Tentang keberadaan Preanger dan Bandoeng sudah sejak lama ada dalam pemberitaan. Nama ‘Preanger’ kali pertama disebut di surat kabar pada tahun 1810 terkait dengan pembagian wilayah dimana tiga provinsi: Prefecten (provinsi) Iacatrasch en Preangerbovenlanden, province Bantam dan Provinsi Chirebon (lihat Bataviasche koloniale courant, 02-02-1810, edisi kelima). Sementara nama ‘Bandoeng’ kali pertama diberitakan di surat kabar pada tahun 1829 terkait dengan penempatan controleur di Tjiandjoer, Bandoeng, Sumedang dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829).
De Preanger Bode, 27-07-1896 (edisi kelima) |
Untuk sekadar pemandu: surat kabar Pemerintah
Hindia Belanda mucnul kali pertama tahun 1810 (Bataviasche koloniale courant
edisi pertama 05-01-1810). Lalu kemudian surat kabar ini digantikan oleh surat
kabar berbahasa Inggris, Java government gazette di era pendudukan Inggris
(pada bulan Februari 1912). Setelah Belanda berkuasa kembali, surat kabar
tersebut digantikan oleh Bataviasche courant dan baru kemudian muncul nama
surat kabar Javasche courant. Catatan: di era VOC (sebelum era Pemerintah
Hindia Belanda) sudah ada surat kabar bernama Bataviaasche Nouvelles (terbit
sejak 1744 di Batavia),
Itulah
kisah awal Preanger dan Bandoeng dalam dunia media yang mendahului sebelum
adanya media surat kabar di Bandoeng. Surat kabar yang terbit di Bandoeng ini akan
banyak memberitakan tentang Preanger dan Bandoeng baru muncul pada tahun 1896
(yang akan coba dilacak). Sejak tahun 1896 surat kabar di Bandoeng terus eksis
hingga ini hari. Lantas surat kabar apa yang pertama kali terbit di Bandoeng?
Dan apa pula hubungannya surat kabar tersebut dengan surat kabar Pikiran
Rakyat.
Pada masa ini, Bandung dan Priangan (Jawa
Barat) tetap memiliki surat kabar legendaris: Pikiran Rakyat. Surat kabar yang
tidak tergantikan di Bandung dan Priangan. Rakyat Bandung adalah Pikiran
Rakyat, dan Pikiran Rakyat adalah Rakyat Bandung, seperti mottonya: ‘Dari
Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pikiran Rakyat selalu menghiasi sejarah
pers nasional dan selalu mendapat tempat pada Hari Pers Nasional yang jatuh
pada tanggal 9 Februari.
Preanger Bode
Media
surat kabar sudah sejak lama ada di berbagai tempat utama di Hindia Belanda:
Batavia, Semarang, Surabaya, Padang dan Medan. Di Bandoeng media surat kabar
baru terberitakan pada tahun 1896 yakni surat kabar berbahasa Belanda yang disebut
Preanger Bode.
Nama Preanger Bode, mengikuti nama Java Bode.
Sebagaimana penamaan surat kabar pada masa itu, yang satu mengikuti yang lain,
apakah karena karena terkait investor yang sama atau hanya sengaja ingin miniru
agar lebih mudah popular dan sebagainya.
De locomotief, 08-07-1896 |
Surat
kabar Preanger Bode dalam bentuk aslinya, kali pertama diterbitkan tahun 1896
di Bandoeng. bernama: Preanger Bode: nieuws en advertentieblad voor Preanger
Regentschappen. Adanya surat kabar di Bandoeng kali pertama diberitakan oleh
surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad yang terbit
di Semarang.
De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 08-07-1896: ‘Priangan Bode’. Surat kabar ini adalah yang
pertama di Priangan yang dieditori oleh JHLE. van Meeverden di Bandung akan
muncul dengan penerbit dan administrator JR. De Vries & Co (Bandoeng).
Membayangkan, administrasi dan editorial: telah lama bertanya-tanya mengapa daerah
ini belum diwakili oleh berkala. Secara umum, pendapat kuat bersama, warga akan
mendapat kesempatan percaya bahwa sekarang waktunya telah datang ke sini untuk
menerangi Priangan dengan mingguan sederhana namun menjadi penting dan untuk menumbuhkan
Insulinde di tahun tahun depan yang menjadi semakin jelas bahwa wilayah ini
akan menjadi bagian yang paling penting. Industri pertanian berkembang di dalam
sembilan distrik di bawah asisten residensi, itu baik dengan bertaruh sebagai
peningkatan yang terjadi di wilayah baru (terutama Garut dan Sukabumi),
perkembangan pesat dari ibukota Bandung dengan masuknya beberapa pejabat dan
orang pribadi (swasta); pembentukan kamp di Tjimahi, di mana dalam beberapa
bulan dengan kekuatan 3000-4000 tentara akan ditempatkan yang semuanya memberi
hak dan menduga bahwa Preanger akan menjadi pusat yang saat ini masyarakat ETI
masih sedikit dan pembangunan akan menjadi tumbuh yang tidak ditemukan di daerah
lain di Hindia Belanda, yang memberi kita keyakinan bahwa surat kabar bersinar.
Akhirnya dengan melakukan itu Preanger Bode sesegera mungkin akan lebih baik
menjadi dua kali seminggu dalam format ganda, jika memang surat kabar ini diterima
dengan baik’.
De Preanger Bode, 27-07-1896 (edisi kelima) |
Surat
kabar di Bandoeng yang diberitakan tersebut akhirnya terbit. Namun sayang
sekali saya belum menemukan edisi pertama. Yang baru ketemu adalah edisi
keempat yang terbit pada 27 Juli 1896. Jika memang benar terbit seminggu
sekali, maka edisi pertama terbit pada tanggal 6 Juli. Dengan mengacu pada
pemberitaan terbitnya Preanger Bode oleh surat kabar De locomotief edisi 08-07-1896,
maka surat kabar Preanger Bode sudah terbit dua hari saat berita itu muncul.
Dengan demikian, Bandoeng butuh waktu 85 tahun saat surat kabar pertama setelah
era Pemerintahan Hindia Belanda terbit yakni Bataviasche koloniale courant 05-01-1810
(edisi pertama).
Beberapa surat kabar daerah yang mendahului
surat kabar Preanger Bode adalah: Algemeen Handelsblad, Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie (sejak 1854), Bataviaasch
handelsblad, Soerabaijasch handelsblad, Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad (sejak 1859 di Padang), De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad dan Deli Cournat (sejak 1884 di Medan). Setelah Preanger Bode
di Medan terbit Sumatra post (tahun 1898).
Pers Berbahasa Melayu
Pers
Eropa/Belanda berbahasa Melayu sudah sedemikian marak, dari Surabaya, Semarang,
Batavia hingga Padang. Di Surabaya ada Pembrita Baroe, di Semarang ada Pembrita
Semarang dan di Batavia ada Pembrita Betawi. Disebut pers Eropa/Belanda, karena
semua pemilik dan pengasuh surat kabar berbahasa Melayu tersebut adalah orang
Eropa/Belanda. Belum ada orang pribumi, kecuali sekadar pembaca.
Suatu
kabar yang mengejutkan di Padang pada tahun 1897. Seorang pribumi diangkat
menjadi editor, namanya tidak asing lagi untuk kota Padang. Editor tersebut bernama
Dja Endar Moeda, seorang pensiunan guru dan pemilik sekolah swasta di Padang.
Dja Endar Moeda sebelumnya pernah menerbitkan novel dan buku-buku umum dan
pelajaran sekolah. Bahkan semasih jadi guru sepuluh tahun sebelumnya (1887) Dja
Endar Moeda adalah editor majalah pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di
Probolinggo. Dja Endar Moeda lulus sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan
tahun 1884, murid langsung dari Charles Adriaan van Ophuijsen. (sejak 1904 van
Ophuijsen mengajar di Universiteit Leiden).
Di Padang terdapat tiga surat kabar berbahasa
Belanda dan tiga surat kabar berbahasa Melayu. Ketiga surat kabar berbahasa
Melayu tersebut adalah Pertja Barat, penerbit Jatelin & Co, Tjahaja Sumatra
Tjahaja, percetakan dan penerbit K. Baumer dan Warta Brita, percetakan dan
penerbit R Edwards van Mugeh (lihat Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 08-07-1899)
Dengan
pengalaman yang banyak di bidang penulisan, Dja Endar Moeda sangat sesuai
sebagai editor di Pertja Barat. Di bawah asuhannya, Pertja Barat tidak bisa
disaingi oleh Tjahaja Sumatra dan Warta Berita. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda
diberitakan telah mengakuisisi surat kabar Pertja Barat termasuk percetakannya.
Ini adalah suatu prestasi yang tidak mudah diraih pribumi dan di seluruh Hindia
Belanda belum ada pribumi yang bisa melakukannya.
Dja
Endar Moeda tidak terbendung. Pada tahun dimana mengakuisisi surat kabar Pertja
Barat, Dja Endar Moeda menerbitkan lagi surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na
Oeli (di dalam berbagai tulisan disebut berbahasa Batak, itu keliru). Setahun
kemudian (1901) Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulanan bernama Insulinde. Pada
tahun 1907 menerbitkan surat kabar di Kota Radja (kini Banda Aceh) bernama
Pembrita Atjeh. Lalu pada tahun 1910 Dja Endar Moeda di bawah Sarikat Tapanoeli
di Medan menerbitkan surat kabar Pewarta Deli.
Surat kabar berbahasa Melayu terus bermunculan.
Di Bandoeng, Sinar Priangan (1900). Di Cirebon terbit Pembrita Chirebon tahun
1901 (De Preanger-bode, 11-01-1901). Di Batavia terbit sejumlah surat kabar
berbahasa Melayu, seperti Bintang Hindia (editor Clockener Brousson), Taman
Sari (F. Wichers), Bintang Batavia (Phoa Tjoen Hoat), Sinar Betawi (1904) yang
bertindak sebagai editor Gouw Peng Liang dan Kabar Perniagaan. .
Setelah
Dja Endar Moeda, editor pribumi yang muncul ke permukaan adalah Soetan Maharadja di Padang (1901),
kemudian tahun 1902 di Medan terbit
surat kabar berbahasa Melayu pertama Pertja Timor dengan editornya Mangaradja
Salamboewe. Di Batavia, tahun 1903 seorang pribumi diangkat sebagai editor
surat kabar Pembrita Betawi. Editor tersebut adalah Tirto Adhi Soerjo yang
menggantikan posisi Wich Bram (yang mana sebelumnya Bram adalah editor Sumatra
post di Medan). Dengan demikian, hingga tahun 1903 sudah ada empat editor surat
kabar yang berasal dari pribumi. Ini menunjukkan editor sudah terdistribusi
merata di antara orang Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi.
Diantara empat editor pribumi pertama ini dua
diantaranya berasal dari afd. Mandailing dan Angkola yang sama-sama alumni
Kweekschool Padang Sidempuan, Dja Endar Moeda lulus tahun 1884, sedangkan
Mangaradja Salamboewe lulus tahun 1893. Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr.
Asta (siswa pertama dari luiar Jawa yang diterima di Docter Djawa School,
1855). Mangaradja Salamboewe meninggal tahun 1908 dan sebagai pengantinya di
Pertja Timor adalah Sutan Parlindoengan, seorang senior, mantan guru mereka di
Kweekschool Padang Sidempuan, kolega Charles Adrianvan Ophuijsen sesama
pengajar. Setelah Pertja Timor ditutup tahun 1912, Sutan Parlindungan ditunjuk
menjadi editor Pewarta Deli (surat kabar yang didirikan oleh mantan muridnya, Dja
Endar Moeda).
Di
Batavia persaingan surat kabar berbahasa Melayu sangat dinamis. Hilang satu
muncul tiga. Surat kabar Sinar Betawi yang terbit pertama kali tahun 1904 tidak
terdeteksi lagi sejak 1906. Sementara surat kabar Pembrita Betawi yang terbit
pertama kali tahun 1885 masih eksis namun terakhir kali terdeteksi tahun 1909.
Surat kabar Pembrita Betawi setelah 24
tahun melayani pembaca di Batavia harus ditutup. Namun demikian, surat kabar
Pembrita Betawi terdapat hal yang khusus dengan editor Tirto Adhi Soerjo. Meski
Tirto tidak lama di Pembrita Betawi tetapi Pembrita Betawi adalah awal mula
karirnya di bidang pers.
Tirto Adhi Soerjo kemudian menerbitkan surat
kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Medan Prijaji. Nama Medan Prijaji
diduga mengambil nama dari Medan Perdamaian, suatu organisasi sosial yang
bersifat nasional yang didirikan Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1902 (Dja
Endar Moeda bertindak sebagai direktur). Medan Perdamaian bergerak di bidang
sosial, pembangunan pertanian rakyat dan pendidikan. Pada tahun 1903 Medan
Perdamaian memberi bantuan untuk pembangunan sekolah di Semarang. Medan
Perdamaian adalah organisasi pribumi pertama jauh mendahului adanya organisasi
sosial Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo dan Indisch Vereeniging sama-sama
didirikan tahun 1908. Organisasi Boedi Oetomo bersifat kedaerahan sedangkan
Medan Perdamaian (Dja Endar Moeda) dan Indisch Vereeniging (Soetan Casajangan)
sama-sama bersifat nasional. Medan Perdamaian memiliki cabang hingga ke
Batavia.
Pers Pribumi Berbahasa Belanda
Untuk
menjadi editor pribumi tidak mudah dan yang berhasil tidak seberapa. Demikian
juga untuk memiliki surat kabar sendiri juga tidak mudah dan hanya seberapa.
Bagaimana dengan kepemilikan dan menjadi editor surat kabar berbahasa Belanda?
Ternyata ada pribumi yang melakukannya.
Bagi
pribumi untuk menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda bukanlah demi gengsi
atau perjuangan kelas, melainkan untuk menyebarluaskan pemberitaan dan
menyampaikan pemikiran bagi pembaca yang tidak bisa berbahasa Melayu. Ke dalam
daftar ini juga termasuk pembaca pribumi High Class yang selamai ini selalu
membaca surat kabar berbahasa Belanda. Yang lebih penting pemerintah lebih
cepat memahami dinamika yang terjadi di masyarakat (kebutuhan dan protes) dari
sudut pandang pribumi.
Di
Padang, pada tahun 1904 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Sumatra
Nieuwsblad. Awalnya Dja Endar Moeda yang bertindak sebagai editor. Namun karena
kesibukannya melebarkan jaringan medianya ke Sibolga, Banda Atjeh dan Medan
terpaksa didelegasikannya kepada adiknya Dja Endar Bongsoe (mantan guru, alumni
Kweekschool Padang Sidempuan).
Dja Endar Moeda adalah pendidik sekaligus
pejuang. Dja Endar Moeda mantan guru, pengarang buku umum dan buku pelajaran
sekolah dan juga buku novel. Dja Endar
Moeda adalah perintis pers pribumi, pemilik percetakan dan masih aktif editor.
Pernah dikatakannya guru dan pers sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan
bangsa. Dja Endar Moeda sadar dengan persatuan dan membangun bangsa hanya dapat
dilakukan dengan bersarikat. Dja Endar Moeda juga kerap mengkritik pemerintah
yang lalai memperhatikan penduduk. Dja Endar Moeda berani berpolemik dengan
pers Eropa/Belanda. Dalam berpolemik seperti kasus Transvaal (1899), Dja Endar
Moeda mengirimkan berkali-kali artikelnya ke surat kabar berbahasa Belanda
Sumatra Coutant yang terbit di Padang
untuk menyerang insan pers Eropa/Belanda yang pro Transvaal di Afrika
Selatan, sementara Dja Endar Moeda menganggap penduduk pribumi yang miskin
lebih penting dibantu dan ditingkatkan kesejahteraannya, Kini (1904) Dja Endar
Moeda telah memiliki surat kabar berbahasa Belanda yang dapat lebih efektif
menyuarakan pemikiran dan protes-protesnya. Pada tahun 1907, Dja Endar Moeda
terkena delik pers. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan diusir dari Padang. Lalu
semua medianya ditangani adiknya di Padang, sementara Dja Endar Moeda pindah ke
Medan dan Banda Aceh.
Pribumi
yang memiliki surat kabar berbahasa Belanda baru terjadi tahun 1827 di Batavia
(dua puluh tiga tahun sejak Dja Endar Moeda). Pemilik surat kabar berbahasa
Belanda di Batavia tersebut adalah Parada Harahap. Motif Parada Harahap sama
seperti Dja Endar Moeda, yakni beberapa tahun sebelumnya Parada Harahap
terlibat berpolemik dengan pers Eropa/Belanda. Parada Harahap menulis
artikelnya di surat kabar Java Bode.
Dua kota terbesar di Sumatra tempo doeloe (1875-1880) |
Tokoh-Tokoh Pers Nasional
Pers
pribumi terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman (kebangkitan bangsa,
pergerakan politik dan hingga kemerdekaan RI). Tokoh-tokoh pers semakin banyak
tidak hanya sang pionir Dja Endar Moeda (1987) tetapi jumlahnya sudah begitu
banyak. Namun diantara tokoh-tokoh pers nasional tersebut hanya beberapa orang
yang kiprahnya dikutip oleh media berbangsa asing (berbahasa Belanda dan
Inggris). Saya coba mengitung hasil entri dari nama-nama tokoh pers nasional
yang disebut pers asing: peringkat pertama Adam Malik, Mochtar Lubis dan Parada
Harahap.
Tokoh-tokoh pers Indonesia, sejak 1897 |
Namun dugaan saya keliru. Tirto Adhi Soerjo
yang hidup sejaman dengan Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe ternyata
peringkat pertama adalah Dja Endar Moeda (67 entri), sedangkan Tirto Adhi
Soerjo hanya 18 entri. Mangaradja Salamboewe hanya delapan entri, hal ini
dimaklumi karena kiprahnya di pers cukup singkat, enam tahun (mulai tahun 1902
di Pertja Timor di Medan dan meninggal tahun 1908). Untuk skor entri tinggi
bagi Adam Malik, karena dari pers dia bergerak ke birokrasi hingga (menteri
Perdaganganm menteri luar negeri). Kelak Adam Malik menjadi Wakil Presiden
(trio pembentuk Orde Baru)
Parada
Harahap telah meninggal dunia di Jakarta
11 Mei 1959. Dja Endar Moeda meninggal tahun 1926 (jarak 33 tahun). Dja
Endar Moeda pelopor pers pribumi modern (1897). Parada Harahap meneruskan
perjuangan Dja Endar Moeda. Parada Harahap telah mempelopori organisasi
jurnalis pribumi sejak tahun 1918. Namun namanya tidak tercatat dalam Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). Karena yang menjadi ketua pertama kali PWI (di era
kemederkaan RI) adalah Adinegoro. Sejarah organisasi wartawan Indonesia
dipenggal hanya mulai tahun 1949.
Adam Malik, pendiri kantor berita Antara (pendiri orde baru) |
Adinegoro memulai karir jurnalistik di surat
kabar Bintang Timoer di Batavia setelah pulang studi jurnalistik di Eropa tahun
1929. Parada Harahap merekrut Adinegoro karena Parada Harahap disibukkan oleh
urusan politik sejak 1927 (berdirinya PPPKI yang digagas oleh Parada Harahap)
dan pada tahun 1930 pergerakan politik semakin hangat. Pada tahun 1930 Abdullah
Lubis pemimpin surat kabar Pewarta Deli datang dari Medan ke Batavia meminta
Parada Harahap untuk mengisi lowongan ediotor yang ditinggalkan editornya.
Parada Harahap merekomendasikan Adinegoro. Lalu Adinegoro berangkat ke Medan
untuk menjadi editor Pewarta Deli (hingga terjadinya pendudukan Jepang). Pada
tahun 1933 Parada Harahap lalu memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke
Jepang, karena sudah gerah dengan penindasan colonial Belanda. Dalam rombongan
ini terdapat Abdullah Lubis, wartawan revolusioner dari Medan, bos dari
Adinegoro. Salah satu pemuda revolusioner yang baru lulus sarjana ekonomi dari
Belanda yakni M. Hatta (kelak menjadi wakil presiden). Satu lagi adalah seorang
guru yang juga revolusioner yang berasal dari Bandoeng.
Jika
mundur ke belakang, sejarah pers Indonesia hanya dicatat sejak 1908 ketika
Medan Prijaji, pimpinan Tirto Adhi Soerjo dicatat sebagai badan hukum di kantor
pemerintahan colonial. Padahal Dja Endar Moeda sejak 1900 sudah menjadi pemilik
koran Pertja Barat dan sekaligus percetakannya. Sejarah pers Indonesia juga
dipenggal hanya batas sejarah ketika Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar
Medan Priajaji (1910).
Setali tiga uang dengan yang dialami oleh
juniornya Soetan Casajangan yang sama-sama alumni Kweekschool Padang
Sidempoean. Soetan Casajangan adalah penggagas dan pendiri perhimpunan pelajar
pribumi di negeri Belanda pada tahun 1908 yang disebut Indisch Vereeniging.
Pada tahun 1922, M. Hatta mengubahnya menjadi Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI). Sejarah organisasi pelajar hanya dipenggal sejak didirikannya PPI.
Mochtar
Lubis gelar Raja Pandapotan Sibarani Sojuangon dalam pers internasional
Indonesia tidak diakui karena sub pers internasional tidak pernah disinggung
dalam sejarah pers nasional maupun sejarah perjalanan organisasi wartawan
Indonesia. Mungkin dapat dicari alasan sehingga tidak perlu dicatat sebagai
bagian pers nasional, karena pers internasional bukan bagian dari pers pribumi.
Padahal Mochtar Lubis adalah perintis pers internasional di Indonesia.
Dalam konteks pers internasional di
Indonesia, sesungguhnya sudah hadir sejak 1905. Adalah Dja Endar Moeda di
Padang orang pribumi yang memiliki koran berbahasa asing. Nama koran berbahasa
Belada milik Dja Endar Moeda adalah Sumatraasch Nieuwsblad. Nama Koran yang
sama juga diterbitkan Dja Endar Moeda di Medan tahun 1906. Orang kedua pribumi
yang menerbitkan koran berbahasa asing adalah Parada Harahap tahun 1930. Nama
koran yang terbit di Batavia tersebut bernama Volkscourant. Parada Harahap juga
memiliki koran berbahasa asing bernama Java Bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Koran ini sudah beberapa kali
berpindah tangan sejak pertamakali didirikan 1852. Di era Belanda dibeli oleh
seorang Tionghoa, teman dekat Parada Harahap. Namun pada masa pendudukan Jepang
Koran ini dilarang beredar. Pada masa Belanda kembali koran ini terbit kembali.
Lalu pada pasca pengakuan kedaulatan RI, koran ini dibeli oleh Parada Harahap.
Artikel ini banyak mengutip berita-berita dari Java Bode. Koran kepemilikan
pribumi ini dilarang pemerintah terbit tahun 1958 karena alasan politik yang
waktu itu hubungan Indonesia-Belanda semakin meruncing sehubungan dengan
pembebasan Irian Barat. Padahal pada waktu itu Java Bode (berbahasa Belanda)
ibarat Jakarta Post (berbahasa Inggris) pada masa kini).
Tokoh pers: Dja Endar Moeda, Parada Harahap, Mochtar Lubis |
Untuk
soal keberanian apakah ada yang mampu menandingi Mochtar Lubis di eranya atau
sesudahnya? Sulit menemukannya. Adalah Gunawan Harmoko yang menjamin keberanian
Mochtar Lubis di eranya. Gunawan adalah wartawan Indonesia Raya yang kala itu
ikut membongkar kasus korupsi, member kesan terhadap keberanian Mochtar Lubis:
Bang Mochtar Lubis orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai
sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak
ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis’. Wartawan pemberani sebelumnya
apakah ada? Ada, hanya dua orang.
Pertama, Mangaradja Salamboewe. Editor kedua
pribumi di Pertja Timor yang terbit di Medan (setelah Dja Endar Moeda editor
pertama di Pertja Barat). Mangaradja Salamboewe adalah seorang mantan jaksa
yang enjadi wartawan. Mangaradja Salamboewe menjadi editor Pertja Timor antara
tahun 1903-1908. Menurut pengakuan wartawan Eropa/Belanda dapat dibaca dalam
koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa
Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis
yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya
lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka
membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insan dunia
jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia,
demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran
Bataviaasch nieuwsblad. De Sumatra post edisi 29-05-1908 ketika memberitakan
kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga
mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak
hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar
wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan
bahwa "Di dalam seratoes orang
pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.
Kedua, Parada Harahap adalah wartawan sesudah
Mangaradja Salamoewe yang tidak hanya tajam dalam berita dan tulisan tetapi juga
berani menghadap langsung pejabat yang dianggapnya tidak adil dan
menyengsarakan rakyat. Parada Harahap karena keberaniannya sebanyak 101 kali
dipanggil ke sidang meja hijau dan belasan kali diantaranya dipenjara.
Apakah
lalu dengan demikian kebebasan pers itu nyata? Bukankah pengertian kebebasan
pers sama dengan orisinalitas atau apa adanya? Lalu apakah para wartawan
Indonesia tidak memerlukan prinsip cover both side lagi dalam memahami sesuatu?
Hanya para wartawan yang maha mengetahuinya. Saya bukan siapa-siapa? Saya hanya
geli setelah dengan mata terang benderang melihat semuanya di era teknologi
informasi modern ini. Good news, bad news kini menjadi bad news, good news.
Pikiran Rakyat Bandung dan Sakti Alamsyah
Diantara
tokoh-tokoh pers nasional masih ada satu lagi yang bernama Sakti Alamsyah. Tidak
banyak orang tahu masa kecil Sakti Alamsyah, tetapi orang Jawa Barat hanya
mengenal Sakti Alamsyah melalui suaranya. Ceritanya bermula ketika masa-masa
awal revolusi kemerdekaan nama Sakti Alamsyah dikenal sebagai penyiar RRI.
Sakti Alamsyah termasuk penyiar yang sangat disukai para pendengarnya. Boleh
jadi para pendengarnya tidak banyak yang tahu bahwa Sakti Alamsyah juga
terkenal di kalangan dunia musik sebagai pencipta lirik lagu yang andal.
Sakti Alamsyah, seorang guru, seorang orang
tua, dan seorang pahlawan bangsa. Sakti Alamsyah, nama lengkapnya Sakti
Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon lahir di Sungai Karang, Sumatera Utara
27 Januari 1922. Ayahnya Sutan Kamala Martua Siregar berasal dan meninggal
dunia di Desa Parau Sorat, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Pada
masa itu, kiprah fenomenal Sakti Alamsyah ketika membacakan teks proklamasi
yang dapat didengar publik melalui Radio Bandung (cikal bakal RRI Bandung).
Anehnya, ketika Sakti Alamsyah memulai membaca teks proklamasi tersebut, beliau
justru memulainya dengan pengantar sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung,
siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio
Republik Indonesia alias RRI. Pembacaan teks proklamasi oleh Sakti Alamsyah
dilakukan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul tujuh malam. Teks proklamasi
yang dibaca Sakti Alamsyah tersebut kemungkinan besar diperoleh dari Radio Jakarta yang sudah
terlebih dahulu memperoleh salinannya dari Adam Malik yang waktu itu beliau
menjadi pemimpin Kantor Berita Antara. Pertanyaannya: Mengapa justru Radio
Bandung yang berani menyiarkannya?
Selain
itu, teks yang dibacakan Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah
masih berumur 23 tahun—ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan
Sakti dengan teks sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta.
Sakti Alamsyah justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa
Indonesia, Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan
kalimat yang jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta". Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal
muasal perbedaan teks dan yang dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan
Sakti Alamsyah Siregar.
Pengucapan
‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti
Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio
Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi
kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap ucapan
Sakti Alamsyah sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hgati dirinya. Padahal
negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik yang
notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti yang
diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran
‘Radio Republik Indonesia’...".
Kita
harus akui bahwa inisiatif para pekerja khususnya penyiar Radio Bandung
Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan teks proklamasi di udara yang
dapat didengar semua publik jelas-jelas
seuatu keputusan yang berani.
Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung Hoshokyoku tanpa rasa
takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi itu setiap kali ada
kesempatan untuk dibacakan kembali. Berkat siaran Radio Bandung itu yang dipancarkan
dari Jalan Malabar, Bandung kabar kemerdekaan sebuah negara baru bernama
Indonesia diketahui khalayak yang lebih luas, yang tak hanya dapat ditangkap di
seluruh pelosok nusantara, tetapi juga tetangkap di seluruh dunia.
Saat Medan masih kampong, Padang Sidempoean sudah kota |
Meski ketiga orang ini lahir di tempat yang
berbeda tetapi mudah akrab dan kebetulan memiliki jiwa pers yang sama. Adam
Malik Batubara kelahiran Pematang Siantar, Simaloengoen asal Huta Tanobato,
Mandailing adalah mentor bagi Mochtar Lubis di dunia pers (di Kantor Berita
Antara). Mochtar Lubis kelahiran Soengai Penuh, Kerinci, Jambi asal Huta
Pakantan, Mandailing ini seumur dengan Sakti Alamsjah kelahiran Sungai Karang,
Deli Serdang asal Huta Parau Sorat, Sipirok. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti
Alamsjah karena tugas mereka sebagai wartawan cetak sering melaksanakan tugas
ke tempat yang sama.
Setelah
beberapa lama menjadi penyiar RRI Bandung, Sakti Alamsyah memulai karir baru
dan aktif sebagai wartawan di surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung. Ketika di dalam organisasi penerbitan tersebut terjadi gejolak
internal akibat situasi politik saat itu, Sakti Alamsyah bersama sejumlah
karyawan lainnya memisahkan diri dan mendirikan surat kabar baru dengan tetap
menggunakan nama surat kabar tempat mereka sebelumnya bekerja yakni Pikiran
Rakyat.
Ketika Sakti Alamsjah mendirikan koran
Pikiran Rakyat terbit di Bandung, Mochtar
Lubis juga mendirikan koran Indonesia Raya terbit di Jakarta. Motto kedua koran
ini persis sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Hal serupa ini
pernah terjadi doeloe antara koran Pertja Barat di Padang dan koran Pewarta
Deli di Medan dengan motto yang sama: ‘Organ Oentoek Segala Bangsa’
Bagi
warga Jawa Barat, Sakti Alamsyah Siregar digambarkan sebagai sosok yang
wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan seumur hidup beliau memang tidak
juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika berita kematiannya diberitakan, yang
tampak paling kehilangan justru orang Jawa Barat. Sakti Alamsyah meninggal
dunia di Banjarmasin 28 April 1983) ketika menjalankan tugas dan jenazahnya
dikebumikan di Taman Makaman Pahlawan Cikutra, Bandung. Besoknya, pada tajuk
rencana harian Pikiran Rakyat (PR), koran terbesar di Jawa Barat meratapi
kepergiannya dengan pernyataan "Pemimpin kami, guru kami, ayah kami,
sahabat dan kolega kami, tiba-tiba pergi meninggalkan kita semua.".
Sakti
Alamsyah Siregar, rupanya bukan cuma seorang pemimpin umum sebuah surat kabar
yang kebetulan besar di daerah, seperti PR tetapi juga ketegasan dan
keberaniannya bagaikan guru: mendidik dan membangun. Sejumlah koleganya
menganggap Sakti Alamsyah adalah seorang yang
kaya dengan gagasan besar. Ini
bermula di awal tahun 1970-an ketika pers daerah khususnya di wilayah Jawa
Barat mengalami masa-masa sulit atas penetrasi surat kabar nasional (Jakarta)
merambah ke daerah. Jaringan transportasi dan komunikasi yang semakin membaik
menyebabkan koran-koran ibukota mulai terasa menggeser keberadaan koran-koran
yang terbit di daerah.
Tapi
Sakti Alamsyah, punya resep sakti dengan PR-nya bahwa menghadapi koran-koran
Jakarta tidak harus bereaksi dengan semangat berperang, tetapi justru dengan
sikap yang proporsional. Sakti Alamsyah menyemangati bawahannya dengan
pernyataan "Biar orang pegang koran Jakarta di tangan kanan, kita cukup di
tangan kiri”. Untuk mengantisipasinya,
Sakti Alamsyah pun mulai memikirkan dengan memperbesar porsi berita daerah di
harian Pikiran Rakyat. Resep skati dari Sakti Alamsyah Siregar diketahui pada
akhirnya PR bukan koran tangan kiri lagi tetapi juga telah menjadi koran tangan
kanan.
Sakti
Alamsyah hingga akhir hayat tetap sebagai wartawan dan pejuang pembangunan,
khususnya pembangunan daerah melalui media tulisan. Sakti Alamsyah adalah
perintis dan penyiar di RRI Bandung juga menjadi perintis dan pendiri PT.
Pikiran Rakyat Bandung. Sakti Alamsyah merupakan tokoh penting peletak dasar
Harian Umum Pikiran Rakyat sebagai media massa yang cukup digemari warga Jawa
Barat. Harian Pikiran Rakyat adalah
salah satu koran daerah yang mampu tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Sebelum tiba waktunya beliau di panggil yang
Maha Kuasa, Sakti Alamsyah tetap bertindak sebagai Direktur PT. Pikiran
Rakyat/Pemimpin Umum Harian Umum Pikiran Rakyat. Kini, Pikiran Rakyat Bandung
dibawah kepemimpinan anaknya sendiri: Perdana Alamsyah.
Itulah pers
Indonesia sejak era kolonial Belanda. Sejak Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda
(di Padang) kemudian Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe, Parada
Harahap, Abdullah Lubis, Adam Malik Batubara, Mochtar Lubis hingga Sakti
Alamsyah Siregar (di Bandung).
Dirgahayu Hari Pers Nasional tanggal 9
Februari 2017. Ingin menulis Sejarah Pers Indonesia? Jangan lupa sejarah lama.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar