van Mook (koran 1946) |
Politik
bumi hangus (verschroeide aarde) terjadi dua cara: Pertama, pihak yang
menyerang melakukan pembakaran baik akibat granat, bom darat atau udara.
Pasukan sekutu dan pasukan Jepang banyak melakukan tindakan ini seperti di
Birma, Singapora, Australia, Batam dan Soerabaja. Kedua, pihak yang diserang
melakukan pembakaran dengan cara konvensional agar bangunan tidak dapat
digunakan musuh. Ini banyak dilakukan oleh para pejuang RI dan penduduk seperti
di Bandung, Padang Sidempuan,.
Politik
Bumi Hangus
Pendudukan oleh militer Jepang atas
Batavia terjadi pada tanggal 5 Maret 1942. Orang-orang Belanda du Batavia belum
menyadari karena begitu cepat sudah terjadi militer dimana-mana. Tindakan bumi
hangus (verschroeide aarde) oleh Belanda atas gedung-gedung tertentu tidak
sempat dilaksanakan meski sudah direncanakan.
Nieuwe
Apeldoornsche courant, 16-03-1942:‘Angkatan
bersenjata Hindia Belanda (Nederlandsc Indie) tidak punya waktu tersisa untuk pelaksanaan yang
efektif politik "bumi hangus" di ibukota Batavia. Setelah pendudukan
Jepang pada tanggal 5 Maret ibukota Nederlandsch Indie kembali ke kehidupan
normal’.
Ini mengindikasikan praktek bumi hangus
sudah ada di pihak Belanda sebelum umum dilakukan oleh militer dan penduduk
pribumi pada tahap berikutnya. Dalam berita-berita lain, tidak terlaksananya
bumi hangus sebagian orang-orang Belanda sedikit agak lega. Bangunan-bangunan
yang ditargetkan seperti kantor telepon, perpusatakaan urung dilaksanakan
karena itu adalah asset. Hanya kerugian yang terjadi jika itu terlaksana.
Sebaliknya
di pihak pribumi (tentara, laskar dan penduduk) melakukan politik bumi hangus
umumnya dilakukan terhadap bangunan-bangunan strategis (Belanda) dan sejumlah
rumah penduduk yang memadai yang dianggap dapat untuk dimanfaatkan musuh
(Sekutu/Belanda).
Oleh karenanya, perbandingan bumi hangus
antara sekutu/Belanda di satu sisi dengan pribumi di sisi lain tidak appel to
apple. Namun kesadaran untuk melakukan pembumihangusan terhadap bangunan-bangunan
oleh pribumi (tentara, lascar dan penduduk) saat diserang siapapun pemiliknya adalah
tindakan yang terpuji dan bersifat patriot. Dalam hal ini pribumi (tentara,
lascar dan penduduk) tidak kehilangan secara fisik dan juga tidak kehilangan harga
diri. Sebaliknya Belanda telah kehilangan harga diri ketika mereka menginginkan
agar digunakan Jepang untuk kebutuhan sendiri terhadap pabrik kina di Bandoeng.
Amigoe
di Curacao, 17-09-1945: ‘…alat-alat produksi tidak diragukan lagi diderita oleh
pendudukan dan tidak boleh melupakan fakta bahwa hal itu masih bisa memenuhi permintaan
dunia untuk kina, sedangkan produksi berada jauh di bawah maksimum yang dapat
dicapai sebelum perang di Hindia Belanda. Selama tahun-tahun pertama perang,
perkebunan di Priangan tetap teris diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan Jepang,
sementara juga terus memproduksi pabrik kina yang berada di Bandung, namun
selama beberapa waktu dari sekarang di Hindia Belanda mungkin tidak bisa memenuhi
semua permintaan. Hal ini karena kurangnya kapal yang dapat melakukan
pengiriman, sebagai akibatnya kapasitas pabrik di dekat Bandung telah melebihi
permintaan dunia untuk kina. Bila diterapkan pada malam pendudukan politik bumi
hangus, populasi tanaman yang sudah ada ini (kina) sudah dianggap tidak penting
lagi’.
Jelas
dalam hal ini penjajah (sekutu/Belanda/Jepang) dalam konteks bumi hangus (verschroeide
aarde) cenderung memiliki perhitungan rasional ekonomi (asset dan potensi
ekonomi, karena itu hakikat melakukan kolonial). Harga diri dihitung soal kalah
atau menang.
Keesings historisch archief: geïllustreerd
dagboek van het hedendaagsch wereldgebeuren met voortdurend bijgewerkten
alphabetischen index, 07-13-10-1945: ‘…situasi di Jawa tidak menentu,
ketegangan terus meningkat dimana-mana..,sangat dikhawatirkan POW Belanda yang
ditahan Jepang berada dibawah penjagaan pribumi…Sorkarno tanggal 9 telah
membentuk pasukan untuk mencegah kembalinya Belanda…sekutu telah menghancurkan
gudang logistic persenjataan dan mesiu di Surabaya untuk mencegah jatuhnya ke
tangan nasionalis…istana Bogor telah dipasang bendera merah putih…pada tanggal
11 Oktober Soekarno melakukan protes terhadap Jenderal Christison adanya
gangguan agen-agen NICA dan tentara Belanda…Soekarno member instruksi untuk mencegah
pendaratan Belanda di Jawa/ Soekarno mengancam jika tidak diindahkan sekutu maka keamanan jumlah yang sangat banyak orang Belanda,
yang masih di tangan rakyat Indonesia, tidak dapat dijamin oleh Pemerintah Republik…orang
Indonesia sendiri bisa mengmbail tindakan sendiri…Soekarno memperingatkan bahwa
orang Indonesia dapat seaktu-waktu melakukan politik bumi hangus terhadap semua
bangunan peninggalan Belanda di kota.
Pendudukan
Sekutu: 'Bandung Lautan Api'
Sekutu sudah nekad, Memberi ultimatum
agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat
kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan
sehari sebelumnya.
Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama
Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifuddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan
mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris
Nasution.
Secara
khusus, pengaturan dan ijin (legalitas) pemangku pertahanan dari pemerintah
pusat dimulai dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah komando
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Desember 1945
dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution
sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta
tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia)
pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI
sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam
bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara
atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu
yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya.
Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima
Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan
pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Saat pejuang dan
penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran. Terjadinya
kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.
Ultimatim
tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada
tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara
dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum
ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah
insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.
Politik Bumi Hangus di Bandung Selatan Demi Harga Diri
Politik
bumi hangus di Bandung terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini
bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung
Utara tempat dimana pasukan Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan
sekutu yang dalam hal ini Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot
antara TRI dan penduduk di Bandung.
Limburgsch dagblad, 26-03-1946: ‘Dilaporkan
dari Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi kebakaran hebat
berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini mengingatkan tempat
kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama yang disebabkan oleh
serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa menit sebelum tengah malam terjadi
kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat dilakukan tembakan mortir yang
ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi Inggris. Meskipun tidak mungkin
untuk melakukan estimasi kerusakan di malam hari, adalah, tanpa diragukan lagi,
lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung dibakar. Ini adalah politik bumi hangus yang
digunakan oleh pejuang dengan maksud untuk menunda ultimatum Inggris. Kebakaran
Minggu itu yang disebabkan sebagian besar oleh lingkaran Republik berakibat permohonan
TRI penundaan operasi Inggris ditolak’.
Aksi
bumi hangus yang dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak
penundaan ultimatum. TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan
itu penduduk gerah dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa
menenangkan penduduk. Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik dituduh
dibantu tentara Jepang sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi api
mudah berkobar.
Nieuwe Apeldoornsche courant, 26-03-1946: ‘Politik bumi hangus
menyebabkan pembakaran intens di Bandung. Terjadi sebelum meninggalkan kota,
mereka memiliki bangunan utama dan juga rumah-rumah pribadi dibakar. Aneta
melaporkan bahwa bagian selatan Bandung hari Minggu terjadi kebakaran. Adegan bumi
hangus ini menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama, disebabkan
oleh serangan udara Jerman di London pada tahun 1940. Pada tengah malam terlihat
16 lokasi kebakaran besar, dan ledakan berat terdengar. Bangunan resmi seperti
kantor telepon dan stasiun kereta api utama terbakar. Kantor pemerintah dan kantor
desa-desa habis terbakar. Orang Indonesia rupanya memanfaatkan begitu melimpah bahan
peledak dan minyak bumi, karena hampir setiap api mulai segera berkembang
menjadi kebakaran besar. Senin siang terlihat TRI yang tersisa sebagai dalam
kelompok-kelompok, yang mungkin bersembunyi.
Pagi-pagi Britsch Indiers, Poenjabs dan Mahratta berhasil menembus di
bagian timur dari Bandung Selatan. Mereka bertemu lawan sehingga terjadi
pertempuran. Bangunan kota rusak berat dan juga di jalan-jalan ditemukan granat
besar yang digunakan tentara republic yang bersumber dari Japanneezen. Dalam
penyisiran ini ditemukan mayat dua sersan mayor Jepang. Hal ini jelas bahwa sejumlah Japanneezen berkolaborasi
dengan para pasukan republic. Semua itu berawal dari permohonan penundaan
operasi pendudukan ditolak oleh Inggris, sehingga TRI, tentara Republik, tidak
mampu untuk menenangkan penduduk’.
Pasukan
Inggris pada pukul 2.36 yang mana de 36ste brigade-groep merangsek ke Tjimahi
dan de 49ste brigadegroep ke bagian timur Bandoeng Selatan dalam rangka
pengosongan dan pendudukan Bandung Selatan. Sebuah kanon 75 mm mengiringi battalion
yang terdiri dari resimen kedelapan Punjabi's, sementara bom mortir di posisi
depan pasukan Inggris. Sekitar dua jam kemudian aksi pembakaran sudah mulai yakni
pukul lima sore. Hal itu membuat panic terutama dari kalangan Tionghoa yang
menyebabkan mereka eksodus ke sagala arah lalu kemudian diarahkan untuk menuju sector
utara dengan memperlihatkan tanda untuk bisa masuk. Pada pagi Senin, dua batalion
mulai membersihkan sektor timur rel bagian utara dan selesai pada pukul 11.
Untuk mencegah terror dan kehancuran yang lebih besar di belakang garis
pendudukan ditempatakan brigade-36 dan brigade-49. Konsolidasi ini selesai pada
sorea hari tanpa ada kerugian yang diderita (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-03-1946).
Lebih lanjut dilaporkan kantor pos, semua jendela
hilang, atap penuh penuh lubang, dinding retak, Meski demikian masih
dimungkinkan untuk direnovasi. Orang-orang Cina paling banyak kerugian, tidak
ada orang-orang Indonesia di jalan, mungkin dalam beberapa hari akan
berdatangan. Dalam insiden hari Minggu tidak ada korban jiwa di pihak Inggris. Beberapa
bom mortir meluncur di kamp Tjihapit. Juru bicara Inggris mengatakan akibat pembakaran
yang ditimbulkan jumlah kerusakan tidak masuk akal. Survei udara yang dilakukan
Senin, beberapa desa sengaja dihancurkan. Lingkungan Cina di Selatan Bandung
Timur rusak parah; kiri dan kanan Soemedang weg sepanjang 500 meter hancur
sepenuhnya. Beberapa gudang, dimana karet disimpan, habis terbakar. Jumlah
pengungsi yang mengalir di distrik utara puluhan ribu. Pengintaian udara juga
menunjukkan bahwa aliran kendaraan bermotor dan gerobak sapi dari Bandung ke
arah selatan-barat sepanjang Kopo weg, Penjara Bandjeui masih utuh, tapi
tahanan dideportasi oleh republik. Dalam plot di Pasoendan weg ditemukan dua
belas orang Eropa. Penyendera telah ditangkap dan operasi mencari penyendera
terus dilakukan.
Nieuwe courant, 27-03-1946 melaporkan bahwa Bandung
menjadi lautan api di malam hari dan menjadi debu di pagi hari. Kemungkinan
pembakaran hanya murni kejahatan. Rumah dan harta pendudukjuga dibakar yang
mengakibatkan kerugian besar. Koresponden kami di Bandung melaporkan hari
Minggu di markas (sebelum politik bumi hangus), Komandan Divisi 23 Kolonel
Abdul Haris Nasution menjawab saat dikonfirmasi: ‘Saya telah mencoba untuk
mengakhiri semua pertempuran, tapi situasi sangat sulit’. Nasution hari Minggu
pagi kembali ke Bandung dari Batavia dimana sebelumnya Nasution telah memberitahukan
Sjahrir tentang situasi di Bandung. Dari Batavia, Nasution membawa pesan khusus
dari Sjahrir, TRI untuk tidak melawan dan pemerintah Indonesia menugaskan
Bandung selatan agar terus melindungi dua ratus ribu orang Indonesia dan Cina. Oleh
karena permintaan untuk menunda sepuluh hari pengosongan ditolak Inggris maka
terjadi peristiwa lautan api. Dalam situasi kejadian itu terdapat banyak
tentara independen, seperti Banteng Hitam dan organisasi lainnya. Di
dalam operasi pengosongan ini Jepang mengangkat bendera kuning dan tidak mengganggu
jalannya operasi, sebaliknya bahwa tidak ada pasukan Belanda yang ikut
berpartisipasi aktif dalam operasi.
Politik bumi hangus di Bandung telah
menyebabkan lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga dari Bandung
Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan (Algemeen
Handelsblad, 30-03-1946).
Bandung Utara vs Bandung Selatan
Sejak
Belanda mulai mendirikan ibukota Preanger di Bandoeng (1829), area Bandung
sudah dirancang secara terpisah yang dibatasi oleh jalan pos Trans-Java (lihat
Artikel pertama serial sejarah Bandung ini). Belanda lebih memilih bagian sisi
utara jalan pos ini karena lebih kering (Artikel-5). Pada tahun 1846 pemisahan
area orang-orang Eropa/Belanda dengan pribumi semakin jelas dengan pendirian
kantor Bupati di sisi selatan jalan pos (Artikel-4). Lalu migrasi orang-orang
Tionghoa dari Buiternzorg sejak 1860an yang mengambil sisi utara jaln pos
sebelah barat (Artikel-14). Ini menunjukkan semakin mempertegas bahwa sisi
selatan jalan pos Trans-Java adalah wilayah pribumi yang kerap disebut Bandung
Selatan. Sedangkan sisi selatan kerap disebut Bandung Utara. Antara utara dan
selatan terjadi gap yang semakin intens: secara fisik lebih kering (jarang
banjir), bangunan-bangunan umum terkonsentrasi di utara, taman-taman dan
perumahan elit yang semakin meluas ke utara.
Ketika
sekutu (Inggris dengan tentara Poenjab dan Maratta) melakukan pendudukan di
Bandung (sejak 17 Oktober 1945) yang mengambil tempat di Bandung Utara dan yang
pada akhirnya melakukan upaya pengosongan seluruh Bandung (utara, selatan,
timur dan barat radius 11 Km) pada batas ultimatum tanggal 24 Maret 1946,
persoalan utara-selatan Bandung mencuat kembali yang dinyatakan sebagai dua
sisi area pertempuran. Singkat kata: pasukan republic melancarkan serangan
mortir dari selatan ke utara dan pasukan sekutu melakukan pengosongan dan
pendudukan meluas ke selatan. Saat pengosongan inilah terjadi politik bumi
hangus yang menyebabkan Bandung Selatan menjadi ‘lautan api’.
Seperti dideskripsikan sebelumnya, area
kebakaran terkonsentrasi di Bandung Selatan, jumlah bangunan dan desa yang
dibakar umumnya di Bandung Selatan. Konsentrasi militer sekutu berada di
sepanjang rel kereta api (dari Tjimahi hingga ke Tjikoedapateh). Area
pertempuran antara sekutu dan republic terjadi di pusat kota. Target-target
utama pasukan republic adalah stasion kereta api, kantor telepon, kantor pos,
penjara Bantjeui, dan target lainnya di seputar itu (yang menjadi bagian dari
Bandung Utara, sisi utara jalan pos Trans-Java) serta penjara Soekamiskin (di
kejauhan).
Sejumlah
bangunan yang menjadi target republic dan juga bangunan-bangunan yang menjadi
tugas pengamanan oleh pasukan sekutu hanya terjadi kerusakan dan tidak ada yang
dilaporkan terbakar. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 18-06-1946 melaporkan bahwa
bangunan-bangunan yang lebih besar milik perusahaan utilitas (pemerintah Hindia
Belanda) tidak ada kerusakan berat. Hal ini juga terkait dengan posisi pasukan
republic yang juga bertanggung jawab
jangan sampai ikut terbakar dalam kejadian politik bumi hangus. Perusakan dan
pembakaran umumnya terjadi oleh ekstrimis (bukan TRI) di lingkungan milik
pabrik dan lingkungan bisnis pedesaan. Bisnis Cina telah hancur sebagian besar.
Sepanjang jalan menuju Oedjoengbroeng sebagian besar gudang-gudang hancur,
Soekamiskin (penjara besar) yang telah dikosongkan juga terjadi kerusakan. Ke
selatan, pengamatan menemukan beberapa kerusakan seperti pada stasiun Lamadjan.
Pusat-pusat perlawanan (pertempuran) berada di tempat yang disebut ‘benteng
desa’ yang berupaya menahan lajunya patrol sekutu.
Belanda Menggantikan Sekutu (Inggris)
Seperti
diduga oleh republic, sekutu yang dipimpin oleh Inggris dalam pendudukan, termasuk di Bandung yang awalnya Inggris
memastikan Belanda tidak turut aktif, kenyataannya (dalam perkembangan lebih
lanjut) ternyata berbanding terbalik antara yang disepakati dengan kenyataan di
lapangan. Pasukan militer Belanda secara perlahan menguntit di belakang sekutu
dalam hal ini Inggris. Keadaan terkini, justru pasukan Belanda telah mengambil
alih ‘kepemimpinan’ Inggris di Bandung.
Nieuwe courant, 26-06-1946: ‘melaporkan
dengan judul Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic di Bandung
selatan melancarkan protes. Dalam fase ini TRI bekerjasama dengan
kelompok-kelompo misterius (dalam hal ini laskar) mulai melakukan tindakan
praktek pengrusakan terutama di selatan sungai Tjitaroem. Yang dihancurkan
antara lain, jembatan, berkembang ke Soekamiskin, lokasi brigade Belanda di sisi
utara jalan pos. Dalam operasi, banyak ditemukan mortar di jalan yang
ditinggalkan ketika pejuang republic melarikan diri. Di sisi utara dan selatan
Tjimahi para penembak jitu Belanda terkena tembakan dan dinyatakan empat orang
Belanda luka. Kerigian di pihak republic tidak diketahui. Pengambilalihan resmi
komando Inggris oleh pasukan Belanda di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18
tempat. Markas Nederlandsche terletak di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal
De Waal. Markas Green Brigade dibawah Kapten Van Gulik konsentrasi di Tjiiandjoer.
Brigade-7 Infanteri Britisch Indiers sudah melakukan perjalanan (kembali) ke
Batavia. Bandara di Andir telah digantikan oleh sebuah unit dari penerbangan
militer Belanda, untuk kepentingan pengamatan udara.
Itulah rangkaian
kejadian politik bumi hangus di Bandung (selatan) yang menyebabkan terjadinya
lautan api. Praktis pada bulan Juni 1946 Bandung kembali dikuasai oleh Belanda
setelah pasukan sekutu (Inggris) membuka jalan bagi Belanda. Pada tahap
berikutnya Belanda yang melakukan serangan terhadap TRI dan penduduk yang
kemudian dikenal yang disebut Politie Actie atau Agresi Militer I (1947) dan
Agresi Militer II (1948).
Agresi Militer Belanda-II: Aksi Bumi Hangus di Padang Sidempuan
Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Politik
bumi hangus tidak hanya ditemukan di Bandung yang menyebabkan lautan api (vlammenzee)
tetapi politik bumi hangus juga terdapat di kota-kota lain di Jawa dan Sumatra.
Setelah Bandung, politik bumi hangus di Kota Padang Sidempuan menjadi perhatian
pers. Kota Padang Sidempuan adalah kota kampong halaman Kolonel Abdul Haris
Nasution dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Politik bumi hangus di Padang Sidempuan
terjadi tahun 1949, tigas tahun setelah politik bumi hangus di Bandoeng (1946).
Ini bermula ketika pasukan Belanda yang semakin menguat di Parapat lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai ibukota Keresidenan. Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan. Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali.
Dalam
agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan
melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi.
Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan
dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22
Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949). PDRI yang berkedudukan di
Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.
Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda
melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya
kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Dalam
tahun 1948 ini tiga putra-putri terbaik Mandheling en Ankola dibunuh. Pertama,
seorang kritikus dan esais terkenal bernama Ida Nasoetion diculik dan dibunuh
tanggal 23 Maret 1948 di Bogor. Gadis berumur 26 tahun ini adalah Presiden PMUI
(Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia). Kedua, Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap dibunuh pada tanggal 19 Desember 1948 di Surakarta. Amir Sjarifoeddin
adalah mantan Perdana Menteri RI, mantan Menteri Penerangan dan mantan Menteri
Pertahanan RI. Ketiga, Mr. Masdoelhak Nasution, PhD, diculik dan dibunuh
militer Belanda di Yogyakarta 21 Desember 1948. Masdoelhak Nasution kelahiran
Sibolga adalah doktor hukum 'cum laude' lulusan Universiteir Leiden yang
menjadi penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta yang
sebelumnya menjabat sebagai Residen Sumatra Tengah berkedudukan di Bukittinggi.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu,
pemerintah RI memutuskan untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada.
Pemerintah republik menugaskan pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo
menahan serangan serdadu Belanda yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah
Sibolga. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan
Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru
itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan
pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan
menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan
di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan
Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya
dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini
akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.
Setelah Batangtoru berhasil direbut,
selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat
tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke
Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan
dan para laskar diperintahkan melakukan taktik rintangan dan bumi hangus.
Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar
yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan
yang rata diberi berlobang dimana-mana.
De
locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian
Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di
pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat Malaka berlangsung pembersihan.
Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat
ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Sumatera, Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga),
Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan
(didesak keluar kota). Di Yogya sebanyak 169 mantan perwira TNI telah
melaporkan diri (penghianat republik)’.
Semua itu dilakukan agar kendaraan
militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak untuk
membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung
yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya
dibakar atau diruntuhkan.
Leeuwarder
courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘..Di Padang Sidempoean
kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di
bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan daripada di bagian
utara’’
Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang
Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota
Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya.
Het
nieuwsblad voor Sumatra, 11-01-1949: ‘di Tapanoeli TNI dan laskar republik
telah mundur ke gunung..di sini tidak ada kebijakan bumi hangus yang diterapkan
kecuali di Padang Sidempoean, Selatan Tapanoeli. Penduduk diminta meninggalkan
kota, diancam dengan pembalasan jika mereka bekerja sama dengan Belanda’.
Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli Selatan
pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana
Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga
telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan
perjalanan ke Panyabungan.
Kalisati
Siregar adalah alumni sekolah ekonomi di Batavia.yang kemudian berdinas di
Kantor Statistik di Batavi, Pada masa pendudukan Jepang, Kalisati pulang
kampung di Padang Sidempuan. Atas kemampuannya, pemerintah pendudukan Jepang di
Padang Sidempuan mengangkat Kalisati menjadi Kepala Kantor Perdagangan.
Kalisati Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (Ketua Dewan
Mahasiswa UI dan tokoh penting peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974/Malari).
Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan
pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala
Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar.
AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan
Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B
pimpinan Mayor Bejo.
Maskud
Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Dr. Arifin Siregar, seorang ekonomi
lulusan negeri Belanda. Setelah berkecimpung di lembaga-lembaga internasional
diluar negeri Arifin Siregar diminta pulang ke tanah air untuk membantu
tugas-tugas negear. Arifin M. Siregar (Arifin Maskud Siregar) pernah menjadi Gubernur
Bank Indonesia, Menteri Perdagangan dan Dubes Indonesia untuk negara Belanda.
Anggota AGS ini diantaranya bekas para
laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda
yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten
Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai dengan
senapan locok yang ada ketika itu. Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik
melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari
Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang
bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik.
Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta
anggota yang gugur dan terluka.
Pada tanggal 21 Januari 1949 kota
Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa
mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga
kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku
Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan
untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan.
Keesokan harinya Wakil Residen bersama
Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli
ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan
“Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui diplomasi di
PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub
Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan
perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh
Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar
guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik
kepada masyarakat di pedalaman.
Binanga
Siregar adalah Wakil Residen Tapanoeli. Sedangkan yang menjadi Residennya adalah Abdul Hakim
Harahap. Kelak, ketika terjadi genjatan senjata dan dilakukan KMB di Den Haag,
Abdul Hakim Harahap adalah penasehat ekonomi delegasi RI ke Den Haag, Abdul Hakim Harahap yang
menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Perancis) sepulang dari KMB menjadi Wakil
Perdana Menteri dalam kabinet terakhir di Jogjakarta (Kabinet Halim). Setelah ibukota RI pindah
kembali ke Jakarta (1950), Abdul Hakim Harahap ‘nganggur'; sementara Binanga Siregar
diangkat sebagai Residen di Sumatra Timur. Lalu pada saat penataan Provinsi Sumatra
Utara selesai dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, tahun 1951 Abdul Hakim Harahap
diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara (hingga 1953).
Mengetahui
pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17
Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar. Pada
tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka
meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang
dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya
pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju
Simangambat.
Pasukan Belanda sangat bernafsu untuk
menguasau kota Padang Sidempuan, karena kota ini merupakan persimpangan ke
empat penjuru mata angin. Ke arah barat ke Sibolga, ibukota Kresidenan Tapanuli
(pelbauhan laut); ke selatan menuju Bukit Tinggi (ibukota RI di pengungsian); ke
timur menuju Labuhan Batu (terus ke Medan); dan ke utara via Sipirok menuju
Tarutung (terus ke Medan). Kedudukan kota Sipirok yang menuju utara adalah
jalur utama jalan Sumatra di pedalaman antara Padang dan Medan melalui Bukit
Tinggi, Panyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, Tarutung, Pematang Siantar.
Oleh karenanya bisa dipahami mengapa pasukan Belanda bernafsu menguasai Sipirok
dan mengapa pasukan republik ingin tetap mempertahankannya.
Pertempuran
Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan
Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke
tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat,
maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang
melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang
Sidempuan. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam
merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan
terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I
Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B yang
dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan
Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat. Dalam pertempuran yang direncanakan secara
matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang
berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang
Sidempuan.
Mengapa begitu heroik pertempuran di Padang Sidempuan. Pertama, Kota Padang Sidempuan adalah kota terbesar jalur menuju Bukit Tinggi (ibukota RI di pengungsian). Jika kota ini jatuh, maka akses pasukan Belanda dari utara akan mudah menjepit pertahanan ibukota RI di Bukittinggi. Kedua, Tapanuli Selatan yang beribukota Padang Sidempuan adalah area/kota yang masih tersisa di Sumatra Utara dimana Belanda belum sepenuhnya dapat menguasai. Ketiga, menjaga harga diri kampong halaman yang mana para perantau tengah berjuang di kota-kota lain jangan sampai kampong halaman jatuh ke tangan Belanda. Orangtua, saudara dan kerabat para perantau berada di Tapanuli Selatan khususnya Padang Sidempuan, seperti Abdul Haris Nasution. Keempat, perlawanan terhadap pasukan Belanda di Tapanuli Selatan khususnya di Padang Sidempuan mendapat tambahan spirit yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III/Siliwangi telah mengirim para komandan terpilih di jajaran Siliwangi seperti Letkol AE Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adji (resimen yang bermarkas di Bogor) ke Tapanuli Selatan untuk turut membantu mengkoordinasikan agar fungsi (pertahanan) territorial RI tetap berlangsung efektif. Pangkat tertinggi selama ini yang ada di Tapanuli Selatan adalah berpangkat mayor, salah satunya Mayor Maraden Panggabean (kelak menjadi Panglima TNI di era orde baru).
Setelah kota Padang Sidempuan direbut,
pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang
Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat
tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan
pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan
serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan
oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti,
Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di
Huta Huraba.
Pasukan Belanda yang sudah menguasai
wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi
perlawanan balik. Pasukan Belanda menyusun rencana strategis baru untuk
melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari Padang Sidempuan.
Karena itu, pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda
mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan
berupa benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling
dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan.
Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout)
yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri.
Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut
Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.
Posisi Benteng Huraba yang diduduki
pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk
mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu pasukan Belanda waktunya
untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang,
Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada
dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda
yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini
pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir.
Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan waktu. Baru pukul
16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba
dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang
Sidempuan. Dalam
pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan
gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri
yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16
orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam
pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam
pertempuran yang heroik itu.
Meski Padang Sidempuan telah dikuasai pasukan
Belanda, paling tidak Benteng Huraba masih bisa dipertahankan. Area Benteng
Huraba adalah area yang sangat sempit diantara dua lajur pegunungan Bukit
Barisan yang merupakan jalan akses menuju Panyabungan (ibukota Tapanuli Selatan
yang baru) dan jalan menuju ibukota RI di Bukit Tinggi. Benteng Huraba adalah
lambing pertahanan Sumatra Utara (kini di atas benteng/bukit itu dibangun
monument perjuangan yang berbentuk Benteng (seperti buah permainan catur).
Pada
tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia
disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja
Bundar, sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang
dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil
perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan
diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Penduduk Sipirok sangat yakin tanggal 22 Mei 1949 ketika terjadi aksi pencegatan di Jembatan Aek Kambiri Sipirok, Jenderal Spoor tewas, ketika melakukan inspeksi dari Sibolga ke Padang Sidempuan lalu via Sipirok menuju Tarutung (lalu ke Medan). Sebab hari pertempuran itu, konvoi Belanda balik arah ke Padang Sidempuan yang mana markas militer di Padang Sidempuan dan pos-pos penjagaan Belanda sepanjang jalan antara Sipirok dan Padang Sidempuan terlihat bendera Belanda dalam posisi setengah tiang. Kisah heroik di Aek Kambiri ini telah saya buktikan dalam artikel lain, yang tewas (dugaan kuat) bukanlah Jenderal Spoor. Boleh jadi petinggi militer Belanda utusan Jenderal Spoor dari Jakarta. Saat Maraden Panggabean sebagai KASAD (1969) hal ini telah dokonfirmasi. Luit. col. JPHE van Lier, kepala urusan politik di kabinet van generaal Spoor, mengatakan selama periode itu, Jenderal Spoor tidak berada di Sumatra. ‘Pada hari Minggu 22 Mei saya telah diskusi dengan General di kantornya di Koningplein-Zuid, Batavia (lihat De Tijd : dagblad voor Nederland, 24-04-1969). Itu pengakuan Luit. col. JPHE van Lier saat dikonfirmasi tahun 1969. Yang dimuat dalam surat kabar De Tijd.
Saat itu pertempuran dianggap Belanda telah mereda dan untuk meyakinkan Spoor untuk kedatangannya ke Tapanoeli petinggi militer Belanda diutus lebih dahulu. Saat itu pertahanan militer terkuat berada di Bukittinggi yang menjaga ibukota RI. Utusan inilah yang diduga keras yang tewas. Jenderal Spoor sendiri dilaporkan meninggal di Batavia tanggal 25 Mei. Jarak antara kejadian Aek Kambiri tanggal 22 Meii dengan tanggal kematian Spoor 25 Mei memang begitu dekat. Persepsi tentang Spoor tewas di Aek Kambiri tetap ada hingga masa ini terutama di Sipirok. Saat kejadian pasukan RI dipimpin Letnan Sahala Pakpahan, pasukan yang berada dibwah komando Mayor Maraden Panggabean. Singkat kata: hanya Tuhan yang tahu duduk perkara yang sebenarnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar