. Lalu setelah Ophuijsen, kembali nama orang Loeboe tidak terinformasikan, hingga seorang jurnalis dari Deli Courant di Medan melakukan kunjungan pada tahun 1933.


Sejak kapan nama Siladang terinformasikan? Tidak diketahui secara pasti hingga jurnalis dari Medan melaporkannya. Lalu sejak kapan orang Mandailing mengetahui atau mengenal orang Siladang? Sudah barang tentu sudah lama (karena hubungan perdagangan). Hanya saja secara akademik tidak pernah terinformasikan ke publik.

Dalam kunjungan jurnalis Medan ke wilayah orang Loeboe, juga melaporkan tentang orang Siladang di dekat Panjaboengan (lihat Deli courant, 12-07-1933). Tulisan yang dipublikasikan di surat kabar Deli Courant kemudian dilansir surat kabar di Semarang (lihat De locomotief, 22-07-1933).      

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar