RA Atmadinata, Walikota pertama Bandung |
Tidak hanya wali kota pertama kota
Bandung, ternyata setali tiga uang dengan wali kota pertama Medan dan walikota
pertama Surabaya—sama-sama kurang terinformasikan. Semoga itu karena hanya
sekadar kurangnya atau tiadanya data dan informasi tentang mereka. Jangan sampai karena ada maksud pihak tertentu untuk mengerdilkan mereka. Jika hanya soal data dan informasi dapat dicari atau dikumpulkan. Untuk itu, mari kita telusuri profil
RA Atmadinata, Wali kota Pertama Kota Bandung. Wali kota yang satu ini layak
mendapat tempat dalam bingkai Sejarah Preanger dan Sejarah Kota Bandung..
Gemeenterraad
Bandoeng
Atmadinata mulai
terkenal sejak dicalonkan utnuk menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad)
Bandoeng. Pada saat wali kota Bandoeng kali pertama diangkat tahun 1917, Atmadinata
adalah anggota dewan kota dari golongan pribumi. Di tengah kebisingan politik, Atmadinata
masih sempat membagi perhatian untuk fungsi seorang guru: mengajar dan tetap terus
belajar.
De Preanger-bode, 08-11-1921: ‘Raden
Atmadinata, guru salah satu sekolah pribumi Hollands (HIS), juga menjabat
anggota dewan, meninggalkan pertengahan tahun ini ke Belanda, untuk belajar di
sana dan sesuai dengan pesan telegraf sudah lulus. Untuk itu diucapkan selamat’.
Atmadinata,
seorang guru swasta yang bersahaja di Tjimahi tetap berdedikasi untuk
mencerdaskan bangsa. Untuk mengisi kekosongan guru, pada tahun 1923 Atmadinata
bersedia ditempatkan sebagai guru HIS di Pariaman (De Preanger-bode, 12-11-1923).
Sangat jarang guru berjuang di dewan,
namun masih ada beberapa. Selain Atmadinata, sang guru yang menjadi anggota
dewan, di Medan juga seorang guru berani menjadi anggota dewan. Radja Gaoenong,
mantan guru dan penilik sekolah menjadi anggota dewan pribumi pertama di
gemeenteraad Medan (sebagaimana Atmadinata di gemeeteraad Bandoeng). Para guru
ini tidak hanya berjuang di kelas sekolah tetapi juga berjuang di ruang rapat
dewan. Seharusnya guru-guru ini harus diberi pahlawan dengan tanda jasa.
Volksraad
Nama Atmadinata
di Bandoeng tidak ada duanya. Namanya terus mendapat tempat di tengah penduduk.
Meski Armadinata nun jauh di Sumatra, tetapi tetap diusulkan sebagai kandidat
untuk Volksraad (De Preanger-bode, 20-12-1923). Atmadinata harus bersaing dengan
kandidat lainnya, seperti Bupati Bandoeng (Raden Toemenggoeng Aria Wira Nata Koesoema)
dan Bupati Tjiandjoer (Raden Toemenggoeng Rangga Soeria Di Ningrat).
Atmadinata juga menjadi bagian dari
persaingan di tingkat nasional. Atmadinata, seperti: Abdul Moeis (Padang),
Abdul Rashid Siregar (Padang Sidempuan), Djajadiningrat (Banten). Ratoe Langi, Firman
Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (Sumatra Timur), Todoeng Harahap gelar
Soetan Goenoeng Moelia (Batavia), Radjiman Wiriodiningrat (Solo), Soetomo, Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Tjokroaminoto (De Indische courant, 14-01-1924).
Meski Atmadinata
tidak lolos ke Pedjambon, tetapi namanya tentu saja mengindikasikan kiprahnya
di Preanger khususnya di Tjimahi dan Bandoeng harus diperhitungkan. Dari 12
dapil (hanya satu orang setiap dapil) di Pedjambon. Untuk Sumatra sendiri hanya
satu kursi (satu dapil) yang dimenangkan oleh Abdoel Moeis (47 suara) dan
pesaing kuatnya Dr. Abdoel Rashid dari Kotanopan (40 suara) dan Soetan Goenoeng
Moelia dari Padang Sidempuan (35 suara). Nama-nama besar juga banyak yang tidak
lolos seperti Mohammad Husni Thamrin, Tjokroaminoto, Agus Salim.
Pada saat itu belum ada ‘money politic’,
penduduk dapat mencalonkan siapa, dengan persetujuan yang bersangkutan.
Sementara sang kandidat tidak perlu kampanye dan tetap bisa bekerja di
bidangnya meski sang kandidat tengah berada jauh dari konstituennya.
Setelah kembali
dari Pariaman, Armadinata dipindahkan ke HIS Koeningan. Pada tahun 1928 Atmadinata
kembali pindah dan kini dipindahkan ke kampong halaman di HIS Bandoeng (Bataviaasch
nieuwsblad, 15-06-1928). Dengan kembalinya ke Bandoeng, Atmadinata memiliki kesempatan
kembali untuk berjuang untuk peningkatan pendidikan penduduk. Atmadinata
kembali ke konstituen. Saat itu, Pagoejoeban Pasoendan tengah mengusulkan HIS
untuk kaum perempuan. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di gedung Himpoenan
Soedara, Atmadinata berpidato dan akhirnya diputuskan pendirian sekolah
tersebut yang akan dimulai pada bulan Agustus (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 01-08-1929).
Setelah cukup lama berdinas sebagai
guru, Atmadinata mengajukan permintaan pension. Permohonan itu dikabulkan yang
berlaku pada tanggal 1 Februari. Dengan begitu, Atmadinata, guru berlisensi
Eropa, berpangkat guru kelas-3 sebagai guru HIS dinyatakan pension (Bataviaasch
nieuwsblad, 27-01-1930).
Guru Atmadinata setelah pension kembali ke dewan kota
(gemeenteraad). Bertarung kembali dari bawah. Namanya masih jaminan mutu. Atmadinata
namanya disebut sebagai Rd. A. King Atmadinata (De Indische courant, 20-06-1930).
Akhirnya Atmadinata menang dalam pemilu kota.
Walikota Bandoeng
dan Wethouder RA Atmadinata
Tulisan-tulisan yang selama ini menganggap Maurenbrecher
sebagai walikota Bandoeng pertama jelas keliru. Maurenbrecher dan J.A. van der
Ent tetap berposisi sebagai Asisten Residen Bandoeng. Sementara, Kruijsboom
juga disebut pernah menjabat walikota Bandoeng, tetapi kenyataanya tidak. GLH Kruijsboom
adalah Asisten Residen Bandoeng (lihat juga Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 01-04-1931). Demikian juga Verwijk, Vleuten dan Bijleveld tetap
dalam posisi sebagai Asisten Residen Bandoeng
Preangerbode, 01-04-1931 |
Sejak diangkatnya walikota Bandoeng
(burgemeester) tahun 1917, ketua dewan kota berada di tangan walikota (tidak
lagi oleh Asisten Residen Bandoeng seperti selama ini). Pada saat kembali RA
Atmadinata sebagai anggota dewan kota (1930), Walikota Bandoeng dijabat oleh Ir.
JEA von Wolzogen dan wakilnya Ir. H. Biezeveld.
Oleh
karena, Atmadinata pernah menjadi anggota dewan kota (sebelum pergi kuliah ke
Belanda, awal 1920an), maka kehadirannya kembali di dewan kota dianggap sebagai
anggota dewan kota senior (Wethouder/Alderman). Untuk sekadar catatan (dalam
artikel gemeenteraad), sejak 1926 Gemeente Bandoeng memiliki wakil walikota yang
dijabat oleh Ir. H. Biezeveld. Di Dewan Kota Bandoeng diangkat tiga pimpinan
mewakili golongan (Eropa, Tionghoa dan pribumi) yang merupakan anggota dewan
senior. Dari kalangan Eropa kebetulan adalah wakil walikota Bandoeng, sementara
dari golongan Tionghoa adalah Tjeng Djin Tjong. Sedangkan dari kaoem pribumi
adalah RA Atmadinata.
Pimpinan dewan kota dipegang oleh Walikota Ir.
JEA von Wolzogen dan didampingi tiga pimpinan (wakil) yang merupakan
representasi anggota dewan (dan konstituen) Kota Bandoeng, yakni: Biezeveld, Atmadinata dan Tjeng Djin Tjong. Dengan hadirnya RA
Atmadinata di dewan kota, perimbangan mulai terjadi. Sebagai wethouder, RA
Atmadinata akan sendirinya memimpin pribumi, memperjuangkan kebutuhan kaoem
pribumi. Beberapa kebijakan yang muncul sejak Atmadinata menjadi anggota dewan
adalah: pembentukan Centraal Comité van Reclasseeringsinstellingen in de
residentie Midden-Priangan, semacam pusat penanganan dan pembinaan narapidana
yang wakil ketuanya RA Atmadinata (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-10-1931), gerakan
anti riba (anti woeker beweging) lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 23-02-1932), pembebasan lahan perkebunan untuk pengembangan
perumahan tidak terkecuali untuk rumah bagi penduduk asli (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1932), penataan sekolah kejuruan (ambachtsschool)
dimana sebanyak 83 persen siswanya pribumi yang mana pada saat itu ;kepala
dinas tenag kerja’ dijabat oleh M. Enoch (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 13-06-1932). Tentu saja juga Atmadinata peduli dengan adanya
kisruh organisasi sepakbola (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-02-1933).
Kiprah Atmadinata, De Wethouder
Setelah berakhir masa walikota Ir. JEA von Wolzogen (1933)
lalu digantikan oleh ED Wermuth. Entah bagaimana, Wermuth dicopot, yang boleh
jadi tidak kapabel untuk walikota (sekelas) Bandoeng (yang perkembangannya
sangat pesat). Untuk itu, walikota Bandoeng yang baru didatangkan dari Medan, JM. Wesselink walikota Medan yang masih
aktif namun pengalamannya sangat dibutuhkan segera di Bandoeng.
JM
Wesselink adalah walikota Medan (1931-1934). Terhitung 27 November 1933 di
Medan dibentuk Komisi Administrasi (Tatakelola) Kota Medan untuk masa tugas
selama dua tahun. Komisi ini terdiri dari Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng, Mr. JM. Wesselink, Mr. JF. Kayser, APM. Audretsch dan Ds. TJ. Wielinga yang mana Kajamoedin
bertindak sebagai Presiden (lihat De Sumatra post, 21-11-1933). Komisi ini
adalah sesuatu yang baru di Hindia Belanda. Hal ini muncul karena perkembangan
yang sangat pesat di Kota Medan sebagai pusat perkebunan di Sumatra Timur
memerlukan tatakelola yang sesuai dengan kota Internasional (kota Eropa).
Catatan: Kajamoedin, mantan guru dan penilik sekolah adalah pribumi pertama anggota
dewan kota (gemeenteraad) Medan tahun 1918. Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng lahir di Padang Sidempuan.
Pada tahun dimana JM Wasseling menjadi walikota Bandoeng,
pemilihan kota dimulai lagi (setelag berakhirnya masa periode dewan kota). RA
Atmadinata kembali dicalonkan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1934).
Jumlah kursi di dewan tampak semakin banyak. Jumlah kursi yang diperbutkan
sebanyak 27 kursi: 15 untuk warga Eropa/Belanda. sembilan kursi untuk pribumi
dan tiga untuk non-Belanda (timur asing).
Anggota
dewan pribumi yang terpilih adalah sebagai berikut: R Atmadinata (Pasundan), R.
Moech. Enoch (Pasundan), Kadmirah Karnadidjaja (Pasundan), RKS. Natawyogja
(Pasundan), Ir. Roosseno (Budi Utomo), Ir. Soetoto (Persatoean Bangsa
Indonesia), R. Ali Tirtosoewirjo (Budi Utomo), Óetoen Tisnasapoetra (Pasundan)
dan Hadji Hasan Wiratmana, serikat Nahdatoel Oelama. Untuk golongan Tionghoa
yang terpilih adalah Dalam kelompok ini terpilih Bapak Tjen Djin Tjong, Tjoan
Tio Tek dan The Goan Tjoan. (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 04-07-1934).
JM Wasseling sebagai walikota, maka Wasseling untuk kali
pertama menjadi bagian sepenuhnya dari dewan kota Bandoeng. Dalam pertemuan dewan yang pertama yang dipimpin
Wasseling hadir 24 dari 27 anggota dewan (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 23-08-1934). Pidato Wesselink menekankan situasi dan
kondisi yang sulit (dampak resesi masih terasa) dan penghematan masih
diperlukan. Pada pertemuan pertama agenda utama memilih pimpinan dewan. Setelah
melalui voting terpilih tiga pimpinan yang mewakili tiga kelompok (Eropa,
Indonesia dan Tionghoa). Dalam pemilihan ini 19 suara memilih H. Biezeveld, juga
19 suara untuk RA Atmadinata sedangkan Tjeng Djin Tjong dipilih 22 anggota.
Dengan demikian pimpinan dewan kota yang kini dipegang
oleh Walikota JM Wesselink akan didampingi tiga pimpinan (wakil) yang merupakan
representasi anggota dewan (dan konstituen) Kota yang persis sama pada periode
sebelumnya: Biezeveld, Atmadinata dan Tjeng Djin Tjong. Lalu keempat pimpinan
dewan kota tersebut dibagi tugas (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 19-09-1934) dengan empat bidang:
Burgemeester
(Walikota): Kebijakan Umum, Finance, undang-undang, personalia, rumah sakit,
merawat orang miskin, pertukaran tenaga kerja dan pemadam kebakaran. Wethouder Biezeveld:
Perencanaan kota dan pekerjaan umum, air, tanah pekuburan, rioleering,
pemakaman ETI dan pengawasan konstruksi. Wethouder Atmadinata: Pasar, jagal sapi,
ambaehtsschool, perbaikan kampung, pemakaman pribumi/adat, folktcholen dan
Layanan Kedokteran Hewan (kuda). Wethouder Tjen Djin Tjong: Woningbediyf,
woningtoezicht, kinderordonnantic, Chineesche begraafplaats, straatverlichting
en varkens abattoir.
Dalam pemilihan anggota dewan kota pada periode
berikutnya RA Atmadinata tetap diajukan dan Parindra juga sudah memiliki calon (Bataviaasch
nieuwsblad, 25-11-1937). RA Atmadinata terpilih lagi dimana juga muncul anggota
dewan perempuan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1938). Dengan
demikian, RA Atmadinata menjadi satu-satunya anggota dewan terlama dan nama
Emma Poeradiredja sebagai perempuan pertama di dewan kota Bandoeng.
Komposisinya adalah sebagai berikut: Rd. Moh Enoch, Rd. Atmadinata, Rd. Idih Prawiradipoetra, Rd. S. Raja Natawijogja,
Mrs. Emma Poeradiredja, Bapak Hasan Wiratmana, Ir. Oekar Bratakoesoema, Hussein
Kartasasmita dan Soeparman.
Pimpinan dewan masih dimenangkan oleh RA Atmadinata dan Tjen
Djin Tjong. Akan tetapi posisi Biezeveld digantikan oleh FLH. Dessauvagie (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-09-1938). Sedangkan untuk ketua
dewan adalah walikota N. Beets (Soerabaijasch handelsblad, 27-09-1938). Dalam pertemuan pertama dewan walikota
menyambut anggota baru dalam sambutannya dan anggota wanita pertama, Ms Emma
Poeradiredja.
Satu
hal yang khusus dalam periode ini adalah selesainya gedung N.V. Onderlinge
Levensverzekering Maatschappij Boemipoetra (asuransi jiwa pribumi). Dalam
peresmian gedung ‘mewah’ ini RA Atmadinata berpidato yang memuji Boemipoetra
dan ingat bahwa pada tahun 1912 di Magelang Boemipoetra ini didirikan oleh Perserikatan
Guru Hindia Belanda dan pada tahun 1920 mendirikan asuransi (terutama ditujukan
kepada guru-guru). Dalam sambutannya, Wethouder Atmadinata menunjukkan bahwa gedung
ini seakan permata Bandung, telah didirikan untuk dan oleh orang Indonesia (Indonesier)
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-03-1941).
Singkat kata, sebagaimana diketahui, penduduk Jepang
terjadi pada tahun 1942. Ini berarti dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng
berakhir. RA Atmadinata telah menjadi anggota yang begitu lama, dan selama itu
pula dia berjuang untuk rakyat Bandoeng.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1941 |
RA Atmadinata juga menjadi anggota Provincial
Raad (Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1941) suatu dewan baru yang lebih luas.
Selama ini hanya ada dewan kabupaten/kota dan pusat (Volksraad). Dari Priangan
terdapat delapan kandidat dan termasuk RA Atmadinata yang terpilih. Dengan
demikian, lengkaplah sudah kiprah RA Atmadinata di Preanger khususnya di
Bandoeng. Pada saat pendudukan Jepang, nama RA Atmadinata tidak terdeteksi,
namun setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, RA
Atmadinata diangkat menjadi Walikota Bandoeng. RA Atmadinata diangkat karena
pemilik portofolio tertinggi di Bandoeng. Merdeka!
Terima kasih telah menulis sejarah tentang almarhum R.A. Atma di Nata.
BalasHapus