Kantor Controleur Bandoeng (foto 1880) |
Identifikasi
Nama Bandoeng
Nama Bandoeng sudah lama ada. Orang-orang Portugis sudah
mengidentifikasi nama Bandoeng di dalam peta 1755 sebagai suatu wilayah di
utara wilayah Sidamer. Di dalam peta tersebut, di timur wilayah Bandoeng adalah
wilayah Priangan. Sementara di selatan wilayah Priangan adalah wilayah
Soekapoera. Di pantai selatan Jawa, wilayah antara Soekapoera dan wilayah
Sidamer adalah wilayah Kandang Wessi.
Peta 1755 |
Bandoeng sebagai nama tempat (plaat) dan nama wilayah
(region) tidak teridentifikasi dalam literatur Belanda, meski secara politik
(pulau) Jawa adalah wilayah penguasaan Belanda. Wilayah penguasaan Portugis
yang tersisa hanya tinggal sedikit di (pulau) Timor yang kini disebut Timor
Timur.
Keutamaan Bandoeng oleh Portugis karena wilayah laut pantai selatan Jawa
adalah rute pelayaran Portugis. Perairan ini di era VOC jarang dilalui oleh
kapal-kapal Belanda. Pemerintah VOC hanya konsentrasi wilayah pantai utara
(pulau) Jawa. Dalam berbagai ekspedisi VOC wilayah pedalaman, baru sampai di
Bogor yang dilakukan Abraham van Riebeek tahun 1703 (dari Batavia). Satu
ekspedisi lagi dari Chirebon baru sampai Sumadang. Dengan demikian, wilayah
antara Buitenzorg (nama baru yang diberikan Belanda) dengan Sumadang sama
sekali ‘gelap’ bagi Belanda, tetapi tidak bagi Portugis. Abraham van Riebeek
menjadi Gubernur Jenderal VOC antara 1709 hingga 1713.
Nama Bandong baru teridentifikasi setelah Pemerintah Hindia
Belanda (1800) menggantikan Pemerintahan VOC. Pejabat tinggi Pemerintah Hindia
Belanda yang pertama melakukan ekspedisi ke Priangan (kemudian mereka menyebut
menjadi Preanger) di bawah pimpinan van den Bosch di era Gubernur Jenderal
Daendels (1808-1811). Hasil ekspedisi ini (1806) yang diduga menyebabkan rute
pembangunan jalan pos trans-Java antara Anjer dan Panaroekan (1810) tidak
melalui Crawang (pantai utara) melainkan melalui pedalaman, yakni menarik garis
ekonomi dari Buitenzorg ke Chirebon yang melalui Tjiseroa, Tjiandjoer, Baybang
(kini Radjamandala), Sumadang, Carang Sambong.
Jembatan bamboo di Sungai Tjikapoendoeng Bandoeng |
Identifikasi Nama Kampong di Region Bandoeng
Peta 1818 |
Pada tahun-tahun pembangunan jalan pos trans-Java
(1810-1811), jalan pos dirintis di area yang lebih tinggi region Bandoeng.
Kampong-kampong yang dilalui jalan pos dari Baybang (Radjamandala) hingga
Sumedang adalah Tjitjendo, Tjilankap, Tjitepoes, Tjirangrang, Tjipagantie,
Bondjongsoang (lihat Peta West Java 1818). Sementara kampong Bandoeng terletak
di selatan di pertemuan sungai Tjikapoendoeng dengan sungai Tjitaroem.
Pada tahun 1829, ketika controleur ditempatkan di Bandoeng, jalan pos awal
ini telah bergeser ke arah bawah dengan membuat jalan baru yang sangat lurus
(kini sebagian menjadi ruas jalan Asia Afrika). Di sisi utara jalan pos baru
inilah kantor/rumah controleur. Koordinatnya: sisi utara jalan pos dan sisi
timur sungai Tjikapoendoeng. Nama tempat ini disebut Bandoeng yang mengadopsi
nama kampong Bandoeng di selatan di pertemuan sungai Tjitaroem tempat dimana
Bupati Bandoeng memerintah penduduk Bandoeng. Seorang (pejabat atau
wisatawan?) beberapa tahun kemudian
menulis di surat kabar, ibukota baru Bandoeng (tempat controelur berkedudukan)
sangat sepi dan lingkungan hutan sangat lebat. Jarak terdekat dari hoofdplaat ini
adalah tiga mil dari kampong Bandong (lama), juga tiga mil ke kampong
Bojonegoro, dan tiga mil ke kampong lainnya di arah timur, Odjoengbrung. Ini
berarti, ibukota Bandoeng (baru) berada di area kosong, yang menjadi pusat
lingkaran dari kampong-klampong Tjimahi (barat), Odjoengbrong (timur),
Tjipaganti (utara) dan Bandoeng (lama) di selatan. Nama Tjimahi sendiri tahun
1828 terlah teridentifikasi sebagai nama tangsi militer. Di dekat Odjong brung
juga terdapat tangsi militer. Orang-orang Eropa terdekat dari hoofdplaat
ibukota ini ada di Odjongbrung yang telah membuka perkebunan. Odjongbrung
sendiri sudah lama berkembang sebagai area plantation yang merupakan perluasan
dari Sumedang/Tjirebon. Sedangkan area perkebunan utama di barat baru sampai di
Baybang (Radjamandala) yang merupakan perluasan dari Tjiandjoer/Buitenzorg.
Nama-Nama Kampong di Kota Bandoeng
Area cekungan Bandoeng (kota Bandoeng masa ini) adalah area
yang dulu di sana-sini banyak rawa-rawa dan kerap terjadi banjir. Karena itu,
boleh jadi, sejak ‘baheula’ area ini tidak pernah ditempati oleh penduduk Priangan,
kecuali sebagai tempat berburu, tempat mengambil ikan dan meramu (mengambil
hasil-hasil hutan). Meski demikian, sudah ada jalan perlintasan antara selatan
(Bandong) dengan Tjipaganti berupa jalan setapak (transportasi kuda) atau
gerobak (gerobak tanpa roda yang ditarik kerbau). Antara Tjimahi dengan
Odjoengbrung kemudian dilalui jalan pos di area yang lebih tinggi (lebih
kering).
Pembangunan jalan pos trans-Java yang baru (Tjimahi dan Odjoengbrung)
sebagai pengganti jalan pos yang lama dikerjakan oleh militer ketika menyiapkan
ibukota Bandoeng dimana controleur berkedudukan. Jalan pos baru ini sangat
lurus yang menembus rawa-rawa dan membangun jembatan beratap di atas sungai
Tjikapoendoeng.
Dengan demikian tidak satupun terdapat kampong di sekitar
ibukota Bandoeng yang baru, yang merupakan perpotongan jalan setapak antara
Bandoeng lama (kemudian menjadi Dajeuh Kolot) dengan Tjipaganti dengan jalan
pos yang baru antara Tjimahi dengan Odjoengbrung. Karenanya tidak satupun
nama-nama kampong (lama) yang muncul dan teridentifikasi ketika Belanda memulai
membangun kota Bandoeng.
Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mengokupasi kampong penduduk,
melainkan membangun pusat pemerintahannya jauh dari kampong-kampong lama, Hal
ini juga terjadi di Batavia dan Semarang (casteel), di Medan, di Buitenzorg dan
di Padang Sidempuan. Pemerintah Hindia Belanda menganggap penduduk adalah
partner, karena penduduklah yang akan membantu tujuan kolonialisasi mereka.
Namun demikian, Belanda tetap menjaga jarak dan karena itu ibukota selalu
terdapat jarak dengan kampong-kampong terdekat. Untuk soal nama ibukota
hoofdplaat ada dua cara yang digunakan: pertama, mengadopsi nama kampong
terdekat seperti Bandong, Semarang, Soerabaja, Medan dan Padang Sidempuan.
Kedua, dengan cara memberi nama baru (berdasarkan situs yang sudah ada) seperti
Batavia, Fort Elout (Panjaboengan), For de Kock (Bukittinggi), Fort van der
Capellen (Padang Panjang) dan Buitenzorg (Bogor).
Kampong-kampong yang ada sekarang di Kota Bandoeng merupakan
kampong-kampong yang muncul kemudian (setelah Pemerintah Hindia Belanda mulai
membangun kota). Nama-nama lama yang dikenal sekarang di Bandoeng, tidak hanya
nama-nama kampong tetapi juga nama-nama area (wilayah yang lebih luas dari sebuah
kampung). Kampong sendiri di jaman doeloe umumnya hanya terdiri dari beberapa
keluarga dan sejumlah rumah yang saling berdekatan yang mengusahakan lingkungan
sekitar (sawah, ladang dan mengumpulkan hasil-hasil hutan, sungai, rawa (situ),
padang steppa).
Nama-nama tempat yang muncul dan dianggap sudah berumur di
Kota Bandung adalah sebagai berikut:
Istana Bupati Bandoeng (foto 1880) |
Soeniaradja: Suatu area di seberang istana Bupati di sisi utara jalan
pos trans-Java. Area ini awalnya milik Bupati untuk mengembangkan berbagai
aktivitas untuk menghasilkan produksi. Lambat laut area ini dijual kepada
orang-orang penawar harga tertinggi untuk dijadikan kantor atau fasilitas
pemerintah, pusat aktivitas swasta dan disewa oleh orang-orang Tionghoa.
Pasar: Suatu area yang berkembang di seberang istana Bupati dari
orang-orang Tionghoa yang awalnya mangkal lalu menetap dan kemudian migrasi
dari Buitenzorg untuk berdagang (membeli dari panduduk hasil bumi atau
barang-barang berharga yang dimiliki dan menjual barang-barang dari luar
seperti garam, besi, kain dan barang industri lainnya). Orang-orang Tionghoa
ini makin banyak dan tokoh-tokoh tetentu menjadi partner dari controleur dan
asisten residen mengangkatnya sebagai letnan. Contorleur/Aisten Residen, Bupati
dan tetnan/kapten menjadi pimpinan stakeholder di Bandieng (Eropa/Belanda,
pribumi dan Bupati).
Mahkamah (foto 1880) |
Kadjaksaan: Suatu area di seberang kantor Controleur yang mana di
lokasi tersebut tahun 1846 dibangun kantor mahkamah (kerapatan) yang bangunan
utamanya kemudian disebut Landraad (Kantor Pengadilan). Mahkamah ini terdiri
dari petinggi-petinggi pribumi di Bandoeng yang dipimpin Asisten Residen dan
wakilnya Bupati. Sejak 1846 diangkat seorang djaksa dan kemudian wakilnya
(adjunct djaksa). Posisi jaksa ini sangat ditajuti oleh penduduk yang tidak mau
bekerjasama dalam tanam paksa. Di mahkamah atau Landaard inilah djksa melakukan
penuntutan yang didengar dan diputuskan oleh anggota mahkamah.
Baloeboer: Suatu area perkebunan Eropa/Belanda yang merupakan
perluasan perkebunan yang dulunya telah berkembang di Buitenzorg. Landhuis
perkebunan ini berada di arah utara pasar.
Soekasari: Suatu area pabrik pengolahan kopi di Bandong yang merupakan
cabang dari pabrik kopi di Soekasari di Buitenzorg. Pabrik kopi Soekasari
dibangun pada tahun 1867.
Sebuah kampong di Bandoeng, 1870 (para migran) |
Tjikaow: Suatu area eks perkebunan
(seperti Bloeboer) yang sebelumnya pengusaha perkebunan ini beroperasi
di wilayah (region) Tjikaow. Karena itu perkebunan di Bandoeng juga disebut
dengan nama Tjokaow. Area ini lambat laun semakin terdesakn oleh pengembangan
kota.
Pasirkaliki: Suatu area penambangan pasir untuk kebutuhan pembangunan
jalan, kembatan dan konstruksi lainnya seperti bangunan-bangunan pemerintah dan
swasta.
Sawah ladang di kota Bandoeng (foto 1900) |
Kampong-kampong baru:
Kampong-kampong baru bermunculan di luar area-area yang disebut di atas,
dimana penduduk dari sekitar Bandong datang (migrasi) dengan membuka ladang dan
sawah. Kampong-kampong mereka tempat dimana mereka tinggal lambat laun disebut
sesuai nama mereka berasal atau nama baru yang disesuaikan dengan nama sistus
atau jenis produksi utama tertentu. Area-area dimana kampung bermunculan juga
secara historis menjadi hak ulayat mereka seperti kampong Tjitepoes, Tjitjendo
dan sebagainya.
Sitoe Aksan: Suatu nama situ yang awalnya area lio (pembuatan bata) yang
diusahakan oleh pengsuha pribumi bernama Mas Aksan. Dalam perkembangannya eks
area lio ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai area resepan air yang
kemudian munculnya situ (danau). Area ini berkembang, tidak hanya situnya
disebut situ Aksan tetapi lingkungan sekitarnya juga disebut Situ Aksan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar