Selasa, 31 Januari 2017

Sejarah Bandung (14): Pecinan, China Town, Chinese Kampement di Winkelstraat te Bandoeng



Pecinan di Indonesia, China Town di mancanegara dan Chinese Kampement di era colonial Balanda doeloe. Pecinan atau China Town adalah daerah komunitas orang-orang Tionghoa, tidak hanya ada di Batavia dan Buitenzorg tetapi juga ada di Bandoeng. Orang-orang Tionghoa di Bandoeng datang (migrasi) dari Buitenzorg, orang-orang Tionghoa di Buitenzorg datang dari Bidara Tjina, Pondok Tjina dan Tangerang (Cina Benteng) yang hampir semuanya bermula di Batavia.

Pecinan di Bandung, Winkelstraat, 1900
Pada mulanya, penduduk Pakuan Padjadjaran membeli barang (garam, besi, kain dan pernik-pernik) ke pelabuhan Soenda Kelapa (sejak era Hindua) dari pedagang-pedagang Arab, Persia dan lainnya. Kemudian diikuti oleh orang-orang Priangan (Preanger) setelah era Islam ke Batavia (era Balanda) dari orang-orang Moor dan Tiongkok. Lalu kemudian, akibat peristiwa pembantaian orang-orang Cina di benteng Batavia (casteel Batavia) tahun 1740 (era VOC), sebagian orang-orang Tionghoa terpencar dan menyebar memasuki pedalaman di Tanah Soenda dengan titik pengumpulan utama di Tangerang, Bidara Tjina (dan kemudian menyusul Pondok Tjina). Diantara ketiga komunitas orang-orang Tionghoa yang terkanal tersebut, yang terbesar adalah yang berada di Tangerang (muncul istilah Cina Benteng yang diduga eksodus dari casteel Batavia). Mereka ini, yang dulunya semua pedagang, tukang dan kuli, lalu di pedalaman sebagian menjadi petani (seperti penduduk lokal).  

Awal Mula Pecinan di Bandoeng

Ketika Pemerintahan Hindia Belanda dibentuk (pasca VOC, 1800), pemerintah coba ‘merangkul kembali’ orang-orang Tionghoa sebagai partner dalam mengelola wilayah baru. Gubernur Jenderal Daendels lalu membentuk kota pemerintahan pertama di luar Batavia dengan mengakuisisi lahan-lahan partikulir orang-orang Eropa/Belanda dengan cara membeli (1810). Dengan cara tertentu, pemerintah mengatur orang-orang Tionghoa dengan mengangkat pemimpin dan lokasi yang sesuai. Pemimpin Tionghoa ini disebut letnan dan kemudian sesuai perkembangan ditingkatkan statusnya menjadi kapten dan major. Area komunitas orang-orang Tionghoa ditetapkan di timur Buitenzorg.

Pengaturan orang-orang Tionghoa ini bersamaan dengan pengaturan penduduk lokal dengan mengangkat beberapa demang termasuk seorang demang di Buitenzorg. Pemimpin lokal yang disebut bupati hanya ada di Preanger (Tjiandoer, Bandoeng, Sumedang dan Limbangan). Foto Top van de Poentjak (Puncak pas), 1874

Orang-orang Tionghoa yang dulunya terpencar-pencar dalam komunitas kecil (bertani di kampong dan kuli di perkebunan) dengan sendiri mulai mungumpul di Buitenzorg. Lokasi yang ditentukan yang berada di timur Buitenzorg secara perlahan-lahan juga terbentuk pasar yang kemudian area itu disebut Babakan Pasar (yang dalam perkembangan lebih lanjut komunitas orang-orang Tionghoa semakin banyak hingga meliputi seluruh dua sisi jalan pos trans-Java dari Kebon Raya hingga Soekasari (yang kini dikenal sebagai jalan Surya Kencana). Daerah inilah yang disebut Chinese Kampement yang disebut penduduk lokal sebagai pecinan (dan di berbagai tempat di manca negara sudah muncul istilah China Town), seperti di Singapora, Malaka dan Penang (China Town belum ada di Eropa, Australia dan Amerika).

Pada tahun 1860, kota Buitenzorg sudah teridentifikasi sebagai ‘kota besar’. Kota seakan terbagi dalam tiga area pemukiman. Kampung Paledang (sebelah barat Kebun Raya) menjadi area hunian orang-orang Eropa/Belanda dimana terdapat ibukota, tempat kedudukan Asisten Residen/Residen) yang lokasinya kini di sebelah Hotel Salak yang sekarang. Kampung Babakan Pasar adalah area pemukiman orang-orang Tionghoa yang berada di timur; dan area pemukiman penduduk pribumi berada di selatan memanjang dari Soekasari hingga Panaragan dengan pusat di Bondongan alias Empang. Sedangkan bagian utara Buitenzorg (sisi utara sungai Tjiliwong) masih terbilang kosong pemukiman karena keberadaan perkebunan orang-orang Eropa/Belanda. Jalan akses utama yang menyeberangi sungai Tjiliwong adalah jembatan tol yang berada di Waroeng Djamboe (plus jembatan bamboo di Babakan Pasar). Pembagian area ini secara tersirat (tidak tertulis tetapi diatur) kelak akan terbentuk di Bandoeng: area selatan sisi jalan pos trans-Java pemukiman penduduk lokal; area utara sisi jalan pos trans-Java terbagai dua, yakni sisi timur sungai Tjikapoendoeng bagi orang-orang Eropa/Belanda dan sisi barat sungai untuk orang-orang Tionghoa, Foto Konvoi pedati Buitenzorg-Bandoeng sedang beristirahat di Padalarang, 1874

Daerah pecinan di Buitenzorg (sisi timur kota) kelak akan terlihat relasinya dengan terbentuknya Bandoeng sebagai ‘kota besar’ dimana komunitas Tionghoa mengambil tempat di sisi barat kota. Dalam perkembangan kota Bandoeng (sebagaimana Buitenzorg) sesungguhnya yang lebih awal terbentuk adalah kota bagian Eropa/Belanda baru kemudian menyusul kota bagian Tionghoa lalu kemudian menyusul kota bagian orang-orang pribumi sebagai implikasi semakin intensnya penduduk lokal di berbagai tempat yang datang ke kota untuk berdagang (menjual dan membeli) yang kemudian terjadinya proses penduduk kampong-kampong di oedik berdiam di dekat kota (urbanisasi).

Di Bandoeng, penduduk lokal bermukim di belakang (selatan) kantor/rumah Bupati Bandoeng yang dibangun pada tahun 1846. Penduduk local pendatang ini (yang datang dari lereng-lereng gunung) sebagian besar  mengusahakan ladang dan sawah (untuk mendekatkan diri ke TKP, pusat perdagangan di Bandoeng). Hal yang sama juga terjadi di sisi utara, barat dan timur, penduduk local ‘merangksek’ mendekati kota untuk membuka lahan-lahan pertanian baru. Tentu saja itu di bawah kepemimpinan Bupati Bandoeng Raden Adipati Wira Nata Koesoema. Pemerintah (Controleur dan Bupati) dalam hal ini di satu sisi memfasilitasi dalam bentuk pengaturan drainase (kanal dan irigasi) dan di sisi lain mengenakan pajak yang lebih besar. Pedagang-pedagang pribumi di Wilkenstraat lagi istirahat (foto 1880)

Perkembangan di Bandoeng (menjadi ‘kota besar’), yang awalnya orang-orang Tionghoa di Buitenzorg berdagang komuter lalu bermukiman permanen, intensitasnya dari waktu ke waktu semakin tinggi. Koloni (komunitas kecil) di Bandoeng lambat laut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan ‘kota besar’ Bandoeng yang kemudian muncul sebutan pecinan (Chines Kampament). Komunitas Tionghoa (yang membentuk China Town) di barat kota juga menjadi tujuan migrasi dari orang-orang Tionghoa dari Sumedang, Carang Sambong, Indramajoe dan Tjierebon. Perkembangan pecinan kota Bandoeng ini semakin masif ketika di tahun 1882 akses Buitenzorg-Bandoeng semakin lancar dengan adanya transportasi kereta apai (saat itu jalur kereta dari Batvia ke Bandoeng baru hanya via Buitenzorg, Soekaboemi dan Tjiandjoer). Foto Winkelstraat, 1900

Winkelstraat, China Town Bandung

Kantor pos Bandoeng sudah sejak 1846 adanya (barada di sisi utara jalan pos trans-Java dan persis di seberang kantor/rumah Bupati). Ketika orang-orang Tionghoa sudah banyak yang berdiam di Bandoeng (tidak komuter lagi) kantor pos ini banyak dimanfaatkan pedagang-oedagang Tionghoa untuk pengiriman berita ke Buitenzorg (dan sebaliknya). Pemukinan Tionghoa yang berada di sekitar kantor pos inilah kemudian yang membentuk area pecinan. Awalnya pusat perdagangan berada di Bantjeuweg (ujung) dan kemudian bergeser ke jalan akses dari jalan pos trans-Java yang menuju rumah Residen Bandoeng (dibangun 1868 dan ditempati tahun 1871). Jalan akses (baru) ini kelak disebut Pasarbaroeweg. Dalam perkembangannya jalan penghubung antara Bantjeuweg dengan jalan akses yang awalnya hanya jalan kecil menjadi jalan besar yang disebut ABCweg. Foto ABC straat 1900

Lantas yang mana yang disebut Winkelstraat? Jalan itu adalah sebagian ruas jalan akses. Jalan akses ini menjadi dua ruas saat pembangunan kereta api (rel kereta api hingga Tjitjalengka dan stasion Bandoeng) sejak 1879). Dari rel ke rumah Residen Bandoeng (kini menjadi rumah Gubernur Jawa barat) disebut Residentweg dan dari rel ke jalan pos trans-Java disebut Winkelstraat. Peta 1904

Sejak tahun 1880 dalam rangka untuk menata perpasaran, pemerintah kota merelokasi pasar utana dari pasar lama (Jalan ABC) di tempat yang baru di sisi Winkelstraat. Pasar baru inilah yang menjadi pusat perdagangan tradisonal yang baru  (pribumi dan Tinghoa plus Arab) yang lambat laun nama jalan Winkelstraat menghilang dan menjadi Pasarbaruweg. Sementara untuk pasar modern (toko-toko besar) berada di Bragaweg (umumnya bagi komunitas Eropo/Belanda). Sejak dibentuknya gemeente (pemerintahan kota) Bandung, pasar baroe ini dilakukan renovasi sehingga bentuknya (lanskapanya) masih terlihat hingga ini hari.

Dengan demikian, Pecinan Bandung berawal di area Bantjeuweg, ABC straat dan Winkel straat. Dalam perkembangan lebih lanjut area pecinan (China Tawn) ini orang-orang Tionghoa mulai berkembang ke arah barat (jalan pos trans-Java hingga ke Andir) dan sisi selatan stasion kereta ke arah barat rel kereta api. Di area perluasan pecinan ini orang-orangTionghoa secara bertahap menyediakan pekuburan, mambangun rumah ibadah, sekolah, gudang, klub, lapangan (termasuk sepakbola) dan situs-situs lain yang masih ditemukan hingga ini hari. Pada tahun 1920 penyebaran orang-orang Tionghoa bahkan sudah sampai ke Situ Aksan (di danau butan inilah tradisi Peh Tjoen dilakukan setiap tahunnya).   

Tunggu deskripsi lebih lanjut


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

2 komentar:

  1. halo mau tanya, foto2 tersebut didapat dari mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan disebut foto-foto yang tahun berapa dan alamatka ke email yang terdapat pada laman Read Me di atas. Terimakasih

      Hapus