Surat kabar Harian Pikiran Rakyat
Bandung adalah surat kabar legendaries di Bandung. Surat kabar pertama di Bandoeng
adalah Preanger Bode (terbit 1896). Surat kabar Pikiran Rakyat adalah penerus
surat kabar Prenager Bode. Sejarah Preanger Bode (lihat Artikel 17), sejarah
Pikiran Rakyat mari kita lacak. Asal-usul pendirian surat kabar Pikiran Rakyat tidak
pernah ditulis. Untuk itu coba dilengkapi dalam artikel ke-21 ini. Asal-usul pendirian surat kabar
Pikiran Rakyat sangat esensial sebagai pra kondisi mengapa surat kabar Pikiran Rakyat
namanya tetap dipertahankan sejak era Belanda dan mengapa pula tetap merupakan surat kabar utama di Kota Bandung.
Asal
Usul Pikiran Rakyat
Sakti Alamsyah Siregar, pendiri Pikiran Rakyat |
Untuk
mengenang surat kabar Harian Pikiran Rakyat yang sekarang, kita harus memutar
jarum jam ke tahun 1950. Pada bulan Mei 1950, surat kabar Pikiran Rakjat
diterbitkan di Bandoeng. Kelak motto surat kabar baru ini adalah ‘Dari Rakyat,
Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.
Di Djakarta, surat kabar yang memiliki motto
yang sama dengan Pikiran Rakyat adalah Indonesia Raya. Surat kabar yang
mengambil nama dari surat kabar lama Indonesia Raja dan nama lagu kebangsaan
Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR Supratman. Pada tahun 1925 WR Supratman
bekerja sebagai editor kantor berita pribumi pertama, Alpena yang digagas oleh
Parada Harahap.
Surat
kabar Indonesia Raya terbit pertama kali pada 29 Desember 1949 didirikan oleh
Mochtar Lubis dengan kawannya dan yang bertindak sebagai editor adalah Mochtar
Lubis.
Mochtar Lubis dan kawan-kawan mendirikan surat
kabar Indonesia Raya setelah ‘mendapat restu’ dari Adam Malik. Sebab Adam Malik
dan Mochtar Lubis adalah dua orang pertama yang membangun kembali kantor berita
Antara setelah usai perang. Mochtar Lubis juga mendapat restu dari Parada
Harahap, karena sebelumnya Mochtar Lubis bekerja di surat kabar yang dipimpin
Parada Harahap.
Lalu
kemudian di Bandoeng surat kabar Pikiran Rakyat yang mengambil nama majalah yang
pernah terbit di era Belanda bernama Fikiran Ra’jat, pada tahun 1967, wajahnya dimake-up
sedemikian rupa oleh Sakti Alamsyah sehingga penampilan Pikiran Rakyat tetap
elegan hingga ini hari.
Nama surat kabar Bandoeng ini tetap sama
dengan nama di era Djamal Ali (1950-1965) tetapi meninggalkan mottonya dari ‘Mengadjak
Pembatja Berfikir Kritis’ menjadi ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’
(hingga sekarang). Ini bersamaan dengan diperbolehkannya kembali surat kabar
Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis untuk terbit.
Itulah ringkasan
asal-usul surat kabar Pikiran Rakyat yang kita kenal sekarang. Dari Fikiran
Ra’jat oleh Pikiran Rakjat untuk Pikiran Rakyat dengan motto ‘Dari Rakyat, Oleh
Rakyat, Untuk Rakyat’.
Catatan: ‘Fikiran Ra’jat’ ditulis pakai huruf
f dan tanpa huruf k. ‘Pikiran Rakjat’, huruf f telah digantikan oleh huruf p
dan penambahan huruf k. Pikiran Rakyat, hurif j telah diganti dengan huruf y
(ejaan baru).
Fikiran Ra’jat dan Bintang Timoer
Di
Bandoeng, selain surat kabar berbahasa Belanda, Preangerbode, juga telah
bermunculan berbagai media orang-orang pribumi. Fikiran Ra’jat, terbit 1932.
Majalah (periodieken) ini menjadi corong Soekarno untuk menyuarakan pendapat
dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Namun karena sifatnya periodical maka
jangkauannya sangat terbatas di wilayah Bandoeng dan orang-orang pergerakan di
berbagai tempat. Tulisan-tulisan Soekarno di dalam Fikiran Ra’jat tidak
merakyat.
Untuk menyinari tulisan-tulisan Sukarno dan
dapat menerangi cakupan yang lebih luas Sukarno sering mengirim tulisan ke
surat kabar Bintang Timoer di Batavia, surat kabar di bawah pimpinan dan editor
Parada Harahap (terbit sejak 1926). Parada Harahap dan Sukarno sama-sama memiliki
karakter revolusioner dan sama-sama cerdas dalam beretorika (berbicara). Mereka
berdua memiliki chemistry yang sama. Sama-sama tidak ada takutnya. Parada
Harahap memulai tindakan revolusionernya di Padang Sidempuan dengan mendirikan
surat kabar Sinar Merdeka 1919. Selama tiga tahun di kampong halaman (Parada
Harahap, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah) belasan kali dimejahijaukan dan
beberapa kali dibuai di penjara Padang Sidempuan (kelak tahun 1935 Adam Malik
juga penghuni penjara ini).
Pada
tahun 1932 juga, semua majalah dan surat kabar berhaluan nasionalis termasuk
Bitang Timoer, Fikiran Ra’jat dan Indonesia Raja dilarang terbit (De Sumatra
post, 13-06-1932).
Lalu kemudian, di Bandoeng, Fikiran Ra’jat
yang diterbitkan oleh Drukkerij Economie disita (Bataviaasch nieuwsblad, 20-07-1933).
Sejak itu nama Fikiran Ra’jat menghilang. Soekarno juga hilang dari peredaran
karea telah diasingkan ke Flores dan Bengkulu.
Parada
Harahap terus berjuang meski juniornya telah diasingkan. Pada akhir tahun 1933
Parada Harahap memprovokasi Belanda dengan memimpin tujuh orang Indonesia
pertama ke Jepang. Tindakan Parada Harahap ini membuat heboh dan guncang tidak
hanya di Hindia Belanda tetapi juga di Belanda.
Parada Harahap pada akhir tahun 1933 memimpin
tujuh orang pertama Indonesia ke Jepang (selama sebulan termasuk di kapal).
Inisiatif Parada Harahap ini adalah untuk memprovokasi Belanda yang sejak dari
dulu menjadi lawan politik Parada Harahap (Benih Merdeka di Medan, 1918 dan
Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, 1919-1923). Dalam rombongan ini terdapat
nama-nama seperti Abdullah Lubis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan
(saat itu editor dijabat Adinegoro yang sebelumnya sebagai editor di surat
kabar Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap), Juga terdapat seorang pemuda
revolusioner bernama Mohammad Hatta yang baru pulang setelah lulus sarjana di
Belanda. Lalu satu lagi seorang guru revolusioner dari Bandoeng. Atas dasar
itu, peran Parada Harahap saat itu sangat sentral dalam hubungan orang-orang
revolusioner Indonesia dengan perwakilan sipil Jepang di Indonesia. Karena itu,
Soekarno, M. Hatta dan lainnya menjadi padu dengan tokoh-tokoh sipil Jepang di
Indonesia. Dari tiga tokoh pemuda utama di era Belanda yang di bawah mentor
Parada Harahap yakni Soekarno, Hatta dan Amir, hanya Soekarno dan Hatta yang
mau berkolaborasi dengan Jepang. Amir Sjarifoeddin menolak dan terang-terangan menentang
Jepang.
Parada Harahap muncul ke permukaan sebagai
tokoh pergerakan kemerdekaan dengan portofolio tertinggi diawali dengan gagasan
dibentuknya supra organisasi kebangsaan PPPKI (Permoefakatan
Himpoenan-Himpoenan Kebangsaan Indonesia). Supra organisasi ini didirikan tahun
1927 di rumah Husein Djajadiningrat dimana ketua ditunjuk M. Husni Thamrin dan
bertindak sekretaris adalah Parada Harahap. Dalam pertemuan itu juga turut
hadir Mangaradja Soangkoepon, anggota Volksraad. (MH Thamrin dan Firman
Siregar gelar Mangaradja Soangkoepn adalah dua ‘macan’ Volksraad di Pedjambon).
Gagasan Parada Harahap ini diduga muncul dari
Soetan Casajangan, Direktur Normaal School di Meester Cornelis. Soetan
Casajangan adalah mahasiswa kedua yang kuliah di Belanda (1905) dan pada tahun
1908, untuk merespon didirikannya Boedi Oetomo, menggagas didirikannya
organisasi pelajar (disebut Indisch Vereeniging) di Belanda yang mengambil
tempat di rumahnya dan Soetan Casajangan sendiri yang menjadi Presiden. Yang
menjabat sekretaris Indisch Vereeniging adalah Husein Djajadiningrat dan
bendahara Soetan Goenoeng Moelia. Satu lagi nama di belakang Parada Harahap
adalah Dr. Abdul Rivai (orang yang menerima kedatangan Soetan Casajangan di
dermaga Amsterdam tahun 1905) yang saat itu bekerja sebagai editor majalah
berbahasa Melayu Bintang Hindia yang terbit di Leiden. Pada tahun 1923, ketika
hijrah ke Batavia Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia bersama
Abdul Rivai. Kongres Pemuda 1928 di bawah perlindungan PPPKI, dimana pelindung
utama adalah Parada Harahap (yang juga ketua Kadin pribumi Batavia) dan
bendahara kongres adalah Amir Sjarifoeddin.
Ketika Medan masih kampong, Padang Sidempuan sudah kota |
Generasi penerus Soetan Casajangan dan
kawan-kawan adalah M.Hatta, Ali Sastroamidjodo dan Amir Sjarifoeddin di Belanda
yang merperbarui Indisch Vereeniging menjadi Perhimpoenan Peladjar Indonesia
(PPI). Dalam pembentukan PPPKI ini Soekarno M.Hatta, Ali Sastroamidjodo dan
Amir Sjarifoeddin masih junior (second line). Parada Harahap berada diantara
dua generasi tersebut dan memiliki akses dan koneksi yang strategis (kepada
senior dan kepada junior). Parada Harahap sang revolusioner sejati dilingkari
oleh para tokoh-tokoh revolusioner yang terdidik (mahasiswa dan sarjana). Amir
Sajarifoeddin adalah saudara sepupu dari Soetan Goenoeng Moelia. Para pemuda revolusioner
inilah yang kerap datang ke kantor PPPKI di Gang Kenari, Batavia tempat dimana
Parada Harahap berkantor (kantor yang merupakan milik MH Thamrin). Di dinding
kantor Parada Harahap dan MH Thamrin ini hanya tiga tokoh penting yang fotonya
dipajang: Soeltan Agoeng, Soekarno dan Hatta (sudah sejak lama Parada Harahap
menggadang-gadang Soekarno dan Hatta sebagai penerusnya).
Tokoh
muda (yang lebih muda lagi) berikutnya antara lain yang merupakan ‘anak didik’
Parada Harahap antara lain Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah. Mereka
ini masih belasan tahun ketika mulai terjun ke jurnalistik dan politik. Adam
Malik bersama kawan-kawan mendirikan kantor berita Antara. Kantor berita Antara
ini muncul mengikuti gagasan Parada Harahap yang pada tahun 1925 mendirikan
kantor berita Alpena. Parada Harahap adalah mentor politik Adam Malik. Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah di awal pendudukan Jepang, ketiganya
sama-sama bekerja di radio militer Jepang di Jakarta. Sebelum pendudukan
Jepang, pada era kolonial Belanda (1938),
Kantor Berita Antara didirikan pada tanggal
13 Desember 1937 oleh Adam Malik dan kawan-kawan. Sebagai Direktur pertama
adalah Soemanang dan Adam Malik sebagai Redaktur (wartawan muda, usia 20 tahun
pada waktu itu) merangkap Wakil Direktur. Tahun 1942 kantor berita Antara
berkolaborasi dengan kantor berita Domei (Adam Malik dan AM Sipahutar tetap
bertugas). Setelah Jepang takluk (bom Hirosima dan Nagasaki) kantor berita
Antara eksis kembali (seperti semula) dan dilanjutkan oleh Adam Malik dan AM
Sipahutar.
Pada
masa kepemimpinan Adam Malik yang baru di Antara, Mochtar Loebis masuk sebagai
wartawan Antara. Namun tidak lama kemudian, posisi Adam Malik digantikan oleh
Mochtar Lubis karena kesibukan Adam Malik sendiri dalam urusan republik. Pada
saat Belanda datang kembali, situasi menjadi berubah. Kantor berita Antara lalu
ditutup oleh penguasa.
De tijd: dagblad voor Nederland, 21-07-1947:
‘Sepuluh jam setelah penangkapan sejumlah anggota kantor berita Antara
Indonesia dilakukan konferensi pers. Mochtar Lubis, Direktur Antara,
mengatakan: Belanda telah memperlakukan kami dengan baik, pemancar kami
diambil. Ketika kami ditangkap, kami tegang. Keluhan utama bahwa mereka telah
menyita mobil saya. Kemudian kantor berita Antara ditutup’.
Awal Karir Sakti Alamsjah
Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah ‘ditempatkan’ dan mendapat tempat utama
oleh Parada Harahap di radio militer Jepang agar ketiganya tetap berada di
jalurnya (bidang jurnalistik) dan in-line dengan Parada Harahap sendiri.
Strategi ini dimaksudkan di satu sisi (keluar) agar memiliki akses informasi
dari luar negeri dan di sisi lain (kedalam) data dan informasi mudah diteruskan
kepada tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan.
Parada Harahap, Soekarno dan M. Hatta sangat
dekat satu sama lain dengan wakil Jepang di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Setelah
Jepang takluk radio militer Jepang tidak aktif, para krunya juga berpencar.
Adam Malik kembali menghidupkan kantor berita Antara, Mochtar Lubis sempat
menjadi wartawan di tempat lain tetapi kemudian Adam Malik mengajak ke Antara.
Sakti Alamsjah hijrah ke radio militer Jepang di Bandoeng (Malabar). Begitulah
awal perkara Sakti Alamsyah hijrah ke Bandoeng.
Dari Fikiran Ra’jat ke Pikiran Rakjat: Soekarno
vs Mochtar Lubis
Lalu
pada tahun 1950 muncul kembali surat kabar di Bandoeng yang memiliki nama yang
sama dengan Fikiran Ra’jat. Surat kabar
ini dipimpin oleh Djamal Ali dengan editornya Asmara Hadi. Dalam pendirian
surat kabar Pikiran Rakyat ini Sakti Alamsyah turut bergabung. Surat kabar ini
eksis cukup lama.
Surat kabar Pikiran Rakjat menurunkan editorial
yang mempertanyakan, setelah merdeka, bebas berbicara dan bebas berpendapat,
lantas bagaimana dengan kemakmuran rakyat, apakah kita masih mampu jika memang
harus membutuhkan bantuan (investasi) asing? (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 30-08-1950).
Ini
mengindikasikan bahwa surat kabar Pikiran Rakjat sangat concern dengan rakyat
sesuai dengan namanya. Paling tidak surat kabar ini ikut menggarisbawahi
persoalan menadasar pada waktu adalah kemiskinan (setelah usai perang
kemerdekaan). Meski begitu situasi dan kondisi tanah ait dan situasi dan
kondisi yang dihadapu surat kabar baru ini, mereka tidak lupa untuk mengucapkan
selamat tahun baru (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 30-12-1950). Djamal
Ali, editor dan direktur Pikiran Rakjat telah memisahkan ruang redaksi dengan
ruang yang lainnya (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 16-01-1951).
Ketika
Pikiran Rakyat baru memulai kiprahnya mulai timbul permasalahn di tingkat
pemerintah (Soekarno). Pangkal perkaranya dimulai dari adanya tulisan Mochtar
Lubis di surat kabar Indonesia Raya. Soekarno tersinggung.
De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan
oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis
redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan
dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian
banyak orang Indonesia selama pendudukan’.
Pikiran
Rajat merespon dan kejadian itu. Lalu menurunkan editorial yang mengingatkan
kembali Soekarno atas kiprah politik pertamanya tahun 1927 di majalah Fikiran
Ra’jat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1951). Editorial ini
seakan semacam sinyal dari Bandoeng, bahwa Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya tidak
sendiri. Boleh jadi suara Pikiran Rakyat merupakan suara hati Sakti Alamsyah
dari kamar redaksi Pikiran Rakyat.
Pada bulan Mei, Pikiran Ra’jat merayakan
ulang tahun yang pertama. Dalam perayaan ini hadir Adam Malik (Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 31-05-1951). Sudah barang tentu, Adam Malik mendapat
undangan dari sohibnya Sakti Alamsyah. Tentu saja pertemuan antara Adam dan
Sakti tidak sekadar ulang tahun tetapi soal yang besar: polemic antara Soekarno
dan Mochtar Lubis.
Pers
bebas tampaknya mulai dikekang Soekarno. Di era Belanda, sesungguhnya pers
sangat bebas. Akan tetapi pers yang melanggar akan dituntut dengan dalih delik
pers, Sang penguasa memanipulasi undang-undang yang ada untuk membungkam
seorang wartawan maupun medianya. Wartawan yang paling banyak terkena jaring
delik pers ini adalah Parada Harahap, lebih dari seratus kali dipanggil ke meja
hijau dan belasan kali dijebloskan ke penjara. Rupanya di era kemerdekaan ini,
kebebasa pers juga mulai diganggu oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah
melindungi hak-hak azasi manusia. Lantas para jurnalistik bereaksi dan
melakukan demonstrasi.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes,
soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi,
seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam
aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang
berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa
akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah
saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa
Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’.
Hanya
sedikit orang yang konsisten dengan prinsipnya dan hanya beberapa koran yang
mengusung kebenaran. Diantara yang sedikit itu Indonesia Raya dan sosok Mochtar
Lubis yang paling terdepan. Koran dan pimpinannya sebangun: Mochtar Lubis
adalah Indonesia Raya, dan Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 03-01-1955: ‘Pada tanggal 29
Desember, Indonesia Raya genap lima tahun dan itu adalah fakta yang
menyenangkan. Dalam dunia surat kabar, Indonesia Raya Indonesia menempati
tempat yang unik. Kebanyakan surat kabar di sini, jika tidak berfiliasi partai
dalam arti sempit, atau menjadi bagian dari golongan tertentu. Dalam lagu
pertama Indonesia Raya ditulis antara lain bahwa koran itu akan tetap jauh dari
satu sisi pelaporan yang yang menyenangkan tetapi merugikan yang lain. Hal ini ingin
mendidik masyarakat untuk berpikir jernih. Terhadap tindakan tidak adil dan
tidak tepat dari mereka juga datang, bagaimanapun, akan praktek-praktek ini.
Kami tidak akan ragu-ragu untuk mengusir apa yang salah dan berbahaya, kami
mendukung apa yang harus didukung dan benar dipertimbangkan untuk kebaikan
bersama. Mudah untuk menulis hal seperti itu, tetapi sulit untuk diterapkan.
Ini adalah keutamaan Indonesia Raya di bawah pimpinan energik, Mochtar Lubis,
bahwa selalu berpegang motto ini; ancaman dan intimidasi diabaikan. Indonesia
Raya dalam ketidakadilan berpikir, melihat, bahkan menyerang, secara terbuka
dan keras. Sekarang Indonesia Raya melakukan oposisi terhadap pemerintah saat
ini. Ia melakukannya karena percaya bahwa pemerintah ini terlalu sedikit yang
mengoreksinya, dan menulis di editorial. Jika pemerintah berikutnya, tidak
peduli siapa yang benar yang akan melakukan sesuai dengan prinsip Indonesia
Raya. Dan itulah tradisi bahwa Indonesia Raya dengan beberapa surat kabar
terbaik di dunia memiliki kesamaan. Selamat berdjoang, Indonesia Raya’.
Yang
paling ditakutkan oleh koran adalah pembreidelan dan yang paling ditakutkan
oleh seorang editor adalah ditangkap lalu dipenjara. Mochtar Lubis tidak takut
dipenjara, dan Indonesia Raya tidak takut dibreidel. Misi keduanya adalah
kebenaran dan mengentaskan ketidakadilan. Inilah ciri-ciri editor dan koran
yang benar-benar koran kelas dunia.
Mochtar Lubis mengungkap skandal korupsi lalu
diinterogasi militer (De nieuwsgier, 22-08-1956). Mochtar Lubis, Rosihan Anwar,
Adam Malik dan Suwardi Tasrif berangkat
ke Belanda dalam pertemuan pers bilateral, tetapi militer memerintahkan pulang
(De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1956).
Mochtar
Lubis tidak bisa ditekan, dan terus berjalan apa adanya sesuai misi pers
Indonesia. Mochtar Lubis bahkan mengabaikan panggilan pulang dari anak-anak
buah Mayjen Abdul Haris Nasoetion. Sebaliknya, anak-anak buah Parada Harahap di
Java Bode terus menginformasikan sepak terjang Mochtar Lubis ini. Mungkin,
Parada Harahap yang berada di sisi pemerintahan tetap menganut prinsip bahwa
sesama insan pers Indonesia harus saling memperkuat. Parada Harahap adalah
orang pertama yang menyuarakan kebebasan pers dan menulis buku berjudul Kebebasan
Pers (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 04-02-1950).
Mochtar Lubis diadili, Sakti Alamsyah turut hadir |
Kasus
Mochtar Lubis ini adalah pengadilan terbesar di era kemerdakaan. Tidak hanya
prosesnya lama (beberapa kali ditunda), juga melibatkan banyak saksi, seperti:
Kolonel Kawilarang, Lic Hok Thay, Piet de Queljoe, Letkol. Prajogo.
Generaal-Majoor Nasution, Mr. Moh. Roem en adj.hoofdkommissaris Saud
Wirjasendjaja. Dalam persidangan itu sendiri terjadi perdebatan sengit antara
pembela di satu sisi dan Jaksa dan hakim di sisi lain. Namun yang menarik
adalah ketika hakim mengaitkan artikel Mochtar Lubis (lihat edisi 14 Agustus
1955 dan edisi 6 September 1955). Mochtar menjawab, tidak ada permusuhan dengan
Nasution, karena kami adalah kawan lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
Ini mengindikasikan bahwa Mochtar Lubis hanya
menyerang Soekarno (bukan militer atau Abdul Haris Nasution). Mochtar Lubis
hanya berjuang untuk kebebasan pers yang mulai dikekang Soekarno dan tidak
begitu siapa yang menangkapnya apakah itu militer atau bukan.
Pikiran
Rakyat lalu disita militer karena menuding militer sebagai pendukung regim yang
memerintah. Hal ini menyebabkan PR tidak beroperasi lagi para pegawai dan
wartawan kehilangan pekerjaan.
Singkat kata: Indonesia Raya dibreidel. Lalu
kemudian terjadi peristiwa G 30 S/PKI dan peralihan kekuasaan dari Orde Lama
(Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto).
Orde Lama vs Orde Baru
Angkatan
Darat melihat ini sebagai peluang lalu meminta para kru Pikiran Rakyat untuk
menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata (mulai 24 Maret 1966).
Lalu kemudian Sakti Alamsjah dengan Atang
Ruswita memimpin kawan-kawan mereka eks kru Pikiran Rakyat mendirikan surat
kabar baru tetapi dengan nama lama: Pikiran Rakyat. Sakti Alamsjah sebagai
pemimpin umum dan Atang Ruswita sebagai pemimpin redaksi.
Setelah
setahun kemudian Pikiran Rakyat sejak 24 Maret 1967 terbit dengan motto: ‘Dari Rakyat,
Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pikiran Rakyat di bawah pimpinan Sakti Alamsyah
berada dalam track baru di awal orde baru.
Tiga pendiri orde baru: Suharto, Adam Malik
dan Hamengkubuwono. Adam kembali ketemu Sakti Alamsyah. Mochtar Lubis kembali
bernafas dan menerbitkan kembali surat kabar Indonesia Raya yang sebelum
dibreidel sudah mengusung motto ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.
Sakti Alamsyah dengan Pikiran Rakyat juga mulai mendapat ‘angin’. Sohib mereka
yang secara teknis mentor politik mereka Adam Malik sudah berada di jajaran
pemerintahan Orde Baru.
Dari Pikiran Rakjat ke Pikiran Rakyat
Dalam
fase awal manajemen baru Pikiran Rakyat (Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita) motto
surat kabar Pikiran Rakyat berubah dari
dari ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’ menjadi ‘Dari Rakyat, Oleh
Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pemberiaan motto baru Pikiran Rakyat yang persis sama
dengan surat kabar Indonesia Raya, yakni ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk
Rakyat’. Hal ini tidak lazim, dan tidak boleh kecuali diperbolehkan yang satu
terhadap yang lainnya.
Dua surat kabar yang berbeda nama berbeda
tempat juga pernah memiliki motto yang sama, yakni: ‘Oentoek Sagala Bangsa’.
Surat kabar yang pertama menggunakan motto ini adalah surat kabar Pertja Barat
di Padang selepas surat kabar itu diakuisisi oleh Dja Endar Moeda tahun 1900. Dja
Endar Moeda adalah editor surat kabar tersebut sejak 1897 (editor pribumi
pertama). Surat kabar lainnya yang menggunakan motto ‘Oentoek Sagala Bangsa’
adalah surat kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan pada tahun 1909. Surat
kabar ini pendiri dan editornya Dja Endar Moeda. Parada Harahap pernah menjadi
editor Pewarta Deli, setelah surat kabar Benih Merdeka dibreidel di Medan tahun
1918 dimana Parada Harahap. Pada tahun 1919, Parada Harahap pulang kampong di
Padang Sidempuan dan mendirikan dan bertindak sebagai editor surat kabar Sinar
Merdeka. Selain memimpin dan editor surat kabar Sinar Merdeka, Parada Harahap
juga merangkap editor surat kabar Poestaha yang diterbitkan tahun 1915 (oleh
Soetan Casajangan, guru di sekolah radja di Fort de Kock (kini Bukittinggi). Dja
Endar Moeda, Soetan Casajangan dan Parada Harahap, ketiganya sama-sama
kelahiran Padang Sidempuan.
Pemimpin
surat kabar Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis. Sedangkan surat kabar yang baru
dan diterbitkan di Bandoeng, Pikiran Rakyat pemimpin dan editor Sakti Alamsjah.
Hubungan dekat (sohib) antara Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (yang seumuran)
menjadi faktor penting di belakang motto dua surat kabar ini sama: Indonesia
Raya di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung.
Radio Bandoeng di Malabar |
Singkat
kata: setelah Orde Baru mulai normal, Indonesia Raya dan Pikiran Rakyat Bandung
mulai nyaman. Adam Malik yang telah Menteri Luar Negeri sumringah melihat
teman-teman lama seperjuangan sudah berhasil di surat kabar masing-masing:
Mochtar Lubis di Indonesia Raya di Jakarta dan Sakti Alamsyah di Pikiran Rakyat
di Jakarta. Demikian juga sebaliknya: Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah terus
bekerja giat di bidang pers.
Parada Harahap telah lama tiada. Parada
Harahap meninggal tahun 1959. Parada Harahap tidak bisa melihat adik-adiknya (Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah) yang tengah berada di puncak kejayaan
masing-masing. Namun demikian, pada tahun 1957 Parada Harahap masih sempat
melihat wisuda putrinya lulus sekolah hukum di Universitas Indonesia, meraih
gelar sarjana hukum, perempuan pertama orang Batak bergelar sarjana hukum.
Pikiran Rakyat Hingga Sekarang
Sakti
Alamsyah adalah tokoh di belakang layar, yang jika sendiri lebih suka memainkan
berbagai alat musik daripada tebar pesona. Sakti Alamsyah karakternya sangat
keras seperti Parada Harahap dan Amir Sjarifoeddin tetapi jika sudah
bersentuhan dengan seni hatinya menjadi lembut dan jika sudah bertemu dengan
keluarga atau kerabatnya dari kampong hatinya luluh dan tampak seakan menangis
(karena mungkin merantau dan nyaris tidak pernah pulang kampong). Saya memiliki
hubungan emosional dengan beliau.
Saya pernah bertemu dengan beliau, yang saya
panggil ‘Tulang’ (uncle) pada tahun 1982 di rumahnya di Bandoeng. Besoknya
ketemu lagi di kantornya di Pikiran Rakyat. Saat itu saya masih SMA kelas-2 dan
kebetulan lagi ikut Raimuna (pramuka) di Cibubur. Saya dijemput dan diantar
paman saya (adik ayah saya) yang sudah lama tinggal di Sukabumi. Diantara pertemuan
itu Tulang Sakti menggoda saya: ‘mau bere jadi wartawan?’. ‘terimakasih, tidak
tulang, saya nanti bermaksud ingin menjadi insinyur’. Oooh, iya, iya tahun
depan tamat SMA ke sini saja’ (maksudnya ITB). ‘Mudah-mudahan tulang’. Ketika
bermimpi melanjutkan sekolah ke Jawa, saya membaca surat kabar di warung dekat
rumah bahwa Sakti Alamsyah, pemimpin umum Pikiran Rakyat meninggal dunia di Samarinda
(dalam tugas). Saya buru-buru ke rumah menemui ayah saya. Lalu ayah saya
mengajak saya ke rumah uwak (abang ayah saya) di RT lain untuk menyampaikan
berita itu. Istri uwak saya adalah kakak kandung Sakti Alamsyah. Malamnya kami
semua yang berkerabat di lingkungan itu membacakan Surat Yasin. Di rumah, saya
mengambil dua figura dari dinding, lalu membersihkannya (walau sebenarnya tetap
bersih). Figura pertama Sakti Alamsyah bersama istri dan anak-anak. Figura
kedua, Sakti Alamsyah berada ditengah bersama kakaknya dan diapit oleh ayah dan
uwak saya. Foto tersebut dibawa dari Bandoeng tahun 1977, ketika Tulang Sakti
mengundang mereka bertiga, sekaligus ayah dan uwak saya mengunjungi adik mereka
di Sukabumi yang belum pernah sekalipun pulang kampong sejak merantau tahun 1950.
Hanya sekali saya bertemu dengan Sakti Alamsyah, tetapi ketika saya masih
kanak-kanan (SD) saya kerap ke rumah orangtua Sakti Alamsyah di kampong Parau
Sorat di Sipirok jika musim libur. Uwak saya tidak memiliki anak, karena itu
saya juga selalu diajak jika ke Parau Sorat bertepatan dengan libur sekolah.
Dua
tokoh utama Pikiran Rakyat kini telah tiada. Sakti Alamsjah meninggal dunia
tahun 1983 dan Atang Ruswita meninggal tahun 2003. Kini, Pikiran Rakyat di
bawah kepemimpinan anak-anak mereka dibawah pimpinan Perdana Alamsyah.
Sejak diakuinya wartawan pribumi dalam pers
Hindia Belanda (1897) hingga pers Indonesia Merdeka (pasca kemerdekaan)
wartawan asal Padang Sidempoean selalu berada dalam top performance dan berada
di peringkat teratas pada setiap periode (era): De Pionier adalah Dja Endar
Moeda (mulai 1897), kemudian disusul The King of Java Press, Parada Harahap
(mulai 1917) dan pada berikutnya adalah The Last of the Mohicans of Indonesian
Journalism, Mochtar Lubis (1945). Tiga wartawan pribumi asal Padang Sidempoean
ini tidak tertandingi pada setiap eranya masing-masing. Itu good newsnya.
Karena itu, kepada ketiga wartawan ini seharusnya mendapatkan pernghargaan yang
pantas. Namun kenyataannnya tidak satu pun dari mereka yang menerima perhargaan
yang sepatutnya dari Negara. Itu bad newsnya. Bahkan, Mochtar Lubis yang dapat
dianggap sebagai The Musketeer in International Press hanya menerima
penghargaan dari Negara sebatas diberi hadiah penjara. Itu saja, lain tidak!
Sakti
Alamsyah sebagai pendiri surat kabar Bandoeng Pikiran Rakyat telah membuka
jalan bagi putra-putra Bandoeng untuk berkiprah di bidang jurnalistik di
kampong sendiri. Atang Ruswita adalah orang pertama putra Bandung yang menjadi
tokoh pers di Bandoeng. Sakti Alamsyah yang berasal dari kampong Parau Sorat,
Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan yang pusaranya mendapat tempat di Makam
Pahlawan Kota Bandoeng dengan sendirinya Sakti Alamsyah harus dipandang sebagai Urang Bandoeng dan Pahlawan Bandoeng.
Selamat
Hari Pers Nasional. Merdeka!
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Lihat
juga:
Mochtar
Lubis: The Musketeer in International Press; Penghargaan yang Diterima dari
Negara Hanya Sebatas Penjara
Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers
Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasional
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar