Tokoh PPPKI (1929): Thamrin, Soetomo, Soekarno dan Parada |
Kisah
Sakti Alamsyah di Bandung sangat mirip dengan kisah Radjamin di Surabaya (Walikota pribumi pertama Kota Surabaya).
Keduanya, lahir sebagai Anak Tapanuli (Selatan) tetapi meninggal sebagai 'Anak Bandung' dan
'Arek Surabaya'. Seperti umumnya orang-orang Tapanuli, 'sekali merantau tidak akan kembali', mereka terbiasa mengikuti pepatah 'dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung'. Mereka tidak melihat dekat Indonesia antara Pakantan hingga Sipirok,
tetapi melihat jauh antara Sabang hingga Merauke. Mereka adalah generasi Indonesia yang sebenarnya (Truly Indonesia).
Dari Pikiran Rakyat Hingga Pikirkan Rakyat
Surat
kabar Pikiran Rakyat Bandung terbit kali pertama tanggal 30 Mei 1950. Surat
kabar ini dipimpin oleh Djamal Ali. Dalam jajaran direksi terdapat Palindih, Sakti
Alamsyah dan Asmara Hadi. Motto surat kabar ini ‘Mengadjak Pembatja Berfikir
Kritis’.
Djamal Ali adalah direktur dan editor Pikiran
Rakyat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 30-12-1950). Palindih, Sakti
Alamsyah dan Asmara Hadi adalah ‘kader’ dari Djamal Ali.
Surat
kabar Pikiran Rakyat adalah ‘reinkarnasi’ dari majalah Fikiran Ra’jat yang
terbit di Bandung pada tahun 1927 dibawah pimpinan dan yang menjadi ‘corong’ Soekarno.
Surat kabar Pikiran Rakyat, sesuai namanya, ulasannya (editorial) terbilang
kritis, sebagaimana mottonya: ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’
Meski Soekarno memiliki majalah, tetapi
kenyataannya Soekarno lebih sering mengirim tulisannya ke surat kabar Bintang
Timoer di Batavia. Bintang Timoer dipimpin oleh Parada Harahap, orang yang
pernah mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919. De
leader Parada Harahap dan de follower Soekarno memiliki karakter yang sama:
jiwa revolusioner. Saat Soekarno diadili dan diasingkan, Parada Harahap tahun
1933 memprovokasi Belanda dengan memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke
Jepang (termasuk di dalamnya M. Hatta yang baru lulus sarjana di Belanda).
Perjuang Pers
Di
Jakarta, surat kabar beroplah tinggi, Indonesia Raya dibawah pimpinan Mochtar
Lubis mengkritisi Soekarno yang mulai sedikit arogan dengan menurunkan editorial
‘Soekarno bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama
pendudukan Jepang’. Editorial ini membuat Soekarno kaget dan ‘kebakaran jenggot’.
De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada
keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar
Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim
sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas
kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan’.
Sejak
itu, hubungan Soekarno dan Mochtar Lubis terus menghangat dan menggelinding
kemana-mana. Mochtar Lubis tidak mau ditekan, malah memprovokasi dengan
berkunjung ke Amerika Serikat (De nieuwsgier, 17-05-1951). Melihat situasi ini,
Adam Malik berangkat ke Bandung sehubungan dengan perayaan ulang tahun yang
pertama Pikiran Rakyat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1951).
Sudah barang tentu, Adam Malik mendapat undangan dari sohibnya Sakti Alamsyah. Kedatangan
Adam Malik ke markas Pikiran Rakyat tentu saja tidak sekadar ikut merayakan
ulang tahun Pikiran Rakyat, tetapi juga ada pembicaraan ‘bilateral’ antara Adam
dan Sakti tentang soal yang besar: polemik antara Soekarno dan Mochtar Lubis.
Saat itu, Adam Malik adalah pemimpin kantor berita
Antara, kantor berita dimana Mochtar Lubis pernah menjabat sebagai direktur
(untuk menggantikan Adam Malik). Pada masa pendudukan Jepang, Adam Malik,
Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah sama-sama pernah bekerja di radio militer
Jepang (atas rekomendasi Parada Harahap). Sebelum mendirikan surat kabar
Indonesia Raya, Mochtar Lubis sempat bekerja dengan Parada Harahap.
Demonstrasi militer
Arogansi
Soekarno terus memuncak. Tidak hanya pers yang mulai ditekannya, tetapi
Soekarno sudah mulai mencampuri urusan militer. Dalam soal internal militer
ini, Abdul Haris Nasution tampaknya bereaksi. Abdul Harus Nasution melihat pers
mulai tidak berdaya, apalagi Soekarno telah terlalu jauh mencampuri internal
militer.
Militer seolah dipertentangkan. Kolonel
Abdoel Haris Nasution dan kawan-kawan seperti Kolonel Gatot Soebroto, Kolonel
Tahi Bonar Simatupang dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di
satu pihak dan di pihak lain Kolonel Bambang Supeno dan Kolonel Zulkifli Lubis
(Kepala Intelijen RI).
Akhirnya
muncul demonstrasi besar tahun 1952. Demosntrasi ini konon dipimpin oleh Abdul
Haris Nasution sendiri, Kepala Staf Angkatan Darat.
Abdul Haris Nasution diangkat menjadi KASAD
tahun 1950, Sebelumnya Abdul Haris Nasoetion adalah Panglima Divisi Siliwangi
di Bandoeng. Di Bandung, selain jabatan Panglima, jabatan strategis lainnya
adalah Direktur Peroesahaan Sendjata dan Mesioe (kelak disebut PINDAD) yang
dijabat oleh Letkol Ir. AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan,
seorang insinyur kimia alumni Jerman yang baru pulang bergerilya di Jawa Timur.
Massa
yang ditaksir sekitar 30.000, para demonstran menuntut pembubaran parlemen. Gelombang
massa kemudian bergerak ke istana yang didamping para militer dan persenjataan
militer seperti tank. Inilah debat Sukarno dan Nasution saat itu.
Presiden Sukarno: ‘Engkau benar dalam
tuntutanmu, tapi salah dalam caranya. Soekarno tidak sekali-kali akan menyerah
karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu
batalion TNI!’.
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada
kekacauan di dalam negeri, orang hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh
politik membikin peperangan, tapi si prajurit yang harus mati. Adalah
sewajarnya apabila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung’.
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa
dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Akan tetapi mengancam Bapak Republik
Indonesia, jangan! Sekali-kali jangan!’ (Boleh jadi Soekarno sambil menepuk-nepuk dadanya)
Yang
tidak diduga, ketika Soekarno turun dari istana untuk menghadapi para
demonstran, yang mendampinginya adalah Kolonel Zulkifli Lubis. Tampaknya
Soekarno lebih aman dan lebih berani jika didampingi Zulkifli Lubis. Sementara,
Ketua Parlemen, Zainul Arifin Pohan yang tengah berada di istana hanya terpaku
diam seribu bahasa ditangga istana. Zainul Arifin Pohan tampaknya tenang-tenang
saja dan yakin tidak terjadi huru-hara.
Demonstrasi di depan Istana Presiden (1952) |
Saat terjadi dialog sengit antara pimpinan
demonstran (Kolonel Abdul Haris Nasution) dan orang yang didemo (Presiden
Soekarno), Kolonel Zulkifli Lubis tidak berada disamping Soekarno, melainkan
disamping Mayjen Abdul Haris Nasution. Posisi ini dapat diartikan sebagai
berikut: (1) Zulkifli Lubis memberi kesempatan kepada Soekarno untuk ‘sedikit marah’
dihadapan dua petinggi militer, (2) Dengan posisi seperti itu, Abdul Haris
merasa dia tidak sendiri, karena kawannya Zulkifli Lubis ada disampingnya dan
(3) posisi itu besar kemungkinan inisiatif bersama antara Zainul Arifin Pohan
dan Zulkifli Lubis yang sama-sama paham adat ‘dalihan na tolu’ yakni tidak
boleh ada yang direndahkan tetapi diputuskan rasional secara mufakat.
Hasilnya,
tidak terjadi huru-hara. Tidak ada yang diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan.
Zainul Arifin Pohan, Zulkifli Lubis dan Abdul Haris Nasution berada dari kampong
yang sama di Kotanopan (Tapanuli Selatan) yang masih menganut paham ‘dalihan na
tolu’. Presiden kembali ke istana dijempau Zainul Arifin Pohan, sementara Abdul
Haris Nasution dan Zulkifli Lubis masih menyambung pembicaraan sebentar di
lapangan. Demonstrasi akhirnya bubar.
Atas kejadian itu, Kolonel Abdul Haris
Nasution diberhentikan sebagai Kepala KASAD dan Jenderal Simatupang yang
menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) juga ikut mengundurkan diri. Ini
menambah daftar tokoh-tokoh yang menyuarakan pendapat semakin bertambah setelah
Mochtar Lubis dan kawan-kawan. Sejarah militer Indonesia dimulai dari Sudirman.
Lalu kemudian Sudirman digantikan oleh TB Simatupang dan posisi TB Simatupang
digantikan oleh Abdul Haris Nasution.
Demosntrasi Pers
Kolonel
Zulkifli Lubis tetap di istana, Zainul Arifin Pohan tetap di parlemen. Untuk
tetap menjaga keutuhan NKRI, Kolonel Abdul Haris Nasution ‘pulang kampung’ dan dengan
merngasingkan diri mulai menulis buku. Hasilnya buku Pokok-Pokok Perang
Gerilya.
Zainul Arifin Pohan, ayah Barus dan ibu
Kotanopan. Saat kecil sebelum merantau ke Batavia bersekolah di Kotanopan dan menjadi
santri Pesantrean Mustofawiyah di Poerbabaru (dekat Kotanopan). Pesantren ini
seusia dengan Pesantren Gontor. Pesantren Kotanopan adalah basis NU pertama di
luar Jawa. Saat terjadi perang, Zainul Arifin adalah pimpinan Hizbullah di Jawa
Barat dan ketika di parlemen Masyumi dimekarkan dengan munculnya Partai NU.
Zainul Arifin Pohan adalah Ketua Partai NU yang pertama.
Mochtar
Lubis terus mengobarkan semangat kebebasan pers. Solidaritas sesama pers juga
terus meningkat. Mulai dari wartawan hingga pemilik, mulai dari surat kabar
hingga percetakan, mulai dari dosen hingga mahasiswa. Dukungan juga terus mengalir
dari daerah, seperti Bandung, Medan dan Soerabaja. Akhirnya demonstrasi besar
kembali muncul, kini tidak dipimpin oleh Abdul Haris Nasution tetapi oleh
Mochtar Lubis yang baru-baru ini pulang dari Amerika Serikat.
Demonstrasi Kebebasan Pers (1953) |
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes,
soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi,
seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam
aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang
berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa
akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah
saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa
Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’.
Lantas
dimana Parada Harahap? Sudah dapat diduga. Parada Harahap tidak mau dipusingkan
oleh kisruh militer dan juga tidak mau pusing dengan kisruh jurnalistik. Parada
Harahap menyibukkan diri di kampus sebagai Direktur Akademi Wartawan. Bagi
Parada Harahap, semua yang berseteru adalah teman baiknya. Parada Harahap
adalah mentor politik Soekarno dan Parada Harahap adalah mentor jurnalistik
Mochtar Lubis. Namun Parada Harahap membiarkan AM Hoetasoehoet untuk memimpin
mahasiswa untuk menggalang mahasiswa berdemo.
Parada Harahap pendiri organisasi jurnalistik
pribumi di Medan tahun 1918. Pimpinan Sumatranen Bond dan pendiri PPPKI (1927).
Memimpin tujuh orang pertama ke Jepang (1933). Memiliki 13 media selama hidupnya
termasuk mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena (1925). Di era pendudukan
Jepang pension. Anggota BPUPKI (1945). Di
era perang kemrdekaan menjadi pemimpin dan editor majalah Detik di Bukitinggi
(ibukota RI, sejak Soekarno ditangkap dan diasingkan). Kepala Litbang Departmen
Penerangan. Sejak 1952 mengakuisisi surat kabar legendaries berbahasa Belandam,
Java Bode. Pada tahun 1953 mendirikan Akademi Wartawan, Ketua Kopertis pertama.
AM Hoetasoehoet adalah mahasiswanya di Akademi Wartawan yang juga ketua dewan
mahasiswa. AM Hoetasoehoet sambil kuliah bekerja di surat kabar Indonesia Raya
(pimpinan Mochtar Lubis). AM Hoetasoehot pada tahun 1949 direkrut dar Padang
Sidempuan sebagai ketua tentara pelajar yang membantunya menerbitkan majalah
detik yang membawa percetakan dari Padang Sidempuan. AM Hoetasehoet kelak
dikenal sebagai pendiri IISIP Lenteng Agung, Jakarta).
Zainul Arifin Pohan Menjadi Wakil Perdana
Menteri
Setelah
Abdul Haris Nasution diberhentikan, jabatan panglima kosong dan dipegang oleh
Presiden Soekarno. Zainul Arifin Pohan, mantan Panglima Hisbullah diangkat
menjadi Wakil Perdana Menteri II (dari 30 Juli 1953).
Wakil Perdana Menteri I focus pada program
nasional pemerintah, Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri II akan focus
pada rekonstruksi nasional (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-08-1953).
Pada
saat kekosongan ini terjadi pemberontakan DI/TII di Atjeh September 1953. Anehnya,
yang pertama datang ke Atjeh bukan Soekarno (panglima tertinggi merangkap
KASAD) dan juga bukan Wakil Perdana Menteri I (Wongsosuseno) dan Menteri
Pertahanan (Iwa Koesoema) melainkan Zainul Arifin Pohan (Wakil Perdana Menteri
II). Apakah karena Zainul Arifin Pohan mantan Panglima Perang Hisbullah di Jawa
Barat?
Pada awal pengakuan kedaulatan RI, sejumlah
daerah resah dan melakukan pemberontakan. Di Aceh, timbulnya pemberontakan
karena janji M. Hatta tidak ditepati. Orang Aceh telah banyak membantu
Pemerintah Republik. RI berutang kepada orang Aceh. Sementara orang Aceh
berutang kepada orang Tapanuli, karena sejak era Belanda banyak guru-guru dan
dokter-dokter sari Tapanuli Selatan yang dikirim ke Aceh (termasuk ayah dari SM
Amin Nasution, Gubernur Sumatera Utara yang pertama). Ketika terjadi
pemberontakan di Aceh, Soekarno dan Hatta tidak berani datang. Yang dikirim
adalah Zainul Arifin Pohan (Wakil Perdana Menteri II).
Trio dari Mandailing dan Angkola |
Sepulang
dari Medan, Zainul Arifin Pohan berdiskusi dengan Soekarno. Untuk mengamankan
Atjeh harus ada jadi korban. Gubernur Sumatra Utara (meliputi Kresidenan Tapanuli, Kresidenan
Atjeh dan Kresidenan Sumatra Timur) Abdul Hakim Harahap terpaksa harus ‘dicopot’.
Sebagai penggantinya dipanggil SM Amin Nasution (mantan Gubernur Sumatra Utara).
Alasannya hanya satu: Abdul Hakim Harahap kelahiran Djambi (hanya bisa
berbahasa Batak, Indonesia, Belanda, Inggris dan Perancis) dianggap tidak pas
untuk bernegosiasi dengan pemberontak dan menganggap SM Amin Nasution kelahiran
Atjeh lebih sesuai karena bisa berbahasa Atjeh dan juga memahami adat istiadat orang
Atjeh. Abdul Hakim Harahap lalu diminta bertugas ke pusat (di Jakarta). Abdul
Hakim Harahap di masa agresi militer Belanda adalah penasehat delegasi RI ke KMB di Den Haag (karena ahli
ekonomi yang mampu menguasai tiga bahasa asing). Pada saat pencopotan Gubernur
Sumatra Utara, di Jawa Barat terjadi promosi kepala kepolisian daerah
(Kapolda), Mustafa Pane.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
20-10-1953: ‘Mustafa Pane dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Provinsi Jawa
Barat (sebelumnya sebagai Wakil Kepala). (Berita lainnya): Kepala Staf
Teritoruial VII Let. Kol. Warouw mengultimatum agar pengikut Kahar Muzakkat
melaporkan diri ke pos terdekat aparatur negara 20 Oktober s/d 1 November 1953.
Berita lainnya: Gerangan, yang baru-baru ini melakukan kunjungan ke Wakil
Perdana Menteri I, Mr. Wongsonegoro meminta izin untuk agar Kartosmrtrjo
diberikan kembali hidup normal atau dapat dibebaskan’. De nieuwsgier,
22-10-1953 Gubernur Amin ke Medan. Gubernur baru dari Sumatera Utara Mr. SM.
Amin Nasution Krungraba, kemarin sore tiba dengan pesawat GIA dari Jakarta ke
Medan. Mr Amin dijempuat di bandara oleh, Residen Binanga Siregar dan lainnya.
Pemberontakan
DI/TII di Atjeh dapat segera diatasi. Namun pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
masih belum mereda. Jika pemberontakan di Atjeh muncul karena pengingkaran
janji pemerintah (M. Hatta) terhadap rakyat Atjeh, pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat merupakan persoalan lama.
Pada saat ibukota RI pindah ke Jokjakarta
(1946), TNI yang berada di bawah komando Abdul Haris Nasution merapat ke
Jokjakarta. Namun di Jawa Barat muncul faksi yang berbeda (tidak ikut
mengungsi) dan ingin mendirikan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun
ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, pasukan DI/TII Kartosuwiryo menolak
kehadiran TNI. Dalam hal ini DI/TII dalam menegakkan NKRI mengambil kesempatan
dalam kesempitan yang dianggap sebagai tindakan yang merupakan penyimpangan
dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menghalangi upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah negara RI yang sah (dalam hal ini berhadapan
dengan TNI). Tentu saja ini membuat gerah Abdul Haris Nasution (Panglima Divisi
Siliwangi) dan Zainul Arifin Pohan (Panglima Hisbullah).
Setelah
pemberontakan DI/TII di Atjeh dan Makassar dapat diselesaikan dan pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat untuk sementara dapat diredakan, Zainul Arifin Pohan
dihadapi dengan kesibukan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang akan
dilaksanakan 18–24 April 1955.
De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Pemerintah
meminta Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan untuk mengendalikan
provinsi Sunda Ketjil (Nusa Tenggara) dan melakukan inspeksi langsung’. De
vrije pers: ochtendbulletin, 03-05-1954: ‘Infiltrasi di Sumbawa. Wakil Perdana
Menteri II, Zainul Arifin, yang baru saja kembali ke Jakarta pada kunjungan
orientasi ke Sumbawa, Minggu sebagian pengikut Kahar Muzakkar di Pulau Sumbawa.
Sekitar dua atau tiga bulan lalu menyusup elemen Kahar Muzakkar dari Sulawesi
(Celebes) ke Sumbawa melalui Bima. Infiltrasi kata Wakil Perdana Menteri II
masih menunjukkan tahap awal. Sudah ada menangkap beberapa orang untuk
penyelidikan’.
Soekarno dan Zainul Arifin Naik Haji
Figur
Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan adalah figur pemimpin yang unik
pada masa itu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya mantan panglima di era perang
tetapi juga di parlemen adalah mantan ketua komisi pertahanan. Karenanya, sejak
menajdi wakil perdana menteri Zainul Arifin Pohan kerap diserahi tugas-tugas
pertahanan terutama dalam menangani sejumlah pemberontakan di daerah. Untuk
urusan agama (Islam) kapasitas Zainul Arifin Pohan tidak perlu diragukan.
Karenanya, selama Menteri Agama berhalangan, Zainul Arifin Pohan yang mengambil
alih (kebetulan keduanya sama-sama NU)..
De nieuwsgier, 09-07-1954: ‘Menteri Agama,
Kiai hadji Masjkur, sehubungan dengan ziarah ke Mekkah diserahkan tugasnya
kepada Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dengan kata lain, Wakil Perdana
Menteri II Zainul Arifin sepanjang tidak ada Menteri Kijai Hadji Masjkur akan
menangani urusan agama sebagai Menteri. Transfer tersebut dihadiri oleh
Sekretaris Jenderal Kementerian, Mohammad R. Kafrawi’.
Kini
giliran Soekarno dan Zainul Arifin Pohan berangkat naik haji ke Mekah setelah
tiga urusan Negara yang sangat penting selesai. Urusan Negara itu adalah: Pertama, Zainul Arifin Pohan telah
berhasil meredakan pemberontakan di Jawa Barat (Kartosuwirjo) dan menumpas
pemberontakan di Aceh (Daud Beureuh) dan Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar).
Saat pemberontakan itu terjadi yang menjadi panglima secara dejure adalah
Presiden Sukarno tetapi secara defacto yang menjadi panglima adalah Wakil
Perdana Menteri, Zainul Arifin Pohan. Kedua,
persiapan pelaksanaan Pemilu 1955 yang juga cukup menyita banyak perhatian,
karena Zainul Arifin Pohan telah banyak menangkis berbagai usulan yang tidak
sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dari peserta pemilu,
terutama dari Partai PKI. Ketiga,
Urusan lainnya yang tidak kalah penting sebelum berangkat naik haji adalah bahwa
proses pembangunan Masjid Istiqlal sudah berjalan. Soekarno dan Zainul Arifin
Pohan adalah dua orang penting di depan yang memulai merealisasikan gagasan
pendirian masjid besar di Jakarta (yang kemudian dikenal sebagai Masjid
Istiqlal).
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1955: ‘Presiden Naik Haji.
Presiden Sukarno akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 14 Juli tahun ini.
Selain itu Presiden dan rombongan akan mengunjungi Pakistan dan Mesir, juga
singgah di New Delhi, dimana Presiden berada untuk setengah hari sebagai tamu
pemerintah India. Di New Delhi, Presiden Sukarno akan berbicara kepada publik.
Dari New Delhi, Presiden akan berangkat presiden ke Karachi, dimana Presiden
juga akan diterima sebagai tamu negara. Presiden Soekarno bermaksud untuk
melanjutkan perjalanan setelah dari Pakistan terus ke Kairo dalam rangka
memenuhi undangan dari Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser. Di Mesir, Presiden
Sukarno akan berada selama lima hari. Sekali lagi, presiden akan menyampaikan
pidato kepada publik. Presiden juga berencana untuk mengunjungi piramida,
sungai Nil, bekas istana Farouk dan lainnya. Setelah ini, berangkat haji ke
Mekkah dan akan diterima juga sebagai tamun Negara di Arab Saudi yang akan
mengadakan pidato. Rombongan Presiden akan terdiri dari sekitar 30 orang yang
akan berangkat pada 14 Juli dan tanggal 5 Agustus kembali ke Jakarta’.
Dalam
perjalanan naik haji ini juga bersamaan dengan kunjungan kenegaraan yang tentu
saja dikaitkan dengan hasil-hasil Konferensi Asia Afrika di Bandoeng. Setelah
dari India, Presiden Sukarno ke Pakistan. Diibukota Karachi, Presiden
mengatakan bahwa langkah-langkah lebih lanjut pemerintah Indonesia akan
melakukan pengembangan hubungan budaya antara Pakistan dan Indonesia. Dalam
kunjungan Presiden pada hari terakhir, Jumat di Mesir Presiden Sukarno dan
Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser melakukan sholat Jumat di Masjid Al Azhar
yang telah berusia 1.000 tahun. Di masjid ini Presiden sekaligus berdoa sebelum
berangkat ke tanah suci.
Antara istana Gamal Abdel Nasser hingga ke
bandara dielu-elukan ribuan penduduk Mesir. Di bandara Presiden dan rombongan
diantar oleh Ketua Dewan Revolusi Mesir dan Rektor Universitas Al Azhar. Rektor
memberikan kepada Presiden Sukarno salinan Quran langka yang dicetak di atas
kertas linen (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1955).
Setelah
berakhir kunjungan di Mesir (Kamis), rombongan Indonesia lainnya yang bergabung
dengan rombongan Presiden Sukarno untuk menunaikan ibadah haji dipimpin oleh
Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin Pohan. Rombongan Wakil Perdan Menteri
Zainul Arifin Pohan tiba di Kairo hari Jumat dan secara bersama-sama berangkat
dari Kairo ke Jeddah. Di Kairo Zainul Arifin Pohan melakukan pembicaraan dengan
Wakil Perdana Menteri Mesir, Gamal Salim.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-07-1955:
‘Wakil Perdana Menteri Mesir diundang (Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin
Pohan) sebagai tamu negara dari Pemerintah Indonesia untuk menghadiri 17
Agustus di Jakarta. (Gamal Salim) akan tinggal di Indonesia dua minggu dimana
Mesir juga akan berpartisipasi dalam pameran perdagangan internasional ketiga
di Jakarta yang akan dibuka 18 Agustus sekaligus untuk mengkonsolidasikan hubungan
perdagangan antara Mesir dan Indonesia’.‘
Burhanuddin Harahap dan Parada Harahap:
Sukarno dan Abdul Haris Nasution versus Mochtar Lubis dan Zulkifli Lubis
Perjuangan
pers Mochtar Lubis tiada henti. Selain belum mendapatkan kebebasan pers,
Mochtar Lubis membongkar kasus korupsi di tingkat menteri (Ruslan Abdul Gani,
Djodi Gondokusumo). Akibatnya, pada tahun 1955 Kabinet Ali Satroamidjojo jatuh
dan mengundurkan diri karena tidak tahan tekanan.
Kabinet
Ali Satroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang dibentuk
tanggal 12 Agustus 1955. Salah satu anggota kabinet yang diangkat adalah Abdul
Hakim Harahap sebagai menteri Negara tetapi secara defacto juga menjabat
sebagai Menteri Pertahanan. Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Smatera Utara
(dicopot karena dampak Pembenrontakan Atjeh). Pada tahun ini juga diadakan
pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Partai pemenang adalah Masyumi (pimpinan
Burhanuddin Harahap) yang diikuti di urutan kedua PNI (Soekarno) dan disusul di
tempat ketiga Partai NU (Zainul Arifin Pohan).
Pada
saat yang relatif bersamaan dengan Pemilu, Abdul Hakim Harahap diperintahkan oleh
Burhanuddin Harahap untuk membenahi militer. Saat itu tidak ada komandan
(KASAD), tetapi ada tentara, maka perlu dipilih dan diputuskan siapa yang
menjadi komandan baru. Dalam suatu pertemuan antara kolonel-kolonel se
Indonesia, Abdul Hakim Harahap
memutuskan agar mereka mau bersatu.
Abdul Hakim Harahap adalah mantan Residen
Tapanoeli semasa Perang Kemerdekaan (Agresi Militer Belanda II) yang juga
merangkap sebagai wakil gubernur militer yang sudah terbiasa mengatasi
permasalahan internal militer di Tapanuli saat terjadi perang. Setelah Sumatra
Timur dikuasai Belanda TNI mengungsi ke Tapanuli dan menumpuk di Padang
Sidempuan. Dalam konsentrasi yang tinggi ini kerap terjadi friksi-friksi antar
satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Untuk menentramkan ini, Panglima
Divisi Siliwangi Abdul Haris Nasution mengirim komando terbaik di bawah
pimpinan Kawilarang dan Ibrahim Aji. Tentu saja dua komandan terbaik di Divisi
Siliwangi ini siap dan tulus: ‘Siap komandan, Siap mengamankan kampong
halaman’. Dalam fase ini Kawilarang dan Ibrahim Aji berkoordinasi dengan
Residen Tapanoeli, Abdul Hakim Harahap.
Kandidat
pimpinan tentara yang menguat adalah Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kolonel Zulkifli
Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah Kolonel Abdul Haris Nasution. Setelah
Abdul Hakim melapor ke Burhanuddin Harahap, Kolonel Abdul Hakim Nasution
kembali diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada tanggal 1
November 1955. Kolonel Zulkifli Lubis dibebaskan dari semua tuduhan melawan Soekarno
(saya pernah bercakap-cakap dengan beliau pada tahun 1984 di Bogor).
Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kolonel
Zulkifli Lubis tergolong adalah adik-adik Abdul Hakim Harahap dari Tapanuli.
Oleh karena itu tidak begitu sulit mempertemukannya dan membuat keputusan.
Abdul Hakim Harahap kelahiran Djambi, Kolonel Zulkifli Lubis kelahiran Atjeh
dan Abdul Haris Nasution kelahiran Kotanopan. Hal ini teringat dengan
pertikaian antara Soekarno dengan Abdul Haris Nasution di depan istana (1952)
yang menengahinya adalah Zainul Arifin Pohan (Abdul Haris Nasution sekampung
dengan Zainul Arifin Pohan)
Pertikaian
antara Sukarno dan Kolonel Abdul Haris Nasution lalu kemudian dianggap selesai.
Dengan begitu, NKRI kembali memiliki komandan militer aktif. Di belakang sukses
mempertemukan Sukarno-Nasution adalah Parada Harahap, Burhanuddin Harahap dan
Abdul Hakim Harahap.
Parada Harahap adalah tokoh pemersatu bangsa
(pendiri PPPKI 1927). Parada Harahap adalah mentor politik Soekarno. Sementara,
Burhanuddin Harahap adalah Ketua Partai Masyumi yang menjadi Perdana Menteri
RI. Sedangkan Abdul Hakim Harahap sebelum menjadi menteri adalah Gubernur
Sumatra Utara (1951-1953) yang sebelumnya (di masa agresi militer Belanda)
menjabat sebagai Residen Tapanuli. Abdul Hakim Harahap adalah tokoh Masyumi di
Tapanuli dan Burhanuddin Harahap tokoh Masyumi di Sumatra Timur (Medan).
Dalam
perkembangan selanjutnya keduanya (Sukarno-Nasution) menjadi sangat dekat satu
sama lain. Namun di sisi lain muncul kerenggangan antara Sukarno dan Zulkifli Lubis
yang sehaluan dengan Mochtar Lubis. Meski begitu posisi Presiden Sukarno tetap
terjaga. Parada Harahap dan Kolonel Abdul Haris Nasution dapat menengahinya.
Namun di sisi lain Kabinet Burhanuddin Harahap juga harus dibubarkan (tanggal 3
Maret 1956).
Ketika
terjadi pemberontakan terhadap Soekarno yang dikenal sebagai PRRI di Sumatra
Barat (1957), Presiden Soekarno kebingungan. Untuk mengeluarkan keputusan
penyerangan, Soekarno meminta persetujuan M. Hatta (Wakil Presiden), dan M.
Hatta menolak (ini pangkal perkara mengapa dwi tunggal pecah untuk selamanya).
Kejadian yang mirip dengan ini pernah terjadi
ketika mengeksekusi orang-orang yang dianggap berada di belakang peristiwa
pemberontakan PKI di Madiun (1947), Soekarno abstain dan M. Hatta
mendelegasikan kepada Kolonel Gatot Subroto. Amir Sjarifoeddin ‘disingkirkan’
dan ‘dikorbankan’.
Keputusan
diambil sendiri oleh Soekarno. Ketika mengerahkan pasukan, Abdul Haris Nasution
abstain dan mendelegasikan kepada Ahmad Yani. Abdul Haris Nasution enggan
karena beberapa teman-temannya juga telah merapat ke Bukittinggi. Setelah
perang, Abdul Haris Nasution bergegas ke Medan untuk melakukan normalisasi.
Kolonel Simbolon dicopot dan digantikan Letkol Djamin Ginting. Lalu hal yang
sama dilakukan di Padang dan Palembang. Di tangan Abdul Haris Nasution semuanya
menjadi beres. Mungkin di dalam hati Abdul Haris Nasution dan Soekarno, seperti
ini:
Presiden Sukarno: ‘Engkau benar dalam tuntutanmu, dan juga benar dalam caranya. Soekarno kali
ini menyerah karena paksaan. Dan percaya kepada TNI!’.
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada kekacauan di dalam negeri, orang
hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tapi si
prajurit yang harus mati. Adalah sewajarnya apabila kami turut berbicara
tentang apa yang sedang berlangsung’.
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Kali
ini Bapak Republik Indonesia, tengah terancam! Pertahankanlah NKRI!’.(Mungkin, boleh jadi Soekarno tidak lagi menepuk-nepuk dadanya, tetapi menyodorkan tangannya untuk bersalaman)
Zainul Arifin Pohan Tertembak, Kartosuwiryo
Dihukum Mati
Setelah
Soekarno ‘pecah kongsi’ dengan M. Hatta, Soekarno hanya tergantung pada dua
orang: Zainul Arifin Pohan dan Abdul Haris Nasution. Keduanya sama-sama mantan panglima
di Jawa Barat. Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hizbullah (kini Ketua
Parlemen/NU) dan Abdul Haris Nasution adalah Panglima Divisi Siliwangi (kini
Kepala Staf/AD).
Zainul Arifin Pohan merupakan salah satu
tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga
besar" pemenang pemilu 1955, setelah pemilu 1955, Zainul Arifin juga mewakili NU
dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Soekarno lewat Dekrit 5
Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia
dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa
itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk
menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan
partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang
di Indonesia.
Hal
yang masih tersisa adalah pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Pada tahun 1960 dilakukan
Operasi Gabungan oleh pasukan TNI dengan rakyat. Dalam operasi militer ini,
pasukan Kartosuwiryo terus terdesak dan melemah akibatnya banyak yang menyerah.
Pada tanggal 14 Mei 1962, saat salat Idul
Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul Arifin Pohan tertembak peluru
yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII untuk membunuh presiden. Sebulan
kemudian, Abdul Haris Nasution yang menjabat KASAD sejak 1955 pada Juni 1962
statusnya dinaikkan menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (kini disebut
Panglima TNI), posisi yang sejak 1953 kosong karena TB Simatoepang mengundurkan
diri dan diambilalih Presiden Soekarno.
Kartosuwiryo
sendiri kemudian dapat ditangkap pada tanggal 4 Juli 1962. Atas kesalahan
Kartosuwiryo selama ini dijatuhi hukuman mati. Zainul Arifin wafat tanggal 2
Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan pada bahunya selama sepuluh
bulan.
Soekarno kehilangan sohib yang pernah
menemaninya menuaikan ibadah haji 1954, pejabat yang bertindak atas dirinya
(dejure) sebagai panglima lapangan (defacto). Namun demikian, masih ada Abdul
Haris Nasution yang kini posisinya telah setingkat dengan posisi TB
Simatoepang, rekan yang pernah membelanya dalam demonstrasi militer ke depan
istana (1952).
G 30 S/PKI, Abdul Haris Menjadi Sasaran
Gerakan
PKI yang melancarkan pembunuhan terhadap petinggi TNI, menyebabkan sejumlah
jenderal terbunuh. Jenderal Abdul Haris Nasution masih mampu menghindar tetapi
putrinya Ade Irma Suryani tidak tertolong. Tragedi malam 30 September 1965 yang
diduga dilakukan oleh PKI menyebabkan situasi keamanan tidak terkendali
(chaos). Tragedi ini dikenal sebagai tragedy G 30 S/PKI.
Pergolakan ini dan untuk memulihkan keamanan
(pasca terbunuhnya petinggi TNI) pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan
surat perintah yang dikenal sebagai Supersemar. Pengendali keamanan diberikan
kepada Soeharto.
Dalam
fase normalisasi keamanan ini akhirnya jabatan Panglima Abdul Haris Nasution yang
dipegang sejak Juni 1962 berakhir Februari 1966. Presiden Soekarno di sisi lain
seakan diasingkan yang menyebabkan regim lama akan berakhir dan akan muncul
regim baru.
Parada Harahap: Mentor Trio Pemimpin Indonesia Pertama
(Soekarno, Hatta dan Amir)
Trio
Indonesia yang pertama sudah nyaris dilupakan oleh para pemimpin Indonesia
namun tidak demikian oleh rakyat. Trio Indonesia yang pertama, Soekarno, Hatta
dan Amir tidak akan pernah dilupakan. Secara defacto mereka bertigalah yang
secara intens memberi warna sebelum era Belanda berakhir dan selama pendudukan
Jepang. Soekarno dan Hatta di satu sisi berkolaborasi dengan Jepang, sedangkan
di sisi lain, Amir Sjarifoeddin menentang Jepang. Satu tokoh penting lainnya
yang berseberangan dengan Jepang adalah Sjharir.
Amir Sjarifoeddin kelahiran Medan tahun 1910
bersekolah dan semasa remaja di Medan. Keduanya, diduga kuat telah kenal satu
sama lain selama di Medan.
Trio
Indonesia pertama sangat menghormati Parada Harahap. Trio Indonesia pertama ini
banyak belajar dari Parada Harahap untuk soal politik praktis (di lapangan). Parada
Harahap adalah mentor politik Soekarno, Hatta dan Amir. Parada Harahap, meski
hanya tamat sekolah dasar namun memiliki IQ di atas rata-rata orang Eropa. Pada
umur 17 tahun, Parada Harahap telah membuat heboh di Medan dengan inisiatifnya
membongkar kekejaman yang dilakukan oleh para planter terhadap koeli perkebunan
(poenalie sanctie). Ini terjadi tahun 1916. Inilah debut politik Parada Harahap
yang dimulai dari Medan. Tentu saja saat itu Amir Sjarifoeddin Harahap
kelahiran Medan, Adam Malik Batubara kelahiran Pematang Siantar dan Sakti
Alamsjah kelahiran Sungai Karang masih kanak-kanak.
Setelah lulus sekolah dasar di Padang
Sidempuan, karena orang tua tidak sanggup membiayai cita-cita untuk melanjutkan
sekolah yang lebih tinggi (MULO), Parada Harahap mengubah haluan untuk merantau
ke Sumatra Timur. Sulit dibayangkan dengan apa Parada Harahap pergi ke Sumatra
Timur (besar kemungkinan dengan jalan kaki, karena akses jalan belum ada antara
Padang Sidempuan dengan Medan). Di Sumatra Timur melamar sebagai pekerja kebun
dan diangkat sebagai krani (administrasi perusahaan perkebunan). Belum genap
setahun posisi dinaikkan dan membantu dalam urusan akuntansi perusahaan. Parada
Harahap sangat cepat dalam berhitung dan juga memiliki kemampuan linguistic yang
baik. Parada Harahap dapat mengalahkan seorang akuntan Jerman. Namun diantara
tugas-tugas pekerjaannya sebagai krani perkebunan milik swasta tidak tahan
melihat penderitaan para kuli. Rasa iba dan kesadaran berbangsa di tangan kanan
dan jiwa yang memiliki keberanian di tangan kiri, posisi dan reputasinya mulai
dikorbankan. Parada Harahap membongkar kasus kekejaman terhadap kuli dan
menulis laporan dan mengirimkan ke surat kabar Benih Merdeka di Medan. Laporan
ini diolah oleh M. Yunus dan menjadi berita yang menghebohkan di Jawa (setelah
surat kabar local di Jawa melansir artikel itu). Investigasi perusahaan dilakukan
dan akhirnya Parada Harahap terlacak dan kemudian dirinya dipecat. Sejak itu
Parada Harahap hijrah ke Medan dan melamar sebagai wartawan surat kabar Benih
Merdeka dan diangkat langsung menjadi editor tahun 1918. Namun tidak lama,
surat kabar Benih Merdeka dibreidel karena pemimpinya menjadi sasaran tembak
Belanda (karena menjadi pemimpin SI di Medan). Parada Harahap lalu pulang kampong
dan mendirikan surat kabar di Padang Sidempuan dengan nama Sinar Merdeka pada
tahun 1919.
Pada
tahun 1920 Parada Harahap mulai ikut terlibat dalam pergerakan politik dengan
membentuk Sumatranen Bond cabang Sibolga. Setelah beberapa waktu Parada Harahap
hijrah ke Batavia dan tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada
tahun 1924 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena (dengan merektur
editor WR Supratman dari Bandung). Pada tahun 1926 Parada Harahap melakukan
kunjungan jurnalistik ke berbagai tempat di Sumatra dan menerbitkan buku dengan
judul ‘Dari Pantai ke Pantai). Pada tahun ini juga (1926) Parada Harahap
mendirikan surat kabar Bintang Timoer yang langsung tirasnya melejit hingga yang
tertinggi di Batavia.
Sebagai
sekretaris Sumatranen Bond, pada tahun 1927 menggagas dibentuknya supra
organisasi kebangsaan. Rapat yang diadakan di rumah Husein Djajadiningrat
meresmikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia)
yang mengangkkat M. Husni Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sendiri
sebagai sekretaris.
Tiga 'macan' parlemen di Pedjambon, Batavia |
Saat
itu (1927), secara akademik Parada Harahap kalah dibandingkan dengan para
seniornya. Namun secara politik praktis kiprah Parada Harahap tidak ada
tandingannya. Parada Harahap telah memulai sejak lama dengan Benih Merdeka dan
Sinar Merdeka. Secara financial Parada Harahap cukup mumpuni, selain memiliki
tujuh surat kabar juga memiliki usaha di bidang lain dan juga menjadi ketua
sarikat pengusaha (semacam Kadin) di Batavia.
Dua Indonesia Paling Revolusioner |
Dengan portofolio yang tinggi, Parada Harahap
dapat memainkan peran politiknya secara optimal, sebagai seorang yang cerdas,
pemberani, revolusioner, kaya dan punya modal social yang kuat dalam membentuk
networking. Musuhnya hanya satu: Belanda. Parada Harahap tidak punya ‘hutang’
apapun terhadap Belanda. Karena itu Parada Harahap bebas memainkan peran yang
langsung berbenturan dengan kepentingan Belanda. Pada situasi dan kondisi
inilah Soekarno kerap datang dari Bandung ke Gang Kenari (Kantor PPPKI)
bertandang dan berdiskusi dengan Parada Harahap. Keduanya memiliki visi dan
misi yang sama: Indonesia harus bangkit. Keduanya juga jago dalam beretorika
dan memiliki jiwa revolusioner. Pada masa interaksi inilah Soekarno kerap mengirim
tulisannya ke surat kabar Bintang Timoer. Sementara itu, M. Hatta sudah sejak
di Pantai Barat Sumatra dikenal Parada Harahap sebagai aktivitas pergerakan
sebagai anggota muda di Sumatranen Bond. Inilah alasan mengapa hanya ada tiga
foto yang terpampang di kantor PPPKI: Selain Soeltan Agoeng, juga ada Soekarno
dan M. Hatta.
Trio pertama pemimpin Indonesia |
Parada
Harahap semakin disorot oleh para petinggi Belanda dan selalu diincar oleh
polisi dan intel Belanda. Namun semua tuduhan atau delik pers Parada Harahap
lolos. Simak berikut ini:
Soerabaijasch handelsblad, 03-01-1931: ‘Kami
selalu melihat dia (Parada Harahap) sebagai orang ‘putaran suara’. Mungkin dia
memiliki gagasan bahwa ia seperti lingkaran memiliki jumlah tak terbatas sisi.
Direkturnya, yang giat Parada Harahap, yang populer disebut ‘Batavia Paradepap’
yang memiliki banyak delik pers sebagai pemimpin Bintang Timoer’.
De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada
Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap
dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih
hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer,
Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan kepada Parada Harahap bahwa ikut bertanggungjawab karena iklan itu
menjadi pendapatannya (sumber penerimaan). Parada menjawab: ‘Bagaimana saya
bertanggungjawab?’. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’. ‘Iya betul,
tapi saya hanya bertanggungjawab untuk bagian jurnalistik’, jawab Parada
Harahap enteng lalu menandaskan, ‘bagian administrasi bertanggungjawab untuk
iklan’. Polisi terus mencecar: ‘Ah’, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju
bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak
bertanggung jawab?’. Parada Harahap spontan menjawab: ‘Oh, kalau soal itu
tanggungjawab saya’.
Parada
Harahap sebagai pejuang pers, merasa tidak cukup dengan hanya ada PPPKI
(sebagai sekretaris) dan meski MH Thamrin juga telah membentuk Dewan Pers
(kasus Soetomo yang terus di serang pers Belanda). Parada Harahap lalu
menggalang kekuatan lewat para wartawan untuk mendirikan sarikat wartawan.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris, jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang, Pak
Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: "Jurnalisme dan pengembangan bisnis
surat kabar"; Haji (Agus) Salim akan berbicara pada "Jurnalisme dan
kode etik; RM Soedarjo tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis:
‘Jurnalisme dan kehidupan sosial’; Saeroen, Siang Po: ‘Jurnalisme dan gerakan
rakyat’ dan Parada Harahap: "Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor
Soeara Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi
wartawan dibentuk dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap
sebagai sekretaris dan (merangkap) bendahara. Komisaris adalah Bakrie, Yunus dan Koesoemodirdjo’.
Parada
Harahap bukan asing dalam soal urusan bersarikat di bidang pers. Parada Harahap
pada tahun 1918 di Medan pernah mendirikan sarikat wartawan yang merupakan
gabungan pers pribumi dan pers Tionghoa untuk membendung tekanan pers Belanda.
Setelah 13 tahun, Parada Harahap membentuk lagi sarikat wartawan. Alasannnya
selalu sama: melawan pers Belanda. Hal yang sama juga: Parada Harahap selalu
menyertakan Tionghoa. Itulah Parada Harahap, nasionalis yang musuhnya hanya
satu: Belanda.
Meski
di satu sisi Parada Harahap selalu disorot pers Belanda dan menekannya, namun
di sisi lain pers Belanda juga cover both side dan memberikan penilaian sesuai
dengan kode etik pers (independen). Sebagaimana pers pribumi, pers Belanda juga
ada paksi-paksinya yang satu sama lain adakalanya memiliki pandangan yang
berbeda.
Soerabaijasch handelsblad, 15-09-1931:
‘Wartawan muda Batak Parada Harahap, direktur dan editor Indonesisch
nationalist meskipun ia mungkin dalam berbagai artikel mencerahkan bagi
nasionalisme untuk hari yang akan datang, dia berada di atas semua realis. Dia
melakukan, tanpa menjauhkan apa yang disebut orang Prancis il prend son bien öu
il le trouve. Dia dengan senang hati merekomendasikan contoh Barat saat ia
menemukan berguna, dan memuji dan menghargai dimana ia menemukan sesuatu untuk
memuji dan menghargai, bahkan jika itu adalah dengan orang Eropa. Singkatnya,
ia praktis dan turun ke bumi dan karena itu sangat dibenci dan kadang-kadang -
dengan permukaan cemburu pada perusahaannya yang berjalan dengan baik - dibenci
oleh orang-orang mabuk nasional. Yang menyebut dirinya nasionalis, tapi kutukan
dan berkampanye untuk melukai dia. Ada banyak kebencian, persaingan dan
kecemburuan dan disebut beberapa kejanggalan dan bertindak tidak sopan di
pihaknya’.
Tidak
hanya Parada Harahap, tokoh-tokoh revolusioner lainnya juga ditekan oleh
polisi/pemerintah Belanda. Surat kabar diawasi dan dibreidel. Tokoh politik
diawasi dan sewaktu-waktu dapat ditangkap. Sukarno selepas dari penjara belum
menentu sikap permanen, masih berpikir keras. Parada Harahap juga terus
berpikir agar tegak percaya diri, proses kebangkitan bangsa tetap berjalan dan
mampu berjalan lebih cepat agar segera terwujud kemerdekaan.
Parada Harahap tidak memiliki hutang kepada
pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap bertahun-tahun
‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan kali dipanggil ke
meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali harus masuk
penjara.
Parada
Harahap meretas jalan melihat di timur negeri Sakura. Parada Harahap telah lama
menutup diri dan membelakangi di sebelah barat Negara Ratu di Belanda. Undangan
ke Jepang, sesama Asia jelas menantang. Parada Harahap memutuskan secara sadar
konsekuensinya dan membuat gebrakan, bersedia melakukan perjalanan misi ke
Jepang. Suatu misi berskala internasional, suatu misi pribumi yang jelas keluar
dari mainstream orang-orang pribumi.
De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pemimpin surat
kabar Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap akan berangkat 7 November disertai
sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombongan akan kembali melalui
Manila’. [Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang ‘wisata’ ke Jepang
sebanyak tujuh orang. Diantarnya tiga wartawan, satu orang guru, satu
orang kartunis, dan dua pengusaha
(Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar (Jawa)].
Mesir
dan Jepang adalah Negara berdaulat. Oleh karenanya, kedua Negara ini memiliki
hubungan diplomatik dengan Nederlansch Indie (Hindia Belanda) yang dikuasai
oleh Pemerintah Kolonial. Motif Jepang mengundang ‘delegasi’ pribumi ke Jepang
kemungkinan besar karena alasan bisnis dan politik Asia. Sebaliknya, kedatangan
delegasi Mesir ke Nederlansch Indie karena alasan kerjasama budaya (utamanya
keagaaman dan pendidikan Islam).
De Sumatra post, 08-11-1933 (national
dinner): ‘Pada tanggal 8 di rumah Mr. Thamrin diadakan jamuan makan malam untuk
menghormati Komisi Mesir. Yang hadir adalah atas nama Liga Bupati (Bond van
Regenten) yang dipimpin Mr. Soejono; atas nama Vereeniging dari Akademisi, Dr
Soeratmo dan Dr Ratulangi; atas nama Nationale Fractie, Mochtar dan
Soeangkoepon; atas nama pers berbahasa Melayu, Mr Parada Harahap; dan atas nama
masyarakat Arab, Mr Alatas’.
Sementara
itu, Sukarno, sekali lagi tidak menentu, malahan setelah ditangkap justru ingin
keluar dari dunia politik (dan juga keluar dari Partindo). Konsolidasi di tubuh
Partai Indonesia tampaknya tidak berhasil. Meski Sukarno telah memilih Partai
Indonesia (selepas dari penjara) sebagaimana diucapkannya pada Kongres PPPKI
yang baru berlalu, tetapi dalam kenyataannya Sukarno harus keluar dari Partai
Indonesia. Apakah Sukarno semakin gamang setelah kali kedua Sukarno ditangkap?
De Sumatra post, 21-11-1933: ‘Sukarno keluar
dari politik. Batavia, 21 November (Aneta). Dewan Utama Partai Indonesia
mengumumkan bahwa telah menerima surat dari Soekarno, di mana ia mengumumkan
bahwa ia pensiun dari gerakan politik. Dia juga menyebut bahwa Sukarno juga
keluar sebagai anggota Partai Indonesia, yang permintaan itu dipenuhi oleh
Chief Executive. Keputusan Sukarno dan juga atas pengunduran diri Gatot
Mangkoepradja sebagai Kepala Badan, Dewan Eksekutif terdiri saat ini sebagai berikut:
Ketua: Mr. Sartono, Wakil ketua Amir Sjarifoedin dan bendahara: Soewirjo.
Sekretaris pertama: Njonoprawoto, Sekretaris kedua Soleman. Dewan: Sidik
Djojosoekato, Djauhari Salim dan Toembel’.
Akhirnya
Parada Harahap berangkat dengan rombongan ke Jepang. Inilah saat pertama muncul
politik luar negeri Indonesia ketika anak-anak pribumi bekerjasama dengan
Jepang. Selama ini gerakan politik anak-anak pribumi hanya terbatas politik
dalam negeri (di dalam lingkup Nederlansch Indie dan Nederland). Ini ibarat
anak-anak pribumi dipaksa harus memilih: blok barat (Nederland/Europe) atau
blok timur (Japan/Asia). Parada Harahap (senior/jurnalistik) dan Mohamad Hatta
(junior/mahasiswa) memainkan peran penting. Parada Harahap tidak punya hutang
terhadap Belanda, maka pilihan Parada Harahap tidak ada pilihan harus menjalin
aliansi dengan Jepang.
Mohamad
Hatta juga tergolong tidak punya hutang terhadap Belanda, namun seperti
lazimnya anak-anak pribumi yang mendapat pendidikan dari guru-guru Belanda (di
Nederlansch Indie atau Nederland) cenderung berkolaborasi (ingin kesetaraan)
tetapi, Hatta tampaknya sedikit melenceng dan lebih revolusioner dibanding yang
lain dan sudah terang-terangan ‘ogah’ sama Belanda dan masih ‘mikir-mikir’
berkolabari dengan Jepang. Parada Harahap dan Mohamad Hatta menjadi sisa dua
pribumi revolusioner yang menjadi pusat perhatian intel/polisi di Hindia
Belanda (Sukarno telah diasingkan ke Flores).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-11-1933 (Gratis Reisje. Inlanders naar Japan): ‘Dua jurnalis, satu dealer dan satu guru telah meninggalkan Priok dengan kapal Jepang, Nagoya Maru yang dipimpin Mr. Parada Harahap, editor dari Bintang Timoer. Disamping itu, seorang
mahasiswa jurnalis akan tiba di Jepang secara terpisah untuk merekam situasi
politik dan ekonomi, di Jepang’.
De Gooi- en Eemlander : nieuws- en
advertentieblad, 28-11-1933: ‘Hatta, yang dikenal sebagai ‘Gandhi Indonesia’
disambut di Jepang, pergi ke sana untuk mendapatkan hubungan Commerciale.
Sekarang pergi ke Jepang sebagai tokoh politik muda’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-12-1933: ‘Inlanders ke Jepang. Aneta-Iwaki mentransmisikan tanggal 4 kelompok yang dipimpin oleh direktur BintangTimur, Mr. Parada Harahap, telah tiba di Kobe’.
Parada
Harahap saat ini dapat dianggap sebagai ‘menteri luar negeri’ Indonesia yang
membuka ruang bagi tokoh-tokoh penting lainnya, utamanya Soekarno, Hatta dan
Amir. Parada Harahap hanya berpendidikan formal sekolah rakyat (SD), tetapi
semangat belajar sangat luar biasa (otodidak).
Setali tiga uang, adik ‘dongan sahuta’ Parada
Harahap pada nantinya, Adam Malik (keduanya kebetulan pernah penghuni tetap
penjara Padang Sidempoean) yang hanya sekolah menengah pertama (SMP) akan
menjadi menteri luar negeri (sesungguhya) ketika membuka ruang bagi tokoh-tokoh
lainnya seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan JB Soemarlin.
Dari
tujuh anggota rombongan ke Jepang sesungguhnya komposisinya sangat unik.
Seperti kata pers Belanda mengapa tidak ada unsur pemerintah. Ternyata ketujuh
orang itu adalah ‘pemerintah’ mewakili rakyat Indonesia. Parada Harahap adalah
sekretaris PPPKI (cikal bakal pemerintahan Indonesia). Masing-masing anggota
memiliki fungsi ganda: Parada Harahap (wartawan revolusioner, pengusaha sebagai
ketua Kadin Batavia dan pengurus PPPKI); Abdullah Lubis (wartawan, Direktur
Pewarta Deli, mantan anggota dewan kota Medan, mewakili daerah); M. Hatta
(akademisi sarjana ekonomi, pengurus organisasi mewakili pemuda/pelajar di luar
negeri).Empat orang lagi berlatar belakang guru (Bandung), penguasaha perdagangan
(Batavia), pengusaha manufaktur (Pekalongan) dan seorang pelukis/fotografer
(Solo). Parada Harahap awalnya mengajak Sukarno, tetapi Sukarno sendiri sedang
memiliki banyak masalah dalam hubungannya dengan konsolidasi partai (Partai
Indonesia), apalagi dirinya baru keluar dari penjara (lebih hati-hati).
Ini
tahun 1933. Parada Harahap saat ini menjadi pusat perhatian intel dan
pemerintah kolonial Belanda. Semua koran berbahasa Belanda di Nederlansch Indie
(Indonesia) menyajikan berita dan opini tentang Parada Harahap. Koran-koran
yang terbit di Nederland (Belanda) juga tidak ketinggalan menyorot Parada
Harahap. Sebab tokoh sentral Parada Harahap dalam hal ini bukan soal Inlander
vs Moderlander lagi, tetapi sudah berada pada level Asia vs Eropa (head to
head). Dari sisi pers, Parada Harahap telah membuat pers Belanda tampak heboh
dan gaduh.
Dulu, tahun 1925, Parada Harahap pernah
menyerang pers Belanda (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Kala itu, hanya
Parada Harahap yang berani perang terbuka dengan pers Belanda. Sekarang, sepak
terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers Belanda.
Di dalam kegaduhan pers Belanda tersebut, Parada Harahap tengah berada di atas angin. Angin yang berhembus ke arah timur. Entah ada kaitan atau tidak mengapa pula koran Parada Harahap diberi nama Bintang Timoer (sebelumnya korannya bernama Bintang Hindia). Bintang Timoer (Parada Harahap) vis-à-vis Matahari Terbit (Jepang).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian pemerintah. Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di tempat lain, di belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas mereka, dan mereka seharusnya
telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan [salah satu Parada Harahap],
seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta] dan mahasiswa adalah
penamaan orang sebuah ‘commissionnal’. Apakah Anda punya jawaban yang memuaskan
untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang menyatakan baik di
meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara (ini tidak
dikonfirmasi) Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin membantu
membangun hubungan antara masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain maka kita
ingin (adat) masyarakat di Jawa di negara Anda dapat terhubung. Selanjutnya,
berbicara tentang jutaan Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang harus Parada
Harahap dapat dilakukan. Terbaik melalui pers Melayu Karena Pemerintah
Nederlandsche juga Hindia Belanda dan untuk kepentingan mereka mewakili
Pemerintah Jepang melalui duta besar untuk Tokyo, Parada Harahap memberikan
jaminan pada penciptaan hubungan harmonis antara bangsa-bangsa (sic) dari Jawa
dan Jepang meskipun penting untuk melakukan, namun maksud terselubung dari
seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini komite perdagangan tidak ada pejabat,
adalah murni pribadi, agak transparan, hobi. Dan bahkan jika beberapa ‘acara
resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan misi dagang untuk membuat hubungan
ramah antara masyarakat’.
Parada
Harahap adalah simpul pergerakan politik Indonesia. Di satu sisi Parada
Harahap, revolusiner memiliki track record yang konsisten melawan Belanda, di
sisi lain, Parada Harahap adalah pemilik portofolio paling tinggi di mata orang
Jepang. Di Jepang, posisi sosialnya dinaikkan menjadi The King of the Java
Press. Saat ini, Parada Harahap memimpin Bintang Timoer di Batavia (Jawa Barat)
dengan edisi daerah di Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah).
Disamping itu Parada Harahap juga memiliki surat kabar berbahasa Belanda,
Volkscourant. Total Parada Harahap memiliki lima media.
Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in
Japan: The King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di
Jepang. Dan ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada
Harahap dari Bintang Timoer dan partainya dari atas tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik
mereka dan dengan demikian sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh,
yang merupakan kunjungi lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan
apa pun, sehingga sekuat mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang
begitu mahal dapat memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi
Perwakilan Comirercial dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk
agen batik diizinkan berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo
Ishiwara, ‘general manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe.
Berkenaan dengan tujuan kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers
Jawa, Mr. Parada Harahap, yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya
Bintang Timoer, berbicara bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan
menikmati tempat-tempat terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke
pemimpin lingkaran perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan
pembentukan hubungan persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada
Harahap juga murah hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan
melakukan sendiri benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang
untuk mengenal negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik
kemudian ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang
Jepang sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam
sebuah buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan
singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali
waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia
Parliamentary Party’.
De Indische courant, 29-12-1933 (Harahap in
Japan: The King of the Java Press): ‘Sudah pergi, sebagai salah satu di
kalangan luas di negeri ini, dengan perusahaan dari editor kepala Bintang
Timur, ParadaHarahap yang membuat perjalanan ke Jepang, menurut Java Bode.
Tampaknya dari majalah Jepang terbaru adalah perusahaan menerima enam ini ke
Kobe dengan kehangatan dan kehormatan, yang jauh melebihi pentingnya
orang-orang yang bepergian. Bahkan pers - atau tampaknya - telah datang dari
pria terkesan. Kita mengatakan tampaknya karena kemungkinan tidak dikecualikan
bahwa Jepang berguna mulai kunjungan sebagai kesempatan untuk mengambil di
Hindia Belanda, yang mereka dapat menghasilkan saja. The Osaka Mainichi, sebuah
majalah yang memiliki sirkulasi tetap terhadap jutaan, Parada Harahap
menggambarkan sebagai ‘Raja pers Java’. Dia adalah kepala dari lima surat kabar
pribumi, termasuk Bintang Timur. "Kami ingin membangun antara masyarakat
Jepang dan Jawa hubungan baik dan untuk tujuan kita berniat, yang Anda
inginkan. Jasa Jawa Pers Jepang akan melakukannya dengan baik untuk membuat
dirinya dimengerti oleh jutaan orang baik di Jawa, dan ini mungkin - kami
percaya - capai melalui pers. Ada saat ini 240.000 orang Eropa di Jawa dan
sebagian besar dari mereka dapat berlibur di Eropa tidak mampu, karena ada
hambatan harga tinggi dan perjalanan panjang. Jepang adalah posisi yang sangat
menguntungkan untuk menarik pekerja keras Eropa, yang memiliki kebutuhan
liburan, untuk dirinya sendiri. Hal ini sangat disayangkan bahwa, meskipun di
Jawa banyak yang diketahui tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial dan
atletik di Eropa, pada saat ketika orang-orang sedikit yang diketahui tentang
Jepang dan ini adalah Jepang sendiri dalam ukuran kecil yang bertanggung jawab
karena saya takut bahwa itu adalah pertukaran berita tentang kehidupan di
Jepang dan Jawa diabaikan. Saya bersedia bertukar berita dengan Jepang seluas
mungkin untuk menyebar. Saya berencana untuk menulis buku tentang Jepang. Saya
hampir tidak bisa berharap untuk mencapai perjalanan, tujuan saya tapi rencana
saya untuk kembali ke Jepang pada saat cherry blossom sebagai anggota dari
Indonesia Parliamentary Party’.
Berita
ini juga dilansir De Sumatra post yang terbit di Medan. Oplah De Sumatra Post
di Padang Sidempoean cukup tinggi. Parada Harahap sangat terkenal di Padang
Sidempuan yang mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di kota itu pada tahun
1919.
Parada
Harahap berangkat ke Jepang pada kunjungan pertama (7 November) hanya dilirik
pers Belanda sebagai berita kecil. Kini, setelah Parada Harahap pulang, pers
Belanda matanya mulai terbelalak.
Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1934 (De
Javasche Perskoning. Keert terug.): ‘Dengan kapal ‘Panama Maru, yang hari Sabtu
kapal diharapkan merapat di Tandjong Perak, akan kembali Mr. Parada Harahap,
Editori Chief dari Bintang Timoer, yang selama tinggal di Jepang memiliki kesan
menjadi poster sebagai tokoh jurnalieme
Hindia Belanda. Kapal meninggalkan hari berikutnya ke Batavia, belum diketahui
apakah di sini The King of Java Press akan pergi ke darat dengan Panama Maru
atau akan terus berlanjut ke Batavia’.
Parada
Harahap dan rombongan tiba kembali di tanah air. Tidak langsung ke Batavia,
melainkan turun di Surabaya. Ini bukan tanpa scenario. Untuk melihat situasi
dan kondisi dipilih turun di Surabaya. Alasannnya logis, Surabaya adalah
kampong halaman Sukarno dan Soetomo. Tapi bukan karena itu, tapi di Surabaya
sudah lama tinggal Dr. Radjamin Nasution. Saat itu Radjamin Nasution adalah
anggota dewan kota (gementeeraad) Surabaya, mantan kepala bea dan cukai
Tandjong Perak. Radjamin Nasution adalah ketua Sarikat Pekerja pelabuhan
Tandjong Perak. Sebagaimana diketahui, Tandjong Perak adalah pelabuhan tujuan
utama kapal-kapal Jepang. Jika sewaktu-waktu ada penangkapan polisi Belanda,
Parada Harahap akan mudah berlindung.
De Indische courant, 13-01-1934 (Parada
Harahap. Kembali dari Jepang. Wawancara): ‘Wartawan pribumi Mr. Parada Harahap telah tiba disini
pagi ini dengan Panama Maru dari Osaka Shosen Khaisa. Dia tinggal di sini
selama beberapa hari, dan kemudian ke Batavia. Mr. Parada memiliki lima surat
kabar pribumi, di Batavia dan Bandung. The "Bintang Timoer", yang Mr
Parada kepala redaksi majalah adalah yang terbesar dan paling penting. Dari
tujuh, dua warga Indonesia di Jepang tertinggal di belakang, agar sana untuk
membuat kemajuan dalam belajar untuk universitas; baik belajar dalam kimia.
Kelompok, yang mencakup seorang guru dan seorang apoteker yang diam di Jepang
selesai sekitar satu bulan program ke Tokyo. Tapi itu bukan maksud Bapak
Parada, hanya untuk dilihat, industri besar apa yang ia harus tur hanya Pabrik
mobil, pesawat terbang, dll. Dia ingin melihat negara dengan mata kepalanya
sendiri, juga membuat studi tentang perusahaan-perusahaan kecil, termasuk di
bidang pertanian hortikultura dan daerah peternakan. Di sana mereka punya di
Hindia lagi. Bahwa Jepang barang manufaktur sangat murah adalah dongeng. Barang
yang diproduksi di semua rentang harga murah. Setiap negara akan menerima
barang, yang bisa berada di sana. Disimpan jadi itu akan membuat akal untuk
Jepang, di HIndia kini menjejalkan dengan barang-barang mahal. Populasi mereka
tidak bisa membayar. Memang semakin mahal dan karena itu pergi barang yang
lebih baik ke Amerika dan Eropa. Essentials untuk Jepang adalah bahwa ada pasar
untuk itu. Dan itu saja. Jepang masih lebih murah menghasilkan mereka, daripada
sebagian besar negara di dunia. Sebuah kecenderungan tertentu untuk Mr Parada
telah membuktikannya. Upah rendah, metode untuk geperfectionneerd secara rinci,
tingkat yen rendah. Harga jual juga rendah. Oleh karena itu, barang-barang Jepang
terbang ke luar negeri. Dua yen secara kasar setara dengan emas. Jepang
bertujuan untuk segalanya untuk mengepung Eropa. Pendidikan adalah baik-baik
saja, menemukan satu universitas besar, yang memberikan yang terbaik profesor
mengajar. Bahwa lembaga pendidikan tinggi yang disimpan di bangunan yang indah
dan dilengkapi dengan cara yang paling modern perpustakaan luas dengan buku
dalam semua bahasa. Pengajaran bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa
tahun terakhir. Setiap Jepang yang pergi ke luar negeri, diperbolehkan untuk
mengajar bahasa Negara tujuan. Dengan demikian, ada dua orang Indonesia di
Jepang, salah satu dari Hindia Belanda, yang lain dari Singapura, yang mengajar
dalam bahasa pribumi. Dengan demikian, Mr Parada Harahap mengatakan kepada kami
beberapa hal dari kesan-kesan. Dia yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal dapat
belajar banyak Jepang. Asli dari negara yang dapat belajar untuk menusuk, untuk
menjadi aktif dan berkembang. Besar motivasi diri adalah hand. Hal ini
hoognoodig baginya, dia tidak mendapatkan di belakang dan di bawah tekanan. Mr
Parada mengatakan kepada kami akhirnya bahkan sebagian, bahwa ia akan
menunjukkan. Tayangannya dalam artikel dan dalam bentuk buku. Buku yang ditulis
dalam bahasa Melayu muncul sekitar bulan April sebagai terhadap waktu yang
sama, sebuah kelompok kedua Indonesia akan berangkat ke Jepang’.
Setelah
rombongan Parada Harahap ke Jepang ini kelompok kedua dilaporkan akan berangkat
ke Jepang. Namun ini ternyata tidak jadi (tidak terdeteksi dalam surat kabar).
Kunjungan yang mirip justru ketika Jepang dikabarkan menyerah kalah dari
sekutu, 1945. Sukarno dan Hatta berangkat ke Saigon untuk menemui atas undangan
petinggi pemerintah.militer Jepang di Asia Tenggara. Kunjungan Sukarno dan
Hatta tersebut dalam kaitannya dengan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Parada
Harahap yang datang dari pers merdeka, wartawan revolusioner yang kini pemilik
lima surat kabar, yang juga ketua kamar dagang dan industri pribumi, ketika
pulang dari Jepang berjalan dengan tegak. Wartawan dari pers Belanda
mewawancarai Parada Harahap. Inilah kali pertama pers pribumi revans terhadap
pers Belanda. Koran-koran di Belanda menurunkan laporan tentang Parada Harahap,
diantaranya De Telegraaf (edisi 29-01-1934), Het Vaderland: staat-en
letterkundig nieuwsblad (edisi 29-01-1934), De banier: staatkundig gereformeerd
dagblad edisi 16-02-1934, Algemeen Handelsblad edisi 14-02-1934, De tribune:
soc. dem. Weekblad edisi 15-03-1934 dan koran-koran lainnya.
Untuk
mendapat cover both side, wartawan Belanda harus sibuk pula menerjemahkan
koran-koran berbahasa Jepang yang terbit di Jepang, seperti Osaka Mainichi,
Tokyo Nichi Nichi dan lainnya. Algemeen Handelsblad merangkum isu Parada
Harahap sebagai keprihatinan terhadap pemerintah Belanda. Pers di Belanda Mulai
Khawatir Keberadaan Bangsa Belanda di Indonesia.
Algemeen Handelsblad, 14-02-1934 (Onze Oost
Japans Politike Belansg-Stelling. Meer aandacht gevraagd): ‘Ada juga diantara
para pemimpin gerakan masyarakat adat untuk kepentingan Hindia Belanda di
Jepang, negara Oriental, begitu luar biasa dalam waktu singkat, Westersch
begitu luar biasa mampu untuk berbelanja dan jangan ragu untuk melemparkan
dirinya sebagai juara Asia dan masyarakat. Perjalanannya telah menarik banyak
minat di kalangan pribumi dan disebut akan, seperti yang telah dilaporkan,
waarschijniyk diikuti oleh orang lain. kepentingan para pemimpin pribumi kami
untuk Jepang didorong oleh serikat "Kaigai Kyolky Kyokai," serikat
membuat propaganda untuk tujuan oleh Jepang, yang berbasis di Hindia. Seorang
wartawan Jepang menulis tentang dalam lembar Maleisen, termasuk yang berikut:
Serikat yang akan. segera memulai pendirian pesantren untuk kepentingan
mahasiswa asing. Persiapan ini sudah hampir selesai. Biaya per bulan per siswa
diperkirakan sekitar 50 yen (25 gulden). Ini akan dibangun sekolah menengah
pertanian, sekolah perdagangan, sekolah teknik. Pada saat ini, menurut
wartawan, satu telah berada di Tokyo beberapa mahasiswa dari Hindia. Pada yang
terakhir Pan-Aziëeongres telah berbicara termasuk Sumatera, beberapa Gaoes
bahwa kursus dalam bahasa Jepang. Saya minta maaf - demikianlah wartawan, bahwa
ada begitu sedikit disebut mahasiswa Hindia, baik untuk kepentingan kemajuan
Indonesia seperti untuk memperkuat persahabatan antara negara-negara Asia.
Dianjurkan untuk mengirim sebanyak mungkin orang-orang muda ke Jepang. Mengapa
hal ini menguntungkan untuk pergi ke Jepang tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Posisi Jepang di Dunia Dikenal. Mengenai ilmu, seperti astronomi, listrik,
kedokteran, teknik, djiudjitsu, dll Jepang adalah No. 1 di dunia! Hindari
propaganda ini Hindia tidak bisa meninggalkan acuh tak acuh. Dan meskipun kita
tidak tahu bahwa di balik sutra Jepang mengintai kebijakan luar negeri resmi
atau tidak resmi, kasus apapun, itu yakin bahwa kepentingan pribumi yang
tertarik untuk Jepang, sebuah tahanan politik. Satu dapat sekitar mereka
berbicara dan mengatakan bahwa ada interpretasi lain. Kami sangat menghormati
tenaga kerja dan warga negara berada di bawah pemerintah pansche dan
orang-orang Jepang, tapi di situlah letak bahaya, menyerukan Jepang sendiri dan
bagi lingkungannya, bahwa yang terbaik adalah secara terbuka mendiskusikan.
Jika Jepang memang untuk perdagangan dengan Hindia Belanda adalah
mengembangkan, maka seharusnya tidak menggoda dengan para pemimpin terisolasi
vftnjer gerakan masyarakat adat, tapi kehormatan ini untuk semua sentuhan mengacu pada jalur
resmi’.
Kekhawatiran
pers di Belanda jelas punya alasan. Parada Harahap dan rombongan adalah satu
hal, hal yang mendukung pergerakan politik Indonesia. Hal lain adalah bahwa
Jepang adalah Negara yang jauh lebih maju dibanding Belanda. Indonesia dan
Jepang yang sesama Asia akan menarik garis perbedaan antara barat dan timur.
Trio Baru: Soeharto, Hamengkubuwono dan Adam
Malik
Trio
Indonesia pertama telah lama berlalu. Semasa pemerintahan Soekarno sesungguhnya
ada trio lainnya, yakni: Ir. Sukarno, Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mr.
Arifin Harahap, tiga orang yang terbilang lama berada di kabinet (orde lama).
Satu orang lagi tokoh berpengaruh di era Soekarno adalah Zainul Arifin Pohan
(yang tertembak di sisi Sukarno).
Kini, muncul tiga tokoh baru yang akan cukup
lama berada di kabinet (orde baru) yakni: Suharto, Adam Malik Batubara dan
Hamengkubuwono. Kabinet Ampera I, berakhir 11 Oktober 1967.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar |
Mungkin banyak yang bertanya-tanya: Mengapa
Sukarno cukup setia terhadap orang Tapanuli? Demikian juga, mengapa Suharto
cukup setiap terhadap orang Tapanuli? Jawabnya, karena orang Tapanuli termasuk
yang setia terhadap Republik Indonesia. Pada saat RIS, hanya dua daerah (tanpa
pernah melakukan pemberontakan) yang masih setia terhadap Republik Indonesia
yakni Jawa Tengah (termasuk Jogjakarta) dan Tapanuli. Inilah dua sisa wilayah
Republik Indonesia sebelum muncul istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) sebagai harga mati. Sukarno dan Suharto tidak hanya menjunjung
tinggi NKRI tetapi juga bagaimana mempertahankannya dari kaum penjajah. Sukarno
merebut Irian Barat (komando Jenderal Abdul Haris Nasution) dan Suharto merebut
Timor Timur (komando Mayjen Maraden Panggabean).
Abdul
Haris Nasution adalah orang sangat setia kepada Ir. Soekarno. Sejak era
Jenderal Sudirman adalah Abdul Haris Nasution yang tidak tergantikan di seputar
Sukarno. Pesaing utama Abdul Haris Nasution kemudian baru muncul yakni Suharto.
Dalam peristiwa G 30 S PKI, Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran
tembak utama. Abdul Haris Nasution selamat dari peristiwa pembunuhan para
jenderal. Ketika, pamor Suharto naik pasca G 30 S PKI, Abdul Haris Nasution
mulai mundur ke belakang.
Tiga tokoh utama pers Indonesia beda generasi |
Mengapa Abdul Haris Nasution begitu sentral
di era Sukarno. Siapa yang mempererat hubungan Sukarno dengan Abdul Haris
Nasution?. Dia adalah Parada Harahap, mentor politik Sukarno dan M. Hatta.
Mengapa pula Abdul Haris Nasution di era Suharto (orde baru) disegani dan
dihormati? Siapa yang mempererat hubungan Suharno dengan Abdul Haris Nasution?.
Dia adalah Adam Malik Batubara. Parada Harahap adalah mentor dari Adam Malik
Batubara di bidang pers dan politik. Diantara Parada Harahap, Abdul Haris
Nasution dan Adam Malik terdapat satu kawan yang memiliki karakter keras yang
cenderung berlawanan dengan penguasa, baik Sukarno maupun Suharto, yakni:
Mochtar Lubis. Mentor pers Mochtar Lubis adalah Parada Harahap, dan mentor
Parada Harahap di bidang pers adalah Dja Endar Moeda. Ketiga tokoh pers tiga
era yang berbeda ini tidak ada yang menandingi pada era masing-masing. Dja
Endar Moeda adalah Radja Persuratkabaran Sumatra, Parada Harahap adalah The King
of Java Press, dan Mochtar Lubis The Musketeer of Internasional Pers.
Tokoh pers Indonesia menurut jumlah berita surat kabar Belanda |
Pada saat Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta
menjadi Presiden dan Wakil Presiden, senior Parada Harahap diserahi tugas besar
untuk memimpin misi ekonomi ke 14 negara di Eropa untuk studi dan menyusun
formulasi rancangan pembangunan ekonomi Indonesia. Inilah untuk kali kedua
Parada Harahap memimpin misi ekonomi pribumi ke luar negeri (yang pertama tahun
1933 ke Jepang dengan mengikutsertakan M. Hatta yang baru lulus sarjana ekonomi
di Belanda). Hasil kunjungan misi ekonomi yang dipimpimpin Parada Harahap pada
tahun 1954 kemudian dirumuskan Parada Harahap dan dibukukan. Judul buku yang
dicetak oleh percetakan Parada Harahap ini diberi judul Rencana Pembangunan
Indonesia Lima Tahun yang diterbitkan tahun 1955. Buku ini dapat dikatakan
sebagai buku Repelita pertama di Indonesia.
Tiga tokoh militer utama di era Soekarno |
Ketika
Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (1952), Parada Harahap
mengakuisisi satu perusahaan Belanda yang menerbitkan surat kabar legendaries:
Java Bode. Surat kabar berbahasa Belanda yang kepemilikannya sudah di tangan pribumi
sejak 1953 banyak memberitakan sepak terjang Sukarno. Inilah bukti persahabatan
yang manis antara Parada Harahap dan Sukarno. Parada Harahap meninggal tahu
1959 yang bersamaan dengan diankatnya Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri
Perdagangan.
Parada
Harahap adalah seorang negarawan. Musuhnya hanya satu: Belanda. Jelang
kemerdekaan, Parada Harahap duduk sebagai anggota BPUPKI. Ketika Presiden
Sukarno berseberangan dengan Mayjen AH Nasution yang menengahi adalah Kol.
Zulkifli Lubis (1954). Sebaliknya, ketika Presiden berseberangan dengan
Zulkifli Lubis, yang menengahi adalah AH Nasution (1957). Anehnya, pada saat
kedua kejadian itu terjadi, dua tokoh penting tidak memihak, yakni: Zainul
Arifin Pohan dan Parada Harahap. Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hizbullah,
sayap kanan Jenderal Sudirman di masa perang kemerdekaan (1946-1949) dan yang
menjadi pemimpin politik NU berteman akrab dengan Sukarno sejak pasca pengakuan
kedaulatan RI (1950). Sedangkan Parada Harahap jauh sebelumnya sudah berteman
akrab dengan Sukarno sejak 1926. Sebagaimana diketahui Parada Harahap adalah
mentor politik dari Sukarno dan M.Hatta.
Tiga pendiri organisasi mahasiswa |
Lantas
siapa mentor Parada Harahap? Dia adalah Radjioen Harahap gelar Sutan
Casajangan, pendiri perhimpunan pelajar Indonesia (Indisch Vereeniging) di
Belanda tahun 1908. Indisch Vereeniging kemudian tahun 1924 menjadi Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) yang diketuai oleh M. Hatta. Sutan Casajangan pulang ke
tanah air 1914, pada saat menjadi guru di sekolah raja di Bukittinggi, Sutan
Casajangan mendirikan surat kabar Poestaha di Padang Sidempuan. Surat kabar ini
kemudian diasuh oleh Parada Harahap bersama surat kabar yang baru, Sinar
Merdeka.
Sebagaimana
diketahui, mentor politik dari Lafran Pane dan Ida Nasution adalah Parada
Harahap. Lafran Pane pada bulan Januari 1947 di Jogjakarta mendidirkan
persatuan mahasiswa di luar kampus yang dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Semenetara pada bulan November 1947 di Jakarta juga didirikan
persatuan mahasiswa di dalam kampus yang diberi nama Persatuan Mahasiswa
Universiteit Indonesia (PMUI) oleh Ida Nasution dan G. Harahap. Ini berarti,
tiga organisasi mahasiswa Indonesia pertama didirikan oleh anak-anak Padang
Sidempuan. Merekalah pionir-pionir pergerakan mahasiswa di jamannya baik untuk
merebut kemerdekaan maupun untuk mempertahankannya.
Mr.
Arifin Harahap sangat terkenal di Negara tetangga di Australia, Singapura dan
Malaysia. Mr. Arifin Harahap sangat dihormati di tiga Negara tersebut, karena
sangat piawai dalam urusan pemulihan ekonomi dan perdagangan dan menjalin kerjasama
yang saling menguntungkan. Di Singapura namanya selalu disebut His Excellency
M. Arifin Harahap.
Adam Malik Batubara sebagai Menteri
Perdagangan juga sangat dikenal di Singapura dan Malaysia. Nama Adam Malik
Batubara tidak hanya dikenal di Singapura dan Malaysia tetapi juga namanya
sangat dikenal di seluruh dunia ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Adam Malik Batubara tidak hanya menggagas dibentuknya ASEAN tetapi juga pernah
menjadi Ketua Sidang PBB di New York.
Dr.
Arifin Siregar adalah Menteri Perdagangan di Era Suharto. Dr. Arifin Siregar
adalah seorang professional di bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan,
seperti BJ Habibie yang dipanggil pulang oleh Suharto. Dr. Arifin Siregar
adalah alumni Belanda yang mendapat gelar doktor (PhD) seperti Dr. BJ Habibie.
Setelah menjadi Gubernur Bank Sentral (Bank Indonesia), Dr. Arifin Siregar
diangkat manjadi Menteri Perdagangan.
Adam
Malik Batubara adalah tokoh penting Indonesia sejak era Sukarno (orde
lama) hingga era Suharto (orde baru).
Adam Malik Batubara adalah garis penghubung antara Mr. Arifin Harahap dan Dr.
Arifin Siregar. Di era Sukarno, Adam Malik Batubara menggantikan Mr. Arifin
Harahap sebagai Menteri Perdagangan dan keduanya cukup lama berada di kabinet.
Pada era Suharto, Adam Malik Batubara juga cukup lama dan cukup lama pula
bersama Dr. Arifin Siregar duduk di kabinet. Adam Malik Batubara tidak
tergantikan posisinya sebagai Menteri Luar Negeri baik di era Sukarno dan era
Suharto. Jabatan prestise Adam Malik adalah pernah menjadi Wakil Presiden di
era Suharto. Di era Sukarno, yang pernah menjabat Perdana Menteri adalah Amir
Sjarifuddin Harahap dan Burhanuddin Harahap.
Tiga tokoh utama lahirnya orde baru |
Indonesia di masa awal hanya terbagi dua era:
Era Sukarno dan Era Suharto. Era Sukarno adalah masa merebut kemerdekaan. Tiga
tokoh utama yang merupakan the founding father adalah Ir. Sukarno, Drs. M.
Hatta dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (yang juga disebut trio lama).
Selanjutnya era Suharto, sebagai masa mengisi kemerdekaan, tiga tokoh utama
yang memulai era pembangunan adalah Suharto, Hamengkubowono dan Adam Malik
Batubara (sebagai trio baru). Ini berarti antara dua era: Sukarno digantikan
Suharto, M. Hatta digantikan Hamengkubuwono dan Amir Sjarifoeddin Harahap
digantikan Adam Malik Batubara. Sebagaimana diketahui Mr. Arifin Harahap adalah
adik kandung dari Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.
Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah
Silsilah tokoh pers Indonesia asal Padang Sidempuan |
Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah pernah sama-sama bekerja di radio
militer Jepang. Pertemanan ketiga orang ini di era Jepang sangat kental. Di
hari tua mereka juga tetap menjalin keakraban. Saat Mochtar Lubis ‘dimatikan’
di era Soekarno, sejumlah pihak mendukung Mochtar Lubis. Tentu saja dua
temannya: Adam Malik dan Sakti Alamsyah.
Selain
mendapat dukungan di pusat (Jakarta), Mochtar Lubis juga mendapat dukung dari
daerah. PWI Bandung melakukan protes dengan melakukan demonstrasi dengan cara
berjongkok dengan tangan di kepala yang di depan kantor PWI Bandung. Sementara
daerah lain masih wait and see.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
04-01-1957: ‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan sensor terhadap Indonesia
Raya, PWI Bandung telah memprotes keras dan melakukan di depan kantor PWI
dengan tangan di kepala dengan
berjongkok sebagai bentuk protes terhadap pemberlakukan hukum pers’.
Dukungan
PWI Bandung ini mudah dipahami karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya
para wartawan yang berafiliasi dengan surat kabar Pikiran Rakyat (yang
didirikan 30 Mei 1950). Kedua, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu
dijabat oleh wartawan bernama Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era
Jepang. Sakti Alamsjah adalah Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang
juga adalah redaktur di radio militer Jepang.
Kedua orang ini berusia sama yang lahir di
tahun yang sama (1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean: Mochtar Lubis
dari Kotanopan yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi, sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok
yang lahir di Sungai Karang, Serdang, Deli.
Ketika
Pikiran Rakyat didirikan di Bandung tahun 1950, Sakti Alamsyah yang menjabat
sebagai Pemimpin Umum, memiliki teman dongan sahuta di Bandung yang bernama
Mangaradja Onggang Parlindungan yang ditunjuk pemerintah untuk menjabat
direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandung sejak 1950. Tugas ini
sebelumnya di Djogjakarta (1946-1949) dijabat oleh Dr. Parlindungan Loebis
(Alumni kedokteran Universiteit Leiden, mantan Ketua PPI Belanda/Eropa dan ex
tawanan Nazi di Jerman).
AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang
Parlidungan adalah alumni Teknik Kimia di Jerman dan Swiss Zurich) yang semasa
agresi militer pertama (1945-1947) bertugas di Jawa Timur dengan pangkat
terakhir kolonel. MO Parlindungan adalah anak dari guru Soetan Martoewa Radja
di Pematang Siantar, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean, adik kelas
Soetan Casajangan (pendiri PPI tahun 1908) dan adik kelas Dja Endar Moeda
(editor pribumi pertama dan pendiri Pewarta Deli, tempat dimana Adinegoro mulai
menjadi editor tahun 1930). MO Parlindungan pension dari PSM tahun 1954.
Setelah pension MO Parlindungan menulis buku yang bersifat kontroversial yang
berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: ‘Terror Agama Islam
Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’.
Dalam perkembangan lebih lanjut, hakim
pengadilan kasus Mochtar Lubis telah diganti. Karena hakim sebelumya telah
diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Adam Malik memprotes Soekarno yang
melanggar konstitusi, sementara Soekarno menganggap Hatta melanggar konstitusi.
Adam Malik yang mantan wartawan meminta Menteri Pertahanan agar Mochtar Lubis
dilepaskan. Adam Malik adalah mentor dari Mochtar Lubis.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-05-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis
ditunda hingga 4 Juni, Sabtu adalah lagi kasus Mochtar Lubis untuk pengadilan
negeri di Jakarta, kali ini untuk yang dijalankan pertama kali oleh Hakim A.
Razak Madjelelo, yang mengambil alih kasus tersebut dari Hakim Maengkom
sehubungan dengan pengangkatannya sebagai Menteri Kehakiman. Sebagai wakil dari
Kementerian Umum, Dali Mutiara tetap sebagai jaksa. Setelah pembukaan sesi,
kata hakim harus menunda pertemuan karena terdakwa Mochtar Lubis sakit hingga 4
Juni. Terdakwa Mochtar Lubis, yang selanjutnya oleh Mr. Dr. Tan Kian Lok sang
pembela, sejak 21 Desember ditahan CPM, di bawah kecurigaan lain, yang terpisah
dari masalah yang ia jawab. Tuduhan terhadap Mochtar Lubis memegang dalam hal
ini seperti diketahui, terkait dengan penerbitan laporan oleh Indonesia Raya,
dianggap menyinggung pemerintah Ali Sastroamidjojo’.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-05-1957: ‘Adam Malik (partai Murba)
menekankan bahwa salah satu formasi nractisch pemerintah, dan tidak boleh
dianggap dari sudut pandang hukum formal. Zicth speaker bertanya, mengapa Anda,
Presiden Soekarno dituduh melanggar konstitusi di hetrckkint Mei; untuk
pembentukan kabinet, sementara buta untuk fakta bahwa mantan Wakil Presiden
Hatta sebelumnya bertindak di luar konstitusi ketika ia harus memimpin kabinet.
Mengenai pembentukan Dewan Nasional menyatakan speaker tujuan itu pemerintah
telah menunjukkan kepercayaan dalam semangat dinamis masyarakat. Speaker
akhirnya memendam harapan bahwa psrsbreidel tidak akan lagi diterapkan, dan ia
meminta menteri pertahanan, melepaskan Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan
Sjaaf (Pemandangan)’.
Peringkat tokoh pers Indonesia dari masa ke masa |
Singkat kata: Sakti Alamsyah, pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung jelas tidak muncul tiba-tiba. Sakti Alamsyah adalah salah satu generasi emas tokoh pers Indonesia yang berasal dari Padang Sidempuan. Mentor Sakti Alamsyah Siregar adalah Parada Harahap, dan mentor pers Parada Harahap adalah Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Untuk sekadar mengingatkan kembali, Dja Endar Moeda adalah editor pertama pribumi (sejak 1897). Ketiga tokoh ini kampungnya saling berdekatan di afdeeling Padang Sidempuan. Dja Endar Moeda (1861-1926) di Kampong Sabungan yang bertetangga dengan Parada Harahap (1899-1959) di Kampung Pargarutan dan Sakti Alamsyah (1922-1983) di Kampung Parau Sorat yang bertetangga dengan Pargarutan .
Afdeeling Padang Sidempuan (Tapanuli Bagian Selatan)
Profil Tiga Tokoh Pers Nasional
|
|||
Uraian
|
Dja Endar Moeda
|
Tirto Adhi Soerjo
|
Parada Harahap
|
Lahir
|
1861
|
1880
|
1899
|
Pendidikan
|
Kweekschool
(1880-lulus 1884)
|
Docter
Djawa School (1894-tidak selesai)
|
Sekolah
Rakyat (1906, sekolah 3 tahun)
|
Pengalaman kerja
|
Guru
di berbagai tempat
|
-
|
Juru
tulis di perusahaan
perkebunan
|
Mulai menulis
|
1887
(Soeloeh
Pengajar)
|
1897
|
1916
(De
Cranie)
|
Mulai editor koran
|
1897
Pertja
Barat
|
1902
Pembrita
Betawi
|
1918
Benih
Mardeka
|
Koran utama (mulai)
|
Pertja
Barat (1900), Pembrita Atjeh (1909) dan Pewarta Deli (1910)
|
Medan
Prijaji (1907)
|
Sinar
Merdeka (1919), Bintang Hindia (1923), Bintang Timoer (1930), Tjaja Timoer
(1938), Java Bode (1950)
|
Jumlah editor media
|
8
|
4
|
20
|
Jumlah pemilikan media
|
8
|
1
|
15
|
Jumlah media bahasa asing
|
2
|
-
|
3
|
Jumlah delik pers
|
2
|
2
|
101
|
Pemilikan media (mulai)
|
1900
|
1907
|
1919
|
Pemilikan percetakan (mulai)
|
1900
|
1908
|
1930
|
Prestasi/julukan
|
Raja
Persuratkabaran Sumatra
|
-
|
Wartawan
terbaik versi Jurnalistik Eropa/Belanda
The
King of Java Press
|
Lama di dunia pers (tahun)
|
29
|
12
|
41
|
Wilayah jurnalistik
|
Padang,
Sibolga, Medan dan Banda Aceh
|
Batavia,
Tjiandjoer, Bandoeng
|
Medan,
Padang Sidempoean, Sibolga, Batavia, Bandoeng, Semarang, Soerabaija,
Bukittting, dan Makassar
|
Jumlah karya (buku)
|
10
|
0
|
13
|
Meninggal
|
1926
|
1918
|
1959
|
Masa hidup (tahun)
|
65
|
38
|
60
|
Aktivitas lain
|
Penulis
buku pelajaran dan pengarang novel, pemimpin jamaah haji
|
-
|
Penulis
buku umum, penulis scenario film, dosen, pejabat pemerintah
|
Organisasi
|
Insulinde
|
Sarikat
Islam
|
Sekretaris
PPPKI dan Anggota BPUPKI
|
Pionir
|
Jurnalistik
pribumi
|
-
|
Pendiri
sarikat wartawan, pendiri kadin, pendiri akademi jurnalistik, pendiri
kopertis, pemulis repelita
|
Penghargaan pemerintah
|
-
|
Bapak
Pers Nasional
(1973);
Pahlawan Nasional (2006)
|
Bintang
Mahaputra Utama
(1992)
|
Keluarga
|
Cucu:
Dr. Ida Loemongga, PhD, perempuan pribumi pertama bergelar PhD di bidang
kedokteran (1932); Mr. Gele Haroen, Resident pertama Lampung
|
-
|
Anak:
Mr. Aida Dalkit, Perempuan pertama ahli hukum di Sumatra (1957)
|
***
Ringkasan Kronologis: Tiga Tokoh Pers Indonesia
|
|||
Tahun
|
Dja Endar Moeda
|
Tirto Adhi Soerjo
|
Parada Harahap
|
1861
|
Lahir di Padang Sidempoean
|
||
1879
|
Masuk Kweekschool Padang
Sidempoen, lulus tahun 1884
|
||
1880
|
Lahir di Blora
|
||
1886
|
Diangkat menjadi guru di Batahan,
Natal.
|
||
1887
|
Editor majalah Soeloeh Pengadjar (terbit di
Probolinggo)
|
||
1894
|
Masuk STOVIA?
|
||
1895
|
Roman Hikajat Tjinta Kasih Sajang
(penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895)
|
||
1897
|
Menulis roman berjudul: ‘Hikayat
Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’
|
||
1897
|
Bulan November diangkat menjadi
editor Pertja Barat di Padang
|
||
1899
|
Lahir di Padang Sidempoean
|
||
1900
|
Mengakuisisi (membeli) Pertja
Barat
|
||
1900
|
Membeli Percetakan
Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer en Co)
|
||
1901
|
Menerbitkan majalah Insulende.
Menerbitkan majalah Tapian Na Oeli |
||
1902
|
Diangkat sebagai Editor Pembrita
Betawi (penerbit/percetakan firma
Albrecht en Co pimpinan Karel Wijbrands)
|
||
1903
|
Membuka percetakan di Medan dan
membentuk klub sepakbola ‘Letterzetters Voetbal Club’
|
Asisten Editor Soenda Berita
|
|
1904
|
Berkunjung ke Bintang Hindia di
Amsterdam (kerjasama media)
|
Soenda Berita (bekerja sama dengan
Koningin- Wilhelmina School)
|
|
1905
|
Menerbitkan surat kabar berbahasa
Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Padang
|
||
1905
|
Didakwa dengan delik
pers dan dihukum cambuk
|
||
1906
|
Menerbitkan surat kabar berbahasa
Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Medan
|
Menikah dengan putri Fatimah, anak
dari Sultan Batjan di Batjan 8 Februari 1906 [15-03-1906 kembali ke Batavia]
|
Masuk sekolah rakyat tiga tahun
|
1907
|
Editornya Sumatraasch Nieuwsblad
di Padang Mr C. van Deutekom didakwa dengan delik pers
|
Menerbitkan Medan Prijaji di
Buitenzorg dan kemudian ke Bandoeng
|
|
1908
|
Editor majalah bulanan militer
(penerbit firma VA van der Ilucht & Co)
|
||
1909
|
Menerbitkan koran Pembrita Atjeh
di Kotaradja (Banda Aceh)
|
Editor Pentjaran Warta (orgaan
voor Boedi Oetomo, afdeeling Batavia). Pada tahun ini BO, Pentjaran Warta dan
TAS berpolemik dengan Douwes Dekker, editor Bataviaasch NBL
|
|
1910
|
Menerbitkan koran Pewarta Deli di
Medan
|
Mei, diasingkan ke
Lampong setelah habis masa hukuman dan September kembali ke Batavia.
|
|
1911
|
Berpolemik dengan pengurus Sarikat
Militer Boemi Poetra
|
||
1912
|
Editor Soeara Keadilan (penerbit
Fortnnadrukkerij). Berpolemik kembali dengan DD dari Bat.NBL.
|
||
TAS, editor Medan Prijaji
tersandung delik pers, dihukum penjara dan diasingkan.
|
|||
1914
|
Direktur dan editor NV Medan Prijaji bermasalah dengan para
kreditornya. Medan Prijaji dijual
|
Merantau ke Deli
|
|
1915
|
Medan Prijaji diterbitkan di kota
Medan oleh anak-anak Padang Sidempoean
|
Editor majalah De Cranie
|
|
1917
|
Membongkar kasus poenali sanctie
di perkebunan
|
||
1918
|
Meninggal dunia pada
17 Agustus 1918 di Batavia
|
Editor Benih Mardeka di Medan
|
|
1919
|
Menerbitkan Sinar Merdeka di
Padang Sidempoan dan merangkap editor Poestaha Padang Sidempoan (terbit sejak
1915)
|
||
1922
|
Masuk organisasi pergerakan pemuda
dan politik
|
||
1923
|
Hijrah ke Batavia dan Editor
Bintang Hindia
|
||
1926
|
Meninggal dunia di
Kotaradja (Banda Aceh) 1926
|
||
1959
|
Meniggal dunia di
Jakarta 11 Mei 1959
|
||
1965
|
Pramoedya Ananta Toer (1965-1979) menulis biografi TAS dan
menyebutnya 'De Pionier’
|
||
1973
|
Diangkat pemerintah sebagai Bapak
Pers Nasional. Makamnya dipindahkan ke Bogor
|
||
1992
|
Dianugerahi tanda kehormatan
Bintang Mahaputra Utama (Kepres No. 48 Tahun 1992).
|
||
2006
|
Dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional
(Keppres RI no 85/TK/2006)
|
||
2015
|
Diapresisi sebagai Kakek Pers
Nasional di Blog ini
|
||
Karya
|
Karya
|
Karya
|
|
·
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat tjinta
kasih sajang’. Otto Bäumer, 1895
·
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat dendam
ta' soedah: kalau soedah merewan hati’. 1897.
·
Dja Endar Moeda. ‘Kitab sariboe
pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’. Insulinde, 1900.
·
Dja Endar Moeda, L.J.W. Stritzko.
‘Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean’.
1900.
·
Dja Endar Moeda. ‘Kitab boenga
mawar: pembatjaan bagi anak2’. Insulinde, 1902.
·
Dja Endar Moeda. ‘Kitab peladjaran
bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’. 1902.
·
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat sajang
taq sajang: riwajat Nona Geneveuva ...’ 1902
·
Dja Endar Moeda. ‘Riwajat Poelau
Sumatra’. 1903.
·
Dja Endar Moeda. ‘Kitab edja dan
pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar’. 1903.
·
Dja Endar Moeda, dan Djamaloedin
(Baginda). ‘Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe
beladjar membatja hoeroef Belanda’. 1904.
|
Tidak
ada
|
·
Melati van Agam (Swan Pen, pseud.
van Parada Harahap). 1923.
·
Dari pantai kepantai: Perdjalanan
ke Soematra October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926 (Parada Harahap). Bintang
Hindia. 1926.
·
Menoedjoe matahari terbit:
perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934 (Parada Harahap). Bintang
Hindia. 1934.
·
Riwajat Dr Abdul Rivai (Parada
Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.
·
Pers dan journalistiek (Parada
Harahap). Handel Mij. Indische Drukkerij. 1941.
·
Vietnam merdeka! (Parada Harahap).
Usaha Penerbit Tintamas. 1948.
·
Sa’at Bersedjarah: Ichtisar dan
Pemandangan jang Didapat dari Persidangan Komite Nasional Indonesia Pusat,
Dilangsungkan di Malang pada Tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947 (Parada
Harahap). Djakarta: NV Gapura. 1951.
·
Kedudukan pers dalam masjarakat
(Parada Harahap). 1951.
·
Ilmu Djoernalistik (Parada
Harahap). Djakarta: Akademi Wartawan. 1952.
·
Indonesia Sekarang (Parada
Harahap). Bulan Bintang. 1952.
·
Toradja (Parada Harahap). N.V.
Penerbitan. 1952.
·
Serba sedikit tentang ilmu pers
(Parada Harahap). Akademi Wartawan. 1952.
·
Industri Eropa dan five year plan
(rentjana lima tahun) pembangunan Indonesia (Parada Harahap). Beringin
Trading Company. 1957.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar