Jumat, 22 Maret 2024

Sejarah Padang Lawas (3): Pane, Binanga, Sunggam, Angkola dan Mandailing; Invasi Chola di Sumatra dan Prasasti Tanjore 1030


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Seperti halnya prasasti Kedoekan Boekit (682), prasasti Tanjore (1030) juga banyak dibicarakan oleh para ahli. Lagi-lagi George Cœdès, seorang arkeolog Prancis yang juga membaca dan menerjemahkan kedua prasasti. Satu diantara yang ambil bagian dalam diskusi prasasti Tanjore adalah Gerret Pieter Rouffaer. Dalam prasasti Kedoekan Boekit ada nama Minanga disebut. Bagaimana di dalam prasasti Tanjore?

 

Prasasti Tanjore terdapat pada kuil Parijatavanesvara di Tirukkalar, distrik Tanjore (Thanjavur), India. Prasasti ini merupakan peninggalan dari raja-raja dinasti Chola di Koromandel, selatan India. Isi dari teks prasasti dengan penanggalan peristiwa Rajendra Chola I naik tahta pada tahun 1012 dan tentang penaklukan beberapa kawasan termasuk di nusantara serta penawanan raja Kadaram, beserta negeri-negeri Sriwijaya: Vidyadhara-torana, kota pedalaman yang luas, gerbang kemakmuran Sriwijaya; Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng di atas bukit; Mayirudingam dikelilingi oleh parit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Mevilimbangam, dengan dinding tipis sebagai pertahanan; Valaippanduru, memiliki lahan budidaya dan hutan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat; Ilamuri-Desam, yang dilengkapi dengan teknologi hebat; Nakkavaram yang memiliki kebun madu berlimpah; dan Kadaram berkekuatan seimbang, dengan tentara memakai kalal. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah nama Pane, Binanga, Sunggam, Angkola dan Mandailing? Seperti disebut di atas, nama Pane, Binanga, Soenggam, Angkola dan Mandailing disebut dalam prasasti Tanjore, suatu prasasti yang mengindikasikan invasi Chola di Sumatra tahun 1025. Lalu bagaimana sejarah nama Pane, Padang Lawas, Mandailing dan Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Nama Pane, Binanga, Sunggam, Angkola dan Mandailing; Invasi Chola di Sumatra dan Prasasti Tanjore 1030

Seperti disebut di atas, isi prasasti Tanjore (1030) sangat intens dibahas dan dikritisi. Ini berawal dari hasil interpretasi Coeder yang kemudian diterbitkan di jurnal. Salah satu ahli yang menanggapi interprertasi Coedes tersebut adalah Prof GP Rouffaer dengan menerbitkan tulisan berjudul Was Malaka Emporium voor 1400 AD, Genaamd Malajoer? yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1921 [volgno 2].


George Cœdès adalah yang pertama membaca prasasti Tanjore (1030). Dalam interpretasi Coedes tentang Tamil-Chola-vorst Rajendracola I (1012-1042 AD). Berikut Coedès' interpretaties (GP Rouffaer): No 1. Këdah (Kadaram), rijk aan strijd-olifanten; No 2. Palembang ( Crïvijayam ), het bloeiende; No. 3. Panei (Pannai), aan een rivier (dus: de Panei-Baroemoen-rivier); No. 4. Malaiyür , zie boven; No 5-11. Diverse zeestaten, meestal op de Chersonesus te zoeken (waaronder ook het nog altijd twijfelachtige Lëngkasoeka als No 6, en het al bij Ptolemaeus voorkomende Taköla als No. 10); en ten slotte als No. 12, Groot-Atjeh (Lamoeri; Ilamuridegam) en No. 13. De Nicobaren (Manakkavaram; door Yule & Burnell al in hun Hobson-Jobson van 1886 i. v. «Nicobar Islands» herkend). De inscriptie eindigt dan, door nogmaals Këdah te vermelden (Kadaram ala force terrible, qui était protégé par la mer voisine; Coedès p. 5), dus als staat die vooral machtig was te land door zijn strijd-olifanten (Mal. këdah antara lain=olifanten-val).

George Cœdès menginterpretasi Kadaram sebagai Kedah hanya karena dalam prasasti disebut land door zijn strijd-olifanten (gajah perang). Coedes mengutip dalam bahasa Melayu ‘kedah’ adalah perangkap gajah. Oleh karena nama Kedah sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365), maka yang dimaksud Kadaram dalam prasasti Tanjore (1030) adalah Kedah. Sangat naif. Apakah tidak ditemukan istilah ‘kedah’ di pantai timur Sumatra? Bagaimana dengan nama Crivijaya adalah Palembang, Panai dan Malaiyur adalah Malaka?


George Cœdès menginterpretasi Malayur (dengan benteng di atas bukit) sebagai Malaka yang kemudian didukung Ferrand, de stad Malaka van vóór 1400 AD dengan argumentasi Marco Polo's menyebut nama Malaiur tahun 1292 ketika berlayar dari arah Pentam (Bintan/Batam?) menuju Ferlec (Perlak?).

Prof GP Rouffaer menyimpulkan Malayur dalam prasasti Tanjore. GP Rouffaer berasumsi bahwa Malayur adalah Djambi (nama Jambi telah disebut dalam teks Negarakertagama (1365). GP Rouffaer menyebut bahwa dalam catatan Tiongkok dinasti Soeng II antara 905 dan 1178 (berdasarkan Groeneveldt's Notes, l e ed. 1876) disebut nama San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i) dan nama Pau-lin-pang pada tahun 1374 (catatan Tiongkok dinasti Ming, juga berdasarkan Groeneveldt).


Rouffaer juga mengomentari argumen dari Coedes yang menyatakan tahun 650 dan 1400 AD disebut nama Shih-li-fuh-shi atau Fo-shi yang diterjemahkan sebagai Crï-bhodja atau Bhodja berdasarkan epigraf dari Tjampa yang mana dalam hal ini penyebutan bahasa China fo-shi =bahasa Sanskerta vijaya yang berasal dari tahun 670 AD yang terdapat dalam catatan Tiongkok dinasti T'ang yang pertama kali dilaporkan oleh Beal (1883) dan kemudian oleh Groeneveldt (1896); juga dalam catatan Tiongkok nama San-bo-tsai pada tahun 900 AD.

Namaa Pannai (Pane) yang disebut dalam prasasti dengan kolam airnya tidak terjadi perdebatan alias cukup jelas. Coedes berpendapat bahwa Pannai adalah ‘een rivier (dus: de Panei-Baroemoen-rivier). Meski masih kita ragukan pada masa kini sesuai Coedes bahwa Kadaram adalah Kedah, namun yang tetap menjadi penting diperhatikan nama Malayur dan nama Sriwijaya telah menjadi adu argumen para ahli-ahli tersebut.


Dalam artikel sebelum ini tentang perdebatan isi prasasti Kedoekan Boekit, ada baiknya dikutif disini tentang perjalanan I’tsing: ‘melakukan perjalanan dari Canton ke tempat yang diduga Palembang/Djambi pada tahun 671. Setelah enam bulan belajar bahasa Sanskerta di tempat ini, dia berangkat ke Maloyo dalam 15 hari perjalanan dimana disini tinggal dua bulan dan kemudian melakukan perjalanan ke Nalanda-India. Di India ia belajar selama sepuluh tahun tentang Boedha yang terkenal di universitas Nalanda, setelah itu ia pindah kembali ke Palembang (Sriwijaya) pada tahun 685. Perdebatan 15 hari ini tidak menemukan titik terang dan munculnya nama Maloyo (dari I’tsing diterjemahkan sebagai Jambi) masih pro-kontra. Mengapa? Para ahli tidak ada yang coba berimajinasi apakah bentuk/luas pulau Sumatra yang sekarang berbeda dengan kondisi abad ke-7. I’tsing sendiri hanya menyebut tiga nama tempat: Maloyo, Nelanda dan Sriwijaya. Lalu bagaimana menerjemahkannya. Tempat pertama I’tsing dari Canton tidak terinformasikan (katakalah suatu tempat apakah itu suatu tempat yang kelak menjadi nama Jambi atau Palembang. Lalu melakukan pelayaran 15 hari ke Maloyo lalu kemudian ke Nalanda. Lalu dimana Maloyo? Jelas dalam hal ini bukan Jambi maupun Palembang. Sebab saat I’tsing kembali dari Nelanda tidak ke Maloyo lagi tetapi ke Sriwijaya (685). Sebagaimana diketahui berdasarkan prasasti Kedoekan Boekit (682) pangeran Sriwijaya (Sri Jayanaga) memindahkan ibu kotanya di wanua (benteng) Sriwijaya setelah terjadinya penaklukan. Ke Sriwijaya (benteng) inilah I’tsing kembali setelah dari Nalanda. Lalu dimana Maloyo? Besar dugaan suatu tempat yang disebut I’tsing sebelum ke Nalanda adalah suatu tempat yang kemudian disebut Sriwijaya (Palembang). Lalu apakah Maloyo adalah Jambi? Dengan asumsi bahwa pulau Sumatra tempo doeloe (abad ke-7) tidak segemuk/seluas sekarang alias masih ramping, maka tempat dimana benteng (wanua) Sriwijaya dibangun masih berupa pulau di muara sungai Musi (Kedoekan Boekit pada masa ini adalah area tertinggi di wulayah Palembang). Dengan asumsi seperti ini, terlalu lama 15 hari pelayaran dari satu tempat (Palembang) dengan tempat lainnya (Jambi).  Jadi dengan 15 hari pelayaran haruslah posisi GPS Maloyo jauh di utara. Lalu, dimana itu? 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Invasi Chola di Sumatra dan Prasasti Tanjore 1030: Pantai Timur Sumatra, Semenanjung Malaya, Pantai Utara Jawa, Pantai Utara Borneo

Dalam perdebatan isi teks prasasti Tanjore (1030) oleh para ahli di atas, disebut nama Malayur. Apakah nama Malayur (1030) sama dengan nama Malayo (I’tsing, 671)? Ada rentang waktu sekitar tiga abad. Di Malayo, I’tsing tinggal dua bulan sebelum ke Nalanda. Seperti disebut di atas diduga kuat Malayo bukan Jambi. Setelah dari Nalanda, I’tsing ke Sriwijaya (Palembang). Oleh karena sudah disimpulkan di atas, bahwa Malayo berada di utara Jambi, lalu, sekali lagi, sesuai prasasti Tanjore (1030) Malayur dimana letak geografisnya?


Kesimpulan Prof GP Rouffaer dimana Malayur (prasasti Tanjore) adalah Jambi haruslah ditolak. Dalam hal ini Rouffaer telah menolak Coedes/Ferrand dan kini kita harus menolak Rouffaer. Mengapa? Mari kita perhatikan kembali teks prasasti Tanjore (1030): ‘Vidyadhara-torana, kota pedalaman yang luas, gerbang kemakmuran Sriwijaya; Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng di atas bukit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat’. Kita tidak menerjemahkan ‘kedah’ sebagai perangkap gajah yang menjadi asosiasi Kadaram sebagai Kedah (di Semenanjung Malaya). Lantas apakah nama-nama tersebut di pantai timur Sumatra pada abad ke-7 (secara geomorgologis berbeda dengan sekarang) Torana=Torgamba; Pannai (Pane; sungai Batang Pane); Malayur (kota Malea; gunung Malea); Ilangasogam (Binanga-Sunggam; sungai Sirumambe); Mappappalam (gunung/bukit Sipalpal); Takkolam (sungai Batang Angkola); Madamalingam (wilayah Mandailing). Dalam hal ini Wilayah Torana (di bagian depan, yang menjadi kota pedalaman yang luas, gerbang kemakmuran Sriwijaya).

Nama-nama yang disebut dalam teks prasasti Tanjore di wilayah Seiwijaya tentulah menarik diperhatikan. Satu nama tempat yang diperdebatkan adalah nama Malayur. Nama Malayo telah disebut I’tsing pada abad ke-7 dan nama Malayur disebut prasasti Tanjore abad ke-11. Apakah Malayo dan Malayur merujuk pada nama Malea? Dalam bahasa Tamil, malai=bukit/gunung. Nama gunung Malea ibarat nama gunung Himalaya di India. Pada masa ini di lereng sebelah barat gunung Malea terdapat candi kuno, candi Simangambat di sisi timur sungai Batang Angkola (yang diduga sejaman dengan candi Sewu di Jawa pada abad ke-8).


Dalam prasasti Tanjore (1030) disebut Malayur dengan benteng di atas bukit dan Takkolam yang memiliki ilmuwan. Lantas apakah Malayo menurut I’tsing (671) dimana ia tinggal dua bulan sebelum ke Nalanda adalah Malayur dalam prasasti Tanjore tempat para ilmuwan. Lalu dimana nama pulau Madamalingam berbenteng kuat yang mirip dengan nama Mandailing? Di sebut memiliki benteng kuat di pulau. Apakah pulau yang dimaksud berada di muara sungai Rokan Kanan (sekitar Dalu-Dalu/Pasir Pangaraiyan)?

Sejak invasi Chola pada tahun 1025 ke pantai timur Sumatra, nama Sriwijaya redup lalu menghilang. Tamat sudah kerajaan Sriwijaya. Dengan mengacu pada dua perdebatan para ahli di atas tentang isi teks prasasti Kedoekan Boekit (682) dan prasasti Tanjore (1030), muncul nama San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i) yang berasal dari catatan Tiongkok pada era dinasti Soeng II tahun 900 dan antara 905 dan 1178 (Groeneveldt's Notes, l e ed. 1876). Dalam perdebatan ini ada yang sependapat bahwa San-bo-tsai/San-fo-ts'i adalah Criwijaya sebagai Sriboeza, Qribodja dan Qrïwijaya.


Mangapa San-bo-tsai/San-fo-ts'i seakan dipaksakan itu adalah nama yang mirip dengan nama Criwijaya (Sriboeza, Qribodja dan Qrïwijaya). Tampaknya semua para ahli sekan terikat nama besar kota Palembang saat itu, kota dimana selama ini dikenal pada masa lalu kota Kerajaan Palembang dan dulunya dianggap sebagai pusat (kota) Sriwijaya. Para ahli tidak ada yang membayangkan apakah nama San-bo-tsai/San-fo-ts'I ada di tempat lain, jauh dari kota Palembang. Itu satu hal. Dalam hal ini dimana itu nama San-bo-tsai/San-fo-ts'i? Satu yang jelas nama Palembang sudah disebut dalam teks prasasti Negarakertagama (1365). Dalam teks ini juga disebut nama Pane, nama (Padang) Lawas, nama Rokan, nama Haru, nama Barus dan nama Mandailing. Sementara nama Pau-lin-pang yang diduga nama Palembang muncul pada tahun 1374 berdasarkan catatan Tiongkok dinasti Ming.      

Oleh karena nama San-bo-tsai/San-fo-ts'I tidak mirip dengan nama Sriwijaya, lantas apakah nama San-bo-tsai/San-fo-ts'I adalah nama Tambusai (Tam-bu-sai). Dimana itu wilayah Tambusai? Nama Tambusai berada di daerah aliran sungai Rokan Kanan. Pada masa kini wilayah Tambusai, pada era Pemerintah Hindia Belanda disebut wilayah Dalu-Dalu dan pada masa sekarang lebih dikenal sebagai wilayah Pasir Pangaraiyan.


Bagaimana dengan nama pulau Madamalingam berbenteng kuat (prasasti Tanjore, 1030) yang mirip dengan nama Mandailing dalam teks Negarakertagama? Lalu apakah wilayah Mandailing pada era Chola termasuk wilayah daerah aliran sungai Rokan Kanan? Bisa jadi. Karena nama Rokan sendiri baru muncul pada teks Negarakertagama (1365).

Lalu bagaimana nama tempat Minanga dalam prasasti Kedoekan Boekit abad ke-7 (682)? Apakah Minanga tersebut adalah kota Binanga yang sekarang? Nama yang juga disebut dalam prasasti Tanjore (Ilangasogam=Ilanga-Sogam=Binanga-Sunggam). Kota Binanga ini tepat berada sungai Batang Pane bermuara di sungai Barumun. Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut Minanga Tamuan (Binanga pertemuan sungai Pane dan sungai Barumun). Sangat masuk akal.


Berdasarkan geografis sekarang, hilir (timur) kota Binanga disebut (daerah aliran sungai) Batang Barumun. Ke arah hulu kota Binanga ke arah (barat laut) daerah aliran sungai Batang Pane dan ke arah hulu ke barat daya daerah aliran sungai Batang Sangkolon (yang juga menjadi hulu sungai Barumun di lereng sebelah timur gunung Malea. Di kota Binanga pada masa ini ditemukan candi Sipamutung; di daerah aliran sungai Batang Pane antara lain candi Bahall di daerah aliran sungai Sangkilon/hulu sungai Barumun antara lain candi Sangkilon. Di Portibi, sungai Sirumambe bermuara di sungai Batang Pane. Di daerah aliran sungai Sirimambe juga terdapat candi hingga ke batas Sunggam/Batugana. Lalu mengapa begitu banyak candi di kawasan ini (sekitar 26 buah). Apakah karena sejak abad ke-7 sudah disebut nama Minanga dalam prasasti Kedukan Bukit di Palembang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar