Hampir semua nama jalan pada era Belanda di Bandung yang berbau Belanda telah diganti, kecuali beberapa yang masih terus eksis. Demikian juga nama Tionghoa telah digeser. Yang ada sekarang umumnya nama-nama pahlawan. Nama-nama seperti pulau, nama daerah, nama gunung sebagian besar masih tetap dipertahan.
Winkel straat di Bandoeng (foto 1900) |
Nama Jalan Pertama
Nama jalan pertama di Bandung adalah Groote post
weg (jalan besar) yang merupakan jalan pertama yang ada di Bandung. Jalan ini
sudah ada sejak era Daendels. Groote post weg (mulai dari Tjimahi hingga
Odjoengbrung) telah dibagi ke dalam beberapa ruas jalan dengan nama yang baru
seperti jalan Asia Afrika.
Groote post weg (foto 1890) |
Nama jalan kedua yang ada di Bandung adalah Asisten
Resident weg. Nama jalan itu menuju rumah Asisten Resident pada tahun 1846. Rumah
Asisten Residen itu berada di Pieters Park (kini Taman Balai Kota). Namun pada
tahun 1890-an namanya lebih dikenal sebagai Braga weg. Nama Braga tetap
dipertahankan hingga ini hari sebagai jalan Braga.
Winkel straat (foto 1880) |
Jalan ABC Bandung |
Nama jalan yang terbilang awal adalah Bantjeui weg dan
ABC weg. Bantjeui weg adalah jalan dari kantor pos di Groote weg menuju penjara
Bantjeui. Area ini disebut ‘bantjeui’ karena di masa lampau antara ‘kantor
post’ dengan penjara terdapat tempat peristirahatan kuda-kuda pos. Penjara dan
pos dibangun tahun 1846. Sementara ABC weg adalah jalan yang menghubungkan
ujung Bantjeui weg dengan Winkel straat. Disebut ABC weg karena terdapat toko
Tionghoa yang terkenal waktu itu, yakni: Toko ABC.
Itulah ruas-ruas jalan yang muncul pada
permulaan perkembangan Kota Bandung, yakni: ‘jalan negara’ Groote weg (beberapa
ruas) dan ‘jalan kabupaten’ Winkel/Pasar Baroe weg, Asisten Residen/Braga weg
dan Bantjeui weg. Peran keempat jalan tersebut masih penting hingga ini hari.
Dari empat jalan ini, jalan-jalan baru bertambah tidak hanya di utara Groote
weg tetapi juga selatan Groote weg.
Nama Jalan di Kota Bandung
Groote post weg (foto) 1910 |
Nama-nama jalan di Kota Bandung (sebagaimana
di kota lain) didasarkan pada criteria tertentu yang terbagi ke dalam beberapa
kategori: nama situs (seperti Bantjeui), nama pahlawan (de Houtman), tokoh yang
umumnya terkait kerajaan Belanda, tokoh nasional (seperti Idenburg) dan tokoh lokal
(nama mantan wali kota), nama geografis (pulau, daerah, gunung, sungai dan
lainnya), tokoh Tionghoa, nama yang dihubungkan dengan kraton (kerajaan) dan
lainnya.
Di Medan juga terdapat cukup banyak nama-nama tempat
manca negara seperti Hong Kong, Macao, Manila. Nama-nama tokoh internasional
seperti Sun Jat Sen, Nehru dan Jose Rizal. Nama pemimpin local seperti
nama-nama Sultan dan bahkan nama swasta seperti Hattenbach. Munculnya nama-nama
tersebut tidak hanya karena bersifat alamiah (karena memang wajar dan pantas) tetapi
juga bersifat politis (diusulkan oleh pihak yang memiliki kekuatan, seperti
kraton/istana atau pengusaha besar).
Perubahan Nama Jalan (Era Belanda)
Masjid Bandoeng (foto)1890 |
Nama yang juga diubah adalah Moskee weg
menjadi Dalem Kaoem weg. Perubahan nama moskee (masjid) menjadi ‘dalem kaoem’
tidak begitu jelas. Namun yang jelas pada periode kebangkitan bangsa (1900-1928)
nama Moskee weg ini sangat terkenal. Popularitasnya bahkan mampu menyanigi
Braga weg. Perubahan nama dari moskee ke dalam kaoem diduga karena di sekitar
jalan Moskee weg kerap terjadi rapat-rapat besar yang menggunakan Gedong
Soedara, milik paguyuban Soedara (sarekat pedagang pribumi yang berafiliasi
dengan Sarekat Dagang Islam). Dalam perkembangannya, struktur pengurus Paguyuban
Soedara mengalami perubahan yang dulunya adalah didominasi oleh tokoh-tokoh
Islam yang pulang dari Mekkah menjadi tokoh-tokoh moderat (kombinasi kalangan
istana dan kaoem terpelajar).
Masjid Bandoeng adalah salah satu situs penting di Bandung.
Masjid ini dibangun pada tahun 1876 (setelah Perang Atjeh). Dana pembangunan
masjid Bandoeng ini juga termasuk bagian dari pengumpulan dana nasional untuk
rehabilitasa Masjid Raja Atjeh (setelah luluh lantak pada Perang Atjeh). Masjid
ini dirancang oleh Ir. G. van Nes sekaligus yang mengawasi proses
pembangunannya. Arsitek Nes juga adalah arsitek yang sebelumnya telah merancang
teater Braga (yang nama Braga menjadi Braga weg). Masjid Bandoeng lalu kemudian
diserahkan kepada pengurus yang dipimpin Pangheloe Bandoeng.
Gedung teater Braga (yang dimiliki oleh
orang-orang Italia) awalnya hanya menyewa tanah yang dimiliki oleh Letnan Cina
yang lokasinya persis berada disamping gedung Societeit Concordia (kini menjadi
Gedung Merdeka). Letnan Cina ini adalah orang kaya di Bandoeng yang memliki
kekayaan di atas orang-orang Eropa, kebajikannya terkenal karena membangun
Klenteng Bandoeng dengan biaya sendiri.
Groote weg di depan Hotel Homann (foto) 1895 |
Dengan demikian nama-nama jalan di Bandoeng
di era Belanda tampak berwarna warni: Eropa, Tionghoa dan pribumi (kraton).
Satu hal yang agak unik (tidak begitu jelas sabab musabanya) adalah kehadiran
nama Multatuli weg di Bandung dan Max Havelaar di Medan. Nama Max Havelaar
diambil dari nama buku karangan Edward Douwes Dekker (mantan controleur Natal,
Tapanoeli yang kontoversial, pejabat pemerintah Belanda tetapi mengadvokasi
penduduk Mandailing en Angkola). Pada era kemerdekaan nama Multatuli weg tetap
dipertahankan di Bandoeng, sedangkan nama Max Havelaar weg di Medan digeser
menjadi Jalan Multatuli.
Perubahan Nama Jalan (era Kemerdekaan)
Nama-nama jalan di Bandung pada era Republik
Indonesia sebagian besar diubah setelah pasca pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda. Perubahan nama jalan ini sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat, efektif
baru berlangsung pada tahun 1950. Groote weg menjadi Jl. Raya Barat, Jalan Raya
dan Jl. Raya Timur. Dalam perkembangannya Jl. Raya Timur menjadi Jl. Asia
Afrika.
Bragaweg tetap dipertahankan. Nama Braga adalah suatu
sarikat seni yang digagas oleh seorang Italia yang mengadakan pertunjukan seni,
drama, music, pantomim. Oleh karena nama tempat hiburan ini makin popular,
lambat laun nama jalan tempat dimana teater ini berada menjadi Bragaweg
(sebelumnya bernama Asisten Resident weg). Nama jalan lain yang tetap
dipertahankan adalah Boscha dan Pasteur.
Nama-nama tokoh Belanda semuanya diubah. Tokoh
lokal yakni walikota Bandung pertama ditabalkan namanya sebagai Burgemeester Coops
menjadi Jl. Padjadjaran, Burgemeester Kuhr weg menjadi Jl. Purnawarman.
Sejumlah tokoh nasional seperti Idenburg weg
(Jl. Sukabumi), Daendels weg (Jl. Jakarta), Heutz weg (Jl. Serang), De Stuers
weg, Both weg (Jl. Teratai), Rochussen weg (Jl. Kacapiring). Ruyterlaan (Jl. Martadinata).
Jika mundur ke belakang ada nama-nama tokoh penting lainnya, seperti Riebbeek weg
(menjadi Jl. Pacar), Houtman (Jl. Tjioedjoeng) dan Tasman weg (Jl. Cilaki).
Hollandia straat (nama kapal ekspedisi Cornelis de Houtman).
Juga ada nama-nama terkait kerajaan, seperti Nassau, Juliana
weg, Emma weg, Wilhelmina boulevard (Jl. Diponegoro)
Nama-nama daerah sebagian besar dipertahankan.
Namun ada yang diganti: Madura weg menjadi Jl. Angkuning, sebaliknya Soenda straatc
menjadi Jl. Sumbawa. Lalu Oosteinde weg
menjadi Jl. Sunda. Sementara nama-nama
yang terkait dengan kraton: Pangeran Sumedang weg menjadi Jl. Pasar Baru, Regent
weg menjadi Jl. Kabupaten (kini Dewi Sartika), Soenia Radja (Sunia Raja)
Nama gunung: Papandaya (tetap), Slachthuis weg (Jl. Arjuna).
Nama lainnya seperti Multatuli, Merdika lio weg (Jl. Pajajaran), Bantjeui weg (tetap), Boengsoe
(Bungsu) dan Tamblong (Tamblong)
Nama situs seperti Resident weg (kini Jl. Gubernur), Kerk
weg (Jl. Gereja). Pada peta 1910 disebut Moskee weg namun dalam peta-peta
selanjutnya disebut Dalem Kaoem weg. Situs lainnya adalah HBS, School weg (Jl.
Merdeka), Loge weg (Wastu Kencana), Hoogeschool, Oudehospitaal weg (Jl, Lengkong)
dan Societeit straat (Jl. Patra Komala).
Nama-nama jalan lainnya yang tetap dipakai
antara lain: ABC, Naripan dan sebagainya.
Apakah Nama Jalan Bisa Diubah?
Nama jalan haruslah dipandang sebagai wujud
dari karakter kota. Nama jalan di kota seharusnya nama jalan mewakili nama yang
ditabalkan. Nama yang ditabalkan pada jalan haruslah proporsional dalam arti
nama tersebut dapat ditelusuri mengapa nama jalan tersebut diberi nama.
Nama-nama jalan di kota sesungguhnya dapat dipandang sebagai ‘buku sejarah’
dalam bentuk ‘peta jalan’. Taman Sejarah yang kini dipopulerkan Pemerintah Kota
Bandung harus diperluas maknanya ke ‘peta nama jalan’. Itu baru sempurna.
Dengan demikian, ketika anak-cucu bertanya suatu waktu apa artinya nama jalan
yang dilaluinya harus dapat menjelaskan dengan sendirinya. Ini berarti, ‘peta
nama jalan’ akan lebih abadi dan dengan sendirinya akan memperkuat eksistensi Taman
Sejarah di Kota Bandung.
Jika Taman Sejarah yang kita jadikan sebagai patokan untuk masa datang, maka nama-nama jalan di Bandoeng dapat saja dievaluasi kembali, dikoreksi dan diberi nama baru. Perubahan nama boleh-boleh saja demi untuk membangun sejarah itu sendiri. Jangan sungkan untuk mengubah nama jalan jika nama jalan yang ada sekarang tidak proporsional. Misalnya, Jalan Merdeka sangat proporsional untuk saling menggantikan antara Jalan Merdeka dengan Jalan Jenderal Sudirman. Di Padang Sidempuan, malah sebaliknya, Jalan Jenderal Sudirman saling menggantikan dengan Jalan Merdeka (aneh bukan?). Juga nama jalan Dalem Kaoem dikembalikan menjadi Jalan Masjid. Dan tentu saja akan banyak nama yang dapat diubah jika dikaji lebih komprehensif. Jangan asal menganti tetapi malah menimbulkan kontroversi. Jalan Merdeka (utara, timur, barat dan selatan) di Jakarta adalah contoh yang baik hal yang bersifat kontroversi (pro-kontra) ketika namanya ingin diubah.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sember-sumber tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar