Sisa bara api Bandung Lautan Api (24 Maret 1946) belum sepenuhnya padam, para pejuang masih berjuang di luar kota, di Bogor Soeria Karta Legawa, mantan Bupati Garoet mendirikan Partai Rakyat Pasundan. Ketika wilayah republik makin menyusut, karena digrogoti oleh Belanda, Negara Pasundan diproklamirkan di Bandung. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, ketika Belanda memberikan pengakuan pada Republik Indonesia, di Bandung pada tanggal 8 Maret 1950 dilakukan kembali ikrar: Wilayah Jawa Barat (eks Negara Pasundan) kembali menjadi bagian Republik Indonesia.
Jawa Barat tidak sendiri, juga terdapat di
Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Madura dan Indonesia Timur. Saat
ibukota RI di Bukitinggi, daerah-daerah lain yang masih republik hanya tinggal
hitungan jari, yakni: Aceh, Tapanuli, Djokjakarta dan Lampung. Daerah lainnya
bersifat otonom.
Proklamasi 17 Agustus 1945
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta. Teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno disamping Drs. M. Hatta
dihadapan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Tanggal ini menandai seluruh
rakyat Indonesia telah merdeka. Tidak tergantung kepada Jepang, tidak tergantung
kepada Belanda dan juga tidak tergantung Negara lain. Proklamasi ini telah
mengubah cita-cita yang sudah lama diimpikan dan kini benar-benar menjadi kenyataan.
Penduduk Priangan adalah rakyat Indonesia yang pertama bersukacita atas
kemerdekaan ini ketika di daerah-daerah lain kabar berita itu belum sampai.
Warta Priangan-Syuu edisi 20 Agustus 1945 |
Di luar Jakarta, penduduk Priangan di Kota
Bandung dan sekitarnya adalah rakyat Indonesia yang pertama yang mendengar isi
teks proklamasi kemerdekaan RI dibacakan oleh Sakti Alamsyah Siregar di Radio
Bandung pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 7 malam. Bagi penduduk yang tidak
sempat ‘nyalain’ radio mendapat kabar dari mereka yang mendengar. Untuk
memperkuat dan memperluas penyebaran berita kemerdekaaan tersebut, Warta
Priangan-Syuu edisi 20 Agustus 1945 pada halaman muka dimaklumkan kembali
(sesuai teks aslinya). Dibawah teks Proklamasi juga dimaklumkan isi hasil
keputusan rapat PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Sunda
yakni penetapan undang-undang dasar Republik Indonesia, memilih presiden
Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta.
Masih di halam pertama, isi mukaddimah undang-undang dasar dipampang dalam
bahasa Sunda.
Bandung Lautan Api
Belum
semua rakyat Indonesia mendapat kabar kemerdekaan (terutama daerah yang jauh),
kabar datangnya sekutu (yang dipimpin Inggris) juga telah merebak kemana-mana
termasuk di Bandung. Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Inggris mendarat di
Bandung. Warga Bandung dan penduduk Priangan geram. TRI tentara rakyat
Indonesia yang telah dibentuk oleh Menteri Pertahanan RI Amir Sjarifoeddin
Harahap, di Wilayah Priangan dibawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution melakukan
konsolidasi kekuatan yang sepenuhnya didukung warga Bandung dan penduduk
Priangan.
Sejumlah
insiden pun terjadi. Di beberapa tempat muncul pertempuran antara Inggris
(sekutu) dan republik (TRI, laskar dan penduduk). Ketika Inggris bermaksud melakukan
pengosongan untuk pendudukan seluruh Bandung dikeluarkan ultimatum yang harus
dituruti hingga batas tanggal 24 Maret 1946 pukul 24.00. Ultimatum ini coba
dinegosiasikan TRI untuk ditunda 10 hari lagi, namun ditolak Inggris. Kemarahan
warga Bandung makin memuncak. Saat pengungsian itu laskar dan penduduk aksi
perlawanan dengan metode politik bumi hangus. Hampir sepertiga wilayah Bandung
Selatan terbakar. Kejadian ini dikenal dan dikenang sebagai Bandung Lautan Api.
Suatu tindakan bersifat patriotic dan demi menjunjung harga diri bangsa.
Adanya
politik bumi hangus ini menghilangkan potensi tujuan Belanda yang
mengatasnamakan Inggris. Lalu kemudian Inggris akhirnya berhasil membebaskan
Bandung dan membuka jalan bagi militer Belanda masuk. Lalu Belanda bercokol
kembali di Bandung.
Di tingkat nasional, republik terus ‘terdesak’
dan selalu republik ‘dirugikan’ di setiap perundingan. Dampaknya adalah ibukota
RI harus pindah dari Jakarta ke Jogjakarta tanggal 4 Januari 1946. Sultan Jokja
membuka pintu lebar-lebar atas kedatangan para pimpinan republic (mungkin
karena nenek moyang sultan pernah mengalami mimpi buruk dengan Belanda di masa
lampau).
Kebringasan
militer Belanda semakin menjadi-jadi. Seperti di tempat lain, di Bandung TRI
terus berjuang dan para pemimpim lokal sepenuhnya mendukung di kantong-kantong pengungsian
di luar kota, meski dalam situasi dan kondisi penuh penderitaan.
Partai Rakyat Pasundan
Di
tengah-tengah wilayah penguasaan militer Belanda, di Bogor tak diduga Soeria Kerta Legawa membentuk Partai Rakyat Pasundan. Partai bentukan Soeria
Kerta Legawa cepat menyebar. Tidak hanya di Bogor, tetapi juga melebar ke
Cianjur dan Bandung. Di lapis pemudanya, di ketiga daerah ini juga muncul Partai
Pemuda Rakyat Pasundan. Manajemen pusat mengumumkan bahwa tujuan dari
organisasi Partai Rakyat Pasundan adalah untuk mendirikan negara sendiri. Jumlah
anggota saat itu diperkirakan sudah lebih dari 6.000 orang (lihat Nieuwe
courant, 02-01-1947).
Pada
tanggal 4 Mei 1947 Soeria Kerta Legawa benar-benar menepati janjinya dengan
memproklamirkan berdirinya Negara Pasundan di Bandung. Sebagian warga Bandung
dan penduduk Priangan ‘ngembang kadu’. Sebab saat proklamasi pembentukan Negara
Pasundan di tengah-tengah kaoum Pasundan
tampak didukung oleh militer Belanda. Rakyat Pasundan yang sebelumnya
100 persen republik, molohok dan penduduk menjadi terpecah: pro RI menolak
Belanda dan pro Belanda menolak RI.
Tokoh arogan di pihak Belanda (yang telah
menggantikan Inggris) adalah Luit. Gen. van Mook. Kebijakannya yang sangat
radikal yang melanggar semua perjanjian berawal dan yang terpenting adalah
ultimatum 15 Juli 1947 agar republiken mundur sejauh 10 Km dari garis
demarkasi. Ini mengingatkan kembali ultimatum Inggris terhadap republik di
Bandung pada tanggal 24 Maret 1946 yang menyebabkan terjadinya Bandung Lautan
Api. Dengan beridirinya Negara Pasundan, kini Bandung Lautan Api menjadi
Bandung Lautan Merah Putih Biru.
Belanda
kemudian menjalankan aksinya yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I
tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Pentolan Negara Pasundan bentukan Soeria
Karta Legawa mulai nyaman namun tidak sedikit lawan-lawan politiknya yang
meradang apakah yang berada di tengah kota maupun yang berada di luar kota
(pengungsian). Lambat laun sejak aksi militer Belanda dimulai, republic makin
terdesak dan sesak dengan berdirinya Negara Pasundan. Pihak Belanda lalu
memperkuat Negara Pasundan dengan melakukan serangkai konferensi yang dilakukan
pada tanggal 13-18 Oktober 1947 dan kemudian dilanjutkan pada tanggal 16-20
Desember 1947.
Akhirnya pada tanggal 1 Februari 1948 TNI
secara berangsur-angsur meninggalkan Jawa Barat menuju daerah republik di
Jogjakarta dan sekitarnya. TNI seakan tidak punya tuan lagi, para tuan yang
diamini konstituennya sibuk memperkuat Negara Pasundan. Sebagian lascar-laskar
dan tokoh pejuang kemerdekaan tidak bersedia hijrah ke pusat Jawa di Jogjakarta
dan tetap menetap di Jawa Barat tetapi tidak berafiliasi dengan Belanda.
Kelompok pejuang ini yang mengkristal menjadi kelompok DI/TII yang ingin
membentuk Negara Islam. Akhirnya penduduk Pasundan terkotak-kotak menjadi tiga
bagian: RI, Negara Pasundan dan DI/TII.
Pada
konferensi Negara Pasundan dari tanggal 23 Februari hingga tanggal 5 Maret 1948
segala persiapan tuntas dan pemimpin Negara Pasundan diangkat yang disebut Wali
Negara Pasundan. Peresmian dan pengambilan sumpah Wali Negara Pasundan, Raden Adipati
Wira Nata Koesoema tanggal 26 April 1948.
Nama RA Wiranata Koesoema tidak asing bagi
penduduk Priangan. Nama ini mirip dengan Bupati Bandoeng yang pertama yang
diangkat oleh Belanda pada tahun 1829.
Dalam
jajaran cabinet pemerintahan Negara Pasundan ini termasuk Wali Kota Bandung
pertama RA Atmadinata.
Belanda
yang belum puas dengan berdirinya sejumlah Negara ingin mencaplok wilayah RI
dengan melancarkan aksi militer keduanya yang dikenal sebagai Agresi Militer
Belanda II yang dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 ke jantung ibukota Republik
Indonesia di Yogyakarta. Aksi ini secara tersirat ingin menduduki semua wilayah
republik di seluruh Indonesia.
Korban pertama dari serangan militer Belanda
ke jantung ibukota RI di Yogyakarta adalah penasehat hukum Presiden Sorkarno
dan Wakil Presiden M. Hatta bernama Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D doctor muda
alumni Universiteit Leiden dengan predikat Cum Laude. Intelijen dan tentara
Belanda menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di
sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan
todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa
adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan
berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas
di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang
diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil
melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Yogya dapat
dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas
ditempat. Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa
yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan
penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Yogyakarta 21
Desember 1948 (De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor
Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Di pengadilan,
menurut De waarheid jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai
‘pembunuhan pengecut’ (De waarheid, 25-02-1949).
Soekarno
menyerah lalu ditangkap dan diasingkan ke Brastagi dan Parapat (dekat Danau
Toba). Akhirnya Ibukota RI di Jogjakarta dikuasasi oleh Belanda. Kehilangan
wilayah republic dan kosongnya kepemimpinan RI tanggal 22 Desember 1948 dibentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Syafrudin
Prawiranegara dengan ibukota Bukit Tinggi.
TNI kembali ke Jawa Barat tanggal 4 Februari
1949. Namun kedatangan TNI asal Jawa Barat yang tergabung dalam Divisi III
Siliwangi di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution ditolak oleh DI/TII.
Inilah pangkal perkara munhculnya perselisihan antara TNI dan DI/TII. Negara
Pasundan telah mengingkari Republik Indonesia, kini giliran DI/TII melakukan
pemberontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Militer
Belanda mengejar ibukota RI di Bukittinggi. Oleh karena letaknya di pedalaman
seperti Priangan, maka untuk menjepitnya dilakukan pengosongan dan pendudukan
dari dua sisi: Pelabuhan Padang menuju Bukittinggi dan Pelabuhan Sibolga menuju
Bukittinggi. Dua pelabuhan ini mudah dilumpuhkan tetapi penduduk di pedalaman
melakukan perlawanan yang heroik.
Dalam perlawanan republik terhadap militer
Belanda di Padang Sidempuan, sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada tanggal
24 Maret 1946, dilakukan politik bumi hangus. Kota kampong halaman Kolonel
Abdul Haris Nasution ini tidak sepenuhnya berhasil dikuasai Belanda sehingga
ibukota RI di Bukitting tetap terjaga. Kota Padang Sidempuan adalah kota besar,
kota yang menjadi akses satu-satunya dari arah utara menuju ibukota RI di Bukittinggi.
Benteng Huraba di dekat Padang Sidempuan jalan sempit menuju Bukittinggi tidak
berhasil ditembus militer Belanda. Bukitting tetap menjadi ibukota RI hingga
terjadinya genjatan senjata yang diikuti konferensi KMB di Den Haag. Ibukota RI
di Bukittinggi berakhir 13 Juli 1949. Selama genjatan senjata, Kolonel Abdul
Haris Nasution mengirim dua komandan terbaiknya di Divisi III Siliwangi (Bogor)
ke Padang Sidempuan yakni Letkol AE Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adji.
Federalis dan Republiken
Di
tingkat nasional pemerintah kolonial mulai melakukan konsolidasi terhadap
wilayah-wilayah yang sudah menjadi kekuasaan Belanda. Pada bulan Juni di
Batavia dilakukan pertemuan para petinggi dari wali-wali Negara yang telah
terbentuk. Sementara di wilayah Republik, seperti di Padang Sidempuan, Tapanoeli
masih tersisa pertempuran yang semakin memanas. Padang Sidempuan adalah kota kampong
halaman Kolonel Abdul Haris Nasution, salah satu diantara sisa wilayah republik
yang tidak berhasil dikuasai militer Belanda.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-06-1949: ‘Minggu
lalu diadakan pertemuan Perwakilan Tinggi, wali semua-gatra dan pertemuan
Kepala Daerah di Batavia. Dalam foto dari kiri ke kanan: Dr. Mansur, Mr.
Djumhari (Perdana Menteri Pasundan), Mr J. Vleer (Sekretaris BFO), RAA.
Cakraningrat (Madura), RAA Wiranatakusumah (Pasundan), Tjokorde Gde Rake
Sukawati (Indonesia Timur), Soeltan Hamid II (Kalimantan Barat), Abdul Malik
(Sumatera Selatan), Achmad Kusumonegoro (Jawa Timur), Anak Agung Gde Agung
(Perdana Menteri Indonesia Timur) dan Dr. Suparmo, anggota delegasi khusus dari
BFO, Madura’.
Sukarno dan Hatta Pernah ‘Mengingkari’
Republik Indonesia
Pada
waktu yang sama, di Indonesia pernah terjadi suatu yang ganjil: Dua orang Presiden,
dua orang Perdana Menteri dan dua orang Wakil Perdana Menteri. Kejadian ini
terjadi pada tahun 1950. Abdul Hakim Harahap adalah Wakil Perdana Republik
Indonesia (di Yogyakarta) yang mana Perdana Menteri adalah Abdul Halim dan
Presiden adalah Assaat. Sementara itu, Soekarno adalah Presiden dan M. Hatta
Perdana Menteri dari Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta. Ini berarti,
Soekarno-Hatta proklamator kemerdekaan Indonesia telah ‘mengingkari’ Republik
Indonesia (RI) dan meninggalkannya serta lebih memilih menjadi Presiden/Perdana
Menteri dari RIS.
Mengapa
Sukarno dan M. Hatta ‘mengingkari’ dan ‘meninggalkan’ Republik Indonesia?
Jawabnya adalah Republik Indonesia secara defacto hanya tersisa di dua wilayah,
yakni: Tapanuli dan Yogyakarta. Wilayah lainnya di Indonesia sejak kedatangan
kembali Belanda (aggresi militer) lebih memilih dan ingin membentuk negara
sendiri-sendiri atau negara otonom dan secara sadar meninggalkan Republik
Indonesia. Wilayah-wilayah yang membentuk negara (dan yang menjadi boneka
Belanda), antara lain: Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Timur, Negara
Pasundan, Negara Indonesia Timur.
Soekarno
dan M. Hatta boleh jadi beranggapan bahwa Republik Indonesia Serikat termasuk
di dalamnya Republik Indonesia (Tapanuli dan Yogyakarta) tetapi kenyataannya di
wilayah Republik Indonesia masih ada Presiden, Perdana Menteri, Wakil Perdana
Menteri dan menteri-menterinya. Ini bukan redundance, tetapi kenyataannya di
Indonesia terdapat dua republik yang masing-masing memiliki pemerintahannya.
Situasi
dan kondisi ini jelas berbeda ketika Pemerintah Republik Indonesia mengalami
kekosongan, ketika Soekarno menyerah lalu ditangkap Belanda di Yogyakarta dan
kemudian dibuang ke tempat pengasingan. Untuk mengisi kekosongan itu, di
Bukittinggi dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesi (PDRI) dengan
presidennya Sjafroeddin Prawiranegara. Dengan demikian tidak mengalami
redundance. Dengan terbentuknya RIS dan RI yang eksistensinya masih ada dan
jelas tidak redundance, tetapi benar-benar ada dua negara, dua pemerintahan dan
dua presiden. Ini jelas tidak lazim.
Seperti apa sisa Republik Indonesia yang
ditinggalkan Soekarno dan M. Hatta. Di Wilayah Republik Indonesia, Mr. Assaat,
Mr. Abdul Halim dan Mr. Abdul Hakim Harahap melakukan apa yang seharusnya
dilakukan sebagai pemimpin Republik Indonesia. Hal yang pertama dilakukan di
Yogyakarta adalah merehabilitasi para pejuang kemerdekaan dan keluarga. Para
pejuang telah banyak yang gugur dan yang masih hidup banyak yang cacat. Mr.
Assaat, Mr. Abdul Halim dan Mr. Abdul Hakim Harahap mengumpulkan para pejuang
yang makamnya terpencar-pencar (selama perang kemerdekaan) untuk disatukan di
dalam satu Taman Makam Pahlawan yang dihiasi dengan Monumen Perjuangan. Inilah
kebajikan para pemimpin yang seharusnya tidak boleh dilupakan.
Untuk lebih memuliakan para pejuang
kemerdekaan RI tersebut di Yogyakarta, ketiga tokoh penting ini ditempat yang
sama didirikan masjid besar yang diberi nama Masjid Suhada (masjid orang-orang
yang gugur di jalan Allah). Masjid Suhada adalah masjid besar pertama yang
dibangun Pemerintah Republik Indonesia. Biaya pembangunannya murni diperoleh
dari sumbangan masyarakat (karena uang Pemerintah Republik Indonesia saat itu
belum ada).
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
Area
pertempuran Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) adalah salah satu wilayah dari
beberapa sisa daerah republic yang tidak sepenuhnya bisa dikuasai Belanda. Para
pemimpin local juga tidak mau berkolaborasi dengan Belanda untuk mendirikan Negara
(boneka). Sebagaimana militer RI, para pemimpin lokal di Padang Sidempuan tetap
setia pada Proklamasi Kemerdekaan dan Pemerintah Republik Indonesia. Hanya
satu keinginan mereka, semua daerah-daerah yang telah membentuk Negara dan
berafiliasi dengan Belanda segera bertobat dan kembali ke Republik Indonesia
untuk membentuk Negara yang lebih besar: NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Permintaan untuk kembali ke RI dan memperkuat NKRI utamanya
ditujukan pada tetangganya Negara Sumatra Timur.
Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) kukuh tetap RI meski
penduduk semakin menderita dari hari ke hari apalagi setelah politik bumi
hangus. Ini ibarat 9 orang gila dari 10 orang dan hanya 1 yang waras,
sesungguhnya yang gila adalah satu orang. Wilayah Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) 100 persen
penduduknya adalah republiken hingga akhir hayatnya. Para perantau asal Padang
Sidempuan di berbagai daerah juga umumnya republiken. Tokoh-tokoh republican di
perantauan yang terkenal, antara lain: di Medan, Dr. Djabangoen Harahap, ketua
Front Nasional Medan dan wakilnya Mr. GB Josua Batubara; di Padang, Mr. Egon
Nasution alumni sekolah hukum Leiden (pendiri universitas pertama di Padang);
di Lampung, Mr. Gele Haroen Nasoetion, residen pertama Lampung saat
dipengungsian, Di Batavia, Parada Harahap (memimpin orang Indonesia pertama ke
Jepang termasuk di dalamnya M. Hatta), Adam Malik (pendiri kantor berita
Antara, kelak menjadi wakil Presiden), Mochtar Lubis (pendiri surat kabar
Indonesia Raya); di Bandoeng Sakti Alamsyah Siregar (kelak mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat), di Jawa Barat,
tentu saja Kolonel Abdul Haris Nasution;
di Jogjakarta: Dr. Parlindungan Lubis (pernah ditahan NAZI); di Soerabaya, Dr.
Radjamin Nasution (walikota pribumi pertama Surabaya), di Jawa Timur, Letkol
Ir, MO Parlindungan Siregar (pada tahun 1951 diangkat menjadi Direktur
Perusahaan Senjata dan Mesiu di Bandung yang kelak disebut Pindad). Termasuk
alm. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan Abdul Hakim Harahap di Jokjakarta. Abdul
Hakim Harahap, mantan Residen Tapenoeli yang menjadi wakil perdana menteri terakhir di ibukota RI
Jogjakarta.
Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah suatu negara
federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan
tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh
United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. RIS
ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian
RIS. Sebanyak 15 adalah gabungan Negara Bagian dan Negara Otonom (lihat table
di atas). Satu lagi adalah perwakilan dari Negara Republik Indonesia (gabungan
Atjeh, Tapanoeli, Djogjakarta dan Lampung)..
Negara Pasundan akhirnya dibubarkan pada tanggal 30 Januari 1950 dibubarkan dan
kembali ke Negara Republik Indonesia. Namun demikian, sejumlah pihak masih ada
yang tidak setuju, juga termasuk DI/TII. Gerak TNI cepat tanggap dan terus
mengantisipasi situasi dan kondisi yang berkembang di Jawa Barat pasca
Pengakuan Kedaulatran RI oleh Belanda untuk menjaga keamanan.
Hubungan Djogjakarta dan Medan terus dijaga. Di sejumlah
tempat eksistensi front nasional tetap terjaga seperti Front Nasional Medan yang
dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap, Front Nasional Soerabaja yang dipimpin
oleh Arnowo dan front nasional Sibolga yang dipimpin oleh Mohamad Nawi Harahap.
Di Medan, Front Nasional
yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen menginisiasi untuk melakukan Kongres Rakyat
pada bulan April 1950. Kongres Rakyat ini bertujuan untuk mengetahui rakyat
maunya apa: apakah federalis atau Republik. Hasilnya ternyata Republik dan
bubarkan Negara Sumatra Timur.
Secara dejure pada tanggal 20 Desember 1949 diresmikan
pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Perdana Menteri Mohammad
Hatta yang beribukota di Djakarta. Pemerintahan baru ini dibentuk sebagai wujud
dari hasil konferensi KMB yang mana diumumkan pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda. Namun secara defacto Belanda masih ‘berdaulat’ di Indonesia
terhadap bidang-bidang yang penting seperti industri dan perguruan tinggi.
Indonesia pasca KMB 1949
sejatinya terbelah-belah bagaikan buah belimbing: antara negara-negara federal
dan daerah otonom di satu pihak dan wilayah-wilayah republik (RI) di pihak
lain. Negara-negara federal pada dasarnya adalah negara ‘setengah Belanda’ alias
negara-negara boneka bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa
Timur, Negara Pasoendan, Negara Sumatra Selatan, Negara Indonesia Timur dan
lainnya. Sementara negara-negara otonomi diantaranya ditemukan di pulau
Kalimantan. Sedangkan wilayah RI hanya tinggal secuil dan wilayah RI yang
seteril hanya tinggal wilayah Djogjakarta (dan sekitarnya) dan wilayah
Tapanoeli. Saat ini wilayah Indonesia disebut negara RIS, singkatan dari
Republik Indonesia Serikat.
Namun tidak semua orang Indonesia mengakui hasil KMB dan
juga tidak semua orang Indonesia sepakat dengan Kabinet Mohammad Hatta meski
yang menjadi presiden adalah Ir. Soekarno. Resistensi ini di ibukota RI Djogjakarta
secara sadar dibentuk pemerintahan RI yang secara definitif memerintah pada
tanggal 21 Januari 1950 dengan presiden Mr. Assaat, Perdana Menteri Abdoel
Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Kabinet Halim terdiri
dari 13 menteri.
Meski namanya berlabel
Republik Indonesia tetapi sesungguhnya hanya sebagian kecil yang masih Republik
Indonesia. Sebagian besar adalah wilayah yang menjadi negara-negara federal
(dimana Belanda masih memiliki pengaruh kuat). Satu wilayah negara federal
dimana orang-orang Republiken cukup dominan adalah Negara Sumatra Timur (NST).
Dalam perkembangannya para Republiken di berbagai wilayah
mulai gerah karena terjadi dua (kepemimpinan) pemerintahan yang mana
kepemimimpinan pemerintahan RI dalam posisi yang tidak menguntungkan. Lalu,
mulai ada gerakan yang menghubungkan RI di Djogjakarta (Abdoel Hakim Harahap)
dan Republiken di Medan (NST) yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap.
Gerakan ini memunculkan protes keras (semacam pemberontakan) ke pusat RIS di
Batavia. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya
menyelenggarakan Kongres Rakyat di NST.
Gerakan RI dan Kongres
Rakyat ini sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta dan para pentolan
NST kasak-kusuk ke Batavia/Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat
kongres tersebut. Namun gerakan RI dan Kongres Rakyat yang diselenggarakan pada
tanggal 25 April 1950 hasilnya yang pada intinya adalah ‘Bubarkan NST’ dan
‘Bentuk NKRI’. Hasil ini ternyata kemudian membuat Presiden Ir. Soekarno
menjadi paham dan lalu memberikan dukungan terhadap hasil Kongres Rakyat di
Medan dan mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI.
Pada fase gerakan NKRI di Sumatra Timur yang telah
menjalar ke pusat (Djakarta). Situasi ini seakan mengambarkan dinamika politik
tingkat pemerintah dengan yang terjadi di level (bidang) pendidikan tinggi, RIS
beribukota di Djakarta cooperative dengan Belanda, sementara RI (para
republiken) yang beribukota di Djogjakarta mengusung RI 100 Persen. Akhirnya gelombang perubahan terjadi. Proses perubahan
RIS menjadi NKRI Sumatra Timur yang berpusat di Medan mencapai puncak pada
tanggal 17 Agustus 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 ini di Medan lalu
diperingati hari kemedekaan dengan inspektur upacara Mr. GB Josua Batubara
(pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk kali pertama
dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja di Medan. Dengan berkumandangnya
lagu Indonesia Raya di Medan dan sekitarnya maka para Republiken benar-benar
merasakan kemerdekaan sejati.
Republik Indonesia
Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950. Ini adalah kemenangan bagi Republik
Indonesia dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Itulah komitmen dari TNI juga termasuk komitmen penduduk Tapanoeli, Bagaimana dengan penduduk Priangan? Jelas masih
lebih banyak yang republiken. Jangan lupa, penduduk Priangan adalah yang
terawal bersukacita dengan berita kemerdekaan Indonesia. Juga jangan lupa
Bandoeng sudah menjadi pusat perjuangan kemerdekaan sejak awal.
Mengembalikan Semangat
Bandoeng Laoetan Api
Seiring dengan kemauan pemerintah pusat untuk membubarkan RIS dan membentuk negara kesatuan RI (NKRI), sejumlah pihak di Jawa Barat khususnya di Priangan mulai tersenyum. Para Republiken di Priangan dan khususnya di Bandoeng merasa lega. Akan tetapi tidak sedikit yang sangat kecewa. Hidup bagaikan roda pedati. Negara Pasundan sudah lama dilupakan (dibubarkan 30 Januari 1950). Jalannya dinamika politik saat itu memang begitu keadaannya, cepat dan adakalanya tidak terkendali. TNI di Jawa Barat sedang berada di atas angin. TNI mulai direcokin oleh pihak-pihak lain (termasuk para pengikut DI/TII).
Java-bode, 04-08-1950 |
Ketika TNI di Jawa Barat mulai direcokin, segera TNI
melakuan bersih-bersih diri. TNI selain mengawal dirinya tidak ingin direcokin.
TNI dengan komando andalannya Brigade-D
Siliwangi mulai memurnikan TNI.
Ini dapat dilihat seperti pengumuman
yang dimuat di surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 04-08-1950. Kesatuan RI sejati ini dipimpin
oleh Letkol Sambas Atmadinata. Komando
Brigade-D inilah yang kemudian bertransformasi menjadi Korem Bogor
yang kemudian disebut Korem Suryakencana. Pasukan dari korem inilah yang
kemudian berhasil ‘menumpas’
perlawanan DI/TII.
Di tingkat pusat NKRI baru terlaksana pada tanggal 6
September 1950 yang mana PM Mohammad Hatta harus mengundurkan diri dan kabinetnya
dibubarkan yang lalu kemudian ditunjuk M. Natsir sebagai Perdana Menteri yang
baru dalam kerangka NKRI. Yang mana sebagai Presiden tetap Soekarno dan
Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Negara-negara federal lainnya
lalu kemudian turut dibubarkan. Dan dengan demikian, tentu saja pemerintahan RI
di Djogjakarta Kabinet Halim lega dan legowo membubarkan diri. Abdoel Halim
adalah Republiken sejati dari Majalengka, Priangan dan Abdoel Hakim Harahap
adalah Republiken sejati dari Padang Sidempoean, Tapanoeli.
Abdoel Hakim Harahap
yang sedang menganggur dan ingin pensiun, namun tiba-tiba mantan Wakil Perdana
Menteri RI di Djogjakarta tersebut dipanggil Ir. Soekarno ke istana untuk
diberikan tanggungjawab menjadi Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari
1951. Province Sumatra Utara sendiri adalah gabungan dari tiga Residentie:
Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur. Inilah kemenangan RI terhadap RIS yang
dimulai di Medan. Pengangkatan Abdoel Hakim Harahap sebagai gubernur Sumatra
Utara adalah wujud terimakasih Soekarno
kepada Abdoel Hakim Harahap yang telah mempersatukan Indonesia kembali dalam
bentuk NK(RI).
Di Priangan, soerang Republiken sejati Mohamad Sanusi
Hardjadinata sumringah setelah terciptanya kembali NKRI. Kolonel Abdoel Haris
Nasution, yang sejak dulu menjadi sohib dari Mohamad Sanusi Hardjadinata, tetap
di posisinya di angkatan darat dan kemudian diangkat Soekarno menjadi Kepala
Staf. Sebagaimana Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara maka Mohamad
Sanusi Hardjadinata juga diberi tugas berat sebagai Gubernur Jawa Barat. Sementara
itu, Overste (Letkol) Ir. AFP Siregar MO Parlindoengan yang turut kembali pulang
dari Djawa ke Priangan diangkat Soekarno menjadi direktur pertama Perusahaan
Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (kelak menjadi PT PINDAD). Ir. MO Parlindoengan
adalah insiyur teknik kimia lulus Universiteit te Delf. Sedangkan para
republiken di Medan, Dr. Djabangoen kembali menjadi kepala laboratorium di
rumah sakit kota di Medan (kini RS Pirngadie); dan guru Mr. GB Josua Batubara
kembali mengurus lembaga pendidikannya Joshua Institut (masih eksis hingga ini
hari). Mayor Ibrahim Adjie yang dikirim Kolonel Abdoel Haris Nasution ke Padang
Sidempoena ditarik kembali ke Siliwangi untuk tugas berat yakni menetralisir
DI/TII.
Dari arsitektur pemerintahan
pasca NKRI di Jawa Barat khususnya di Bandoeng (Priangan) baik di eksekutif
maupun di militer umumnya diisi oleh para republiken sejati. Yakni para
Republiken yang aktif dalam perjuangan melawan Inggris pada bulan Maret 1946
saat dimana waktu itu terjadi peristiwa heroik yang dikenal dengan Bandoeng
Laoetan Api. Kini, semangat Bandung Lautan Api kembali menyala untuk mengawal
NKRI.
Saat NKRI mulai digoyang, dengan munculnya pemberontakan
di Atjeh, Sulawesi Selatan dan terakhir dengan munculnya PRRI di Sumatra Barat,
para republiken dari Jawa Barat yang tampil ke depan. Setelah universitas
negeri didirikan di Sumatra Barat, para republiken menginginkan pembentukan
universitas negeri di Bandoeng. Permintaan itu awalnya adalah Fakultas Teknik
dan Fakultas Eksak yang berada di bawah Universita Indonesia dipisahkan dan
dibentuk menjadi universitas di Bandoeng. Namun Presiden Universitas Indonesia
Bahder Djohan menolak. Lalu alternatifnya didirikan universitas yang baru yang
disebut Universitas Padjadjaran.
Dalam perkembangannya pecah
kongsi antara Soekarno dan Mohamaad Hatta yang mana Wakil Presiden Mohamad
Hatta meleatakkan jabatan tanggal 1 Desember 1956. Satu surat kabar di Djakarta
menulis: Dwitunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal. Tidak lama kemudian disusul
kudeta oleh militer terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi pada tanggal 20
Desember 1956 yang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein. Penduduk Priangan tentu
tampak kaget dengan eskalasi politik ini,
Dalam situasi inilah Kabinet Ali Sastroamidjojo dianggap
gagal. Perdana Menteri Ali Sastroamidjoj kemudian mengundurkan diri dan Kabinet
Ali-II dibubarkan. Kabinet baru yang yang dibentuk kemudian lebih berwarna
Bandoeng. Ir. Soekarno menunjuk Ir. Djoeanda Kartawidjaja yang nota bene adik
kelasnya di THS Bandoeng sebagai Perdana Menteri yang diresmikan pada tanggal 9
April 1957. Untuk posisi Menteri Pertahanan dipegang oleh Ir. Djoeanda. Sanoesi
Hardjadinata eks Gubernur Jawa Barat yang sudah mau pensiun dipanggil dan
diposisikan sebagai Menteri Dalam Negeri. Untuk urusan tentara tetap
dipercayakan kepada Major General Abdoel Haris Nasution.
Bagi pemerintah pusat,
PRRI seakan menjadi duri dalam daging. Taruhannnya adalah NKRI. Jalan diplomasi
telah buntu. Ini bukan perseteruan tokoh-tokoh Bandoeng di dalam Kabinet
Djoeanda versus tokoh-tokoh Sumatra Tengah (dalam kabinet) yang dipimpin Sjafroeddin
Prawiranegara. Ini adalah perbedaan haluan. Sikap anti-Belanda dari tokoh-tokoh
kabinet Djuanda versus sikap yang tidak dibenarkan oleh Sjafroeddin Prawiranegara
(De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 19-02-1958). Untuk itu, satu-satunya
jalan adalah menyerang dan melumpuhkan PRRI. Namun untuk urusan penyerangan ini
ada sedikit ada kendala. Soekarno masih meminta persetujuan kepada Mohamad
Hatta untuk penyerangan, tetapi Mohamad Hatta menolak menandatangani. Demikian
juga ketika tugas itu diserahkan kepada Kepala Staf Majorr General Abdoel Haris
Nasution lalu diserakan kepada Kolonel Achmad Jani. Akhirnya PRRI dapat
diredakan. NKRI tetap utuh.
Setelah PRRI selesai urusan keamanan juga tetap masih
ada. Gerakan DI/TII juga tetap dianggap duri dalam daging, Untuk mengatasi ini Majorr
General Abdoel Haris Nasution mengangkat anak buah terbaiknya Ibrahim Adjie sebagai
Panglima Siliwangi. Untuk urusan ini
diserahkan kepada Korem Soejakentjana (eks Brigade-D). Pimpinan DI/TII, Kartosoewirjo
dapat diamankan. Dalam fase inilah eksis tiga serangkai dari Bandoeng:
Soekarno, Djoeanda dan Nasution, tiga tokoh penting yang tidak tergantikan.
Dalam grup tiga
serangkai ini terselip satu menteri yang tidak tergantikan juga yakni Mr.
Arifin Harahap. Untuk sekadar diketahui Mr. Arifin Harahap adalah pimpinan
rombongan terakhir dari pemerintah RI dalam pengungsian ke ibukota RI yang baru
di Djogjakarta (Nieuwe courant, 17-10-1946). Mr. Arifin Harahap adalah adik Mr.
Amir Sjarifoeddin (tiga serangkai sebelumnya: Soekarno, Hatta dan Amir
Sjarifoeddin).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar