*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini
Dalam
sejarah awal
bahasa Melayu
sejumlah nama muncul seperti Nuruddin ar-Raniri yang menyusun buku Bustan
al-Salatin yang ditulis tahun 1636, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, Abdul
Rauf al-Singkel. Nama-nama orang Eropa juga muncul namun kurang dikenal secara luas. Dua yang pertama orang Eropa adalah Marc
Antonio Pigafetta, Frederik de Houtman. Namun begitu, orang-orang
Eropa juga telah
memberi kontribusi dalam penulisan sejarah bahasa Melayu.
Marc Antonio Pigafetta, Frederik de Houtman. Jakob Cornelisz van Nek, Wybrand van Warwyk, Albert Cornelisz Ruil, Jan van Hazel, Jan Jacobsz Palenstein. Juftus Heurnius, Paulus Matthysz, Daniel Brouërius, Hillebrandt Jacobsz van Wouw, Jacobus Golius, Hermannus Kolde de Horn. Cornelis van der Sluis, Nicolaus Hodenpyl, Cornelis Mutter, Engelbertus Cornelius Ninaber, Arnoldus Brants, Johannes Hardholt, Carolus Georgius Serruus, Paulus Anthonisz. de Monte. Sebastiaan Danckaerts, Johannes Roman, Kasper Wiltens, Melchior Leidekker, Petrus van der Vorm, Lambert ten Kate, George Henric Werndly, JJ Hollander, W Robinson, E Netscher, C van Heerdt, Jan Pijnappel (Gz), NH van der Tuuk, Hermann Theodor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir von de Wall, Hillebrandus Cornelius Klinkert. David Haex, Frans Barberino
Lantas bagaimana sejarah nama-nama orang Eropa dalam dunia bahasa Melayu di Nusantara? Seperti disebut di atas banyak nama yang telah dihubungkan dengan sejarah bahasa Melayu di Hindia Timur. Nama yang dapat dianggap penting dalam hal ini adalah George Henric Werndly. Lalu bagaimana sejarah nama-nama orang Eropa dalam dunia bahasa Melayu di Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama-Nama Orang Eropa dalam Dunia Bahasa Melayu di Nusantara; Buku George Henric Werndly
Dalam kamus kecil yang disusun oleh Pigafetta (1519-1522), suatu kamus mirip bahasa Melayu (disebut bahasa Djawi), hanya berisi daftar kosa kata umum yang digunakan di Maluku dan daftar kosa kata umum yang digunakan di Malaka. Kosa kata yang dicatat tersebut pada dasarnya tidak/belum bisa digunakan secara penuh untuk berkomunikasi. Namun untuk sekadar menunjukkan atau mengerti suatu kata sudah cukup. Dalam kamus Pigafetta tidak disertai penjelasan tatabahasa atau contoh kalimat yang menggunakan kamus tersebut.
Prasasti Terengganu adalah prasasti berbahasa mirip bahasa Melayu tertua (berasal
dari abad ke-14) yang ditulis dengan aksara Jawi (gundul). Prasasti ini berisi
teks deskripsi tentang peraturan/hukum yang diberlakukan (hukum berdasarkan Islam).
Kosa kata di dalam teks prasasti juga terdapat kosa kata dewa, darma,
mandalika, tamra, adipratama, sasanakala dan balacara. Sebagai teks yang
terdiri dari sejumlah kalimat, teks berbahasa murip bahasa Melayu dapat dipahami
sebagai bahasa komunikasi. Kalimat-kalimat yang juga berisi kata sambung menjadi
dapat dimengerti maknanya sebagai suatu bahasa (tatabahasa dan kosa kata). Kata
sambung yang ditemukan dalam teks antara lain dengan, yang, bagi, di, pada, jika,
maka, hingga. Kata kerja yang digunakan ada yang menggunakan imbuhan awalan
be/ber, me, ke, di serta akhiran nya, an/kan.
Meski kamus Pigafetta tidak menunjukkan contoh kalimat (tatabahasa) tetapi bagaimana tatabahasa yang digunakan pada masa itu dapat dibaca pada dua surat Sultan Ternate kepada Raja Portugal (1521 dan 1522). Surat Sultan ini merupakan bahasa mirip bahasa Melayu yang digunakan di Ternate/Maluku yang telah menggunakan tatabahasa dan kosa. Susunan kata (kalimat) Surat Sultan ini jauh berkualitas dari teks prasasti Trenggano. Meski surat tersebut adalah surat dari Sultan, tetapi diduga bukan dia yang menulisnya, karena Sultan Ternate saat ini baru berusia tujuh tahun (menggantikan ayahanya yang belum lama meninggal).
Dari daftar kata pada kamus Pigafetta yang ditulis dalam aksara Latin,
terkesan lebih buruk dari surat Sultan. Boleh jadi hal itu, karena Pigafetta
mengkoding kosa kata di dalam aksara Latin dari yang didengarnya secara lisan di
Ternate/Maluku. Namun surat Sultan ini juga bisa dinilai tinggi karena telah dialihaksarakan
dari aksara Jawi ke aksara Latin. Sebagaimana dapat dilihat dari teks surat Sultan
yang menggunakan aksara Jawi tidak memiliki penanda vocal atau konsonan mati
sehingga orangyang mengalihakarakan tidak memiliki kepastian apakah huruf vocal
apakah sesuai dengan yang diucapkan dan yang ditulis dalam aksara Jawi dan kemudian
dialihaksarakan ke aksara Latin. Persoalan ini juga berlaku untuk dialamatkan
pada teks prasasti Trenggano yang menggunakan aksara Jawi kemudian dialihaksarakan
ke aksara Latin.
Orang Eropa pertama yang mencatat bahasa mirip bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Latin yang dapat dipahami saat ini adalah Frederik de Houtman. Seperti disebut di atas Pigafetta tidak memberi contoh kalimat, sementara ada contoh kalimat di kamus Frederik de Houtman. Dalam hal ini, di dalam kamus Frederik de Houtman dapat ditemukan penggunaan tatabahasa (imbuhan) dan juga teks kosa kata dalam aksara Latin. Pigafetta adalah seorang Italia dan Frederik de Houtman adalah seorang Belanda.
Sumber bahasa untuk bahasa mirip bahasa Melayu di fase awal tidak dapat
sepenuhnya menjamin kosa kata apa yang berlaku sebenarnya dengan kosa kata yang
dikoding dengan menggunakan aksara Jawi maupun aksara Latin. Kedua jenis sumber
bahasa ini memiliki kelemahan masing-masing. Aksara Jawi dapat berbeda jika
dialihaksarakan ke aksara Latin, demikian juga orang Eropa yang mencatat
(koding) dari bahasa lisan ke aksara Latin dapat berbeda. Pendengaran dan cara
mengeja ke dalam bahasa yang berbeda dapat memunculkan kesalahan.
Sebastiaan Danckaerts adalah seorang pendeta yang bekerja kepada Direktur Jenderal Jan Pieterszoon Koen adalah yang pertama dipekerjakan untuk mengenal lebih dekat/sifat penduduk asli dan juga untuk berlatih dalam bahasa Melayu. Sebastiaan Danckaerts tiba di Hindia pada tahun 1615. Tempat yang ditunjuk untuk Sebastiaan Danckaerts bekerja di Banten. Dari Banten Sebastiaan Danckaerts berangkat dan tiba di Ambon tanggal 2 Januari 1618.
Selain menyusun kamus di Ambon dari pengumpulannya di Banten di Maluku juga beragiliasi dengan zendin di Ambon. Selama di Ambon, Sebastiaan Danckaerts juga menulis tentang sejarah zending. Tulisan Sebastiaan Danckaerts berjudul Historisch Ende Grondich Verhael, Vanden Standt Des Christendoms Int Quartier van Amboina, Mitsgaders Vande Hoope Ende Apparentie Eenigher Reformatie Ende Beternisse Van Dien diterbitkan di ‘sGravenhaghe pada tahun 1621. Catatan: Pada tahun 1619 pos perdagangan utama Belanda (VOC) dipindahkan dari Amboina ke Batavia. Pada tahun 1622 Sebastiaan Danckaerts berangkat dari Amboina ke Batavia. Lalu dari Batavia kembali ke Belanda untuk melihat beberapa buku dalam bahasa Melayu. Buku-buku dalam bahasa Melayu itu diduga adalah buku-buku yang dikumpulkan oleh para pelaut-pelaut sebelumnya. Di Belanda, Sebastiaan Danckaerts bersama Casparum Wiltens menyusun buku tatabahasa Melayu berjudul Obfervationes aliquot hinc illinc decerptæ ex Grammatica Latina, utiliffimæ ftudiofis linguæ Malaicæ in infulis Java, Amboinâ, Moluccas, Bandâ & earundem circumviciniis.
Sementara Sebastiaan Danckaerts sudah berada di Belanda, orang yang melakukan tugas pengumpulan bahasa Melayu juga adalah Jan van Hasel dan Albert Ruyl dan lainnya. Hasil karya Sebastiaan Danckaerts dan Casparum Wiltens ini kemudian digabungkan dengn hasil-hasil Jan van Hasel dan Albert Ruyl dan lainnya Justum Heurnium yang diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1650.
Johannes Roman tiba di Hindia pada tahun 1647 di Hindia. Pada tahun berikutnya Johannes Roman menjadi pimpinan gereja pribumi di Batavia. Johannes Roman digantikan pada tahun 1658. Sebelum itu karya Johannes Roman berjudul Kort Bericht vaan de Maleyssche Letter-konst yang diterbitkan pada tahun 1655.
Joanne M Roman menulis buku bahasa Melayu dengan judul Grondt ofte kort bericht, van de Maleysche tale yang diterbitkan di Batavia tahun 1674. Buku Joanne M Roman dapat dikatakan perkembangan kamus-kamus terdahulu sejak Frederik de Houtman, Sebastiaan Danckaerts dan Justum Heurnium. Joanne M Roman sendiri sudah lama di Hindia. Kamus Frederik de Houtman sendiri seperti kita lihat nanti dengan judul Dictionarium, ofte Woord ende spraeck-boeck, in de Duytsche ende Maleysche tale masih diterbitkan di Batavia hingga tahun 1707.
Dalam buku bahasa Joanne M Roman ini terdapat sebutan bilangan. Meski buku ini
bukan kamus, tetapi lebih tepat dikatakan mirip buku tatabahasa Melayu,
disebutkan angka-angka: 1=suatou, 2=doa, 3=tiga, 4=ampat, 5=lima, 6=anam,
7=toedjou, 8=delappan, 9=sambilan, 19=sapoelo, 11=sablas juga disebut sapoelo
soeatou, 100=saratus, 1000=saribu dan 10000=salaksa. Yang menarik dalam buku
Joanne M Roman (1674), sejauh ini, untuk pertama kali angka 1 disebut satu
(suatou). Sebelumnya, jauh di masa lampau hanya dikenal sebutan sa. Oleh karena
buku ini diterbitkan di Batavia, angka satu belum muncul di Sumatra atau
semenanjung Malaya, melainkan muncul di Jawa (mungkin di kota perdagangan).
Bagaimana asal muasal sebutan sa menjadi satu? Yang jelas satu dalam bahasa
Jawa adalah sidji dan dalam bahasa Sunda adalah hidji. Yang menjadi pertanyaan
dimana terbentuknya sebutan bilangan satu (suatou) yang diduga berasal dari
sa-batu. Dalam bahasa Batak sendiri satu disebut sada (mungkin berasal dari
sa-dainang, sa-damang). Selain itu, untuk sebutan bilangan belas di dalam bahasa
Melayu diduga diserap dari bahasa Jawa (sewelas, selikur, selaweh). Mengapa?
Sebab yang sudah terdeteksi sejak lama di Sumatra adalah penyebutan dengan
sistem biner (sebutan bilangan bahasa Batak seperti sapulu dua dalam prasasti
Kedoekan Boekit abad ke-7).
Buku yang ditulis Johannes Roman berbeda dengan buku-buku bahasa Melayu sebelumnya hanya berdasarkan koding bahasa Melayu ke dalam aksara Latin. Johannes Roman dalam bukunya berjudul Grondt ofte kort bericht, van de Maleysche tale (1674 sudah mengadopsi aksara Djawi. Mengapa? Di satu sisi bahasa Melayu masih umum menggunakan aksara Djawi di daerah orang Melayu dan di sisi lain banyak sumber-sumber tertulis berbahasa Melayu yang lama yang ditulis dalam aksara Djawi. Pemahamaan ini tidak hanya penting bagi penulis seperti Johannes Roman tetapi juga penting bagi pejabat VOC untuk berkomunikaasi dengan para pemimpin local.
Bahasa Melayu sendiri adalah identik dengan aksara Djawi. Sebagaimana
pada sebelumnya bahwa di masa lalu nama bahasa Melayu adalah bahasa Djawi. Oleh
karena itulah dalam penyelidikan bahasa yang dilakukan oleh Johannes Roman juga
harus mempelajari aksara Djawi yang dengan demikian Johannes Roman memiliki
teks pembanding. Dalam hal ini di Hindia Timur terdapat dua aksara (Djawi dan
Latin) yang memiliki keutamaan dalam bahasa Melayu (untuk aksara Jawa dan
aksara Batak belum terinformasikan).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Buku George Henric Werndly: Tulisan-Tulisan Berbahasa Melayu dengan Menggunakan Aksara Djawi
George Henric Werndly adalah generasi yang berbeda dalam penyelidikan bahasa Melayu. Sebenarnya ada kesinambungan sejaak Frederik de Houtman ke Sebastiaan Danckaerts dan selanjutnya Johannes Roman. Dalam hal ini Johannes Roman telah memperkenalkan aksara Djawi untuk lebih memahami dalam penulisan buku bahasa Melayu. Dalam konteks inilah George Henric Werndly melengkapi dan menyempurnakan rintisan yang telah dilakukan para pendahulunya. George Henric Werndly menulis buku berjudul Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt, m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v. Maleiers geschreven yang ditebitkan di Amsterdam pada tahun 1736.
Ada perbedaan antara penulis Melayu dengan penulis Eropaa dalam penyelidikan dan penulisan karya berbahasaa Melayu. Nama-nama Eropa menjadi penting karena belum banyak dan hanya jumlahnya sedikit, tetapi memiliki kebiasaan dalam penulisan dengan meneruskannnyaa ke penerbitan. Dokumen-dokumen ini yang dicetak banyak sehingga cenderung terlestarikan. Berbeda dengan penulis-penulis Eropa, para penulis Melayu hanya membuat tulisan karena diduga ada kepentingan kerajaaan. Karya-karya yang ditulis sangat terbatas (tulisan tangan) jumlahnya. Dalam penulisan karya-karya itu ada yang menyebut penulisnya dan ada yang tidak disebut. Pada masa George Henric Werndly sudah ada seejumlah karya Melayu yang ditemukan dan kemudian disalin yang kemudian disimpan dan dicetak/digandakan kemudian ditemukan tersimpan di museum. Beberapa karyaaa Melayu di dalam buku George Henric Werndly yang disebut adalah Hikajat Iskandar Dzul’lkharnaijn; Hikayat Indara Patara; Hikajay Kalilah dan Dimnah; Makota Segala Radja; Sulaletu’lsalathin; Kuda Parungguw; Isma Jatim.
Satu keutamaan buku George Henric Werndly adalah memasukkan penyelidikannya terhadap sejarah bahasa Melayu. Topik ini ditempatkan George Henric Werndly pada bukunya di bagian bab pertama. Dari sinilah kemudian diketahui nama bahasa Melayu itu sebelumnya adalah bahasa Djawi (sesuai dengan aksara yang digunakan yang disebut aksara Djawi). Keutamaan lainnya dari buku George Henric Werndly adalah memasukkaan unsur aksara Djawi dalam pembahasan dan juga menggabungkan materi dari berbagai sumber terutama dari sumber Eropa dan sumber Melayu yakni karya-karya Melayu yang telah dikumpulkan.
Karya-karya Meayu ini banyak yang ditulis orang asal Persia/Arab dengan menggunakan aksara Djawi. Menurut George Henric Werndly orang Melayu di Zirbad/Djohor menganggap buku-buku itu sebagai bahasa Nabi karena berisi ajaran yang terkait dengan keagamaan atau cerita di dunia Islam yang menjadi pedoman dalam pengajaran bagi anak-anak orang besar, abdi dalem, dan orang-orang di kerajaan yang cocok untuk mempelajari bahasa itu, berbicara, membaca dan menulis, yang merupakan sesuatu yang istimewa terjadi di antara raja-raja di suatu negara, contohnya dapat ditemukan dalam teks buku 'Ismâ Jatim dan buku Radja Indara Mampilei yang ditujukan untuk pendidikan yang baik para bangsawan, anggota dewan, dan mayor orang Melayu, seperti yang dikutip George Henric Werndly (yang telah dialihaksarakannya sendiri).
Nuruddin
al-Raniri atau Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad
Hamid ar-Raniri al-Quraisyi adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II). Syekh Nuruddin diperkirakan
lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21
September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi
penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. Ar Raniri memiliki pengetahuan
luas yang meliputi sufisme, kalam, fikih, hadits, sejarah, dan perbandingan
agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling
terkenal adalah "Bustanus al-Salatin". Ar-Raniri berperan penting
saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya
Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam
terutama yang baru memeluknya. Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India
setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu
perdebatan umum. Hamzah Fansuri sendiri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup
pada abad ke-16. A Teeuw menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia,
sementara Abdul Hadi menjulukinya sebagai Bapak Sastra Melayu. Hamzah Fansuri
lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Dalam
sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair. Banyak speskulasi
mengenai asal usul Hamzah Fansuri. Sebagian mengatakan dia berasal dari Barus
(sekarang berada di provinsi Sumatera Utara), ada juga yang berpendapat ia
lahir di Ayutthaya, ibu kota lama kerajaan Siam. Nama 'Fansuri' sendiri berasal
dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah,
dekat kota bersejarah Barus. Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung
Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Syair
Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas empat baris,
yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada empat, meskipun
terdapat pengecualian. Syair Hamzah Fansuri banyak terpengaruh puisi-puisi Arab
dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar Khayyam). A Teeuw menyebutkan bahwa
Hamzah Fansuri memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal
dalam sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk
mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah
Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam
puisinya. Daftar karyanya: Syair Burung Unggas; Syair Dagang; Syair Perahu; Syair
Si Burung Pungguk (Wikipedia).
George Henric Werndly dalam bukunya berjudul Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt, m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v. Maleiers geschreven yang ditebitkan di Amsterdam pada tahun 1736 menggabungkan contoh-contoh kosa kata dan tatabahasa bahasa Melayu yang ditulis oleh orang (tokoh agama Islam) asal Arab/Persia yang menggunakan aksara Djawi dan yang ditulis oleh orang Eropa/Belanda yang bertugas sebagai pendeta/misionaris (di Malaku dan Batavia) dengan menggunakan aksara Latin. Oleh karena keduanya di zaman yang sama, maka George Henric Werndly tak bisa mengesamping yang satu terhadap yang lain sebagai sumber penulisan.
Sebagai
pembanding, teks berbahasa Djawi dengan menggunakan aksara Djawi dalam bentuk
singkat ditemukan dalam prasasti Trenggano (yang berasal dari abad ke-14/15)
dan teks yang lebih panjang ditemukan dalam surat Sultan Ternate yang berasal
dari abad ke-16. Seperti disebut di atas, teks berbahasa Melayu dengan
menggunakan aksara Djawi ditemukan di Atjeh juga berasal dari abad ke-16. Teks-teks
berbahasa Melayu yang lebih panjang yang menggunakan aksara Djawi di Tanah
Semenanjung baru muncul pada awal abad ke-17 seperti Suleletu’lsalathin (1612).
Pada awal abad ke-17 ini ditulis teks Bustan al-Salatin oleh Nuruddin ar-Raniri
pada tahun 1636.
George Henric Werndly dalam hal ini menjadi penulis Eropa pertama yang secara sadar menggunakan bebagai sumber dalam penulisan bahasa Melayu. Sudah barang tentu pula George Henric Werndly menyadari dirinya tidak tengah berada secara eksklusif di wilayah Melayu berbahasa Melayu (seperti di Atjeh dan Semenjanjung) tetapi justru berada di tengah orang berbahasa Melayu di wilayah non Melayu seperti di Maluku (Ambon) dan di Jawa (Batavia) dimana sudah sejak lama diketahui para penulis-penulis bahasa Melayu yang berasal dari Eropa/Belanda.
Dalam
konteks inilah kemudian secara akumulatif, pemahaman terhadap (pertumbuhan/perkembangan)
bahasa Melayu itu ada perbedaan diantara wilayah Melayu dan wilayah non Melayu.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah non Melayu menjadi wilayah dimana subur
pertumbuhan bahasa Melayu Pasar, bahasa yang sudah berbeda dengan bahasa Melayu
yang digunakan di wilayah Melayu. Dalam perkembangan bahasa Melayu Pasar inilah
keterlibatan peniulis Eropa/Belanda banyak berkecimpung. Seperti kita lihat
nantu perkembangan bahasa Melayu Pasar inilah yang menjadi domain dari
pembentukan Bahasa Indonesia.
George Henric Werndly hidup di era VOC/Belanda. Era dimana begitu kuatnya pengaruh VOC di Hindia Timur (minus Filipina dimana Spanyol berkuasa). Kekuasaan Inggris di Bengkulu dan Portugis di Timor yang tidak seberapa, tidak pula sebandingkan dengan kekuatan Belanda di Eropa VOC dalam penyelidikan kebahasaan (Melayu).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar