*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Empat
Lawang adalah sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Ibu
kotanya adalah Tebing Tinggi. Kabupaten Empat Lawang diresmikan pada 20 April
2007. Kabupaten Empat Lawang merupakan pemekaran dari kabupaten Lahat. Wilayah
Empat Lawang berada di wilayah pegunungan diantara wilayah Palembang dam
wilayah Bengkulu.
Bahasa Melayu, bahasa Palembang, atau bahasa Musi adalah dialek yang digunakan masyarakat di sebagian wilayah Sumatera Selatan. Di antara berbagai macam bahasa daerah Sumatera Selatan, bahasa Melayu atau Palembang (dialek kota) juga berfungsi sebagai bahasa pemersatu. Bahasa Melayu di provinsi Sumatera Selatan biasanya dituturkan di wilayah Empat Lawang, Musi Rawas, Banyuasin, Penukal Abab Lematang Ilir, dan lain-lain. Di Sumatra Selatan bahasa Melayu terdiri dari sembilan dialek, yaitu Palembang Sukabangun, Kisam, Muara Saling, Selangit, Rupit, Bentayanyang, Palembang, Padang Binduyang, dan dialek Talang Ubi. Berdasarkan perhitungan dialektometri, persentase perbedaan sembilan dialek itu adalah 51-80%. Isolek Melayu adalah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar 81-100% jika dibandingkan dengan bahasa Kayu Agung, Ogan, Pademaran, Komering, dan Lematang (https://www.detik.com/edu/)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Empat Lawang di pedalaman Sumatra? Seperti disebut di atas bahasa Empat Lawang dituturkan di wilayah Empat Lawang. Palembang di pantai timur dan Bengkulu di pantai barat Sumatra. Lalu bagaimana sejarah bahasa Empat Lawang di pedalaman Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Empat Lawang di Pedalaman Sumatra; Palembang di Pantai Timur dan Bengkulu di Pantai Barat Sumatra
Artikel sebelumnya tentang bahasa Basemah. Artikel ini secara khusus tentang bahasa-bahasa di (kabupaten) Empat Lawang. Kabupaten Empat Lawan pemekaran kabupaten Lahat. Bahasa Basemah digunakan di kabupaten Lahat dan kota Pagaralam. Di kabupaten Empat Lawan terdapat bahasa Lintang, bahasa yang terdiri dari dua dialek: dialek ‘o’ dan dialek ‘e’.
Salah satu daerah yang punya cukup banyak penutur
bahasa daerah berbeda-beda adalah Kabupaten Empat Lawang (ibukota
di Tebing Tinggi). Berikut bahasa-bahasa daerah yang dituturkan di Kabupaten Empat
Lawang: (1) Bahasa Lintang, mayoritas masyarakat Empat
Lawang adalah penutur bahasa Lintang dengan beragam dialek. Belum banyak penelitian tentang bahasa
Lintang ini. Namun, secara umum dikenal perbedaan ada perbedaan dialek dalam
bahasa Lintang yakni dialek 'o' dan dialek 'e'. Dialek 'o' dituturkan di
Kecamatan Muara Pinang, Lintang Kanan, Pendopo, Pendopo Barat, Sikap Dalam, dan
Ulu Musi. Dialek 'e' dipergunakan masyarakat Kecamatan Tebing Tinggi dan Talang
Padang. Pemakai dialek 'e' seperti 'e' dalam pengucapan 'ember', 'benteng'
dalam bahasa Indonesia. Ada pula di sebuah desa Kecamatan Sikap Dalam. Mayoritas
dialeknya sama kecuali ada beberapa kata tertentu. Jika dialek 'o' mengatakan
'nedo' untuk tidak, dialek 'e' menggunakan kata 'nede', maka di Desa Karang
Dapo Kecamatan Sikap Dalam mereka memakai 'ne e' tidak pakai fonem 'd'. (2) Bahasa Besemah adalah bahasa
mayoritas masyarakat Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat. Sedangkan di Empat Lawang ada
satu kecamatan yang masyarakatnya adalah penutur asli bahasa Besemah ini yakni
Kecamatan Pasemah Air Keruh. (3) Bahasa Col banyak dituturkan
di Kecamatan Muara Saling yang berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas. Menurut
para ahli bahasa col ini secara keilmuan dikategorikan dalam bahasa Lembak yang
penuturnya banyak di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. (https://palpres.disway.id/)
Bagaimana asal-usul dan terbentuknya bahasa Lintang di Empat Lawang? Orang Eropa pertama ke pedalaman di Pasemah adalah Presgrave atas penugasan Raffles di Bengkoeloe. Presgrave berangkat tahun 1817 melalui Manna dan tiba di selatan lereng gunung dengan desa pertama yang disebut Basemah Lebar dimana penduduknya banyak mengidap gondok.
Desa pertama yang ditemui disebut
Basemah Lebar. Artinya ada desa-desa lain setelag itu, dan juga ada desa-desa
lain yang berada di sepanjang perjalanan hingga ke Basemah Lebar namun jauh di
dalam (tidak terlihat). Desa Basemah Lebar inilah kemudian dijadikan nama
wilayah terutama setelah pemulihan Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1852 Residentie
Palembang direorganisasi dengan membentuk 5 afdeeling: Afdeekling 1 terdiri
hoofdplaats Palembang dan divisien Iliran en Banjoe Asin, Komering Ilir, Ogan
Ilir, Moesi Ilir dan Lamatang Ilir; Afdeeling 2 divisien Tebing Tinggi, Ampat
Lawang, Lamatang Oeloe, Moesi Oeloe, Kikim dan landschappen Redjang en
Pasoemah; Afdeeling 3 divisien Ogan Oeloe, Komering Oeloe en Enim, serta
landschappen Semendo, Kisam en Makakau; Afdeeling 4 meliputi daerah aliran
sungai Rawas; Afdeeling 5 Eks rijk Djambi, berada di bawah otoritas pemerintah
(Belanda) yang diserahkan kepada raja pribumi kecuali havenplaats Moeara' Kompeh.
Di afdeeling 2 Asisten Resident berkedudukan di Tebing Tinggi. Di onderafdeeling
Ampat-Lawang conrtroleur berkedudukan di Talang Padang dan di onderafdeeling
Redjang Lebong controleur di Kapahiang dan di onderafdeeling Lebong controleur berkedudukan
di Tapoes. Dalam hubungannya dengan reorganisasi tersebut di wilayah (residentie)
Palembang, pada tahun 1851 Radja Tiang Alam memberontak melawan otoritas
pemerintah. Lalu dilakukan ekspedisi militer ke pedalaman. Radja Tiang Alam
disebutkan telah bergeser ke Ampat Lawang dan tetap tidak mengakui otoritas
Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 14-04-1852). Seperti kita lihat nanti,
pada akhirnya Radja Tiang Alam berhasil ditangkap dan diasingkan ke Jawa
Demikianlah awal terinformasinya nama Basemah dan nama Ampat Lawang. Lantas kapan nama Ampat Lawang terinformasikan? Yang jelas nama Basemah (Lebar) terinformasikan pada tahun 1817. Seperti disebut di atas, pada tahun 1852 nama Ampat Lawang dijadikan sebagai nama wilayah (onderafdeeling) dengan ibu kota di Talang Padang. Desa Basemah (Lebar) termasuk wilayah onderafdeeling Ampat Lawang. Desa Basemah Lebar inilah kemudian yang kini menjadi cikal bakal Kota Pagaralam. Pada tahun 1867 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan rute jalan yang akan dibangun dari Bengkoeloe, Kepahiaug dan Talang-Padang dengan tujuan wilayah Pasemahlanden.
Beslist No 10 tanggan 13 Oktober 1867 (Staatsblad No 137) Dewan Hindia
Belanda mendengarkan; Disetujui dan dipahami: Untuk menetapkan bahwa mulai saat
ini semua angkutan penumpang pemerintah dan barang yang berasal dari Benkoelen,
Kepahiaug en Talang-Padang dengan tujuan wilayah Pasemahlanden akan melalui
jalur Talang-Padang (Ampat-Lawang), Sawah (Lintong), Goenoeng-Kaija
(Pasemah-Öeloe-Lintang), Gelong-Sakti dan Bandar (Pasema-Lebar); dengan catatan
jarak antara tempat-tempat berikut ini adalah sebagai berikut: antara Redjang
dan Kebon-Agong 1 etape sejauh 9 pal; Kebon-Agong dan Tandjong-Agong dengan
81/2 pal; Tandjong-Agong dan Talang-Padaug dengan 10 pal; Talaug-Padang dan
Sawah (Lintang) 11 pal; Sawah (Lintang) dan Goenong Kaija (Pasma-Oeloe-Lintang)
12 pal; Goenoeng Kaija-Gelong Sakti (Pasemah Lebar) 10 pal; Gedoeng
Sakti-Bandar (Pasemah Lebar) 8 pal. Atas
perintah Gubernur Jenderal: Algemeene Sekretaris Wattendorff (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1867).
Dalam beslit pemerintah tersebut sebagai jalur yang dilalui adalah Talang Padang yang merupakan ibu kota onderafdeeling Ampat Lawang. Untuk menuju Pasemahlanden (kini Pagaralam), dari Talaug-Padang melalui Sawah (Lintang) dan Goenong Kaija (Pasma-Oeloe-Lintang) serta melalui Gelong Sakti dan Bandar (Pasemah Lebar). Lalu bahasa-bahasa apa yang dituturkan pada wilayah-wilayah tersebut.
Sebagaimana yang dikutip di atas, bahasa Empat Lawang dituturkan di wilayah Empat Lawang. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa Lintang, bahasa yang dituturkan mayoritas masyarakat Empat Lawang. Pada masa ini dikenal ada perbedaan dialek dalam bahasa Lintang yakni dialek 'o' dan dialek 'e'. Dialek 'o' dituturkan di Kecamatan Muara Pinang, Lintang Kanan, Pendopo, Pendopo Barat, Sikap Dalam, dan Ulu Musi. Dialek 'e' dipergunakan masyarakat Kecamatan Tebing Tinggi dan Talang Padang.
Pada era Pemerintah Hindia Belanda onderafdeeling
Tebingtinggi ibu kota di Tebingtinggi dan onderafdeeling Ampat Lawang di Talang
Padang. Pada masa ini di dua wilayah dituturkan bahasa Lintang. Dialek 'e' dipergunakan
masyarakat di Tebing Tinggi dan di Talang Padang. Sementara dialek 'o' dituturkan
di Muara Pinang, Lintang Kanan, Pendopo, Pendopo Barat, Sikap Dalam dan Ulu
Musi. Lalu apa yang menyebabkan terbentuk dua dialek?
Secara geografis sungai Musi yang berhilir di Palembang, di arah hulu melalui
kota Tebingtinggi dan kota Talang Padang. Di arah hulu sungai Lintang bermuara
ke sungai Musi. Di Kawasan tanjung ini (kawasan pertemuan dua sungai) ini
terdapat kota Pendopo. Sungai Musi berhulu ke arah utara di Rejang, sedangkan
sungai Lintang berhulu ke arah selatan (Pasemahlanden).
Lalu mengapa bahasa di wilayah Ampat Lawang disebut bahasa Lintang? Lantas nmengapa terbentuk dua dialek (‘o’ dan ‘e’). Dialek ‘e’di Tebing Tinggi dan Talang Padang (daerah aliran sungai Musi); dialek ‘o’ di Muara Pinang, Lintang Kanan, Pendopo, Pendopo Barat, Sikap Dalam dan Ulu Musi. Secara geografis bahasa Lintang ini yang terbagi dua, dialek ‘e’ di hilir dan dialek ‘o’di hulu sungai (sekitar lereng gunung Dempo).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Palembang di Pantai Timur dan Bengkulu di Pantai Barat Sumatra: Bagaimana Terbentukan Bahasa Empat Lawang?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar