Jumat, 20 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (90): Bahasa Kayuagung di Hilir Sungai Ogan dan Sungai Komering; Komering, Ogan, Lampung dan Palembang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Kayuagung atau Komering Kayuagung adalah suku di kabupaten Ogan Komering Ilir, provinsi Sumatera Selatan. Komunitas suku ini umumnya terdapat di beberapa wilayah/kecamatan di kabupaten Ogan Komering Ilir. Budaya dan adat istiadat yang masih terjaga hingga kini ialah Adat Lamaran dan Tari Penguton Kayuagung. Suku Kayuagung adalah salah satu bagian dari kelompok subsuku Komering.


Bahasa Kayuagung atau Base Kiyagong adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh Suku Kayuagung yang sebagian besar bermukim di Kecamatan Kota Kayuagung, dan di sebagian perkampungan Lempuing dan Mesuji. Ciri khas dari bahasa ini adalah dengan akhiran "E Taling" yang juga telah dipengaruhi oleh Bahasa Ogan, Bahasa Lampung dan Melayu Palembang. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Kayuagung di Hilir sungai Ogan dan sungai Komering? Seperti disebut di atas bahasa Kayuagung sebagai dialek bahasa Komering. Bahasa Ogan, bahasa Lampung dan bahasa Melayu Palembang. Lalu bagaimana sejarah bahasa Kayuagung di Hilir sungai Ogan dan sungai Komering? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Kayuagung di Hilir Sungai Ogan dan Sungai Komering; Bahasa Komering, Ogan, Lampung dan Palembang  

Apakah ada bahasa Kayuagung? Tentu saja ada, karena keberadaan orang Kayuangung. Lantas bagaimana sejarah bahasa Kayuangung? Tentu saja harus diperhatikan terlebih dahulu sejarah orang Kayuagung. Lebih spesifik lagi, sebelum mempelajari bahasa Kayuagung, lebih dahulu mempelajari wilayah Kayuangung.


Pananda navigasi sejarah Kayuagung adalah Palembang. Nama Palembang paling tidak sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365). Hanya ada dua nama yang disebut dalam di bagian selatan pulau Sumatra, yakni Palembang dan Lampung. Dalam laporan-laporan Portugis tidak terinformasikan nama Palembang. Mengapa? Nama Palembang baru terinformasikan pada era VOC/Belanda. Disebutkan dilakukan proses komunike dari tahun 1662 lalu dibuat resolusi lagi tahun 1671. Komunike dilakukan lagi pada tahun 1677 dan menghasilkan resolusi baru tahun 1678. Pada tanggal 20 April 1678 dibuat kontrak antara Sultan Ratoe dan D de Haas. Pada tanggal 15 Januari 1691 dilakukan renovatie (perbaikan) kontrak yang terkait dengan tahun-tahun 1662, 1678, 1679 en 1681. Pada tanggal 16 Oktober 1691 dilakukan ratifikasi oleh Hooge Regering terhadap renovatie tanggal 15 Januari 1691. Selain brieven, resolusi dan contract juga ditemukan sejumlah memorie yakni tahun 1666, 1673, 1674, 1700, 1706, 1711 dan 1716. Pada tahun 1721 terdapat sebuah instruksi dan sebuah rapport. Pada tanggal 2 Juni 1722 dilakukan renovatie terhadap contract.  Pada tanggal 6 Agustus 1723 dibuat ratificatie terhadap renovatie 2 Juni 1722. Pada tahun 1724 dibuat lagi resolusi. Pada tanggal 10 September 1755 dibuat renovatie terhadap contract sebelumnya. Leydse courant, 11-07-1755. Demikian seterusnya proses renovatie dan ratifikasi berulang. Residen pertama Palembang diangkat C Fred Schreuder tahun 1784 (lihat Middelburgsche courant, 01-05-1784). Ratifikasi yang terakhir dibuat tanggal 28 November 1791.

Hanya nama Palembang yang disebut selama era VOC. Boleh jadi karena Palembang dijadikan VOC sebagai posr perdagangan utama di daerah aliran sungai Musi. Benteng (fort) VOC dibangun di sisi selatan sungai (lihat Peta 1700). Pada tahun 1780 kraton Palembang dipindahkan dari tempat yang lama (Palembang Lamo, di hilir) ke arah tepat berada di sisi yang berseberangan dengan benteng VOC. Era baru pembentukan kota Palembang dimulai. Namun tetap hanya nama Palembang yang disebut dalam dokumen VOC.


Sejak tahun 1791 tidak terdeteksi interaksi antara Palembang dengan pejabat-pejabat atau para pedagang VOC/Belanda. Boleh jadi hal itu karena VOC/Belanda yang berpusat di Batavia sedang menghadapi berbagai masalah. Hal ini diperburuk pada tahun 1795 pemerintahan VOC/Belanda diambil alih Prancis (seiring di Eropa dengan pendudukan wilayah Belanda oleh Prancis). Meski demikian yang terjadi tampaknya tidak semua wilayah berhasil dikuasai oleh Prancis. Seperti diberitakan Amsterdamse courant, 06-03-1798: ‘Berdasarkan pesan-pesan otentik dari Batavia, tertanggal 6 Juli 1797, tidak semua Pulau Jawa diserang secara paksa, tetapi Republik ini (baca: VOC/Belanda) masih memiliki Ternate, Makasser, Banjermasing dan Palembang; Mereka (Prancis) hanya menang telak di Batavia. Sementara dari pesan lainnya bahwa Ternate, khususnya, betapapun lemahnya penduduk gagah berani penduduk melakukan perlawanan yang dikontrol oleh Engelschen. 

Pada tahun 1799 VOC/Belanda dinyatakan bubar dan kemudian diambilalih oleh Kerajaan Belanda di bawah kuasa Prancis (Napoleon). Pada tahun 1800 dibentuk Pemerintahan Hindia Belanda oleh Kerajaan Belanda di bawah kuasa Prancis. Salah satu Resident ditempatkan di Palembang (1805). Satu yang penting dalam permulaan Pemerintah Hindia Belanda ini diangkatnya Daendels sejak 1809 sebagai Gubernnur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa ini di Palembang ditempatkan seorang pejabat setingkat Residen.


Namun tidak lama kemudian terjadi pendudukan militer Inggris di Batavia pada tahun 1811. Pemerintah Hindia Belanda yang masih muda lumpuh. Wilayah-wilayah kekuasaannya di luar (pulau) Jawa melakukan pemberontakan termasuk di Saparoea (Maluku) dan Palembang (Sumatra). Pada situasi ini ekspedisi Inggris dikirim ke Banca dan Palembang. Bagaimana gambaran (pelabuhan) Palembang saat awal pendudukan Inggris di Palembang dilukiskan oleh surat kabar Java government gazette, 04-07-1812. Disebutkan tentang situasi penduduk dan permukiman di kedua sisi sungai Moesi dan produksi yang diperdagangakan di pelabuhan Palemmbang seperti gambir, kapas, damar, gading, mata kucing, belerang, garam, lilin, beras, benzoin, nila, tembakau, pinang, kerbau dan emas, tetapi item yang paling penting adalah timah Banca. Sebagian besar yang lain adalah dibeli dari wilayah yang jauh di bagian pedalaman Sumatra. 

Sesaat Inggris menduduki Jawa (1811), Residen Palembang terbunuh. Saat kehadiran Inggris di Palembang situasi dan kondisi berhasil dikendalikan. Pangeran Palembang dianggap bertanggung jawa atas kematian Residen. Pangeran Palembang diasingkan, sebagai konsekuensi kesultanan Palembang melepaskan wilayah Bangka. Hingga saat ini tetap hanya nama Palembang yang disebut di daerah aliran sungai Musi. Namun sudah disebut Palembang terhubung dengan wilayah pedalaman seperti disebut di atas: ‘sebagian besar komoditi local dibeli yang berasal dari wilayah yang jauh di bagian pedalaman Sumatra’.


Ketika Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan kembali pada tahun 1816. Berdasarkan berita yang dikirim dari Batavia pada bulan Februari, pengakuisisian kembali oleh Belanda ini, disebutkan tidak hanya pulau Jawa, juga Palembang, Macassar, Bandjermasing dan pulau Banca yang terkenal dengan timahnya ('s Gravenhaagsche courant, 04-07-1817). Lalu kemudian dilakukan ekspansi ke pantai barat Sumatra yang mana Pelembang dan Lampong dinormalisasi lebih dahulu. Namun itu tidak mudah, kehadiran Belanda mengalami resistensi dan terjadi perlawanan dimana penduduk memaksa Commisaris, Mr. Muntinghe untuk menarik diri dari Palembang (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 14-12-1819). Ekspedisi berangkat dari Batavia pada bulan Agustus 1919 yang dipimpin oleh Wolterbeek untuk melumpuhkan Sultan Machmud Badrudin (lihat  Opregte Haarlemsche Courant, 06-01-1820). Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) termasuk Tapanoeli. Namun masih ada Inggris dimana-mana. Boleh jadi untuk memuluskan pembentukan cabang pemerintahan di pantai barat Sumatra dan di Palembang (khusunya di pedalaman), dalam fase ini di Pantai Barat Sumatra ini, Pemerintah Hindia Belanda melakukan tukar guling antara Bengcoolen yang dimiliki Inggris dengan wilayah yang dikuasai Belandia di Malacca (1824). Pemerintah Hindia Belanda dengan percaya diri lalu pada tahun 1825 Kesultanan Palembang dilikuidasi yang kemudian Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk cabang-cabang pemerintahan (di Residentie Palembang). Residentie Palembang en Banka telah dipisahkan menjadi dua Residentie. Pemerintahan mulai dibentuk pada tahun 1825 berdasarkan Beslit No.32 tanggal 16 Agustus 1825. Setelah penaklukan Sultan kantor Residen dipindahkan ke sisi utara sungai tidak jauh dari kraton. Eks kraton kemudian ditingkatkan menjadi benteng dengan beberapa bastion. Di sekitar kraton dan kantor Residen inilah kemudian area orang-orang Eropa berkembang. Kerjaan Palembang tamat, kraton Palembang tamat. Dalam perkembangannya didasarkan atas klaim (kesultanan) Palembang atas wilayah Rawas mendapat perlawanan dari Radja Djambi. Lalu ekspedisi militer dikirim ke Rawas tahun 1833. Sebagai konsekuensinya Radja Djambi tidak hanya kehilangan Rawas, juga wilayah hilir Djambi dimana pemerintahan local diberikan kepada para pemimpin Palembang kecuali Moeara Kompeh tetap di bawah kendali Pemerintah Hindia Belanda (suatu wilayah hilir Djambi yang diperoleh pemerintah karena berhasil mengusir bajak laut atas permintaan Radja Djambi). 

Lantas bagaimana dengan wilayah Kajoeangoeng? Wilayah Kajoeagoeng adalah suatu wilayah yang tidak terlalu jauh dari Palembang, bukan di daerah aliran sungai Musi tetapi wilayah diantara sungai Ogan dan sungai Komering (kedua sungai ini bermuara ke sungai Musi di sekitar Palembang).


Pada tahun1852 Residentie Palembang dibagi ke dalam empat afdeeling. Afdeeling pertama terdiri dari (a) Kota Pelembang; (b) Hiran en Banjoeasing, (c) Komering Ilir. (d) Ogan Ilir, (e) Moesi Ilir, (f) Lematang Ilir; Afdeeling kedua (Afdeeling Tebing Tinggi) terdiri dari Tebing Tinggi, Ampat Lawang. Lematang Oeloe, Moesi Oeloe dan Kikim ditambah dua landschap Redjang dan Pasoemah; Afdeeling ketiga (Afdeeling Ogan Oeloe, Koemering Oeloe en Enim) terdiri dari Ogan Oeloe, Komering Oeloe dan Enim ditambah tiga landschap Semendo, Kisam dan Makakan; Afdeeling keempat adalah wilayah aliran sungai Rawas.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Komering, Ogan, Lampung dan Palembang: Asal Usul dan Terbentuknya Bahasa Kayuagung

Nama Kajoragoeng paling tidak telah terinformasikan pada tahun 1857 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1857). Sebagaimana diketahui pada tahun 1851 Radja Tiang Alam di wilayah hulu sungai Musi (wilayah Tebingtinggi) melakukan perlawanan terhadap otoritas pemerintah (Residentie Palembang). Pada tahun 1853 Radja Tiang Alam yang bergeser ke wilayah Pasemah dan Ampat Lawan dapat ditangkap tahun 1856 dan kemudian diasingkan ke Jawa. Praktis pada tahun 1857 sudah dapat dikendalikan sepenuhnya di di daerah aliran sungai Musi (kecuali yang masih tersisa di Redjang dan Lebong).


Pada tahun 1857 Pemerintah Hindia Belanda di wilayah (residentie) Palembang mulai merintis pembangunanan jalan raya dan sungai sebagai moda transportasi angkutan barang dan orang. Salah satu rute yang akan dikembangkan adalah rute dari (kota) Palembang ke arah barat daya yang melalui wilayah diantara sungai Ogan dan sungai Komering. Pusat wilayah adalah ibukota district Kajoeagoeng. Catatan: Radja Tiang Alam meninggal di Salatiga tahun 1873 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-10-1873). Sebelumnya Sultan Macfmud Badaruddin diasingkan ke Ternate (wafat 1852). Para pemimpin Palembang lainnya diasingkan ke Banjoewangi.

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar