Kujang diyakini sebagai senjata pusaka, warisan sejarah Pajajaran yang sejak pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda telah dijadikan sebagai lambang daerah. Ini tentu saja sangat menarik karena riwayat Pajajaran yang agung dilestarikan sebagai ikon pemerintah di Jawa Barat. Riwayat Pajajaran sendiri paling tidak masih eksis hingga tahun 1523. Dengan kata lain, kujang masih berperan dalam mempertahankan kerajaan dari serangan musuh paling tidak lima abad yang lalu.
Koedjang (kanan) dalam laporan ekspedisi de Houtman, 1595 |
Catatan Kujang Pertama
Dalam dokumen Belanda kujang dilukiskan
sebagai peralatan pertanian yang bentuknya seperti tumit yang mana kedua sisi
digunakan untuk memotong.
Kujang yang digambarkan sebagai peralatan pertanian yang
memiliki dua sisi untuk memotong ditemukan di Banten, tempat dimana Belanda
pertama kali berinteraksi dengan penduduk Soenda. Banten sendiri saat era
Portugis yang menganut agama Islam berhasil menaklukkan Padjadjaran yang
menganut agama Hindu. Islamisasi di Soenda (termasuk Padjadjaran) menyebabkan
terjadinya kesatuan Soenda dan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya tidak
ada pemisah.
Lantas mengapa yang disebut kujang di Banten
digambarkan sebagai peralatan pertanian, sementara kujang yang sekarang
diyakini sebagai senjata yang telah eksis pada era Padjadjaran. Hal ini pernah
dipertanyakan oleh Ajip Rosidi, seorang sastrawan terkenal dan budayawan
Soenda.
Jika kujang diyakini sebagai senjata pada era Padjadjaran
(Portugis) tahun 1523, dan bukti kujang didokumentasikan pada era Belanda
(1595) telah berjarak waktu selama 72 tahun, boleh jadi perubahan bentuk kujang
telah terjadi (degradasi) dari bentuk senjata menjadi bentuk peralatan
pertanian. Apakah ini suatu cara untuk menghilangkan kesan Hindu (Padjadjaran)
di Tanah Sunda?
Dokumentasi Kujang pada Era Belanda
Berigten betreffende...,1829 |
Lijst der voorwerpen in het Museum...,1852 |
Honderd en een Soendasche Spreekworden//.1861 |
Dalam penjelasan Holle, koedjang disebutnya parang kuno (ouderwetsch
kapmes). Ini berarti Holle paham bahwa koedjang bukan senjata melainkan
peralatan (parang). Holle menekankan
koedjang sebagai parang kuno, yang mengindikasikan bahwa koedjang adalah parang
(perlatana) dan kuno merujuk pada penggunaan yang umum pada masa lampau. Dalam
hal ini Holle tidak menyebut koedjang sebagai senjata, melainkan sejenis parang
Tijdschrift voor nijverheid..., 1866 |
Penggunaan koedjang juga ditemukan dalam hal nama
area/kampong. Satu-satunya nama area/kampong yang menggunakan kujang sebagai
nama adalah Peroeng Koedjang (lihat Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en
inwendige bouw, door FW Junghuhn, 1853). Nama are/kampong ini kemudian menjadi
salah satu nama distrik di Banten. Paroeng Koedjang adakalanya dicatat Parang
Koedjang.
Sementara itu dalam kamus Soenda-Melayu
berjudul Practische cursus voor zelfonderricht in het spreek-Maleisch en het
Soendaneesch door Tobi-van der Kop, H. Bezemer, T.J (1914), koedjang diartikan
sebagai alat pertanian.
Industri logam pada masa lampau di Buitenzorg ditemukan
di Pledang (koperslagerswijk). Di dalam buku Beknopt Handboek der Volkendkunde
van Naderlandsch Indie door B. Alkema en TJ. Bezemer, 1927 tidak ditemukan
indikasi yang menekankan memproduksi kujang sebagai senjata,
Kujang pada Era Indonesia
Pada era Belanda koedjang dicatat tidak
menekankan secara khusus. Koedjang dicatat sebagai peralatan (rumah tangga dan
pertanian) yang tingkat kepentingannya sama dengan peralatan dan senjata yang
didokumentasikan. Namun pada era kemerdekaan, kujang begitu penting dan karena
itu diadopsi sebagai simbol daerah.
Tugu Kujang di Kota Bogor yang dibangun tahun 1982 di
persipangan jalan Padjadajaran dan Otista dekat kampuns IPB Baranang Siang
menunjukkan suatu upaya memperkenalkan ke public warisan budaya Jawa Barat,
khususnya Bogor (Padjadjaran) dan sekaligus memelihara dan melestarikan kujang
sebagai produk budaya. Kujang tidak hanya ditabalkan sebagai lambang daerah di
Jawa Barat dan nama tugu di Kota Bogor, juga nama kujang menjadi nama brand
untuk produk semen.
Namun yang menjadi pertanyaan, kapan kujang
sebagai senjata didokumentasi? Apakah sumber-sumber yang dicatat oleh Belanda
begitu minim? Sumber Belanda mengidentifikasi kujang sebagai peralatan,
sementara pengetahuan dan pemahaman kita pada masa ini kujang adalah suatu
senjata. Apakah ada missing link soal kujang ini. Ini tugas kita bersama untuk
menjelaskan.
Namun demikian, kujang tetaplah kujang. Sebab kujang sudah
menjadi lambang daerah. Soal kapan kujang seperti yang tergambar sebagai
lambang daerah muncul adalah masalah lain. Yang menjadi tugas kita adalah
menjelaskan sejak kapan kujang seperti yang dilambangkan. Apakah telah berumur
tua atau justru masih berumur muda?
Beberapa warisan produk budaya yang penting
tidak hanya kujang tetapi masih banyak lagi. Dua yang popular adalah angklung
dan wayang golek.
Catatan tentang angklung sudah ditemukan pada tahun 1823 (lihat De
Indische archipel, in het bijzonder het eiland Java, beschouwd in de zeden,
wetenschappen, talen, godsdienst, beschaving, koloniale belangen en koophandel
van derzelver inwoners door John
Crawfurd, 1823) dan catatan wayang golek tahun 1853 (lihat Katalogus
der tentoonstelling van produkten der natuur en der industrie van den Indischen
Archipel, te houden te Batavia in oktober en november 1853). Gambaran kedua heritage ini kurang lebih
sama saat kali pertama ditemukan catatannya dengan gambaran yang kita ketahui
dan pahami yang sekarang. Lantas mengapa catatan tentang deskripsi kujang
berbeda dengan apa yang sekarang jika dibandingkan dengan kujang pada era
Belanda. Antara kujang yang dipersepsikan di era Pajajaran dengan yang dipahami
sekarang tampaknya ada missing link. Pencatatan kujang di era Belanda seakan
kujang yang lain, bukan kujang yang telah diadopsi menjadi simbol/lambang (lihat Wikipedia, 2017)..
Catatan kujang missing link ini menjadi tugas
kita bersama untuk menunjukkan buktinya bahwa kujang yang kita pahami memang
telah berumur sangat tua. Namun jika sulit dibuktikan, kujang yang telah
diadopso sebagai simbol tetap kita teruskan karena memang sudah menjadi warisan
sejarah. Kujang tetaplah kijang/ Soal seberapa tua atau seberapa muda usianya
itu masalah lain.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar