*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini
Sejak memudarnya Kerajaan Aru, wilayah Padang
Lawas kambat laun semakin tidak terinformasikan. Wilayah Padang Lawas
tersembunyi di pedalaman Sumatra jauh di bagian hulu sungai Barumun. Meski
demikian masih ada satu dua yang pernah mengunjunginya dan karena itu sangat
sedikit yang terinformasikan. Salah satu yang penting dari mereka adalahFW Hung
Huhn yang berkunjung ke Padang Lawas.
Charles Miller melakukan ekspedisi ke Angkola tahun 1772 (lihat buku The Hostory of Sumatra by William Marsden, 1811). Charles Miller--yang dipandu penunjuk jalan dan kuli angkut memulai perjalanan dari Pulau Pontjang, pos perdagangan Inggris di Teluk Tapanoeli. Dengan kapal kecil berangkat tanggal 21 Juni 1772 hingga tiba di muara sungai Lumut, Selanjutnya mencapai Si Pisang di tepi sungai Batang Toru. Dengan melintasi punggung bukit perjalanan melalui Koto Lambong (Huta Lambung) hingga tiba Terimbaru (Hutaimbaru), kampong besar di tepi selatan dataran Ankola (05 Juli 1772). Lalu dari Simasom, Miller ke Morang dan berakhir di Pangkal Dolok, Batang Onang (Padang Lawas). Jauh sebelum Miller, tahun 1701 seorang Cina melaporkan di Kasteel Batavia sudah selama 10 tahun di Angkola berdagang dengan mengambil barang di Malaka (lihat Daghregister Maret 1701). Terakhir Jung Huhn melakukan ekspedisi geologi tahun 1840 di Angkola dan Jung Huhn cukup lama di Portibie (merangkap perwakilan pemerintah). Sebagaimana diketahui Perang Padri terakhir terjadi di Dalu-Dalu tahun 1838.
Lantas bagaimana sejarah Padang Lawas semasa Pemerintah Hindia Belanda? Sebelum kehadiran Pemerintah Hindia Belanda Perang Padri terakhir terjadi di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuaku Tambusai. FW Jung Huhn memuali awal pemerintahan di Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah Padang Lawas semasa Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Padang Lawas Semasa Pemerintah Hindia Belanda; Tuaku Tambusai, Perang Padri dan FW Jung Huhn
Pada akhir era abad ke-18 situasi dan kondisi di Eropa telah memberi pengaruh pada situasi dan kondisi di Hindia Timur. Inggris terancam di Amerika. Ini bermula ketika Kerajaan Inggris menaikkan pajak di Amerika. Respon terjadi di Boston pada tahun 1773 dengan protes. Pada tahun berikutnya parlemen Amerika menyerukan boikot terhadap perdagangan Inggris. Kongres Kontinental Kedua diadakan pada tahun 1775 untuk mengatur pertahanan koloni melawan Inggris.
Inggris yang sudah lama bercokol di India, mulai mengirim ekspedisi ke
Hindia Timur dan Pasifik. Charles Miller melakukan ekspedisi ke pantai barat Sumatra
termasuk ke wilayah Angkola tahun 1772 (lihat buku The Hostory of Sumatra by William Marsden,
1811). Pada tahun 1775 diberitakan
baru pulang dari Zuidland (lihat Groninger courant, 11-07-1775). Disebutkan kapal
Inggris di Calcutta The Resolution dengan Kapitein J Cook tiba dari Zuidland
tanggal 21 Januari. Zuidland adalah nama benua selatan (orang
Belanda menyebut Nieuw
Hollandia). Berita tentang kepulangan James Cook dari Laut
Selatan kemudian dilansir oleh surat kabar Haarlemse Courant, 05-08-1775. Di
dalam berita ini ada tambahan berinta yang menyatakan bahwa Kapten yang
melaporkan di Laut Selatan yang hebat telah menemukan sebuah pulau besar yang
berukuran 160 Mil Inggris dan lebar 146 udara yang cerah dan tanah yang subur
yang menurut Kapten adalah tempat terbaik untuk memulai populasi Inggris
melakukan pertanian di Laut Selatan. Pemahaman James Cook ini di
satu pihak ada benarnya bahwa dia telah menemukan sebuah pulau besar, tetapi di
sisi lain mungkin dia tidak mengetahui bahwa pulau besar itu sudah kerap
dikunjungi pelaut-pelaut dan pedagang Belanda bahkan sejak 1616. Usulan James
Cook ini di satu sisi untuk dijadikan koloni Inggris ada benarnya, tetapi di
sisi lain bahwa pulau ini telah diklaim oleh VOC (Belanda) sebagai miliknya
sejak pelayaran Abel Tasman tahun 1642 dan 1644. Sudah barang tentu klaim James
Cook ini akan membuat gerah VOC (yang berpusat di Batavia). Dalam surat kabar yang sama juga diberitakan
telah terjadi perang di Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jenderal Washington.
Perang Amerika yang berbasis di Virginia ini adalah melawan Inggris.
Amerika akhirnya menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776. Inggris kehilangan pengaruhnya di pantai timur Amerika Serikat. Nama James Cook semakin penting, kerena pelayarannya telah dibukukan dan dipublikasikan sebagaimana dapat dibaca pada iklan Oprechte Haarlemsche courant, 03-04-1777. Buku tersebut diberi judul A Voyage Round the World in his Majesty Sloop Resolution, commanded by Kapt James Cook 1772-1775 by George Forster. Setahun kemudian buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dan diiklankan Amsterdamse courant, 28-04-1778. Saat bukunya di Eropa terus diiklankan di berbagai surat kabar, James Cook sedang berada di Hindia Timur (lihat Noordhollandsche courant, 08-12-1779). Disebutkan, James Cook akan melakukan pelayaran ke utara tetapi belum diketahui secara pasti. Namun tidak lama kemudian Oprechte Haerlemsche courant, 15-01-1780 memberitakan bahwa penjelajah terkenal Kapten James Cook meninggal dalam perjalanannya. Dalam tulisan masa kini, James Cook disebutkan diserang dan terbunuh pada bulan Februari tahun 1779 di Hawaii. Apakah kehadiran James Cook di Pasifik dekat pantai barat California ada hubungannya dengan kebijakan Inggris untuk menanamkan pengaruh di pantai barat Amerika setelah Amerika Serikat di pantai timur bergejolak (dan akhirnya menyatakan kemerdekaannya). Tampaknya harapan Inggris di Amerika Serikat terkendala karena James Cook sebagai perintis ke Pasifik Timur telah tiada (tentu saja tidak mudah untuk mengirim ekspedisi yang baru), dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti yang dilakukan James Cook.
Inggris terusir dari pantai timur, dan Inggris juga gagal untuk memasuki
pantai barat Amerika. Sementara itu, perseteruan Inggris (East India Company) dan Belanda (VOC)
dari masa ke masa di Hindia Timur akhirnya mencapai puncak. Pada tahun 1781, satu skuadron
Inggris berangkat dari Madras dialihkan ke pantai barat Sumatra. Langkah
Inggris ternyata membuat Belanda ciut dan mulai meninggalkan Padang dan semua
pos perdagangan lainnya di pantai barat Sumatra. Dalam perkembangannya Inggris
sudah menyapu habis semua kekuatan Belanda (VOC) bahkan di pulau-pulai kecil. VOC/Belanda tamat di pantai barat Sumatra. Inggris sendiri di Bengkoelen
paling tidak sudah diketahui tahun 1724 (lihat Amsterdamse courant,
09-05-1724).
Setelah Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur di Benkoelen. Inggris menjadi Radja di (pantai barat) Sumatra. Inggris kemudian membuka cabang pemerintahan (setingkat Residen) di Padang. Sebelumnya Inggris telah memperkuat posisinya di Tapanoeli (di pulau Pontjang Ketjil). Hal ini terjadi setelah tahun 1772 yang mana Charles Miller melakukan ekspedisi botani ke pedalaman Sumatra di Angkola (kini Padang Sidempuan). Sementara itu selain Inggris memiliki benteng di Bengkoelen juga memilki benteng di Natal (Tapanoeli).
Inggris menetap di Natal pada tahun 1755 dengan membangun benteng.
Benteng yang dibangun tahun 1755-1756, Benteng Natal panjangnya 212 meter,
lebar 150 meter dengan empat Bastions yang tinggi 10 meter masing-masing, dan
dikelilingi oleh parit yang dalamnya 10 kaki dan lebar lebar 14 kaki. Benteng
ini dibuat untuk melindungi penduduk di belakangnya dari musuh (dari darat)
maupun dari laut (orang asing). Wilayah
di sekitarnya di arah utara terdapat Linggabojo, Mandailing dengan populasi
3.000 jiwa dan di selatan terdapat Batahan, Mandailing dengan 2.500 jiwa.
Populasi Natal sendiri terdiri dari berbagai asal-usul. Di dalam benteng
sendiri terdapat satu bangunan tinggal dan empat bangunan untuk gudang
rempah-rempah, tempat persenjataan, tempat tenaga kerja dan lainnya. Di luar
benteng yang jaraknya 200 meter di
sepanjang pantai terdapat rumah perjabat dan pegawai, termasuk Asisten Residen
dan rumah sakit. Di sekitar bukit terdapat taman-taman botani dan taman-taman
pemerintah. Di sebelah atas benteng adalah pasar dimana terdapat 200 rumah. Pada tahun 1760 benteng Natal direbut Prancis
(lihat Leydse courant, 26-06-1761). Disebutkan
pada tanggal 4 Februari 1760 kapal Prancis berlabuh di Aijer Bangis dan 7
Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal
ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60 orang pribumi. Namun tidak lama kemudian
Inggris meninggalkannya. Pada tahun 1761 Raja Inggris telah mengumumkan bahwa
benteng Marlbourg, yang terletak di Bencoolen di pantai barat Sumalra, menjadi
sebuah paroki, dan telah menempatkan seorang Burgmeester dan Aldermen di
dalamnya (lihat Middelburgsche courant, 27-01-1761). Pada tahun 1761 Inggris
telah melakukan perjanjian dengan Radja Baros dan Airjer Bangie. Inggris
kemudian membangun pos perdagangan di teluk Tapanoeli di pulau Pontjang Ketjil.
Lambat laun Belanda mundur dari Air Bangies dan memusat di Padang. Belanda juga
memperluas ke Indrapoera, Setelah
ditinggal Inggris, benteng dan bangunan ini tidak menjadi perhatian VOC lagi
dan hingga kehadiran Belanda kembali sudah banyak yang rusak berat, VOC/Belanda
pada tahun 1764 mengambil Air Bangis (yang telah ditinggalkan Prancis/Inggris)
dan menjadikannya sebagai post perdangan, Di pihak lain Inggris menginginkan
Padang dan Bengkulu disatukan.
Strategi Inggris memindahkan skuadron di Madras (pantai timur India) ke Bengkoelen (pantai barat Sumatra) diduga kuat banyak tujuan. Pertama, pedagang-pedagang Inggris di Maluku telah relokasi ke Bengkoelen dan telah memulai perkebunan pala dan cengkeh (yang bibitnya didatangkan dari Maluku). Kedua, Inggris ingin menguasai Sumatra (minus Atjeh). Ketiga, untuk mengamankan pelayaran dan lalu lintas pedagang-pedagang Inggris via Selat Malaka ke Tiongkok. Keempat, tampaknya Inggris sedang mengincar Tanah Laut Selatan (sebagai pengganti Tanah Amerika yang lepas). Tentu saja (keenam) Inggris ingin mengancam Belanda di Hindia Timur (yang berpusat di Batavia).
Pada tahun 1781 buku William Marsden terbit di London. Judulnya The
History of Sumatra. Di dalam buku ini juga dilampirkan hasil penyelidikannnya
tentang bahasa Melayu dan juga kamus singkat bahasa Melayu. William
Marsden (1781) menyatakan teluk Tapanoeli adalah teluk terbaik di Sumatra.
Situasi dan kondisi politik terus berlanjut hingga pada awal tahun 1795, terjadi intervensi Republik Perancis menyebabkan jatuhnya Republik Belanda lama. Republik baru ini mendapat dukungan luas dari rakyat Belanda dan merupakan hasil revolusi kerakyatan yang sejati. Namun, ia didirikan dengan dukungan bersenjata dari Tentara Revolusioner Perancis. Republik Batavia menjadi bagian dari Kekaisaran Prancis di bawah Napoleon (Louis Bonaparte). Untuk pertama kalinya dalam sejarah Belanda, konstitusi yang disahkan pada tahun 1798 mempunyai karakter yang benar-benar demokratis. Untuk sementara waktu, Republik ini diperintah secara demokratis.
VOC/Belanda yang telah bercokol di Hindia Timur sejak 1619 mulai melemah
sejak 1795. Situasi dan kondisi di Eropa terbaru telah mempengaruhi tata kelola
VOC di Hindia Timur yang berpusat di Batavia. Akhirnya pada tahun 1799 VOC/Belanda
dibubarkan. Tamat VOC/Belanda setelah 180 tahun. Lalu kemudian pada tahun 1800
dibentuk Pemerintah Hindia Belanda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tuaku Tambusai, Perang Padri dan FW Jung Huhn: Padang Lawas Diantara Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra
Selama era VOC/Belanda, nyaris wilayah Padang Lawas tidak terinformasikan. Hanya ada dua informasi yang tidak langsung dengan Padang Lawas yakni seorang Cina yang berdagang antara Malaka dan Angkola selama 10 tahun (1693-1703). Ini mengindikasikan antara Malaka dan Angkola melalui wilayah Padang Lawas (daerah aliran sungai Barumun). Lalu kemudian Charles Miller tahun 1772 dari pantai barat Sumatra berkunjung ke Angkola hingga ke Padang Lawas di Batang Onang.
Tidak lama setelah Pemerintah Hindia Belanda, situasi dan kondisi di
Belanda benar-benar jatuh ke tangan Prancis pada tahun 1806. Pada tahun 1809 Daendels
yang berafiliasi dengan Prancis diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia
Belanda. Daendels yang masih terkonsentrasi di Jawa dalam membangun perdagangan
dan pertahanan, pada tahun 1811 Inggris melakukan invasi di Jawa dengan menaklukkan
Batavia. Raffles diangkat menjadi Luitenan Gubernur Jenderal. Namun tidak lama
kemudian Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan pada tahun 1816. Sejak inilah administrasi
Pemerintah Hindia Belanda semakin baik dan cabang-cabang pemerintahan dibentuk
di berbagai wilayah.
Seperti disebut di atas, Inggris sejak 1724 sudah berada di Bengkoeloe dan pada tahun 1779 Inggris mengssir VOC dari pantai barat Sumatra. Pada saat Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1817 di pantai barat Sumatra, Inggris masih sangat kuat yang berpusat di kota Padang yang dipimpin oleh Raffles. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara menempatkan pejabatnya di teluk Tapanoeli setingkat Asisten Residen. Pada tahun 1819 Inggris yang bercokal di pantai barat Sumatra mendapat konsesi di pulau Singapoera (setelah sebelumnya pada tahun 1816 memiliki konsesi di Penang). Pada tahun 1822 seorang Inggris melakukan ekspedisi di pantai timur Sumatra.
Seorang Inggris Jhon Anderson pada tahun 1823 (kala itu Inggris belum
begitu lama membangun basis perdagangan di Pulao Penang) mengunjungi pantai
timur Sumatra. Pada saat kunjungan Anderson ini, suasana di Deli masih
dirasakan adanya ‘genjatan senjata’ antara Melayu dan Batak. Menurut Anderson,
beberapa waktu sebelumnya Sultan Mangedar Alam yang didukung Kesultanan Siak
pernah melancarkan perang dengan suku Batak yang berada diantara sungai Deli
dan sungai Langkat. Pasukan Batak memilih mundur ke belakang garis pantai (lebih
ke pedalaman) ketika mengetahui kapten kapal Inggris membantu pasukan Melayu
(Sultan Deli dan Sultan Siak) dengan meminjamkan senjata. Berdasarkan cerita
yang dikumpulkan, Anderson mulai paham situasi politik regional Deli. Anderson,
sesuai misinya, coba menengahi dan berupaya untuk turut mendamaikan para
pemimpin yang masih perang dingin. Anderson sangat paham positioning penduduk
Batak di daerah pengaliran sungai Belawan/Boeloe Tjina dan di hulu sungai Deli
(sekitar sungai Babura) sebagai pemasok komodi perdagangan dunia. Langkah
pertama yang dilakukan Anderson adalah mengunjungi kepala suku Batak di Boeloe
Tjina. Kepala suku yang dikunjunginya adalah Sultan Ahmed dan Anderson masih
menemukan sisa perkebunan lada di sekitar Klumpang. Menurut Anderson pada tahun
1823 hasil budidaya lada hitam penduduk Batak sangat banyak. Untuk Pulau Penang
saja sebanyak 35.000 pikul dari total 60.000 pikul yang diekspor melalui pantai
timur Sumatra. Jumlah ini menurut Anderson telah meningkat pesat yang di tahun
1817 hanya sekitar 1.800 pikul. Sisa perdagangan lada di pantai timur Sumatra
mengalir ke Pulau Singapoera (yang berasal melalui DAS Baroemoen dan Das
Asahan). Dalam laporan John Anderson juga dideskripsikan tentang Bandar Kwalooh
berada di sungai Kwalooh. Di sekitar sungai Kwalooh ini dihuni oleh orang Batak
sekitar 1.200 jiwa yang dikepalai oleh Radja Muda Ulabalang. Kota Kwalooh
berjarak dua hari dari pantai. Ekspor terutama rotan, kemenyan, tikar dan
lainnya sedangkan impor adalah kain putih, kain biru, opium dan lainnya. Bandar
Beelah berada di sungai Beelah. Di sekitar sungai Beelah ini dihuni oleh orang
Batak sekitar 1.300 jiwa yang dikepalai oleh Sultan Bedir Alum yang terdiri
dari beberapa kampung. Ekspor terutama rotan, kemenyan, benzoin, tikar, emas
dan lainnya. Bandar Panei merupakan kampung pertama di muara sungai besar dan
terdapat beberapa kampung. Ada pulau kecil namanya Pulo Rantau di tengah sungai
besar. Penduduk terutama Batak dan terdapat sekitar 1.000 jiwa Melayu. Orang
Batak berasal dari dua tempat: Tambuse dan Padang Bolak. Ekspor terdiri dari
kememyan, benzoin, tikar, gaharu dan beras.
Dalam perkembangannya pada tahun 1824 antara kerajaan Inggris dan kerajaan Belanda dilakukan perjanjian di London (Traktat London). Hasil perjanjian tersebut antara lain dilakukan tukar guling antara wilayah Bengkulu (Inggris) dengan wilayah Malaka (Belanda). Sejak inilah Inggris berangsir-angsur meninggalkan pantai barat Sumatra dan mulai membangun koloni di tiga tempat (The Straitsettlement) di Penang, Sungapoera dan Malaka.
Pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda memindahkan ibu kota pantai
barat Sumatra dari Tapanoeli ke Padang. Dalam memulai pembentukan pemerintahan
ini pemerintah bekerjasama dengan pewaris Pagatoejoeng yang telah berhasil dijatuhkan
oleh kaum Padri. Namun kerjasama ini mendapat resistensi dari kaum Padri. Organisasi
Padri sudah terbentuk sejak 1805 yang mana pengaruhnya tidak hanya di wilayah
Minangkabau tetapi juga mencapai wilayah Tapanoeli.
Perselisihan antara militer Pemerintah Hindia Belanda dengan pasukan Padri dari waktu ke waktu semakin memanas. Perang terbuka tidak terhindarkan.
Dalam peta terbitan 1830 nama-nama yang ditandai dalam jalur perdagangan
adalah pelabuhan Baroes, pelabuhan Tapanolij dan pelabuhan Natal. Satu nama
lagi yang ditandai adalah suatu tempat di pedalaman yakni Hoeraba. Nama Hoeraba
tampaknya lebih penting dari nama-nama yang pernah disebut sebelumnya seperti
Lumut dan Sipisang.
Pada tahun 1833 radja-radja Mandailing yang dipimpin Radja Gadombang melakukan kontak dengan militer Belanda di Natal. Hasil perjanjian menyebabkan militer Belanda ditempatkan di wilayah Mandailing untuk menghalangi gerak gerik Padri dan sekaligus untuk mengurung Padri hanya di wilayah Minangkabau.
Pada tahun 1837 Pemerintah Hindia Belanda di bawah komandan militer AV
Michiels melancarkan perang terakhir melawan Padri di Bondjol. Dalam
pengepungan Bandjol ini turut disertakan pasukan dari Mandailing dan Angkola.
Militer Belanda sendiri dari Jawa turut membawa pasukan dari Madura dan Jawa.
Akhirnya benteng Bondjol dapat ditaklukan pada tahun 1837. Namun sayap lain
Padri merangsek ke utara melalui wilayah Padang Lawas. Pada tahun 1838 militer
Belanda berhasil mengusir mengusir Padri dari Angkola Sipirok. Lalu dengan
kekuatan penuh, Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusasi di Dalu-Dalu dikepung.
Pusat pengepungan di benteng Portibi lalu bergerak maju ke benteng Dalu-Dalu.
Akhirnya pada tahun 1839 Padri di Dalu-Dalu berhasil dilumpuhkan.
Segera ripsi Segera setelah berakhirnya Perang Portibie. Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Angkola Mandailing. Pada tahun 1840 seiring dengan pembentukan cabang pemerintahan di Angkola Mandailing, afdeeling Angkola Mandailing yang beribukota di Panjaboengan dimasukkan ke wilayah residentie Air Bangis. Afdeeling Angkola Mandailing terdiri dari onderafdeeling Mandailing Godang (ibu kota Panjaboengan), Mandailing Ketjil (Kotanopan) dan Angkola (Pidjor Koling).
Pada tahun 1840 sebuah garnisun dibangun di tempat dimana lokasinya di dekat kampong Padang Sidempoean. Garnisun ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan strategis kolonial Belanda setelah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas secara keseluruhan berhasil dibebaskan dari Padri (1837-1839). Sebelum adanya garnisun pusat militer Belanda berada di benteng Pijorkoling (dibangun tahun 1835). Dalam Perang Portibie sudah ada jalan rintisan yang juga digunakan militer dari kamp militer di Tapanoeli untuk mendukung kekuatan di Portibie. Rute militer Tapanoeli ke Portibi via Pijor Koling (1838) dimulai dari Teluk Tapanoeli ke Loemoet (16 pal), Tabolon (15 pal), Hoeraba (15 pal), Sigoemoeroe (? Pal) dan Pijor Koling (? pal) dan terus ke Batang Onang (19 pal). Dalam peta militer ini Batang Toru bukan sebagai pos militer karena Batang Toru berada diantara Sabolon dan Hoeraba (karena alasan jarak tempuh perjalanan infantri). Namun yang jelas rute militer ini seakan mengikuti (kembali) jalur lama dalam perdagangan awal dari pantai melalui Loemoet ke Angkola. Selain nama Batang Toru tidak disebut, juga nama Sibolga dan Padang Sidempuan tidak disebut (karena memang belum menjadi tempat yang penting).
Pada tahun 1840
Pemerintah Hindia Belanda mengirim Jung Huhn ke wilayah Angkola untuk melakukan
penyelidikan geologi dan botani. Jalur yang digunakan Jung Huhn dari Tapanoeli
di teluk kemudian Lumut, Sabolon/Tappolon, Hoeraba, Sigoemoeroe dan terus ke
Pidjorkoling. Rute yang digunakan Jung Huhn mirip rute militer pada saar Perang
Portibi.
Ada dua jalur untuk memasuki wilayah Angkola dari pantai
barat yakni melalui sungai Lumut atau melalui daratan dari Tapanoeli ke Lumut.
Lalu dari Lumut melalui jembatan gantung Batangtoru ke Angkola. Jalur via
sungai Lumut dari pulau Pontjang pernah dilalui oleh Charles Miller tahun 1772
dari pulau Pontjang melalui sungai Lumut terus ke Hoetalamboeng dan Hutaimbaru
terus ke Morang dan Batang Onang. Pada era Pemerintah Hindia Belanda jalur yang
digunakan melalui Tapanoeli. Mengapa? Lewat muara sungai Lumut (dengan perahu) mungkin
tidak kondusif lagi karena pendangkalan sungai. Sementara melalui Tapanoeli adalah
jalur kuno dari Angkola ke Baroes via Lumut dan Tapanoeli pada era kamper dan
kemenyan. Sungai Batangtoro dimana terdapat jembatan gantung dibangun menjadi
satu-satunya akses diantara ke dua wilayah sisi sungai. Sementara kota Pidjor
Koling menjadi interchange ke Batang Onang/Padang Lawas dan Siabu/Mandailing. Lukisan Rosenberg dalam ekspedisi Jung Huhn ke
Angkola 1840 yang memperlihatkan sungai Batangtoru dan puncak gunung Lubuk
Raya.
Pada tahun 1841 pemerintahan sipil di Mandheling en Ankola dibentuk dimana seorang controleur ditempatkan di Angkola. Awalnya ibukota Angkola di Pijorkoling namun pada tahun 1843 dipindahkan ke tempat dimana garnisun berada. Pada tahun 1843 controleur mulai membangun kota baru, dengan nama Padang Sidempuan (mengikuti nama kampong yang berada di sebelah utara ke arah Hutarimbaru bernama kampong Sidempuan). Sementara itu Sibolga sendiri baru muncul kemudian (1843?) di tempat dimana kini kota Sibolga dipilih sebagai tempat kantor controleur (pindah dari Pulau Pontjang). Nama ibukota ini Sibolga mengikuti nama kampong yang berada di sebelah utara ke arah Barus yang bernama kampong Sibalga. Pendirian kota Sibolga kurang lebih sama dengan tahun pendirian kota Padang Sidempuan (1843).
Pada tahun 1843 wilayah utara dipisahkan dari
Residentie Air Bangis dan kemudian dibentuk menjadi Residentie Tapanoeli.
Sebagai pejabat pelaksana Residen diangkat Majoor Alexander van der Hart
(lihat Dagblad van 's Gravenhage, 25-12-1843). Majoor Alexander van der
Hart adalah anak buah kesayangan dari Kolonel AV Michiels. Pada saat Perang
Padri, Kapten A van der Hart adalah orang yang memimpin ke jantung pertahanan
Padri di dalam Benteng Bondjol, Bersamaan dengan pengangkatan A van der Hart
sebagai Residen Tapanoeli, TJ Willer diangkat sebagai Asisten Residen Afdeeling
Mandailing en Angkola. TJ Willer sebelumnya sebagai pejabat tertinggi di
Afdeeling Manailing dan Angkola yang berkedudukan di (kantor) Residen di Air
Bangi
Pada tahun 1844 Afdeeling Mandailing dan Angkola dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1845 Afdeeling Natal dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1845 jabatan Alexander van der Hart diinformaslkan menjadi Residen seiring dengan kenaikan pangkatnya dari Majoor menjadi Luitenant Colonel. Bersamaan dengan dipisahkannya Afdeeling Natal, Residentie Air Bangis dilikuidasi dan dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden (yang beribukota di Padang).
Pada tahun 1846 Gubernur Sumatra’s
Westkust Jenderal Michiel bersama tamunya Jenderal von Gagern (utusan Raja)
berkunjung ke Padang Sidempuan yang menempuh perjalanan beberapa hari dari
Padang. Ketika rombongan Gubernur ini pulang ke Padang, jalur yang ditempuh
melalui Sibolga, kemudian dari Sibolga berlayar ke Padang (lihat Algemeen
Handelsblad, 09-12-1847). Asisten von Gagern (Clereq) mengabadikan rambin
yang pernah dilukis Rosenberg dalam satu lukisan. Ini menunjukkan (sekali lagi)
bahwa rambin dan sungai Batang Toru adalah penanda rute perjalanan yang
penting. Satu lukisan yang dihasilkan oleh Clercq adalah sebuah pos militer di
tepi sungai Batang Ayumi di Padang Sidempuan. Rute yang ditempuh oleh
rombongan utusan Raja dan Gubernur adalah Fort de Kock, Loeboek Sikaping, Rao,
Kotanopan, Panjaboengan, Siaboe dan Padang Sidempoean. Sebelum rombongan tiba
di Padang Sidempoean sudah lebih dahulu Residen van der Hart tiba di Padang
Sidempoean. Dari dua hari yang direncanakan di Padang Sidempoean diperpanjang
menjadi empat hari. Utusan Raja selama di Padang Sidempoean selain memeriksa garnisun
militer, rumah sakit dan apotik juga berkesempatan berburu rusa di utara
Batoenadoea. Itulah sebab mengapa ada perubahan jadwal dua hari menjadi empat
hari. Setelah dari Padang Sidempoean, rombongan menuju Sibolga dan selanjutnya
dengan kapal layar ke Padang.
Seperti halnya kota Padang Sidempoean dibangun di dekat kampong Sidempoean, kota Sibolga dibangun di area kosong di dekat kampong Sibolga di daratan dekat pantai berhadapan langsung dengan Pulau Pontjan Ketjil (lihat Gambar 1846). Kota baru Sibolga ini berpusat pada gedung kantor/rumah Residen Tapanoeli (A van der Hart). Bangunan-bangunan lainnya di sekitar adalah kantor/rumah sekretaris Residen, garnisun militer, rumah sakit/apotik dan kantor/rumah commies/pakhuis. Itulah awal mula kota Sibolga. Sementara itu laporan TJ Willer yang dimuat dalam ‘Jurnal Hindia Belanda tahun 1846 memuat deskripsi wilayah Angkola Mandailing dan Portibi. Dalam laporan ini, termasuk lanskap Portibi (Padang Lawas) adalah sebagai berikut:
1. Padang Lawas, terdiri dari empat distrik: (Total
23 kampung. 805 keluarga)
a.
Batang Onang, 4 kampung, 160 keluarga
b.
Pertibie, 10 kampung. 315 keluarga
c.
Batang Paneh, 7 kampung, 230 keluarga
d. Kotta Pinang, 2 kampung, 100 keluarga
2. Dollok, terdiri dari empat distrik: (Total 44
kampung, 1.235 keluarga)
a.
Boekit, 9 kampung, 275 keluarga
b.
Simenabon 16 kampung, 606 keluarga
c.
Simasse, 4 kampung, 92 keluarga
d. Tambiski, 15 kampung, 262 keluarga
3. Boeroemon, terdiri dari tiga distrik: (Total 16
kampung, 620 keluarga)
a.
Aijernabara, 4 kampung, 140 keluarga
b.
Assahatan, 10 kampung, 370 keluarga
c. Kaijoedra, 2 kampung, 110 keluarga
4. Tamboeseij terdiri dari tiga distrik: (Total 32
kampung, 1.660 keluarga)
a.
Batang Sossa 12 kampung, 775 keluarga
b.
Batang Labo, 13 kampung, 670 keluarga
c. Pariet, 7 kampung, 215 keluarga
5. Paneh, hampir seluruhnya berpenghuni
oleh migrasi pimpinan Soetan Manedar Alam.
6. Biela, di mulut Batang Paneh di
sebelah timur.
Berdasarkan catatan TJ Willer populasi wilayah Padang Lawas sekitar 115 kampung yang terdiri dari 4.320 keluarga. Oleh karena dua lanskap (Pane dan Bila) diperkirakan sebanyak 5 kampung dengan 309 keluarga, maka total keseluruhan populasi Padang Lawas adalah 120 kampung yang terdiri 4.620 keluarga. Secara keseluruhan jumlah populasi minimum sebanyak 23.100 jiwa dengan asumsi satu keluarga terdiri dari lima anggota.
Sumber angka-angka ini diperoleh dari kepala-kepala
kampong yang mungkin hanya perkiraan. Namun tim sangat menyadari angka-angka
ini masih diragukan, karena mereka beranggapan bahwa penduduk terkesan bahwa
tujuan pendataan ini dikaitkan dengan pajak, apalagi sebelumnya banyak
kampong-kampung yang tersiksa akibat ulah para pengikut Tuanku Tambusai dan
juga mereka terkesan ketidakpercayaan pada supremasi asing. Jika
mempertimbangkan bahwa para budak termasuk dihitung dan sejumlah dusun-dusun
yang terpencil yang tidak diketahui para kepala kampong yang dengan asumsi satu
keluarga dinaikkan menjadi enam anggota, maka jumlah populasi Padang Lawas diperkirakan
bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. Dengan luas lanskap 300 mil persegi maka
kepadatan penduduk lanskap Padang Lawas ditaksir 93 jiwa per kilometer persegi.
Seperti disebut di atas, TJ Willer adalah Asisten Residen Angkola Mandailing (sejak 1843) dengan ibu kota di Panjaboengan. Sementara di wilayah Padang Lawas belum dibentuk cabang pemerintahan. Mengapa? Yang jelas cabang pemerintahan yang sudah terbentuk di onderafdeeling Mandailing dan di onderafdeeling Angkola (dengan ibu kota baru dipindahkan dari Pidjorkoling ke Padang Sidempoean. Yang menjadi pemangku otoritas pemerintah di wilayah Padang Lawas (yang berpusat di Portibie) oleh pemerintah ditunjuk FW Jung Huhn (sejak 1842). Oleh karena itu data populasi yang dicatat TJ Willer diduga berasal dari Jung Huhn.
FW Jung Huhn oleh Gubernur Jenderal diangkat tahun
1840 untuk tugas penyelidikan geologi dan botani di Tanah Batak. Pos pertamanya
di Pijorkoling, lalu relokasi ke Portibi tahun 1842. Pada fase inilah Jung Huhn
menemukan sisa reruntuhan kepurbakalaan di Padang Lawas seperti candi dan benda-benda
kuno lainya. Jung Huhn dalam hal ini menjadi penemu masa lampau wilayah Padang
Lawas yang kemudian dapat disambungkan dengan masa depan Padang Lawas.
Sejarah Padang Lawas seakan berulang yang mana perulangannya dengan pola yang sama. Pada masa lampau wilayah Padang Lawas dimulai dari arah barat di Angkola pantai barat Sumatra lalu berkembang di pantai timur Sumatra di Binanga. Kini pada awal pemberntukan pemerintahan era Pemerintah Hindia Belanda kembali dimulai dari arah barat (Angkola). Untuk wilayah pesisir pantai timur di Bila dan Pane belum sepenuhnya terdata. Mengapa?
Wilayah pantai timur masih bersifat independent.
Wilayah di pantai timur Sumatra yang sudah dibentuk pemerintahan baru di
wilayah Palembang dan di wilayah Jambi serta di wilayah kepulauan yakni di
Bangka/Belitung dan di Bintan. Dari Indragiri di selatan hingga ke Atjeh masih
bersifat independen (pantai barat Semenanjung berada di bawah yurisdiksi
Inggris). Lalu bagaimana selanjutnya tentang wilayah muara sungai Barumum
(Pane) dan wilayah muara sungai Bila?
Sejak dibentuknya cabang pemerintahan di Padang Lawas dengan menempatkan pejabat setingkat Controleur di Portibi, semakin terbukan antara wilayah Angkola dengan wilayah Padang Lawas. Jalur satu-satunya antara kedua wilayah ini dapat diakses (dengan jalan kaki dan angkita kuda) melalui Pijorkoling (melalui celah bukit Simardona ke Batang Onang) dan melalui Batunadua dan Morang ke Batang Onang. Kedua jalur ini diduga sudah terbentuk sejak era Kerajaan Aru.
Satu artikel yang dimuat dalam jurnal ‘Bijdragen
tot de taal-, land-en volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit
Nijhoff terdapat satu bab tentang sebuah laporan ekspedisi penelitian
geologi ke Ankola dan Padang Lawas. Disebutkan ekspedisi ini dimulai dari
Sibolga melalui jalur Lumut, kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan,
Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor
Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya dengan seorang sersan berbangsa Belanda
bernama Scheeren dengan anak buah sebanyak dua puluh tentara Jawa. Di desa
Pijor Koling sendiri terdapat 40 buah rumah kecil yang terbuat dari bambu yang
konstruksi berbentuk rumah panggung. Sejumlah ternak berkeliaran di halaman,
para wanita tampak menenun kain berwarna warni dan menggunakan manik-manik,
para pria bertani padi dan jagung untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hanya
beberapa pria yang bisa berbahasa Melayu sedikit-sedikit. Kami mendapat
informasi sekadarnya dari mereka.
Kapan ekspedisi penelitian geologi tersebut dilakukan tidak terinformasikan, akan tetapi diduga belum lama, Boleh jadi ini adalah ekspedisi kedua setelah ekspedisi pertama yang dilakukan Jung Huhn (1840-1844). Laporan ekspedisi kedua ini wilayah Padang Lawas semakin banyak hal yang terinformasikan, wilayah yang terhubung dengan wilayah Angkola.
‘Kami melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan
dari Pitjar Kolling yang kami lalui berjalan secara soliter (ala Indian?).
Pertama kami menyeberang sungai besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki.
Lalu kami berjalan melalui wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di
bagian belakang pegunungan yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang
tinggi, di atas bukit Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami
bisa melihat ke barat merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan
wilayah yang luas. Titik tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas
laut. Selanjutnya kami turun melalui hutan, rumput tinggi, lalu kami sampai ke
sungai Batang Anang, yang mana sumber airnya dari Simardona Mountains yang
kemudian tercurah sekitar dua jam ke lembah yang luas dimana terdapat sungai
yang lebih besar sungai Batang Siapas yang di bagian selatan lembah luas dengan
ketinggian tempat 198 meter di atas laut dengan suhu 25,4 C. Suhu udara hangat
dan iklim kering. Sungai Siapas bersumber dari pegunungan di Sipirok dan
Loeboeraja. Ini mengalir deras kemudian melalui lembah luas hingga berakhir di
selatan wilayah Goenong Tuah. Disini sungai membelok lebih ke timur, antara
pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal. Dekat Goenong Tuah sungai ini bersatu
dengan Batang Anang yang hulu di bukit Simardona. Di bagian belakang atau sisi
timur pegunungan sumber terakhir dari sungai besar Batang Boeroemon (bersaru),
yang mengalir ke laut di Selat Malaka.
Dalam laporan 1855 sudah disebut nama Goenoeng Toea. Nama yang sudah terlebih dulu disebut adalah Batang Onang (1772) dan nama-nama Portibie, Hoeristak dan lainnya (1838). Seberapa penting Goenoeng Toea dibandingkan dengan nama Portibie dan Hoeristak? Seperti di Portibie, di Goenoeng Toea juga terdapat benteng. Di Portibi benteng dibantu oleh pasukan Jawa sedangkan di Goenoeng Toea dibantu pasukan Angkola.
‘Di Goenong Tuah, kami menemukan seorang sersan
dengan delapan puluh penduduk asli Angkolah sebagai pembantu, yang secara
teknis juga bertugas sebagai kuli, bahkan mereka tidak bersenjata. Sulit untuk
mendapatkan makanan seperti beras atau jagung atau pisang, atau ubi jalar.
Seekor ayam hutan, itu harga setidaknya satu gulden. Ada banyak ikan di sungai
tapi pribumi terlalu lambat untuk menangkap mereka dan kurangnya bahan makanan menjadi
penderitaan. Lalu, jalan sekitar tiga perempat jam dari Goenong Tuah terdapat
dataran yang lebih rendah sekitar 150 M dpl sampai Batang Siapas, yaitu
lebar sekitar 80 kaki, dan air sedikit di atas lutut. Pada perjalanan selama
rentang pegunungan yang luas ini kami menikmati pada poin lebih tinggi biasanya
luas dan prospek bersih, tapi kami juga memiliki penderitaan besar, seperti wilayah
bagian bawah hanya dengan semak atau rumput setengah layu tertutup dari panas.
Ke arah timur terlihat, sejauh mata memandang bisa melihat gelombang bukit yang
tampak hampir semuanya diselimuti dengan alang-berumput: sementara sebuah hamparan
rumput besar, dimana jarang terlihat kelompok-kelompok dari semak dan pohon
yang rendah di gurun pasir dan oasis. Garis vegetasi kecil atau lebih besar
dari kayu yang lebih tinggi terlihat hanya di kedalaman lembah, bersama air
yang mengalir (rura). Secara umum terlihat tidak ada makhluk hidup tampaknya
menghuninya hanya rerumputan tidak terbatas dan tandus. Secara bertahap
perbukitan yang bergelombang kemudian tampak mendatar, lanskap padang rumput seperti,
yang mengingatkan kita lukisan mencolok dari padang rumput Amerika Utara,
Washington, Irving dan Cooper. Sepanjang sisi timur pegunungan terlihat semak
ramping, dan pada bagian-bagian besar dari lereng tertutup dan terlihat gelap
tempat hijau eksentrik’.
Dalam laporan cukup kaya informasi dan detail tetapi tidak terinformasikan tentang reruntuhan kepurbakalaan sebagaimana telah dilaporkan oleh Jung Huhn satu dekade yang lalu. Boleh jadi rute yang dilalui tim ekspedisi sekarang berbeda dengan rute yang dilalui Jung Huhn. Satu dari kesimpulan umum yang diperoleh semakin ke hilir daerah aliran sungai lanskap yang awalnya dataran bergelombang dan lalu mendatar ke arah laut.
‘Di tepi sungai pertama, kami bertemu tampak kaki
timur pegunungan Sipapal dan dimana wisatawan biasanya memiliki sedikit
istirahat. Kami menemukan beberapa bambu yang digurat, yang mana sejumlah orang
Batak yang ketika kami tanyakan mereka mengatakan kami orang Manda Healing (orang
Mandailing) menulis tanda-tanda (tulisan) yang mereka menorehkan. Mereka ini
adalah pembantu asli Padang Lawas dibesarkan dan berarti pencurahan hati
tentang sakit yang dirasakan, karena pengangkatan dan regularisasi melarikan diri
dari tanah asli mereka, karena kematian ibu tercinta, segala macam keluhan
kurangnya, kelelahan dan semacamnya ditulis. Dalam hal ini orang Manda Heling selangkah
lebih maju dari Eropa, yang biasanya hanya nama mereka atau hanya karakter nama
di kulit kayu dipotong’.
Dalam laporan terindikasi populasi di wilayah Padang Lawas paling tidak mewakili populasi orang Angkola dan orang Mandailing. Ada suatu indikasi adalah pendatang di wilayah Padang Lawas. Dari keluhan masyarakat yang dicatat para peneliti ekspedisi terindikasi mereka meninggalkan kampung halaman (di Mandailing) di duga terjadi pada era Padri. Boleh jadi selama ini wilayah Padang Lawas sudah lama kosong (ditinggalkan) setelah berakhirnya masa kejayaan Padang Lawas di masa lampau, dan kini mulai ditempati, suatu wilayah yang dapat dikatakan tidak terlalu mendukung kehidupan mereka (seperti di wilayah Angkola dan Mandailing yang subur).
‘Aek Soerimambeh, sekitar 40 kaki lebar, cukup
dalam dan cepat mengalir sungai, yang memiliki air keruh dan berlumpur dalam yang
bermuara ke Aek Paneh, membuat waktu kami lama karena banyaknya semak belukar
di sepanjang sisi sungai, dan terdapat jembatan berayung dari bambu dan rotan yang
mana jembatan itu telah rusak. Kami menyeberang tidak ada yang tersisa di badan
kecuali kami untuk membawa pakaian itu untuk menjaga mereka di atas kepala dan
di bawah ketiak untuk mengarungi air. Dengan begitu kami menyeberang dengan
cara itu, tanpa membuat barang-barang kami basah. Di tepi kiri sungai ini hanya
satu kampong subur berpagar bamboo disebut kampung Sioengam, dua tahun
sebelumnya, oleh sekelompok pengikut Toeankoe Tamboesi menyerang di malam hari
dan benar-benar kampong hancur. Semua orang tewas dan para wanita dan anak-anak
dibawa sebagai budak. Oleh karena itu kini penduduk memberi banyak rintangan
ini dimana-mana banyak rumah dan berpenghuni secara sistematis. Pos Sioengam berada
di ketinggian 114 M dpl’.
Dari laporan ini sungai Sirumambe terdapat jembatan rambin untuk lalu lintas. Tampaknya rambin ini sudah rusak diduga saat mana pengikut Tuanku Tambusai melakukan penyerangan ke kampong Sunggam beberapa waktu yang lampau. Nama kampong Sunggam di daerah aliran sungai Sorumambe diduga nama kampong kuno yang sudah disebut dalam prasasti Tanjore (1030). Sebagai catatan (benteng) Portibi terletak di sisi timur sungai Batang Pane dimana sungai Sirumambe bermuara.
‘Sementara pos Belanda hanya terdapat di tembok
pembatas kecil (benteng kecil), diletakkan untuk Pertibi untuk tujuan
transportasi. Kami bertemu di tempat itu beberapa pribumi dari distrik lebih
utara Batta yakni Sipirok, yang sepenuhnya disepakati dalam superintendence yang
mana pakaian mereka seperti pakaian penduduk Angkolah. Pakaian setengah tubuh dengan
dilipat kain luas (kain sarung), di bawah pusar biasanya diikat dengan sabuk terbuat
kulit, mereka memiliki perlengapan yang terbuat dari jerami padi (maksudnya
mungkin baiyon) atau kulit rotan yang dihiasi bulu-bulu halus. Di dalam dan di
luar gubuk mereka tampak tidak kekurangan pangan, bahkan juga ada ternak babi
yang dimiliki’.
Untuk mempersingkat isi laporan tersebut dapat dipendekkan sebagai berikut: Para peniliti melanjutkan ekspedisi ke Pertibim suatu lanskap datar padang rumput berbukit dengan vegetasi di gurun rumput karakter yang sama sekali aneh, benar-benar berbeda dari apa yang kita terbiasa melihat. Di antara pohon-pohon ada pohon Mimosa dengan buah asam hijau (balakka). Kondisi geologi negara stepa ini tanahnya terdiri terutama dalam tanah liat coklat, batu pasir kuarsa yang mungkin awalnya di bawah laut. Pada lapisan pasir kami melihat beberapa lembar mika. Kampung Pertibi adalah ibukota lanskap Padanglawas atau Lawee, yang mana penduduk asli biasanya mengucapkan kata terakhir dan nama harfiah berarti "dataran luas". Nama lain daerah ini dikenal sebagai Padang-Bolak, Pertibi tidak jauh dari muara sungai Soerimambeh, dekat tepi kanan yang terakhir, sekitar 80 kaki lebar, dan antara bank yang tinggi dan curam dari aluvium berpasir cukup cepat mengalir. Meskipun ketinggian bank 15 M, tetapi sungai di musim hujan kadang-kadang meluap melewati bank. Batang Soerimambeh adalah sungai agak kecil dari Batang Paneh.
Rumah di Pertibi ukuran yang lebih layak, di atas
panggung dan memiliki dinding dari kulit kayu, kecuali rumah Radja terdiri dari
papan berat. Satu bangun besar adalah masjid, karena sebagian penduduk telah
memeluk ajaran Islam. Bahasa orang Batak tidak berbeda dari selatan atau
bawah-Angkolah Manda Healing. Desa ini diduduki oleh pasukan kita pada bulan
Desember 1837 dan kemudian dibangun satu benteng di sekitarnya, yang diberikan
nama Fort Pertibi. Sebuah benteng tanah tinggi dengan empat bastion dan
dikelilingi oleh parit yang dalam 15 kaki untuk membuat barrier benteng. Benteng
pendudukan terdiri dari 50 pasukan laki-laki. Air minum sangat langka dan
miskin. Ketinggian di atas permukaan laut tidak melebihi 72 meter. Oleh Letnan
Jawa di benteng Pertibi memperlihatkan peta asli Sumatera yang mana Goenong
Merapi di Menangkabo. Peta ini dihasilkan oleh orang Malayu di Natal pada saat Inggris
berada disana. Menurut cerita penduduk asli sumber dari Batang Boeroemon antara
lain dari Batang Sasak lereng Bukit Maleha, arah Baratdaya dari Pertibi, di
perbatasan Manda Healing rantai pusat terletak termasuk disebutkan sebelumnya
Batang Siapas yang Boeroemon juga menerima perairan sungai bersatu Soerimambeh
Paneh. Penduduk kadang-kadang menyebut Batang Paneh bukan Batang Boeroemon. Titik
pertemuan dengan Paneh terletak pada jarak hanya sekitar satu setengah jam dari
Pertibi. Lalu dari pertemuan sungai bisa turun dalam enam hari sampai kampung
Bila, tidak jauh dari pantai laut. Nama-nama desa di sepanjang pantai memberi
kita jauh berbeda dengan yang dapat ditemukan terdaftar di peta terbaru. Perjalanan
ke kampung Koerita dan kampung Simangabat, di sisi kiri Boeroemon jatuh sungai,
yang disebut Singa-Kanan dan kemudian kampong Padang Matingi. Selanjutnya kampong
Pasir Andjangan dan melewati pelebaran luar biasa sungai, yang dikenal dengan
nama Loeboe Dalam lalu berlayar ke kampong Sisamoet lalu Kota Pinang. Seterusnya
ke kampung Paneh dan kami kemudian akhirnya tiba di kampung Bila sungai yang mana
bertemu dengan Boeroemon.
Para peneliti setelah kembali ke Portibi dari pantai, bermaksud ke wilayah Radja Moendang tapi diurungkan karena masih banyak kelompok-kelompok yang bermusuhan Toeankoe Tamboesi, sangat tidak aman jika tanpa pengawalan militer. Kembali sepanjang jalan yang sama untuk Pitjarkolling dan kemudian dari sana, barat Simardona melalui lembah besar dari Lower Angkolah (Angkola Djae?) dan Mandailing terus selatan. Kami sekarang 3d September. Kami ke Sioengam, kami sudah di kaki pegunungan Sipapal, tempat dimana bambu yang disebutkan di atas ditemukan dengan tanda-tanda naskah asli, mendaki gunung itu, sepanjang sisi timur lebih mudah daripada ke barat, kami sampai di pos-Goenong Tuah. Keesokan paginya, perjalanan ke pegunungan Simardona. Dalam lanjutan selatan Simardona dan lembah Angkolah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar