Hadji
Preanger adalah kafilah hadji yang menjadi bagian dari Hadji Hindia Belanda.
Penyelenggaraan perjalanan hadji dari Hindia Belanda diselenggarakan oleh
pemerintah dengan empat ‘embarkasi’ menggunakan satu kapal besar dari
Soerabaja, Semarang, Batavia dan Padang yang disewa dari perusahaan kapal
Inggris atau Belanda. Penyelenggaraan hadji ini sudah dimulai sejak 1870.
Haji-haji dari Hindia Belanda sebelumnya
berangkat sendiri-sendiri dengan menggunakan kapal-kapal dagang Arab, Persia
dan Inggris melalui Singapoera atau Penang. Perjalanan haji dengan kapal-kapal
dagang ini tidak teratur dan adakalanya harus dilakukan transit di kota
pelabuhan tertentu. Demikian juga sebaliknya. Akibatnya lama perjalanan haji
membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena jumlah haji ini lambat laun
semakin banyak dari waktu ke waktu, lalu pemerintah Hindia Belanda
memfasilitasi perjalanan haji ini dengan menyelenggarakan perjalanan haji
secara regular setiap tahun dan diselenggarakan dengan pengaturan tertentu,
seperti tes kesehatan sebelum tiba di Jeddah dan sebelum tiba di pelabuhan asal
untuk menghindari terbawa penyakit. Di Batavia sterilisasi kesehatan ini
dilakukan di Pulau Onrust sebelum masuk Batavia. Poster angkutan haji, 1935
Hadji Preanger
Raden Hadji Moehammad Ardi adalah termasuk ‘kloter’
haji yang berangkat sebelum adanya penyelenggaraan haji. Jumlah haji dari
Hindia Belanda terus meningkat sejak 1850an hingga jelang tahun 1900.
Pemimpin
umat Islam yang dalam hal ini penghoeloe, Kepala Penghoeloe seakan menjadi
‘Kepala Kantor Agama’ pada masa ini yang berfungsi ke dalam untuk
menyelenggarakan siar Islam (fikih, ibadah dan muamalah) dan ke luar sebagai
wakil pemerintah untuk menyeimbangkan tuntutan pemerintah kolonial dan
kebutuhan penduduk pribumi yang menganut agama Islam. Kepala penghoeloe juga
menjadi penyelenggara haji pada tingkat lokal (kabupaten). Hadji-hadji dari
Bandoeng, sebagaimana di tempat lain, seperti yang terdekat di Tjiandjoer
melakukan pemberangkatan hadji yang diorganisir dalam kafilah yang pada saat
ini disebut ‘kloter’. Raden Atipadi Wira Nata Koesoema (foto 1860)
Hadji
dari Bandoeng berangkat dalam ‘kloter’ (kafilah) yang disebut Hadji Preanger.
Dari daerah lain berangkat dengan nama ‘kloter’ Malang, Pasuruan, Atjeh, Ambon
dan Bugis. Sementara daerah lainnya dengan nama ‘kloter’ Painan, Sambas,
Straits Settlements (semenandjoeng Malaya, termasuk pantai timur Sumatra),
Mandailing en Angkola (Tapanoeli), Selajar, Banten, Pontianak, Makassar,
Lampung, Bugis, Pekalongan, Batjan, Atjeh, Tjianjur, Banjarmasin, Baros, Preanger,
Palembang, Pidie, Sambas, Bengkoelen, Ternate, Martapaura, Banda, Idie, Mandar,
Soekopoera (Garoet dan sekitarnya). Singkat kata, perjalanan haji dari Hindia
Belanda menjadi lebih terorganisir, Haji dari Preanger di Mekka, 1890
Namun
persoalan tetap ada. Banyak hadji dari Hindia Belanda yang tidak kembali,
karena berbagai alasan: meninggal selama perjalanan atau selama di Mekkah,
kehabisan uang dan juga ada yang hilang yang diduga dirampok dalam perjalanan
haji dari Jeddah ke Mekkah serta tentu saja ada yang ingin berdiam (menetap) di
Mekkah apakah karena alasan ekonomi atau karena alasan ingin memperdalam
pengetahuan agama Islam. Hal-hal yang terkait dengan itu, boleh jadi karena
tidak adanya panduan haji, tidak tersedianya pemandu selama perjalanan maupub
selama menyenggarakan ibadah haji di Mekkah. Para Penghoeloe hanya
mengkoordinasikan di tempat asal (tidak ikut dalam perjalanan haji), pemerintah
Hindia Belanda hanya sekadar menyediakan kapal dan menjadwalkan pelayaran dan
proses pabean (imigrasi) dan tentunya mengutip pajak atau retribusi. Masjid
Bandoeng, 1901
Melihat
banyaknya persoalan yang mencul selama persiapan, selama perjalanan dan selama
menunaikan haji di Mekkah (dan bagaimana kembalinya ke kampong halaman),
seorang haji yang berasal dari Tapanoeli yang pernah ke Mekkah bernama Dja
Endar Moeda mencoba melakukan inisiatif. Untuk mengatasi persoalan apa yang
harus dipersiapkan, bagaimana situasi dan kondisi yang dihadapi selama
perjalanan maupun selama menunaikan ibadah haji di Mekah dan Madinah, Dja Endar
Moeda pada tahun 1900 menerbitkan buku kecil yang berisi panduan naik haji.
Panduan naik haji ini sudah pernah dimuat di berbagai media yang ditulis oleh
Dja Endar Moeda sendiri, seperti surat kabar Pertja Barat, miliknya yang
beroplah wilayah Sumatra dan majalah Bintang Hindia yang terbit di Belanda yang
bertiras nasional, yang dapat dibeli di Bandoeng. Kantor majalah Bintang Hindia
di Bandoeng 1900
Pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengadopsi
buku ini sebagai ‘Buku Panduan Haji Nasional’. Buku ini diperbanyak dan
disebarluaskan oleh pemerintah melalui pemerintah setempat, Asisten Residen,
Controleur, Bupati dan Penghoeloe (di daerah-daerah dimana selama ini banyak
mengirim calon jemaah haji ke Mekah). Buku karya Dja Endar Moeda ini terbilang
buku panduan haji pertama di Nusantara (Hindia Belanda). Para Hadji di Bandoeng
sudah berpartisipasi dalam dewan, 1903
Buku
panduan haji yang disusun Dja Endar Moeda yang telah diterbitkan dan telah
disebarluaskan di Hindia Belanda merupakan sebuah dedikasi Dja Endar Moeda bagi
umat Islam khususnya kepada calon jemaah haji (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
14-11-1900). Dengan terbitnya buku panduan haji tersebut, Dja Endar Moeda kerap
diminta pemerintah menjadi pemandu haji selama di kapal dan dari Jeddah ke
Mekah, karena sulitnya menemukan pribumi yang berpengalaman dalam menunaikan
ibadah haji yang bisa berbahasa Belanda.
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda lahir di
Padang Sidempuan 1860. Menyelesaikan sekolah guru (kweekschool) di Padang
Sidempuan tahun 1884. Setelah pension jadi guru, Dja Endar Moeda menunaikan
haji ke Mekah. Setelah pulang dari Mekah, Dja Endar Moeda tinggal di Kota
Padang. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah swasta di Kota
Padang. Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda yang kerap menulis buku pelajaran
sekolah, buku umum dan buku roman (novel) diangkat menjadi editor surat kabar
berbahasa Melayu, Pertja Barat di Padang (editor peribumi pertama). Pada tahun
1900, Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta
percetakannya. Sejak itu, Dja Endar Moeda menerbitkan sejumlah media dan toko
buku. Surat kabar dan majalah yang dimiliki Dja Endar Moeda diterbitkan di
Padang, Sibolga, Medan dan Kota Radja (kini Banda Aceh). Dja Endar Moeda
dijuluki sebagai Radja Persuratkabaran Sumatra.
Kita
bisa bayangkan bagaimana perjalanan haji pada tahun 1900 meski sudah ada buku
panduan haji yang ditulis oleh Hadji Dja Endar Moeda. apalagi sebelum adanya
buku panduan tersebut. Bahkan kita sulit membayangkan perjalanan haji yang
begitu maha sulit apalagi sebelum pemerintah Hindia Belanda terlibat dalam
penyelenggaraan haji. Haji di Mekah 1917-1921
Kini, untuk menunaikan ibadah haji sudah
sangat mudah, selain dengan penerbangan udara yang cepat juga dipandu oleh para
pemandu haji yang terlatih. Meski demikian, namun untuk menjadi haji tidak
mudah, harus menunggu lama untuk mendapat tiket haji. Waktu tunggu dari waktu
ke waktu semakin lama.
Sarikat Pedagang Bandoeng ‘Himpoenan Soedara’
Kesadaran
berbangsa yang sejak dari dulu ada dimana-mana, di Bandoeng mulai bersemai.
Kesadaran berbangsa ini mulai menguat di luar kraton (Bupati) utamanya di
kalangan umat Islam yang ‘dimotori’ oleh para haji yang jumlahnya semakin
banyak di Preanger khususnya di kota Bandoeng. Kesadaran berbangsa ini muncul
karena semakin senjangnya kehidupan (ekonomi) antara orang-orang Eropa/Belanda
dan orang-orang Tionghoa dengan kaoem pribumi di Bandoeng. Di pasar Bandoeng,
dominasi orang-orang Tionghoa sudah sangat dirasakan. Para pedagang pribumi
yang sebagian diantaranya telah haji mencoba bangkit secara kolektif (tidak
sediri-sendiri seperti selama ini).
Paguyuban
kaoem pribumi di Bandoeng mulai mengorganisir kolektif perdagangan agar mampu
bersaing dengan orang-orang Tionghoa yang secara tradisional sangat dekat satu
sama lain. Paguyuban ini kemudian disebut ‘Himpoenan Soedara’. Himpunan
persaudaraan di antara kalangan pribumi di Bandoeng juga mencakup orang-orang
Arab yang mulai ekspansi bisnisnya ke Preanger khususnya di Bandoeng (setelah
lebih dulu berkembang di Buitenzorg/Empang). Organisasi yang berbasis Islam
ini, ‘Himpoenan Soedara’ terus memperluas keanggotaannya hingga ke seluruh
Preanger dan memperkuaat kemampuan para anggotanya. De Preanger-bode,
07-10-1913
Sebagai pembanding saja: Nun jauh di Medan,
orang-orang Tapanoeli (yang umumnya berasal dari afdeeling Mandailing dan
Angkola) membuat perkumpulan untuk merespon jaringan perdagangan orang-orang
Tionghoa (Medan, Penang, Singapoera). Perkumpulan tersebut disebut Sarikat
Tapanoeli yang digagas oleh dua orang haji tahun 1905 yang ketuanya Hadji Dja
Endar Moeda dan wakilnya Sjech Ibrahim. Hadji Dja Endar Moeda (kampongnya di
Angkola) sudah mulai memperluas usahanya dari Padang ke Kota Radja (kini Banda
Aceh dan Medan). Sjech Ibrahim (kampongnya di Mandailing) saat itu adalah
kepala kampong pertama di Kota Medan (sejak kota Medan menjadi Gemeente 1905).
Sarikat Tapanoeli ini lalu disahkan sebagai Vereeniging Sarikat Tapanoeli.
Kemudian sarikat ini membentuk perusahaan yang namanya sama NV. Sarikat
Tapanoeli. Untuk mengoptimalkan orang-orang Tapanoeli dalam persaingan bisnis
dengan orang-orang Tionghoa lalu mendirikan surat kabar Pewarta Deli akhir
tahun 1909. Surat kabar ini didirikan untuk mengefektifkan promosi dagang
orang-orang Tapanoeli yang umumnya beragama Islam dengan menyediakan layanan
iklan yang lebih murah. Surat kabar ini juga menjadi sumber berita-berita
bisnis. Juga menjadi ujung tombak untuk menyasar pribumi dalam mencerdaskan
berbagai suku bangsa (karenanya motto surat kabar ini Oentoek Sagala Bangsa
yang persis mottonya dengan surat kabar Pertja Barat di Padang). Yang menjadi
editor pertama adalah Dja Endar Moeda (sebagaimana editor Pertja Barat).
Sarikat ini juga membentuk klub sepakbola pribumi untuk kalangan muda yang
disebut Tapanoeli Voetbalclub yang ikut kompetisi di bond sepakbola Medan sejak
tahun 1907. Bidang lain dari Sarikat Tapenoeli selain media, sepakbola, juga
sekolah swasta, lembaga keuangan (simpan-pinjam) dan juga klinik kesehatan. Koran
Pewarta Deli di Medan, 1910
Akhirnya
‘Himpoenan Soedara’ dilegalkan (sebagaimana telah lebih dahulu dilakukan
Sarikat Tapanoeli di Medan) dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah.
Pada bulan Oktober 1913 status ‘Himpoenan Soedara’ secara resmi disahkan oleh
pemerintah (lihat De Preanger-bode, 07-10-1913). Seperti dilaporkan De
Preanger-bode, 02-11-1913 ‘Himpoenan Soedara’ bertujuan untuk memberikan
dukungan kepada anggotanya dalam kegiatan bidang komersil (bisnis: perdagangan
dan keuangan) dan melakukan (kepedulian) tolong menolong terhadap anggotanya
yang meninggal. Yang bertindak sebagai direktur asosiasi ini adalah sebagai
berikut: Presiden: Mas Adiwinata, Sekretaris-Bendahara: Hadjie Domerie,
Komisaris; Hadjie Badjoerie. Mereka semua adalah pedagang di Bandung.
Selanjutnya pada tahun 1914 Anggaran Dasar ‘Himpoenan Soedara’ megalami
perubahan pada pasal 2, pasal 3 dan pasal 7 (Bataviaasch nieuwsblad, 14-10-1914).
De Preanger-bode, 02-11-1913
Sarikat Tapenoeli terus mengembangkan
sayapnya ke berbagai tempat utama di Sumatra’s Oostkust termasuk ke kampong
halaman mereka di afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afd.
Mandailing en Angkola). Di Pematang Siantar, pada tahun 1920 Sarikat Tapanoeli
mendirikan bank sebagai perluasan bidang keuangan, simpan-pinjam yang sudah ada
sejak lama (lihat De Telegraaf, 28-12-1920). Bank yang disebut Bataksch Bank
ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pengusaha menengah yang berkiprah di bidang
perkebunan. Pengusaha-pengusaha perkebunan yang umumnya orang Padang Sidempuan
di Tapanoeli memperluas usahanya di Sumatra’s Oostkust utamanya di afdeling
Simaleongoen, Pematang Siantar dan Asahan.
Pendirian bank ini juga untuk alternatif
karena begitu sulitnya para pengusaha pribumi akses ke Kesawan Bank (Tionghoa)
dan Java Bank (Eropa/Belanda). Untuk sekadar diketahui, sesungguhnya bank
pribumi pertama, yang benar-benar bank (bukan koperasi) adalah Bataksch Bank di
Pematang Siantar. Direktur (presiden) Bataksch Bank adalah Dr. Ali Moesa (alumni
sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg, 1912); sekretaris Soetan Pane Paroehoem
(notaries pertama di Sumatra). Salah satu komisaris adalah Dr. Mohamad Hamzah
(alumni Docter Djawa School/STOVIA 1903, saudara sepupu Soetan Casajangan), dan
administrator adalah Mohammad Soetan Hasoendoetanm seorang mantan guru dan
pengarang. De Telegraaf, 28-12-1920
‘Himpoenan Soedara’ Mulai Berpolitik
Lokasi kantor 'Himpoenan Soedara' Bandoeng (Peta 1910) |
Vereening ‘Himpoenan Soedara’ yang
beralamat di Moskeeweg (Jalan Masjid) No. 7 Bandoeng sebagai organisasi
peribumi terbesar di Bandoeng, makin lama maki besar dan memiliki gedung yang
cukup besar. Sarikat para pedagang muslim ini tidak hanya aktif membina para
anggotanya, tetapi juga sudah mulai melihat dinamika kebangsaan yang terjadi di
berbagai tempat di Hindia Belanda. Gedung sarikat yang cukup besar juga telah
dimanfaatkan oleh sarikat-sarikat pribumi lainnya untuk tempat pertemuan (rapay
besar). Salah satu yang menggunakan gedung tersebut adalah sarikat guru.
Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-12-1927: ‘Pertemuan Propaganda
(politik). Pada tanggal 1 Januari, Afdeeling PGHB Bandoeng (Perserikatan Guru
Hindia Belanda), yang pusatnya berada di Jokjakarta akan melakukan rapat besar.
Pertemuan akan diadakan di gedung ‘Himpoenan Soedara’ di Moskeeweg. Yang akan
berpidato adalah guru Rd. Poeradimadja dan Mas Partawinata’.
Rapat-rapat besar serupa tersebut makin
kerap dilakukan di berbagai tempat di Hindia Belanda. Hal ini sehubungan dengan
bersatunya sarikat-sarikat kebangsaan yang diikat dengan nama Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dilakukan pada
tahun 1927 di Batavia. Supra organisasi kebangsaan ini meliputi Bataksch Bond,
Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem Betawi dan sebagainya.
Supra
Organisasi Kebangsaan ini yang disebut PPPKI awalnya pendiriannya digagas oleh
Parada Harahap. Ketua PPPKI adalah M. Husni Thamrin dan Parada Harahap sebagai
sekretaris. Parada Harahap adalah tokoh penting di Sumatrabond, pemilik surat
kabar Bintang Timoer. Parada Harahap
adalah seorang revolusioner sejati yang pada usia 17 tahun pada tahun 1917
membongkar kasus ‘poenali sanctie’ di Deli, mendirikan surat kabar Sinar Merdeka
di Padang Sidempuan tahun 1919. Pada tahun 1923 hijrah ke Batavia dan
menerbitkan surat kabar Bintang Hindia dengan Dr. Abdul Rivai, mendirikan
kantor berita Alpena (editor dan wartawannya adalah WR Supratman), mendirikan
surat kabar Bintang Timoer 1926 (bertiras paling tinggi di Batavia). Radja
delik pers, sudah puluhan kali dimejahijaukan dan beberapa kali dibui. Pada
tahun 1927 Parada Harahap membentuk himpoenan pengusaha (semacam KADIN) di
Batavia, dimana Parada Harahap sebagai ketuanya.
PPPKI adalah inisiator diadakannya
Kongres Pemuda. Pada tanggal 31 Agustus 1928 organisasi ini melakukan pertemuan
publik pertama (kongres). Hadir dalam kongres antara lain: Parada Harahap,
Tjokroaminto, Dr. Soetomo, Ir. Soekarno. M. Thamrin. Dalam kongres ini Parada
Harahap mengomentari sikap pasifnya wakil Minahasa dan Ambon. Setelah kongres
ini Parada Harahap segera memperluas cakupan korannya dengan menerbitkan
Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Jawa Tengah) dan edisi Surabaya (untuk
Jawa Timur). Tidak lama setelah kongres PPPKI, juga akan dilakukan pertemuan
para pemudanya yang akan melakukan kongres pada tanggal 28 Oktober 1928. Salah
satu panitia Kongres Pemuda adalah Amir Sjarifoeddin yang bertindak sebagai
bendahara. Hubungan Parada Harahap dan Amir Sjarifoeddin sangatlah dekat.
Parada Harahap adalah orang yang
multitask. Parada Harahap tidak hanya memiliki tujuh media, tetapi sangat sibuk
di PPPKI yang berkantor pusat di Gang Kenari. Parada Harahap yang juga adalah
Ketua Himpunan Pengusaha (semacam Kadin) pribumi yang berpusat di Batavia juga
sangat sibuk melakukan konsolidasi di bidang perdagangan pribumi. Dalam suatu
rapat besar para pedagang pribumi Batavia, Parada Harahap menggarisbawahi
eksistensi himpunan pengusaha dari Bandoeng “Himpoenan Soedara’. Mari kita
simak pidato Parada Harahap yang dimuat oleh surat kabar De Indische courant.
De
Indische courant, 17-09-1929: ‘Minggu pagi di sini di bawah kepemimpinan Pak
Parada Harahap pertemuan publik organisasi pedagang pribumi. Ada hadir seratus
orang, termasuk Bapak Thamrin. Mr. Parada Harahap, mengambil tempat di podium lantai,
kemudian pidato secara rinci makna dan tujuan dari sarikat kelas menengah
(maksudnya: para pedagang). Bahwa sejauh ini sarikat-sarikat pedagang kelas
menengah menunjukkan antara lain bahwa belum begitu paham tentang perdagangan
besar di rumah sendiri (di tanah air sendiri). Di mana-mana orang mendengar
masa-aksi politik. Selain itu, menurut pembicara, masih dapat ditemukan di
daerah lain, yang hanya bekerja untuk kepentingan Negara (pemerintah kolonial)
dan rakyat. Padahal masih banyak yang harus dilakukan di bidang ekonomi.
Masyarakat pribumi tidak terorganisir secara keseluruhan. Pembicara berharap, ini
(saatnya) harus menjadi perubahan. Jika seseorang melihat orang Eropa dan Cina,
kita melihat bagaimana mereka melakukan segalanya untuk selalu mencari cara
suatu kegiatan untuk memajukan ekonomi komunitasnya. Kita merindukan ke
Indonesia. Pembicara, melanjutkan, berpendapat bahwa kelas menengah pribumi
tidak dalam satu (kesatuan), hanya mengutuk dan mendesah saja. Untuk (ke arah) tingkat
yang (lebih) baik, kita masih membutuhkan. Di Eropa, mereka mulai primitif,
tetapi dengan organisasi yang baik apa yang bisa kita lihat di tengah masyarakat
kita sekarang, mereka begitu kuat, untuk mencapai tujuan itu kita dapat meniru
mereka. Kita akan kerja sampai mereka juga akan melihat kita bahwa organisasi kita
adalah tulang punggung dari keberadaan kita. Jika (orang-orang) Eropa dapat mengorganisasikan
kelas menengah, saya sendiri meminta semua kita seperti itu. Mengapa kita
(berada) di sini, hal tersebut adalah untuk inisiatif dan pengetahuan yang masih
kurang dan belum kita miliki. Di Batavia, di toko-toko utama (orang) Eropa
banyak penduduk asli (pribumi) yang bekerja, justru yang melakukan pekerjaan
yang sebenarnya, sementara (orang) Eropa (sebagai pengusaha) hanya melakukan
control saja. Lihat di seluruh Kali Besar, Paser Baru dan Noordwijk kita hanya dapat
menemukan toko-toko Eropa dan Cina yang besar dan di antara mereka hanya
beberapa perusahaan pribumi. Bukankah mereka itu ada di negara kita sendiri?
tanya pembicara. Untuk menuju ke situ, pembicara menyarankan patut dicontoh
pengusaha kita, Abdul Gani, yang karyanya (hasil produksi sepatu) juga mendapat
penghargaan besar (apresisi kualitas) dari kalangan (orang-orang) Eropa. Kita
juga punya contoh yang baik, yakni kinerja ‘Himpoenan Soedara’ di Bandung, yang
awalnya sangat kecil dan kini termasuk organisasi kelas menengah yang kita
harapkan akan tumbuh lebih besar lagi, pungkas pembicara’.
Parada Harahap telah berhasil menyatukan
semua organisasi kebangsaan (yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri dan
bahkan cenderung bersifat kedaerahan). Organisasi kebangsaan telah bersatu dan
telah memiliki visi yang sama: kesatuan dan persatuan. Parada Harahap juga di
dalam, di satu sisi ingin memperkuat organisasi pribumi tidak hanya di bidang
politik tetapi juga di bidang ekonomi. dan di sisi lain menarik garis pemisah
antara pribumi dengan Eropa/Belanda dan Tionghoa. Misi serupa itu sudah lama
didengungkan oleh Parada Harahap, tidak hanya dengan memberi nama surat
kabarnya Sinar Merdeka, tetapi juga ingin mencapai harapan seperti nama surat
kabarnya yang baru: Bintang Timoer. Sebelumnya, bahkan Parada Harahap pernah
berpolemik dengan pers orang-orang Belanda yang semua opininya ditulis di surat
kabar (berbahasa Belanda) Java Bode yang pada salah satu artikelnya terdapat
satu frase ‘menyerang orang-orang Eropa’ dengan pernyataan keras: ‘ini tanah,
bumi, bukan milik nenek moyangmu, ini tanah dan bumi adalah warisan nenek
moyang kami’.
Parada
Harahap boleh jadi sangat dekat dengan perkembangan di Bandoeng. Surat kabar
miliknya Bintang Timoer juga memiliki oplag yang signifikan di Bandoeng. Di
Bandoeng, Parada Harahap punya adik kandung bernama Panangian Harahap, seorang
guru (lihat De Preanger-bode, 10-09-1923). Pada tahun 1927, Panangian Harahap
diangkat sebagai penilik sekolah di Bandoeng. Sudah barang tentu, Panangian
ikut dalam kongres sarikat guru di Bandoeng tahun 1927 yang dilaksanakan di
gedung ‘Himpoenan Soedara’. Boleh jadi kinerja sarikat pedagang Bandoeng ini
diketahui Parada Harahap melalui adiknya, Panangian Harahap.
Sarikat
‘Himpoenan Soedara’, Para Haji Sudah Mulai Lengser?
‘Himpoenan
Soedara’ telah berkiprah tiga puluh tahun pada tahun 1936. Untuk mengenang tiga
dasawarsa organisasi para haji tersebut, pengurus menerbitkan sebuah buku
peringatan, dicetak di atas kertas halus dan diilustrasikan dengan serikat itu
sendiri, bahan foto berharga, yang member gambaran yang jelas tentang apa yang dilakukan
oleh ‘Himpoenan Soedara’ selama tiga puluh tahun, dan dalam sejarah organisasi yang
harus dianggap cukup lama. Banyak pejabat dari dunia asli (pribumi) dan ETI (Eropa/Belanda)
juga turut menulis sebuah kontribusi pendek atau panjang dalam memoar ini. Buku
ini menjadi tampak cukup tebal (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1936).
‘Himpoenan
Soedara’ di Bandoeng, yang didirikan tahun 1906 (dan disahkan legalitasnya
1913) seumuran dengan ‘Sarikat Tapanoeli’ di Medan yang didirikan oleh
orang-orang afdeeling Padang Sidempuan (nama sebelumnya afd. Mandailing dan
Angkola) tahun 1905 dengan ketua Hadji Dja Endar Moeda dan wakil Sjech Ibrahim.
Sebagaimana diketahui, Hadji Dja Endar Moeda adalah penulis buku Panduan Haji
pertama tahun 1900 yang digunakan di seluruh Hindia Belanda. Dalam urusan
organisasi, Dja Endar Moeda adalah pionir. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda
telah mendirikan sarikat bernama ‘Medan Perdamaian’ di Padang dengan direkturnya
Dja Endar Moeda. ‘Medan Perdamaian’ adalah organisasi kebangsaan bersifat
nasional yang cabangnya terdapat di beberapa tempat di Sumatra dan juga di
Batavia. Pada tahun 1903 ‘Medan Perdamaian’ memberikan bantuan dalam
pembangunan sekolah di Semarang. Berbeda dengan sarikat dagang ‘Himpoenan
Soedara’ di Bandoeng (1906) dan ‘Sarikat Tapenoeli’ di Medan (1905) yang focus
dalam dunia perdaganga, ‘Medan Perdamaian’ mengusung misi kebangsaan (dalam
arti luas), yang juga meliputi organisasi-organisasi bidang, seperti sarikat
dagang, sarikat guru dan sebagainya. Pada tahun 1908 sarikat kebangsaan bernama
‘Boedi Oetomo’ didirikan, namun ruang lingkupnya terbatas dan cenderung
bersifat kedaerahan. Pergeseran haluan di Jawa tersebut direspon mahasiswa di
Belanda untuk tetap mewujudkan kesatuan dan persatuan yang dimotori oleh Soetan
Casajangan dengan nama Indisch Vereeniging (Perhimpunan Mahasiswa Hindia
Belanda). ‘Boedi Oetomo’ yang disokong oleh pemerintah colonial, di satu sisi
memperkuat kehadiran Boedi Oetomo (kedaerahan) dan di sisi lain membuat kiprah
organisasi nasional ‘Medan Perdamaian’
dan ‘Indisch Vereeniging’ ingin dihilangkan dan paling tidak dikerdilkan. Ini
tentu politik devide et impera. Tampaknya kemudian pemerintah sumringah, karena
popularitas ‘Boedi Oetomo’ yang terus meroket, daerah-daerah lain juga
mengikuti misi kedaerahan baik yang berhaluan mendukung maupun yang berhaluan
menentang. Itulah yang menyebabkan munculnya organisasi daerah seperti
Sumatrabond, Pasoendan, Kaoem Betawi, Minahasa, Jong Ambon dan sebagainya.
Sejak itu, organisasi berjalan sendiri-sendiri dan hanya ‘Indisch Vereeniging’
yang terus mengusung visi nasional (yang pada tahun 1922 diperbarui oleh
Mohamad Hatta dan kawan-kawan). Melihat organisasi kebangsaan yang tercerai berai,
seorang muda revolusioner yang di tahun 1919 mendirikan surat kabar bernama
Sinar Merdeka merupakan tokoh Sumatrabond, bernama Parada Harahap di Batavia,
mulai melakukan terobosan baru dan boleh jadi Parada Harahap mendapat dukungan
dari Soetan Casajangan yang saat itu menjadi Direktur Normaal School di Meester
Cornelis (Jatinegara) dan Husein Djajadinigrat di Rechtschool Batavia. Parada
Harahap lalu menghubungi dua vokalis Pedjambon (kini Senayan) yang menjadi
anggota Volksraad yakni M. Husni Thamrin dan Mangaradja Soangkoepon. Akhirnya
pada bulan Mei 1927, disepakati pembentukan supra organisasi kebangsaan di
rumah Husein Djajadiningrat yang diberi nama Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (disingkat PPPKI) dengan ketua
M. Hoesni Thamrin dan sekretaris Parada Harahap dan kantor ditetapkan di Gang
Kenari. Sekadar diketahui, awalnya Boedi Oetomo ogah bergabung, namun Parada
Harahap meminta kawannya Dr. Radjamin Nasoetion mempengaruhi Dr. Soetomo
(keduanya dulu sekelas di STOVIA). Sejak pendirian PPPKI inilah greget
Indonesia mulai terbentang hingga ke masa depan (hingga mencapai kemerdekaan
RI). Catatan: Dja Endar Moeda (alumni Kweekschool Padang Sidempuan), Soetan
Casajangan (alumni Belanda), Parada Harahap (hanya tamat sekolah dasar),
Mangaradja Soangkoepon (alumni Belanda) dan Radjamin Nasoetion (Alumni Stovia)
bukan kebetulan berasal dari kampong yang sama di Padang Sidempuan, melainkan
mereka memiliki visi yang sama dengan yang lainnya seperti Husein
Djajadiningrat, MH. Thamrin dan (kemudian menyusul) Soetomo.
Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Beberapa
kongres yang dilakukan di gedung ‘Himpoenan Soedara’ adalah: Kongres PSII (De
Indische courant, 24-03-1937), Parindra cabang (De Sumatra post, 24-09-1937),
pers pribumi (De Sumatra post, 23-04-1938), Muhammadiyah (De Sumatra post, 10-10-1938),
Parindra pusat (De Indische courant, 21-11-1938), PNI (De Indische courant, 27-01-1939),
guru (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1939), PII (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-08-1939) dan sebagainya. Tentu
saja oleh Perhimpoenan Persaudaraan Istri (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-08-1939).
Dalam perjalanannya ‘Himpoenan Soedara’,
sarikat yang mengusung sarikat dagang telah menjadi pusat kebangkitan kebangsaan
di Bandoeng. Pada awalnya dimotori oleh para haji (para pedagang), namun
tampaknya belakangan telah digantikan oleh generasi yang lebih muda (kalangan
terpelajar). Pada tahun 1933 ‘Himpoenan Soedara’ memformat ulang system
pembiayaan dengan mendirikan Pusat Kredit Bandoeng (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1938). Pada kesempatan ulang tahun ke lima
tahun dari Pusat Kredir Bandung tersebut menyelenggarakan perayaan yang
berlangsung di gedubg Himpoenan Soedara di jalan Moskeeweg.
Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1938: ‘…Perayaan peringatan
ini dihadiri oleh sekitar 250 pihak yang berkepentingan, termasuk vie menemukan
diri mereka controller dari Bandung, Administrator dan Wakil Administrator Umum
Bank Kredit Rakyat, pengawas dari Volksiredietwezen dan Kerjasama, yang Volksraadsid,
Mr. Otto Iskandar di Nata, yang wethouder Atma di Nata dan perwakilan daerah
masing-masing. Rapat dibuka oleh Ketua Komite, Bapak Niti Soemantri, setelah
kata disahkan oleh presiden asosiasi, Mr. R. Gandasapoetra yang menceritakan sejarah
pembentukan asosiasi. Setelah istirahat, minuman disajikan, dan kemudian
dilanjutkan ceramah yang diberikan oleh Bapak RS Soeriaatmadja dan Mr. I.
Soeriaatmadja pada sistem sewa beli dan RM Margono Djojohadikoesoemo tentang perjalanannya
di kawasan industri di Eropa selama bekerja di Departemen Kolonien’.
Pusat Kredit Bandoeng ini terus
berkembang. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1939
melaporkan bahwa dalam laporan setengah
tahun pusat kredit Bandoeng ‘Himpoenan Soedara’ telah menunjukkan bahwa pada
periode setengah tahun yang lalu, sebanyak 182 anggota baru telah bergabung,
sehingga jumlah anggota per 1 Juli 1939 telah meningkat menjadi 1.204 orang.
Sementara dana yang dipinjamkan per 30 Juni sebesar ƒ365,746, sedangkan tabungan sebesar ƒ368,236.
Demikianlah sekadar info tentang riwayat ‘Himpoenan Soedara’, suatu sarikat yang awalnya dimotori oleh para haji di Bandoeng yang berprofesi sebagai pedagang. Sarikat ini terus berkembang dan para pelakukanya tampaknya telah digantikan oleh para generasi muda yang lebih terpelajar yang lebih sesuai dengan eskalasi kebangkitan kebangsaan dan perkembangan politik. Seperti disebut di dalam berbagai tulisan, jejak ‘Himpoenan Soedara’ masih terlihat di masa kini yang muncul sebagai Bank Saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar