*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa
Indonesia awalnya Bernama bahasa Melayu di Indonesia. Lalu apa nama bahasa
tersebut di masa lampau sebelum disebut bahasa Melayu. Apakah bahasa
Austronesia. Seperti nama bahasa Batak? Demikian juga dengan nama-nama bahasa
daerah di Indonesia pada masa ini, apakah namanya berbeda dengan nama masa
lampau?
Keunikan Nama-Nama Geografi Indonesia: Dari Nama Generik ke Spesifik. Abdul Gaffar Ruskhan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 17(3). Abstrak. Nama-nama geografi di Indonesia memiliki bentuk yang bermacam-macam, baik yang berasal dari bahasa Indonesia maupun yang berasal dari bahasa daerah masing-masing. Keberbagaian itu merupakan keunikan nama geografi yang kaya dengan budaya termasuk bahasanya dan bahwa terdapat pula nama geografi yang berasal bahasa asing. Namun, penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai nama geografi merupakan pilihan yang tidak dapat diabaikan. Dalam nama geografi, ada unsur generik dan unsur spesifik yang menjadi hal yang penting. Unsur generik itu merupakan unsur yang mengandung makna umum berupa kenampakan alam, seperti daratan dan perairan, serta. kawasan khusus, buatan, dan administratif. Sementara itu, nama spesifiknya adalah nama yang membatasi unsur generiknya. Unsur spesifik itu muncul dari penamaan masyarakatnya, yang tidak lepas dari nama generiknya.
Lantas bagaimana sejarah penamaan bahasa dan pergantian nama bahasa di Indonesia sejak rempoe doeloe? Seperti disebut di atas ada nama bahasa berbeda antara masa kini dengan masa lalo. Geografi, linguistic dan politik. Lalu bagaimana sejarah penamaan bahasa dan pergantian nama bahasa di Indonesia sejak rempoe doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Penamaan Bahasa dan Pergantian Nama Bahasa di Indonesia Sejak Tempoe Doeloe; Geografi, Linguistik, Politik
Pada dasarnya nama bahasa tidak menunjukkan nama bangsa. Tempo doeloe nama bahasa merujuk pada nama geografi, lalu dari nama bahasa diturunkan pada nama suku (bangsa). Nama geografi adalah penanda navigasi terpenting dalam hubungannya antara satu tempat dengan tempat lain, antara satu bangsa dengan bangsa lain. Nama geografi kemudian diidentifikasi pada peta-peta laut (antara lain pada peta navigasi pelayaran perdagangan).
Nama bahasa apa yang pertama kali dicatat di Indonesia? Tidak ditemukan
pada prasastip-prasti kuno. Juga tidak ditemukan dalam teks Negarakertagama (1365).
Dalam laporan-laporan perjalanan terawal dari musafir Tiongkok, Arab dan Eropa
juga tidak ditemukan. Orang pertama Eropa yang menyusun kamus kecil (daftar
kosa kata) bahasa di Indonesia adalah Pigafetta (1522). Dalam
daftar kosa kata bahasa tersebut Pigafetta hanya menyebut bahasa yang digunakan
di Maluku, Filipinan dan di Malacca. Nama Melayu sebagai bahasa belum
terindentifikasi hingga baru ditemukan dalam catatan pelayaran Cornelis de Houtman
(1595-1597).
Seperti kita lihat nanti nama-nama bahasa merujuk pada nama geografi, tetapi nama bahasa Melayu menjadi menarik karena sulit menemukan bukti awal sebagai nama geografi. Dalam catatan Pigafetta (1522) tidak menyebut nama bahasa Melayu, tetapi menyebut bahasa yang digunakan di Maluku dan bahasa yang digunakan di Malacca. Dalam daftar kosa kata (kamus) Pigafetta itu terkesan ada kemiripan, kemiripan yang kemudian dikenal sebagai (kamus) bahasa Melayu. Nah, kapan nama Melayu ini muncul sebagai nama bahasa? Seperti disebut di atas, nama bahasa Melayu kemudian disebut dalam catatan Cornelis de Houtman (1597).
Istilah "Melayu" dan pelafalan serupa sejak abad ke-15
merupakan sebuah toponim kuno yang pada umumnya mengacu pada daerah-daerah di
selat Malaka. Malaya Dwipa, "Malaya Dwipa", seperti yang tertera
dalam bab 48 Vayu Purana, wilayah Malaka merupakan sebuah provinsi di laut
timur yang sangat kaya akan emas dan perak. Beberapa ahli juga memasukkan
daerah Sumatra ke dalam istilah tersebut. Akan tetapi, para ahli dari India
menyakini bahwa istilah ini hanya merujuk pada semenanjung Melayu yang terdiri
atas banyak pegunungan, sementara Sumatra lebih merujuk kepada penggambaran di
dalam Suvarnadvipa. Maleu-kolon – sebuah lokasi di Semenanjung Emas, yang
tertera di dalam karya Klaudius Ptolemaeus (90–68 M), Geographia mencatat
sebuah tanjung di Aurea Chersonesus (Semenanjung Melayu) yang bernama
Maleu-kolon, yang diyakini berasal dari Bahasa Sanskerta, malayakolam atau
malaikurram. Mo-lo-yu – seperti yang disebutkan oleh Yijing, seorang biarawan
Buddha aliran Tiongkok dari dinasti Tang yang berkunjung ke Asia tenggara pada
tahun 688–695. Menurut Yijing, kerajaan "Mo-Lo-Yu" berjarak 15 hari
pelayaran dari Bogha (Palembang), ibu kota Sribhoga (Sriwijaya). Kerajaan
tersebut juga berjarak 15 hari pelayaran dari Ka-Cha (Kedah), sehingga dapat
dikarakan bahwa kerajaan Mo-Lo-Yu terletak di tengah-tengah jarak antara
keduannya. Pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, dicatat
dalam Prasasti Tanyore disebut nama Malayur. Diantara masa akhir dinasti Yuan
(1271–1368) dengan masa awal dinasti Ming (1368–1644), kata Ma-La-Yu seringkali
disebut di dalam teks-teks kuno Tiongkok untuk menyebutkan wilayah yang
terletak di laut selatan. Meskipun begitu, ejaan untuk menyebutkan
"Ma-La-Yu" berbeda-beda karena adanya pergantian dinasti ataupun
intervensi pengguna bahasa-bahasa Tionghoa, akan tetapi "Bôk-lá-yù",
"Mók-là-yū", Má-lì-yù-er, Oō-laì-yu merupakan istilah yang sering
digunakan menurut catatan tertulis dari biarawan Xuanzang) dan Wú-laī-yû. Pada
Bab 48 teks agama Hindu Vuya Purana yang berbahasa Sanskerta, kata Malayadvipa
merujuk kepada sebuah provinsi di pulau yang kaya emas dan perak. Di sana berdiri
bukit yang disebut dengan Malaya yang artinya sebuah gunung besar (Mahamalaya).
Meskipun begitu banyak sarjana Barat, antara lain Sir Roland Braddell
menyamakan Malayadvipa dengan Sumatra. Sedangkan para sarjana India percaya
bahwa itu merujuk pada beberapa gunung di Semenanjung Malaya. Berdasarkan
Prasasti Padang Roco (1286) di Sumatera Barat, ditemukan kata-kata bhumi malayu
dengan ibu kotanya di Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Malayu dan Sriwijaya yang telah ada di Sumatra sejak abad ke-7.
Kemudian Adityawarman memindahkan ibu kota kerajaan ini ke wilayah pedalaman di
Pagaruyung. Petualang Venesia yang terkenal, Marco Polo dalam bukunya Travels
of Marco Polo menyebutkan tentang Malauir yang berlokasi di bagian selatan
Semenanjung Melayu. Catatan dari Dinasti Ming pada tahun 1377 menyebut tentara
Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Dengan kata lain, San-fo-tsi
adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatra, sebagaimana mereka menyebut
Jawa dengan istilah Cho-po. Hikayat Aceh (sekitar 1625, manuskrip yang ada
sekitar 1675) menghubungkan etnis Melayu dengan Johor, tapi tidak menyebut Aceh
atau Deli sebagai Melayu. Pararaton (1600an) menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu
yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah
kepergian bangsa Mongol tahun 1294 (Wikipedia)
Berdasarkan catatan-catatan terdahulu sejak zaman kuno, nama Melayu merujuk pada wilayah yang berada di (pulau) Sumatra.
Geografi, Linguistik, Politik: Perubahan-Perubahan Nama Bahasa Daerah di Indonesia
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar