Di Medan sempat muncul surat kabar Benih Mardeka tahun 1916. Karena itu orang Medan sangat bangga karena sudah ada surat kabar yang menyuarakan merdeka sebelum kemerdekaan Indonesia. Demikian juga di Padang Sidempuan tahun 1919 terbit surat kabar Sinar Merdeka dengan editor Parada Harahap. Di Bandung bahkan lebih awal lagi, sejak 1892 dilaporkan ada nama kampong bernama Merdika.
Woningen aan de Nieuwe Merdikaweg te Bandoeng 1905 |
Kampong Merdika Bandung tidak dalam
konteks berpolitik. Namun namanya cukup terkenal di Bandung. Terkenal karena
letak kampong ini tidak jauh dari rumah Asisten Residen Bandung dan sekolah
guru (Kweekschool) Bandung. Kampong Merdika merupakan transformasi Kampong Lio namanya kemudian menjadi desa Merdika Lio yang dalam perkembangannya menjadi kawasan elit di Bandung (Utara). Lantas mengapa nama kampong itu disebut Merdika?
Ini ceritanya.
Asal
Usul Kampong Merdika
Pada tahun 1846 pemerintah membangun
sejumlah bangunan yang memerlukan bata. Bangunan-bangunan tersebut adalah rumah
Asisten Residen, istana Bupati Bandoeng, kantor pos, penjara, gedong mahkamah
dan tentu saja renovasi kantor Controleur (yang sudah dibangun sejak 1829). Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, pabrik bata dibangun karena tanahnya sesuai untuk
menghasilkan bata berkualitas.
Kweekschool Bandoeng (1866) |
Sejak
itu, area pabrik bata ini disebut kampong Lio. Pabrik ini cukup lama
beroperasi, karena tingkat ketersediaan bahan tanah yang melimpah. Bata dari
kampong Lio ini juga menjadi bahan yang digunakan untuk membangun sekolah guru
(kweekschool) Bandung tahun 1864. Gedung sekolah ini terbilang sangat mewah
dengan artsitektur modern. Bata produksi kampong Lio ini juga menjadi pemasok
untuk membangun rumah Residen Preanger tahun 1869. Bangunan ini sangat kokoh
dan mewah yang kini menjadi rumah Gubernur Jawa Barat.
Rumah Residen Preanger (foto 1880) |
Kampong Lio ini kemudian disebut Kampong
Merdika Lio atau Lio Merdika. Mengapa disebut Kampong Lio cukup jelas karena
area itu adalah pabrik bata dan genteng. Akan tetapi mengapa juga disebut
Kampong Merdika perlu diperjelas. Lalu nama yang muncul kemudian adalah Kampong Lio
Merdika atau juga disebut Kampong Merdika Lio.
Ketika
namanya disebut Kampong Lio Merdika atau Kampong Merdika Lio area itu tidak
lagi sebagai sentra produksi bata. Itu dulu. Eks lio (pabrik bata dan genteng)
ini yang kemudian muncul sebagai perkampongan orang-orang pendatang. Letaknya
di pinggir kota dan berbatasan dengan areal persawahan. Ketika nama Kampong Lio
Merdika makin popular, pabrik bata dan genteng yang terkenal di Bandoeng adalah pabrik bata yang berada di
Andir (yang kelak disebut eks lio tersebut sebagai Situ Aksan).
Satu fakta munculnya nama ‘merdika’ di
kawasan Kmapong Lio tersebut karena kawasan tersebut masih terbilang kosong
untuk Bandung Utara. Yang ada hanya Kampong Lio (eks lio) dan areal persawahan.
Sebagai kawasan pengembangan kota, pemerintah mendorong pengembang swasta untuk
membangun kawasan tersebut. Bagi pengembang tidak dikenai pajak tanah (karena diprogram
untuk menjadi kawasan hunian orang-orang Eropa/Belanda).
Java-bode, 12-02-1862 |
Terminologi
‘merdika’ sendiri sudah ada pada tahun 1852, suatu kata yang digunakan di Palembang
yang diartikan sebagai gratis (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-,
handels-, nieuws- en advertentieblad). Sementara itu, nama desa Merdika juga sudah ditemukan di afdeeling
Ponorogo tahun 1862 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-02-1862).
Terminologi ‘merdika’ ini semakin jelas
ketika terminologi ini sudah diadopsi sebagai kata baku-- yang bahkan digunakan
dalam--perundang-undangan yang berkenaan dengan kebijakan atau sistem budidaya kopi
sukarela yang dikenal sebagai ‘merdika-tuinen’ (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 02-09-1885). Sistem ini dimaksudkan untuk mendorong penduduk untuk
meningkatkan produksi dengan membebaskan sewa/pajak lahan jika lahan tersebut benar-benar digunakan untuk
produksi kopi. Kebijakan ini dengan sendirinya telah menggantikan Bijblad No, 2738 tahun 1873 yang dimulai diberlakukan di
Regentschappen Preanger mengeluarkan peraturan baru untuk memperkuat sistem yang baru yakni Bijblad No. 4076 tahun 1884. Dasar munculnya kebijakan dikaitkan dengan upah tenaga kerja yang naik karena tersedot untuk pembangunan
rel kerta api ruas Buitenzorg-Bandoeng. Dengan kebijakan baru ini, ‘merdika-tuinen’ diharapkan perkebunan kopi akan
lebih menguntungkan dan produksi kopi terus meningkat. Kebijakan ‘sistem
merdika’ ini juga terkait dengan konsumsi kopi pribumi yang semakin meningkat dari
waktu ke waktu di Jawa (lihat Algemeen Handelsblad, 29-01-1886).
Dengan
demikian terminologi ‘merdika’ menjadi kata baku untuk menyatakan pembebasan
sewa/pajak atas suatu pernntukan lahan yang diprogram oleh pemerintah. Dalam
hubungan ini, nama Kampong Lio yang telah ‘diperkaya’ menjadi Kampong Lio
Merdika atau Kampong Merdika Lio, karena di kawasan Kampong Lio telah
ditetapkan sebagai kawasan pengembangan pemukiman untuk orang-orang
Eropa/Belanda.
Kawasan
Merdika Semakin Berkembang
Peta 1905 |
Pada tahun 1892 di kawasan Lio Merdeka
ini sebuah hotel baru di buka, namanya Hotel Merdika (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-10-1892). Ini
satu-satunya hotel di kawasan Bandung Utara, karena hotel ini yang pertama. Pada
tahun 1896 muncul sebuah developer yang akan membangun perumahan di kawasan
Merdika Lio. Kawasan ini dianggap strategi karena posisinya yang relatif tinggi,
tersedia air yang cukup, dan proses land clearing tidak begitu sulit dan
memberatkan serta dekat dengan kota. Kavaling perumahan baru ini berada di
timur rumah Asisten Residen yang posisinya di arah belakang sekolah guru (kweekschool)
Bandung. Oleh karena areal kawasan ini masih kosong (sawah dan hanya ada satu
kampong, Kampong Lio) maka pengembang akan bebas mengatur sedemikian rupa tata
letak perumahan yang lebih teratur dan tidak seperti di tempat lain. Untuk
tahap pertama akan dibangun 60 unit dengan lebar halaman 40 meter setiap unit
pada sisi jalan yang akan dibangun (lihat De Preanger-bode, 09-11-1896).
Sawah di Kawasan Merdika (1900) |
Ini
dapat disimpulkan bahwa tahun 1896 kawasan Kampong Lio yang telah bergeser
dan namanya bertransformasi menjadi Kampong Merdika Lio menjadi babak baru dalam
planologi kota Bandung, khususnya perluasan kawasan pemukiman di Bandung Utara. Program ini
didukung penuh pemerintah dengan membebaskan sewa/pajak lahan bagi pengembang yang lahannya digunakan sesuai dengan peruntukkan lahan yang sejalan dengan visi misi pemerintah.
Peta 1910 |
Kampong Lio sendiri yang awalnya berada di sisi timur jalan ke utara telah digusur akibat pembangunan perumahan ini. Penduduk Kampoing Lio ini direlokasi ke jalan ke arah barat (sisi utara jalan) yang merupakan Kampong Merdika Lio yang dikenal sekarang (membandingkan antar peta dengan kurun waktu yang berbeda). Oleh karenanya Kampong Lio yang sekarang sesungguhnya tidak menggambarkan fakta yang sebenarnya, namun warga yang bermukim di situ berhak menggunakan nama Merdika Lio. Hal inilah diduga yang menyebabkan penulisan di surat kabar adakalanya disebut Merdika Lio dan adakalanya disebut Lio Merdeka. Yang jelas nama kampung tetap menggunakan kata 'lio', tetapi nama kawasan (perumahan) lambat laun hanya menyebutnya dengan satu kata saja yakni 'merdika', Hal erupa ini juga pernah terjadi di Deli tahun 1870an, dimana nama kampung Medan Poetri, lambat laun hanya disebut sebagai Medan saja (kota Medan)
Peta 1926 |
Kawasan Merdika ini berkembang terus dan
terus berkembang tidak henti. Perluasan kawasan terjadi. Akibatnya kawasan
Merdika, yang baru terbilang seumur jagung sudah segera menua. Nama kawasan Merdika di awal mulainya program kawasan namanya telah bergeser dengan sebutan Oud Merdika (Merdeka Lama) dan muncul nama Merdika
Baroe (Nieuw Merdika) (lihat De Preanger-bode, 14-12-1907). Seluruh kawasan yang semakin
ramai ini, kemudian dipermak dengan dibangunnya sebuah taman yang disebut Merdika Park (De
Preanger-bode, 28-07-1909). Merdika Park ini kemudian diganti dengan nama yang baru yakni Insulinde Park (kini Taman Lalu Lintas).
Singkat
kata Kampong Lio yang menjadi desa Merdika Lio menjadi kawasan elit di Bandung
(Utara). Kawasan ini terus berkembang bahkan hingga tahun 1950an (setelah
Indonesia merdeka). Tipologi kawasan elit Bandoeng serupa ini juga ditemukan di tempat lain: Di
Batavia kawasan perumahan baru muncul di Menteng, di Buitenzorg muncul Kawasan Taman
Kencana (atau kawasan Gunung Gede); di Medan muncul Kawasan Medan Baroe. Di Bandung sendiri tentu
saja Kawasan Merdika. Keempat kawasan ini terjadi pada waktu yang relatif bersamaan.
Peta 1950 |
Parada Harahap adalah pengagas Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia tahun 1927 yang disingkat PPPKI. Ketuanya M. Husni Thamrin dan sekretaris Parada Harahap sendiri. Supra organisasi (organisasi senior) ini berkantor di gang Kenari (situsnya masih ada hingga sekarang). Ke kantor inilah pada tahun-tahun sekitar itu Soekarno kerap berkunjung untuk menemui Parada Harahap. Di kantor ini hanya ada tiga foto yang dipajang Parada Harahap yakni: Sultan Agoeng, Soekarno dan Hatta. Untuk sekadar diketahui Parada Harahap pemilik surat kabar Bintang Timoer di Batavia (bertiras paling tinggi) dan sekaligus ketua 'KADIN' pribumi di Batavia adalah mentor politik praktis dari Soekarno, M. Hatta dan Amir Sjarifoeddin. PPPKI adalah pelindung organisasi junior (panitia) Kongres Pemuda 1928 yang mana bendahara panitia adalah Amir Sjarifoeddin. Dalam Kongres PPPKI yang dilangsungkan lebih awal dari Kongres Pemuda ini Soekarno dihadirkan sebagai pembicara. M. Hatta tidak bisa hadir dan mengutus Ali Sastroamidjojo. Soekarno sering mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer. Pada saat Soekarno diadili dan diasingkan, Parada Harahap (yang tidak punya 'utang' terhadap Belanda) pada akhir tahun 1933 memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang. Dalam tim yang diduga dibiayai oleh Parada Harahap ini termasuk M. Hatta yang baru lulus studi di Belanda dan pulang ke tanah air. Satu lagi yang termasuk dalam rombongan ini adalah seorang guru revolusioner dari Bandoeng. Rombongan ini mewakili pengusaha pertanian, pengusaha manufaktur (batik dari Pekalangongan), wartawan (Parada sendiri. The King of Java Press), akademisi (M. Hatta), politisi (Abdullah Lubis mantan anggota dewan kota Medan), dan guru (dari Bandoeng).
Last but not least, satu hal lagi, jalan utama di Kawasan Merdika Bandoeng Utara di era Hindia Belanda disebut Merdika weg (Jalan Merdika). Akan tetapi di era republik (pasca pengakuan kemerdekaan RI oleh Belanda) diganti menjadi Jalan Merdeka. Penamaan Jalan Merdeka untuk menggantikan Merdika weg sesungguhnya tidak tepat. Karena Merdika weg bukan bersumber dari kebangkitan bangsa (pribumi), melainkan insentif Pemerintah Hindia Belanda kepada developer Belanda. Seharusnya Jalan Merdeka yang tepat adalah sebagian dari Groote weg (jalan pos trans-Java) yang disebut Jalan Raya dan kemudian dibagi menjadi dua ruas: Jalan Raya Timur dan Jalan Raya Barat. Jalan Raya Timur telah diganti menjadi Jalan Asia Afrika oleh Soekarno jelang Konferensi Asia Afrika (Konferensi Bandung) tahun 1954. Namun sudah kadung, Merdika weg diganti oleh pemerintah daerah (1950) dengan nama Jalan Merdeka. Nama Jalan Raya Barat diganti menjadi Jalan Jenderal Sudirman. Nama yang tepat untuk menggantikan Jalan Raya Barat adalah Jalan Merdeka. Itu baru pas (Jalan Merdeka spesifik untuk Indonesia dan Jalan Asia Afrika spesifik untuk negara-negara Asia Afrika yang baru merdeka). Jalan Jenderal Sudirman lebih sesuai menggantikan Merdika weg.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Groote weg (jalan pos trans-Java) memiliki hubungan emosional langsung dengan penduduk Priangan (Preanger). Jalan yang digagas oleh Daendels (1810) ini telah memakan banyak korban penduduk Priangan dalam pembangunannya. Adanya jalan pos ini merupakan simbol pendudukan awal wilayah Priangan. Lalu di era van den Bosch, jalan ini juga telah memakan banyak korban dalam transportasi kopi setelah adanya kebijakan van den Bosh tahun 1830 yakni sistem tanam paksa Koffiestelsel. Keuntungan kolonial yang besar, produksi kopi melimpah dengan memaksa penduduk (upah tenaga kerja murah) dengan harga jual yang rendah dan upah angkut yang murah. Akibatnya banyak penduduk Priangan menderita dan meninggal. Untuk memaklumkan ini, pemerintah pada tahun 1846 membangun istana Bupati di sisi Groote weg agar pindah dari Bandoeng (lama) yang dikenal kemudian Dajeuh Kolot. Permasalahan di regenschap (kabupaten) Preanger ini dengan Groote weg juga terjadi di afdeeling (kabupaten) Mandailing en Ankola pada tahun 1840 (penerapan koffistelsel) dan membuka jalan dari Kotanopan (kampong halaman Abdul Haris Nasution) ke pelabuhan Natal. Penduduk Mandailing dan Angkola banyak korban seperti di Preanger. Sebagian penduduk memberontak (dan eksodus ke Semenanjung Malaya). Penderitaan ini direkam oleh controleur Natal, Edward Doewes Dekker yang lalu memprotes kebijakan stelsel dan kemudian berbalik untuk mengadvokasi penduduk. Akibatnya Dekker dipecat sebagai controleur di Natal dan diasingkan selama setahun di Padang. Setelah kasus ini Edward Douwes Dekker menulis buku yang terkenal Mah Havelaar alias Multatuli. Singkat kata: penduduk Priangan dengan penduduk Mandailing en Angkola (yang kini beribukota di Padang Sidempuan) adalah wilayah-wilayah di Indonesia dimana tanam paksa penduduknya paling menderita dari kebijakan Koffiestelsel.Itulah sejarah Kampong Lio Merdika atau Kampong Medika Lio. Jika ingin menulis sejarah baru, jangan lupa ada sejarah lama. Merdeka!
good information and interesting to read. thank you very much for all the information
BalasHapusCara Membuat Ikan Menyambar Umpan
merdika lio jaman skrg : timur - barat : wilayah taman lalu lintas sampai rumah panglima. Utara - selatan : kawasan tamansari bawah - jl purnawarman sampai rel kereta api
BalasHapus