Bandung
telah menjadi salah satu contoh kota yang mengedepankan keberagaman: etnik,
budaya, agama dan lainnya. Wujud keberagaman ini makin nyata ketika dalam
tahun-tahun terakhir ini pemerintah Kota Bandung telah memberikan izin cukup
banyak pendirian rumah ibadah kepada semua pemeluk agama. Bagaimana riwayat
pendirian rumah-rumah ibadah di Bandoeng di masa lampau? Mari kita telusuri.
Kantor pos, di aloen-aloen Bandoeng |
Masjid Bandoeng
Rumah
Bupati Bandoeng dibangun di lokasi dimana berada Masjid Raya Bandung yang
sekarang, suatu area pada tahun 1846 yang berada di sisi selatan jalan pos
trans-Java dan sisi barat. Posisi rumah Bupati ini diagonal dengan rumah/kantor
controleur Bandoeng yang berada di sisi utara jalan pos trans-Java dan sisi
timur sungai Tjikapoendoeng. Dua bangunan tersebut seakan dipisahkan oleh
sungai (Tjikapoendong) dan oleh jalan raya (pos trans-Java). Saat itu, masjid
di kota Bandung belum ada, demikian juga gereja dan klenteng belum ada. Yang
ada adalah bangunan-bangunan pemerintah.
Bangunan-bangunan yang seumuran dengan rumah
Bupati Bandoeng adalah kantor pos (di seberang jalan rumah Bupati), kantor
Asisten Residen (di seberang kantor/rumah Controleur), gedung besar sebagai
mahkamah di belakang kantor Asisten Residen. Rumah Asisten Residen sendiri dibangun
agak terpisah dan jauh ke arah utara kantor/rumah Controleur. Jalan menuju ke
rumah Asisten Residen dibangun jalan akses sepanjang sisi timur sungai
Tjikapoendoeng (yang kelak disebut Bragaweg). Satu lagi bangunan yang menyertai
gedung besar mahkamah adalah bangunan penjara yang berlokasi di arah utara
kantor pos (kelak jalan penghubung ini disebut Bantjeuiweg).
Secara
perlahan-lahan, di sekitar kantor pos hingga penjara (yang kemudian dikenal
sebagai Bantjeuiweg) muncul titik-titik perdagangan yang dilakukan oleh
orang-orang Tionghoa yang datang (komuter) dari Buitenzorg. Area barat (jalan
pos trans-Java) dan utara (Bantjeuiweg) tempat dimana kantor pos, lambat laun
menjadi pusat perdagangan (pasar) utamanya transaksi antara penduduk pribumi
dan orang-orang Tionghoa. Area pedagangan orang-orang Eropa/Belanda sendiri berkembang
di sepanjang Bragaweg.
Sebelum tahun 1871, jalan baru dibuka di
sebelah barat Bantjeuiweg yang merupakan jalan akses menuju rumah Residen
Preanger (kini menjadi rumah Gubernur Jawa Barat) dari jalan pos trans-Java.
Titik-titik perdagangan juga kemudian muncul di pangkal jalan akses ini. Untuk
penataan titik perdagangan yang terpencar-pencar lalu pemerintah (Asisten Residen)
membangun pasar dengan membuka jalan penghubung antara jalan akses (yang
kemudian disebut Winkelstraat) dengan Bantjeuiweg (ujung) yang kemudian dikenal
sebagai jalan ABC atau ABCstraat.
Dengan
keramaian yang semakin tinggi, pemerintah (Asisten Residen dan Bupati) sudah
waktunya untuk merencanakan pembangunan rumah ibadah atau masjid bagi pemeluk
agama Islam. Lokasi masjid yang dipilih adalah di sisi selatan jalan pos
trans-Java (di seberang kantor pos) dan cukup dekat dengan rumah/kantor Bupati
Bandoeng). Persisnya di sebelah barat aloen-aloen Bupati Bandoeng.
Aloen-aloen kota Bandoeng pada awalnya
terbagi dua area: sisi utara dan sisi selatan jalan pos trans-Java. Sisi utara
dibuat lebih meriah dengan adanya taman yang menyatu dengan kantor pos.
Sedangkan sisi selatan menjadi bagian dari halaman kantor/rumah Bupati. Area
aloen-aloen utara (yang tipikal Eropa/Belanda) lambat laun lahannya tergerus
dengan berdirinya sejumlah bangunan seperti gedung societeit, klub sosial
(kelak disebut Concordia), kantor Escompto Mij dan sebagainya. Sedangkan area
aloen-aloen selatan tetap dipertahankan (sebagaimana lanskapnya masih bisa
dilihat hingga sekarang).
Rencana
pembangunan masjid Bandoeng ini lalu direalisasikan pada tahun 1874. Oleh
karena masjid yang dibangun cukup besar agar mampu menampung jamaah yang
semakin meningkat terutama pada hari-hari pekan, maka diperlukan biaya
pembangunan yang tidak sedikit. Tentu saja pemerintah (Asisten Residen dan
Bupati) akan kesulitan menyediakan dana yang cukup besar. Lalu pemerintah
Bandung mengajukan anggaran tambahan ke pusat (Batavia). Anggaran pembangunan
masjid ini akhirnya diperoleh yang merupakan sebagian dari anggaran yang
terkumpul dari berbagai donator dalam rangka pembangunan kembali Masjid Atjeh
(untuk memulihkan psikologi umat Islam) setelah hancur dalam perang Atjeh. Masjid
Bandoeng (foto 1880).
Masjid
Bandoeng dalam perkembangan lebih lanjut telah mengalami beberapa kali
renovasi. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1880an. Namun renovasi ini
tidak tuntas, karena kubah masjid tidak dapat diwujudkan karena kurangnya
anggaran yang tersedia.
Masjid yang besar ini dirancang dan diawasi
selama pembangunannya oleh Insinyur G. van Nes. Dia telah banyak merancang dan
membangun situs-situs penting di kota Bandoeng, G. van Nes termasuk arsitek
handal pada waktu itu. Bangunan yang pernah dibuatnya adalah gedung teater
Braga (klub yang didirikan oleh grup seni orang Italia pada tahun 1882). Masjid
Bandoeng yang baru ini dapat menampung jamaah sebanyak 1.500 orang (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 24-08-1887). Masjid Bandoeng (foto 1890)
Lokasi
Masjid Bandoeng yang dibangun sejak 1874 kini menjadi Masjid Agoeng atau Masjid
Raya Bandung.
Klenteng Tionghoa
Klenteng
Tionghoa Bandoeng termasuk situs yang cukup dikenal karena sejak kali pertama
dibangun hingga ini hari masih terkesab tidak berubah dan terawat dengan baik.
Bangunan klenteng ini didedikasikan oleh seorang letnan Cina di Bandoeng yang
terbilang kaya raya. Bangunan ini dibuat tahun 1886 di bawah perawatan dan
pengawasan letnan Cina tersebut. Klenteng Bandoeng (foto 1910)
Letnan Cina ini pada awalnya adalah pemilik
gudang besar yang kemudian digunakan (disewa) sebagai gedung teater seni dari
sarikat ‘Braga’. [sejak adanya gedung teater Braga ini, muncul nama Bragaweg]. Saya
belum menemukan luitenant/kapten Cina di Bandoeng apakah terkait dengan
pembangunan renovasi masjid Bandoeng. Di Medan, dua bersaudara kapten Tjong A
Fie dan major Tjong Jong Hian dikabarkan turut memberi sumbangan terhadap
berbagai rumah ibadah, termasuk masjid di Medan dan di Sipirok.
Gereja Protestan dan Gereja Katolik Roma di
Bandoeng
Rumah
ibadah umumnya dibangun permanen jika jemaatnya sudah cukup banyak. Hingga
dibangunnya klenteng Tionghoa Bandoeng dan renovasi masjid Bandoeng belum ada
gereja. Pembangunan gereja di Bandoeng terkait dengan adanya misionaris dari Nederlandsche
Zendelings Vereeniging (NZV) yang pernah dikirim ke Sipirok tahun 1861. Gereja
pertama yang dibangun di Bandoeng adalah gereja Kristen Protestan. Bangunan
permanen gereja ini sudah berdiri sebelum tahun 1900. Lokasi gereja ini dipilih
di dekat taman Pieters Park yang tidak jauh dari rumah Asisten Residen
(Bragaweg ujung). Gereja Protestan di Bandoeng (1900)
Gereja
Katolik Roma menyusul dibangun kemudian. Lokasi gereja ini juga dipilih di area
Pieters Park. Area Pieters park waktu itu merupakan area pemukiman yang
berkembang bagi orang-orang Eropa/Belanda. Pembangunan gereja Katolik Roma
juga terkait dengan pengembangan misi di
Preanger. Seperti halnya, misionaris NZV, misionaris Katolik Roma juga
dikaitkan dengan pengembangan misi bagi kaum pribumi dan orang-orang Tionghoa
baik di Bandoeng maupun di Preanger. Rooms-katholieke
kerk te Bandoeng, 1900
Pemerintah Hindia Belanda dan Rumah Ibadah
Pemerintah
Hindia Belanda pada dasarnya adalah indiferen terhadap aktivitas pemeluk agama
dan kepercayaan. Meski pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang umumnya datang
dari keluarga Kristen Protestan, namun karena tupoksinya untuk memperluas
pemerintahan dalam kerangka ekonomi kolonial, para pejabat memperlakukan para
pihak sama. Pemerintah hanya mengakomodasi para pihak, apapun agama dan
kepercayaannya, Islam, Kristen dan pagan asal penduduknya mau bekerja untuk
membangun jalan dan jembatan untuk kepentingan pemerintah.
Pemerintah dapat membatasi kegiatan misi jika
ada implikasinya dengan tujuan pemerintah. Sebaliknya pemerintah dapat membantu
penduduk untuk menyediakan rumah ibadah, seperti masjid jika pembangunan itu
dapat menguntungkan pemerintah. Para pejabat pemerintah dan para pengusaha
swasta, lebih tampak sebagai orang-orang sekuler jika dibandingkan dengan
anggota-anggota organisasi misionaris (zending). Demi keuntungan pemerintah
Hindia Belanda, programnya dapat menghancurkan masjid tetapi juga dapat
memulihkannya (membangun kembali) seperti Masjid Raya Atjeh. Pembangunan rumah
ibadah adalah salah satu instrument pemerintah untuk melangsungkan keberadaanya
dalam ekonomi colonial.
Hal ini
juga dapat dilihat dalam pembangunan Masjid Al Mahsun di Medan. Masjid tersebut
begitu megah, dan sangat megah jika dibandingkan dengan banguna-bangunan
pemerintah. Kemegahan masjid yang kini masih eksis dan disebut masjid Raya
Medan pemerintah Hindia Belanda tidak akan mampu membiayainya. Yang mampu
membiayainya adalah para pengusaha (planter dan trader). Masdji Al Mahsum
pembangunannya dibiayai oleh Sarikat Pengusaha Perkebunan di Medan dan
sekitarnya. Hal itu juga yang terjadi sebelumnya dengan pembangunan masjid di
Atjeh dan Bandoeng. Oleh karenanya misi keberagaman itu sudah sejak dulu ada di
pihak pemerintah Hindia Belanda. Kini misi itu diterapkan sesuai oleh
Pemerintah Kota Bandung.
Masjid Sipirok dan gereja (1906) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar