Rabu, 13 Desember 2023

Sejarah Bahasa (172): Bahasa Sumba Pulau Sumba dan Kayu Cendana Tempo Doeloe; Melanesia-Papua dan Austronesia-Melayu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Sumba adalah bahasa daerah yang terutama digunakan oleh masyarakat di pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pada tahun 1961 Alkitab Perjanjian Baru (PB) bahasa Kambera (Sumba Timur) dan pada tahun 1970 PB bahasa Wewewa (Sumba Barat) diterbitkan oleh LAI.


Pulau Sumba didiami oleh Suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur adalah bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Masyarakat Sumba secara rasial adalah campuran Ras Melanesia-Papua dan Ras Austronesia-Melayu, yang cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Sumba di pulau Sumba, penghasil kayu cendana tempo doeloe?  Seperti disebut di atas bahasa Sumba dituturlam orang Sumba di pulau Sumba. Melanesia-Papua dan Austronesia-Melayu. Lalu bagaimana sejarah bahasa Sumba di pulau Sumba, penghasil kayu cendana tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Sumba di Pulau Sumba, Penghasil Kayu Gaharu Tempo Doeloe; Melanesia-Papua dan Austronesia-Melayu

Ada pepatah bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Nama bahasa adakalanya merujuk pada nama tempat, nama yang digunakan untuk mengidentifikasi yang geografi yang lebih luas. Bagaimana dengan nama Sumba? Nama Sumba dalam hal ini adalah nama pulau tidak jauh dari pulau Timor. Di sebelah barat laut pulau Sumba disebut pulau Sumbawa.


Dalam peta-peta Portugis nama Sumbawa sudah diidentifikasi. Namun bukan nama pulau Sumba yang sekarang, tetapi nama pulau Sumbawa yang sekarang. Nama pulau Sumba sendiri pada era Portugis hanya diidentifikasi dengan nama pulau Sandelbosch (pulau penghasil kayu cendana), sedangkan nama pulau Flores masih diidentifikasi sebagai pulau Aeamaram (Mangarai?). Pada tahun 1636 Gubernur Jenderal VOC Hendrik Brouwer meresmikan nama pulau Aramaram menjadi nama Flores. Sejak itu nama Flores digunakan hingga selanjutnya ke masa kini. Sedangkan nama pulau Sumba tetap disebut nama pulau Sandelbosch. Akan tetapi pada Peta 1724 (era VOC), nama pulau Sumba tetap diidentifikasi sebagai Sandelbosch tetapi ditambahkan juga dengan nama Pulau Tjindana. Tampaknya nama pulau Tjindan (cendana) mengganyikan nama Sandelbosch.

Lantas sejak kapan nama pulau Sumba diidentifikasi? Yang jelas selama ini disebut pulau Sandelbosh (Sandelhoud) dan kemudian juga disebut pulau Tjindana. Pada tahun 1819 nama Sumba diidentifikasi nama selat Soemba (lihat 's Gravenhaagsche courant, 15-09-1819). Dalam literatur Prancis nama Sumba juga sudah diidentifikasi pada era Pemerintah Hindia Belanda (lihat Nouvelle géographie, d'après les meilleurs géographes et les voyageurs les plus récents, 1824).


Sejak era Portugis kehidupan Katolik tumbuh dan berkembang di pulau Timor dan bagian timur pulau Flores. Pemerintah VOC sangat membatasi ruang gerak (perluasan) kegiatan misi di Hindia Timur. Pos perdagagan VOC/Belanda di Koepang menjadi bagian terpenting kehadiran Belanda di Timor dan sekitar. Hal itulah mengapa kegiatan misi tetap terbatas di Timor dan sekitar. Situasi dan kondisi berubah sejak Prancis menduduki Belanda dimana Lodewijk Bonaparte naik tahta. Demikian juga situasi Katolik di wilayah kekuasaan Belanda (di Hindia Timue). Pada tahun 1807 Lodewijk Bonaparte, yang baru saja naik takhta Belanda, memproklamirkan kebebasan beragama. Dekrit kerajaan tersebut diumumkan di Pulau Jawa oleh Marsekal Daendals, Gubernur Hindia Belanda. Lalu dua misionaris, J. Nelissen dan L. Prinssen, orang pertama yang bergelar prefek apostolik, segera berangkat ke Batavia dan tiba pada tanggal 4 April 1808. Beberapa saat kemudian, sebuah gereja kecil diserahkan kepada umat Katolik dan didedikasikan untuk Saint Louis; dan akhirnya menjadi Katolik, melalui dukungan yang baik. Sejak inilah diduga penganut Katolik di Timor terutama di Flores terlindungi. Namun situasi berubah kembali (pasca pendudukan Inggris) dimana pada tahun 1818 terjadi kebakaran yang menghancurkan arsip Portugis di Timor dan menghancurkan semua tugu peringatan otentik yang berkaitan dengan sejarah Flores dan Timor.

Pada Peta 1835 nama Sumba sudah diidentifikasi dengan nama Tanna Sumba atau Tjindana. Pada Peta 1840 nama pulau diidentifikasi sebagai Pulau Sumba atau pulau Sandelhoud. Seperti halnya nama Pulau Flores, nama pulau Sumba juga banyak seperti Tjendána, Sandelhout, Sandelwood dan tentu saja Sandelbosch. Lantas mengapa nama pulau Sumba muncul?


Nama Sumba seakan kependekatan dari nama pulau Sumbawa. Apakah kedua pulau ini memiliki keterkaitan tentang nama atau hal lainnya yang dihubungkan dengan kedua nama pulau tersebut? Yang jelas seperti disebut di atas, beberapa waktu sebelumnya sudah diidentifikasi nama selat Sumba?

Lantas bagaimana dengan kelompok populasi yang berada di pulau Sumba? Seperti disebut di atas, kelompok populasi di pulau Sumba berbahasa Sumba yang terdiri beberapa dialek di dalam pulau. Bahasa Sumba dituturkan oleh orang Sumba.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Melanesia-Papua dan Austronesia-Melayu: Bagaimana Terbentuknya Populasi di Pulau Sumba Tempo Doeloe?

Satu yang penting dalam bahasa Sumba adalah kosa kata elementer, suatu kata yang kerap diucapkan di lingkungan keluarga dan di rumah. Kosa kata elementer tersebut antara lain ayah dan dan ibu. Ayah dalam bahasa Sumba adalah ama dan ibu adalah ina. Bagaimana bisa dua kosa kata elementer ini persis sama dengan bahasa Batak di Sumatra?


Tidak hanya Ama dan Inna.  Juga Ama kaweda dan Inna kaweda yang dimaksud adalah sapaan seorang cucu terhadap kakek dan nenek kandung. Ana mane dan Ana mawine sapaan orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan kandung. Na’a adalah sapaan seorang perempuan terhadap kakak/adik laki-lakinya. Wotto adalah sapaan seorang laki-laki terhadap kakak/adik perempuannya. Umbu adalah sapaan kakek dan nenek terhadap cucu laki-laki ataupun perempuan. Amaangua dan Inaangua adalah sapaan terhadap saudara kandung laki-laki dari pihak ayah dan saudara kandung perempuan dari pihak ibu. Loka dan Camma adalah sapaan terhadap saudara kandung laki-laki dari pihak ibu dan saudara kandung perempuan dari pihak ayah. Anakabine adalah sapaan untuk keponakan baik itu laki-laki ataupun perempuan. Anguleba dan Olebei adalah sapaan terhadap sepupu dari pihak ayah dan ibu. Wera adalah sapaan terhadap mertua atau besan. Wasse adalah sapaan terhadap menantu. Olesawa dan Ippa adalah sapaan terhadap ipar laki-laki dan perempuan.

Untuk sebutan saudara laki-laki terhadap saudara perempuan (atau sebaliknya) dalam bahasa Batak adalah iboto (bahasa Sumba dibedakan antara wotto dan na’a). Amaangua dan Inaangua dalam bahasa Sumba sapaan terhadap saudara kandung laki-laki dari pihak ayah dan saudara kandung perempuan dari pihak ibu. Dalam bahasa Batak amangtua/amangtobang adalah sebutan anak terhadap abang dari ayah (yang mana isterinya disebut inangtua/inangtobang). Untuk adik ayah disebut amnguda/amangposo (dan istrinya disebut inanguda/inangposo). Satu yang penting dicatat adalah dalam bahasa Sumba wera adalah sapaan terhadap mertua atau besan, sementara dalam Batak disebut mora. Apakah hal itu bersifat kebetulan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar